Oleh : Zaharuddin, S.Th.I
Assalamu alaikum bang, ternyata salah satu cara atau tekhnik untuk bisa memahami makna isi kandungan ayat Al-Qur'an yaitu dengan melihat ayat lain yang ada kaitannya dengan tersebut bang. Sedikit mudah juga yach, tentunya ada pengetahuan pendukung seperti bahasa Arab, balagah dan gaya bahasa, sharaf dan bentuk katanya, dan lain-lain
sedikit ane tambahin aja yach dalam ulasan artikel tentang MUNASABAH AYAT Alqur'an
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Melalui salah satu ayatnya, al-Qur’an memperkenalkan diri sebagai hudan (petunjuk) bagi umat
manusia, furqan, oleh karena fungsinya yang sangat strategis, maka al-Qur’an haruslah dipahami secara tepat dan benar. Upaya
memahaminya melalui ilmu tafsir, salah satu pembahasannya adalah ilmu
munasabah.
Al-Quran Al-Karim memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat,
salah satunya adalah bahwa Al-Quran adalah kitab yang keotentikannya di jamin
oleh Allah, Dan dia adalah kitab yang selalu dipelihara.Sebagaimana firman Allah, (Qs. Al-Hijr-9) :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ
لَحَافِظُونَ (٩)
Terjemahnya :
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami
benar-benar memeliharanya.
Kecermatan dalam mencari hubungan ayat dengan ayat atau hubungan surat
dengan surat lainnya bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah. Hal ini banyak
didasarkan pada penertiban surat dengan surat adalah tauqifiy yakni atas
perintah Rasulullah Saw. bukan secara ijtihadiy.
Dalam setiap surat ada maudhu’ yang menonjol dan bersifat
menyeluruh, yang atas maudhu’ itulah tersusun juz’iyah-juz’iyah surat yang memiliki hubungan antara satu dengan
lainnya.
Adapun fungsi dan faedah munasabah adalah menguatkan bagian-bagian
kalimat yang satu dan
yang lainnya sehingga susunannya menjadi kukuh dan serasi bagaikan kondisi
bangunan. Dalam kaitan ini, Abu Ja'far ibn Zubair, salah seorang guru dari Abu Hayyan, secara khusus menulis sebuah buku yang berjudul Al-Burhan pi Munasabah Tartib Suwar Al-Qur'an. Selain Abu Ja'far, Syaikh Burhan Al-Din Al-Biqa'i juga menulis sebuah buku yang berjudul Nuzhum Al-Durar fi Tanasub Al-Ayi wa Al-Suwar. Begitu juga dengan Imam Al-Suyuthi, beliau menulis sebuah buku kecil yang berjudul Tanasuq Al-Durar fi Tanasub Al-Suwar.
Ilmu tentang kaitan ayat dan surah atau ayat
dan ayat (munasabah) termasuk
ilmu yang mulia. Sayangnya, perhatian ulama tafsir teradapnya sangat sedikit. Barangkali hal itu
disebabkan oleh keabstrakan dan
kelembutan kandungannya. Adapun ulama yang paling banyak
berbicara tentang tema tersebut adalah Imam Fakhr Al-Din Al-Razi. Dalam tafsirnya, ia berkata, "Kebanyakan hikmah yang terkandung dalam kelembutan atau
keabstrakan al-Qur’an (latha'if Al-Qur'an) terdapat pada rahasia keteraturan (al-tartibiit)
dan keterkaitan makna (al-rawabith)."
Syaikh 'Izzuddin ibn Abd Al-Salam mengatakan
bahwa munasabah termasuk ilmu yang
sangat bagus. Namun, untuk menentukan adanya keterkaitan kalimat yang indah, disyaratkan adanya aspek yang menyatu secara utuh, yang bagian awalnya
betul-betul berkaitan dengan bagian akhirnya. Apabila aspek
tersebut terjadi berdasarkan sebab yang berbeda-beda,
keterkaitan (irtibath) itu pun tidak akan terbentuk. Siapa pun yang
mencoba mengaitkan berbagai sebab tersebut,
berarti ia telah memaksakan diri untuk melakukan sesuatu yang tidak semestinya sehingga hanya akan
menghasilkan hubungan yang tidak akurat. Dengan demikian, tentu
tidak akan ditemukan pembicaraan yang indah, apalagi yang
terbaik dan terindah. Dalam hal ini, harus dipahami bahwa bagai manapun al-Qur’an turun selama lebih dari dua puluh tahun dengan memuat hukum yang berbeda kondisi itulah yang tidak mudah kita hubungkan sebagian dengan yang lain secara
paksa.
B. Rumusan Masalah
Dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan munasabah
ayat dan sebagaimana yang dijelaskan di atas, maka penulis perlu
mencantumkan masalah pokok yakni bagaimana bentuk munasabah ayat
dan surah yang dimaksudkan, dan akan dibahas sesuai dengan sub-sub masalah di
bawah ini;
1. Apa pengertian ilmu Al-Munasabah/Tanasubil
Ayati Wassuwari ?
2. Bagaimana pendapat Ulama disekitar ilmu
munasabah ?
3. Berapa macam-macam ilmu munasabah
dalam Quran?
BAB II
MUNASABAH AYAT DAN SURAH
A. Pengertian
Munasabah secara etimologi berasal dari bahasa Arabنسب
– ينسب – منسبت yang berarti مشكلح (keserupaan)
dan مرقبح (kedekatan).
Sedangkan menurut Quraish Shihab Munasabah secara bahasa berasal dari kata Al-Munasabah berarti المشا كلة dan لمقا ربة yang artinya
keserasian dan kedekatan.
Semakna dengan Mushakalah dan muraqabah yang berarti serupa dan berdekatan. Bisa juga dekat, serupa, mirip, dan rapat ( المنا سبة )
artinya dengan ( المقاربة ) yakni
mendekatkannya dan menyesuaikannya. Menurut Abdul
Djalal Munasabah berarti persesuaian
atau hubungan atau relevansi, yaitu hubungan persesuaian antara ayat/surah yang
satu dengan ayat/ surah yang sebelum atau sesudahnya.
Yang lainnya
seperti ( النسيب )
artinya ( القريب
المتصل ) (dekat dan berkaitan). Misalnya, dua orang
bersaudara dan anak paman. Ini terwujud bila kedua-duanya saling berdekatan dalam artian ada
ikatan atau hubungan antara kedua-duanya. An-nasib
juga berarti ar-rabith, yakni ikatan, pertalian, hubungan.
Para ulama mufassirin berbeda pendapat dalam memberikan definisi ilmu munasabah, untuk jelasnya kita lihat pendapat di bawah ini :
1. Ilmu munasabah (persesuaian) adalah keserasian,
kedekatan hubungan, atau kedekatan
bentuk. Berkenaan dengan ayat dan surah dalam al-Qur’an,
kesesuaian (munasabah) merupakan
kaitan makna yang menghubungkan keduanya,
baik antara umum dan khusus, antara rasional ('aqli), fisikal (hissi),
dan imajinasi (khaydli), ataupun dalam beberapa
bentuk
hubungan lainnya. Termasuk dalam hal ini adalah hubungan yang didasarkan
pada kausalitas, seperti antara sebab dan akibat (musabbab), sifat (illah) dan
yang disifati (ma'lul), antara dua hal yang mirip (al-nazhirain)
dan dua hal kontradiktif (al-dhiddain), dan yang sejenisnya.
2.
Aksioma
yang diperpegangi dalam menerangkan macam-macam munasabah ayat dan surat tergantung pada tamtsul atau tasyabuh antara
maudhu’-maudhu’nya. Jika munasabah itu terjadi pada urusan yang bersatu dan
berkaitan awal dan akhirnya, maka itulah munasabah yang dapat diterima
akal dan dapat dipahami. Seperti yang
dikatakan oleh al-Syaibaniy sebagai berikut:
المنا سبة امر معقول اذا عرض علي العقول تلقته با القبول.
Terjemahnya :
Munasabah adalah sesuatu urusan yang dapat dipahami, apabila dia
dikemukakan kepada akal, niscaya akal dapat menerimanya.
3.
Munasabah
adalah kemiripan-kemiripan yang
terdapat pada hal-hal tertentu dalam al-Qur’an baik
surat maupun ayat-ayatnya yang menghubungkan uraian satu dengan yang lainnya.
Dalam hal ini,
munasabah bisa berarti suatu pengetahuan yang diperoleh secara 'aqli dan
bukan diperoleh melalui tauqifi. Dengan demikian, akallah yang berusaha
mencari dan menemukan hubungan-hubungan,
pertalian, atau keserupaan antara sesuatu itu.
4.
Az-Zarkasyi mengatakan
munasabah adalah perkara
yang menyangkut tafsiran akal. Bila sesuatu muncul dan disampaikan berdasarkan akal, ia akan diterima. Munasabah al-ayat terdiri dari hubungan antara permulaan dan penutup ayat dikembalikan kepada arti yang terkait di antaranya. Kaitan itu bisa berupa 'am atau khas,
'aqli atau perasaan atau khayali. Bisa juga berupa faktor pemikiran,
seperti (al-sabab wal musabba, al-Shilah
wa al-maushul) dua hal yang berlawanan,
atau ia berupa faktor luar, seperti yang tersusun menurut urutan peristiwa.
Dari beberapa pengertian di atas, penulis memahami bahwa Munasabah ialah segi-segi hubungan
antara satu kalimat dengan kalimat lain dalam 1 ayat, antara 1 ayat dengan ayat
lain dalam banyak ayat atau antara satu surah dengan surah yang lain.
Quraish Shihab menyatakan bahwa Munasabah
adalah keserupaan dan kedekatan di antara berbagai ayat, surah dan kalimat yang
mengakibatkan adanya hubungan. Makna
tersebut dapat dipahami bahwa apabila suatu ayat atau surah sulit ditangkap
maknanya secara utuh, maka menurut metode Munasabah
ini mungkin dapat dicari penjelasannya di ayat atau surat lain yang punya
kesamaan atau kemiripan.
Ibnu Arabi sebagaimana dikutip oleh Imam Al-Sayuti mendefinisikan Munasabah itu kepada,”keterkaitan
ayat-ayat Al-Qur’an antara sebagiannya dengan sebagian yang lain, sehingga ia
terlihat sebagai suatu ungkapan yang rapi dan sistematis.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Munasabah
ialah ilmu yang membahas tentang keterkaitan atau keserasian ayat-ayat
Al-Qur’an antara 1 dengan yang lain. Ilmu
ini menjelaskan tentang berbagai hubungan di dalam al-Qur’an yang meliputi:
1.
Hubungan antara satu surah dengan surah sebelumnya,
satu surah menjelaskan surah sebelumnya.
2.
Hubungan antara nama surah dengan isi atau tujuan
surah
3.
Hubungan antara fawatih al-suwar (ayat pertama
yang terdiri dari beberapa huruf).
4.
Hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir
dalam satu surah.
5.
Hubungan antara satu ayat dengan ayat yang lain dalam
satu surah.
6.
Hubungan antara kalimat dengan kalimat yang lain dalam
satu ayat.
7.
Hubungan antara fashilah dengan isi ayat.
8.
Hubungan antara penutup surah dengan awal surah
berikutnya.
Tentang adanya hubungan tersebut, maka dapat diperhatikan lebih jelas bahwa
ayat-ayat yang terputus tanpa adanya kata penghubung (pengikat) mempunyai Munasabah / persesuaian antara 1 dengan
yang lainnya.
Ilmu ini juga menjelaskan segi-segi hubungan antara beberapa ayat/beberapa
surah al-Qur’an, apakah hubungan itu berupa ikatan antara ‘am (umum) dan
khusus, atau antara abstrak dan konkret, atau antara sebab-akibat, atau antara
illat dan ma’lulnya ataukah antara rasional dan irrasional atau bahkan antara 2
hal yang kontradiksi.
Adapun fungsi dan faedah munasabah adalah menguatkan bagian-bagian kalimat yang satu dan yang lainnya sehingga susunannya menjadi kukuh dan serasi bagaikan kondisi bangunan.
Munasabah adalah salah satu
bagian pembahasan 'ulum al-Qur’an. Pembahasan tentang munasabah
pertama kali diperkenalkan oleh seorang alim bernama Al-Imam Abu Bakar
An-Naisabury atau Abu
Bakr 'Abdullah ibn Muhammad Ziyad Al-Naisavury (wafat tahun 324 H).
Dalam
pertumbuhannya kemudian, terdapat dua aliran tentang munasabah
ini. Pertama, pihak yang
mengatakan secara pasti
adanya pertalian yang erat antara surat dengan surat dan antara ayat dengan
ayat. Pihak ini diwakili oleh As-Syaikh 'Izz Ad-Din Ibn 'Abd As-Salam atau 'Abd Al-'Aziz ibn, Abd
As-Salam (577-600 H.).
Menurut aliran
ini, munasabah adalah ilmu yang mensyaratkan bahwa baiknya kaitan
pembicaraan ( ارتباط الكلام ) itu antara permulaan dan
akhirnya terkait menjadi satu. Apabila hubungan itu terjadi karena sebab yang
berbeda-beda, tidaklah diisyaratkan adanya
pertalian salah satunya dengan yang lain.
'Izz Ad-Din memberikan alasan bahwa al-Qur’an diturunkan pada
masa dua puluh tahun lebih. al-Qur’an berisikan
berbagai hukum
dengan sebab-sebab yang berbeda pula. Lantas, apakah lalu tidak ada peraturan satu sama lain?
la memberikan alasan
selanjutnya dengan mengajukan pertanyaan apakah artinya Tuhan mencipta hukum dan
makhluk-Nya;
Perbedaan 'illah dan sebab, upaya para mufti dan
penguasa, serta upaya manusia tentang hal-hal yang disepakati, diperselisih-kan, dan dipertentangkan. Tentunya,
tidak akan ada orang yang mau mencari-cari
hubungan itu apabila tidak ada artinya.
Kedua, pihak yang
menyatakan bahwa tidak perlu ada munasabah ayat, sebab
peristiwa-peristiwa tersebut saling berlainan. al-Qur’an
disusun dan diturunkan serta diberi hikmah secara tauqifi dan tersusun atas
petunjuk Allah SWT.
Terlepas dari kedua pendapat di atas, munasabah
telah merupakan
bagian tak terpisahkan dari 'ulum al-Qur’an. Apakah adanya munasabah
itu ijtihadi atau tauqifi barangkali akan dapat dijawab ketika memperhatikan telaah tentang kaitan ayat
dengan ayat atau surat dengan surat.
B. Pendapat-Pendapat
Ulama di Sekitar Munasabah
Para ulama sepakat bahwa tertib ayat-ayat dalam Al-Qura>n
adalah taukifi, artinya penetapan dari Rasul. Sementara tertib surah dalam Al-Qura>n
masih terjadi perbedaan pendapat.
Al-Qhurtubi meriwayatkan pernyataan Ibn Al-T{ibb
bahwa tertib surat Al-Qura>n di perselisihkan. Dalam hal ini ada tiga
golongan:
a.
Tertib surat
berdasarkan ijtihad para sahabat. Pendapat ini diikuti oleh
jumhur ulama seperti Imam Malik, Al-Qhadi Abu Bakr At-Thibb. Beberapa alasan
mereka adalah sebagai berikut:
1)
Tidak adanya petunjuk
langsung dari Rasulullah tentang tertib surah dalam Al-Qura>n dan sahabat
pernah mendengar Rasul membaca Al-Qura>n berbeda dengan susunan surah
sekarang, hal ini di buktikan dengan munculnya empat buah mushaf dari
kalangan sahabat yang berbeda susunannya antara yang satu dengan yang lainnya.
Yaitu mushaf Ali, mushaf ‘Ubay, mushaf Ibn
Mas’ud, mushaf Ibnu Abbas.
2)
Mushaf yang ada pada catatan sahabat berbeda-beda ini
menunjukkan bahwa susunan surah tidak ada petunjuk resmi dari Rasul.
3)
Alasan lain adalah
riwayat Abu Muhammad Al-Quraysi bahwa Umar memerintahkan agar mengurutkan surat
At-Tiwal. Akan tetapi, riwayat ini diberi catatan kaki oleh Al-Sayu>t}y agar
diteliti kembali.
b.
Susunan surat
berdasarkan petunjuk Rasulullah Saw (taukifi). Di antara ulama
yang yang berpendapat demikian adalah Al-Qadhi Abu Bakr Al-Anbari, Ibn
Hajar, Al-Zarkasyi dan Al-Sayuthi. Alasan yang dikemukakan sebagai berikut :
1)
Ijma’ sahabat terhadap mushaf Us\man. Ijma’
ini tak akan mungkin terjadi kecuali kalau tertib itu tauqifiy,
seandainya bersifat ijtihadiy, niscaya pemilik mushaf lainnya
akan berpegang teguh pada mushafnya.
2)
Hadist tentang hijzb
Al-Qura>n yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Dawud dari Huzaifah Al-Syaqafi. Dengan meneliti pembagian yang
dikemukakan hadis tersebut didapatkan pembagian Al-Qura>n dalam tujuh bagian
yang seimbang.
3)
Hadis Ibn Abba>s tentang
alasan penyatuan surat Al-Taubah dan Al-Anfa>l. Ibn Hajar menyatakan bahwa
kebijakan tersebut menunjukkan bahwa susunan Al-Qura>n taukifi, hanya
karna Nabi tidak menjelaskan kepada Usman, maka surat Al-Taubat disatukan
dengan surah Al-Anfal. Selanjutnya Ibn Hajar menyatakan dalam mushaf Ibn
Mas’ud terdapat basmalah di awal surat Al-Taubah, tetapi tidak
diambil oleh lembaga.
4)
Nabi sering membaca Al-Qura>n
dengan tertib surat yang ada pada sekarang.
c.
Tertib surat sebagian
taukifi dan sebagian ijtihadiy. Di antara yang berpendapat
demikian adalah Al-Baihaqi. Menurutnya: “seluruh surat susunannya berdasarkan tauqif
Rasul kecuali surat Baraah dan Al-Anfal”. Al-Qhadi Abu Muhammad Ibn Athiyah
termasuk golongan ini.
Alasan lainnya yaitu ternyata tidak semua nama-nama
surah itu diberikan oleh Allah, tapi sebagiannya diberikan oleh Nabi dan bahkan
ada yang diberikan oleh para sahabat. Adapun yang diberikan oleh Allah adalah
misalnya surat Al-Baqarah, At-Taubah, Ali Imran dll. Nama surah yang diberikan
oleh Nabi adalah yang Nabi sendiri menyebutkan surah tersebut, seperti surah
Thaha dan Yasin. Oleh para sahabat seperti Al-Baro’ah, yaitu surat yang di
awali dengan lafal basmalah.
C. Macam-Macam Munasabah
Jika dalam mengkaji Munasabah
antar surat dan ayat, ulama berangkat dari pertanyaan tentang tujuan di balik
penempatan satu ayat dengan ayat lain, dan penempatan surat dengan surat lain,
maka wajar apabila mereka berusaha menciptakan hubungan – hubungan umum antar
surat, pertama-tama dari sisi isi.
Pada garis besarnya Munasabah itu menyangkut pada dua hal, yaitu hubungan antara ayat
dengan dan hubungan surat dengan surat.
1. Munasabah
antara surah dengan surah.
Keserasian
hubungan atau Munasabah antar surah
ini pada hakikatnya memperlihatkan kaitan yang erat dari suatu surah dengan
surah lainnya. Bentuk Munasabah yang
tercermin pada masing-masing surah, kelihatannya memperlihatkan kesatuan tema.
Salah satunya memuat tema sentral, sedangkan surah-surah yang lainnya
menguraikan sub-sub tema berikut perinciannya baik secara umum maupun secara
parsial. salah satu contoh yang dapat diajukan di sini adalah Munasabah yang dapat ditarik pada tiga surah
beruntun, masing-masing Q.S al-Fatihah. (1), Q. S al-Baqarah dan Q. S Al-Imran.
Satu surah
berfungsi menjelaskan surah sebelumnya, misalnya di dalam surah al-Fatihah:
اهْدِنَا
الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6)
Terjemahnya :
Tunjukan kami ke jalan yang lurus.
Lalu dijelaskan
di dalam surah al-Baqarah, bahwa jalan yang lurus itu ialah mengikuti petunjuk
al-Qur’an, sebagaimana disebutkan:
ذَلِكَ
الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (2)
Terjemahnya:
Kitab ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa.
2. Munasabah antara satu surat dengan surat sebelumnya.
Untuk
mencari Munasabah
antara satu surat dengan surat sebelumnya, al-Suyuthi menyimpulkan bahwa satu
surat berfungsi menerangkan atau menyempurkan ungkapan pada surat sebelumnya. Sebagai
contoh dalam surat al-Baqarah [2] ayat 152 dan 182:
الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا
لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (156)
Terjemahnya:
(yaitu)
orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa
lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun"
فَمَنْ خَافَ مِنْ مُوصٍ جَنَفًا أَوْ إِثْمًا
فَأَصْلَحَ بَيْنَهُمْ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (182)
Terjemahnya:
(Akan
tetapi) barang siapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku berat
sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, maka tidaklah ada
dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat-ayat
dari surat ini menerangkan dan menyempurnakan dari surat sebelumnya al-Fatihah
[1] ayat 2:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (1) الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (2)
Begitu juga ayat
21-22 surat al-Baqarah [2]:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ
اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ .
الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ
الأرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً
فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلا تَجْعَلُوا لِلَّهِ
أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ .
Merupakan
penyempurnaan dari ungkapan (الْعَالَمِينَ رَبِّ ) dalam surat al-fatihah.
3. Munasabah
Antara Nama Surat Dengan Kandungan Isinya
Nama
suatu surah pada dasarnya bersifat tawqifi. Namun beberapa bukti menunjukkan
bahwa suatu surah terkadang memiliki satu nama dan terkadang dua nama atau
lebih. Tampaknya ada rahasia dibalik nama tersebu. Para ahli tafsir sebagaimana
yang dikemukan oleh sayuthi melihat adanya keterkaitan antara nama-nama surah
dengan isi atau uraian yang dimuat dalam suatu surah. Kaitan antara nama surah
dengan isi ini dapat di indentifikasikan sebagai berikut:
a) Nama diambil dari urgensi isi
serta kedudukan surah. Nama surah al-fatihah disebut dengan umm al-kitab karena
urgensinya dan disebut dengan al-Fatihah karena kedudukannya.
b) Nama diambil dari perumpamaan,
peristiwa, kisah atau peran itu syarat dengan ide. Di sini dapat disebut
nama-nama surah: al-‘Ankabut, al-Fath, al-Fil, al-Lahab dan sebagainya.
c) Nama sebagai cerminan isi
pokoknya, misalnya al-ikhlas karena mengandung ide pokok keimanan yang paling
mendalam serta kepasrahan; al-Mulk, mengandung ide pokok hakikat kekuasaan dan
sebagainya.
4. Munasabah
Antara Nama Surah Dengan
Kandungan Isinya.
Nama
suatu surah pada dasarnya bersifat tawqifi.
Namun beberapa bukti menunjukkan bahwa suatu surah terkadang memiliki satu nama
dan terkadang dua nama atau lebih. Tampaknya ada rahasia dibalik nama tersebut.
Para ahli tafsir sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Sayuthi melihat adanya
keterkaitan antara nama-nama surah dengan isi atau uraian yang dimuat dalam
suatu surah. Kaitan antara nama surah dengan isi ini dapat di indentifikasikan
sebagai berikut :
a. Nama diambil dari urgensi isi
serta kedudukan surah. Nama surah al-Fatihah disebut dengan umm al-Kitab karena
urgensinya dan disebut dengan al-Fatihah karena kedudukannya.
b. Nama diambil dari perumpamaan,
peristiwa, kisah atau peran yang menonjol, yang dipparkan pada rangkaian
ayat-ayatnya; sementara di dalam perumpamaan, peristiwa, kisah atau peran itu
sarat dengan ide. Di sini dapat disebut nama-nama surah : al-‘Ankabut, al-Fath, al-Fil,
al-Lahab dan sebagainya.
c. Nama sebagai cerminan isi
pokoknya, misalnya al-ikhlas karena mengandung ide pokok keimanan yang paling
mendalam serta kepasrahan; al-Mulk mengandung ide pokok hakikat kekuasaan dan
sebagainya.
d. Nama diambil dari tema spesifik
untuk dijadikan acuan bagi ayat-ayat lain yang tersebar diberbagai surah.
Contoh al-Hajj ( dengan spesifik tema haji ), al-Nisa ( dengan spesifik tema tentang
tatanan kehidupan rumah tangga). Kata Nisa yang berarti kaum wanita adalah
lambang keharmonisan rumah tangga.
e. Nama diambil dari huruf-huruf
tertentu yang terletak dipermulaan surah, sekaligus untuk menuntut perhatian
khusus terhadap ayat-ayat di dalamnya yang memakai huruf itu. Contohnya : T{a>ha>,
Ya>sin, S{a>d dan Qa>f.
5.
Munasabah Antara Satu Kalimat Lainnya Dalam Satu Ayat.
Hubungan antara ayat dengan ayat al-Qur’an terbagi dalam dua macam. Pertama, hubungan yang sudah jelas antara kalimat terdahulu dengan kalimat kemudian, atau akhir kalimat dengan awal kalimat berikutnya, atau masalah yang terdahulu
dengan masalah yang
dibahas kemudian. Hubungan
ini dapat berbentuk
تفسير, تشديد , اعتراض.
Kedua, hubungan yang belum jelas antara ayat dengan ayat
atau kalimat dengan kalimat. Hubungan demikian terdiri
dari dua macam lagi, yaitu :
( لا تكون معطوفة ) dan ( تكون معطوف ).
a)
Ma'thufah
Secara umum dapat dikatakan
bahwa adanya huruf 'athaf ini mengisyaratkan adanya hubungan
pembicaraan. Ini dapat dilihat. Misalnya dalam
surat Al-Baqarah (2): 245: ( يقبض ويبسط والله ) atau dalam surat Al-Hadid (57): 4:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ
السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الأرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ
السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ
بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِير
Terjemahnya:
Dialah yang menciptakan langit
dan bumi dalam enam masa: kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy Dia mengetahui
apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun
dari langit dan apa yang naik kepada-Nya . dan Dia bersama kamu di mama saja
kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
Namun demikian,
ayat-ayat yang ma'thuf itu dapat diteliti melalui bentuk susunan berikut:
1)
المضا دة (Perlawanan/bertolak belakang antara suatu kata
dengan kata lain).
Misalnya kata الرحمةdisebut setelah العذاب kata الرغبة sesudah الرهبة menyebut janji dan ancaman sesudah menyebut hukum-hukum. Hubungan seperti ini banyak terdapat dalam surat Al-Baqarah, An-Nisa, dan Al-Maidah.
2)
الاستطراد (pindah ke
kata lain yang ada hubungannya atau penjelasan lebih lanjut).
Misalnya, kaitan antara الاهلة dengan memasuki rumah dari belakang dalam ayat 189 surat Al-Baqarah (2).
Pada musim haji, kaum Anshar mempunyai kebiasaan tidak
memasuki pintu rumah dari depan. Sebelum itu
mereka menanyakan الاهلة Lalu ayat ini menjelaskan bahwa yang dimaksud البر itu adalah takwa kepada Allah dengan men-jalankan apa yang Allah tentukan dalam berhaji. Mereka telah melupakan masalah الاهلة tadi karena beralih ke soal memasuki rumah dari belakang dalam kaitannya dengan ibadah haji. Masalah ini berkaitan pula dengan
pertanyaan mereka tentang berwudhu dengan air laut yang
diceritakan dalam hadis riwayat Ibn Majah dari Abu Hurairah.
3) Tamsil dari
keadaan
Misalnya,
ayat 189 surat Al-Baqarah (2) yang mengisahkan mereka yang mendatangi rumah dari belakang pada musim haji. Tindakan ini
bukan merupakan kebaikan. Oleh karena itu, masuklah ke
rumah melalui pintunya. Memasuki rumah dari pintu
belakang bukan dari depan ini merupakan perumpamaan bagi
mereka yang suka membolak-balikkan pertanyaan. Pertanyaan
demikian tidak baik. Dengan kata lain, jangan membolak-balikan pertanyaan.
Atau
tamtsil yang disodorkan dalam surat Al-Isra' [17] ayat 1 dengan 2 dan 3.
Peristiwa Isra Nabi Muhammad SAW. dari Mekah ke Palestina
sebanding juga dengan Isra Nabi
Musa a.s. dari
Mesir ke Palestina. Ayat itu dihubungkan dengan
ayat 3 yang
berisi kisah Nuh; bahwa keturunannya wajib meniru Nuh a.s. sebagai hamba yang
bersyukur. Ayat tersebut dihubungkan lagi dengan ayat 8-9 yang
menyebutkan barang siapa berbuat baik atau jahat akan
mendapatkan balasan sesuai janji Allah.
b) Tidak Ada Ma'thufah
Dalam hal
tidak ada ma'thufah dapat dicari hubungan ma'nawiyah-nya, seperti hubungan sebab akibat. Ada
tiga bentuk hubungan
yang menandai adanya hubungan ayat dengan ayat atau hubungan kalimat dengan kalimat.
1) التنظير (berhampiran/berserupaan)
Misalnya
ayat 4 dan 5 surat Al-Anfal [8]:
أُولَئِكَ هُمُ
الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ
كَرِيمٌ.
كَمَا أَخْرَجَكَ
رَبُّكَ مِنْ بَيْتِكَ بِالْحَقِّ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
لَكَارِهُونَ
Huruf al-kaf ( ك ) pada
ayat 5 berfungsi sebagai pengingat dan sifat bagi fi'il yang bersembunyi. Hubungan itu tampak dari jiwa kalimat itu. Maksud ayat itu, Allah menyuruh untuk
mengerjakan urusan harta rampasan, seperti yang telah kalian lakukan ketika Perang Badar meskipun kaummu membenci cara demikian itu. Allah menurunkan ayat ini agar kaum
Nabi Muhammad SAW. mengingat nikmat yang telah diberikan Allah dengan diutusnya
rasul dari kalangan mereka (surat
Al-Baqarah [2]: 151) كما ارسلنا فيكم ,
sebagaimana juga kaummu membencimu (Rasul) ketika engkau mengajak mereka keluar dari rumah untuk berjihad. Hubungan ini terjalin dengan ayat-ayat yang berada jauh sebelumnya; bukan seperti nazhiran yang ma'thufah.
Misalnya, ayat 16 surat
Al-Qiyamah (75) dan yang mengandung larangan tergesa-gesa untuk lidah dalam membicarakan hari kiamat.
2)
الاستطراد (pindah ke perkataan lain yang erat kaitan)
Misalnya, surat Al-A'raf [7]:
26 tentang pake" lebih baik. Allah menyebutkan
pakaian itu untuk mengingatkan
manusia bahwa pakaian penutup aurat itu lebih baik. Pakaian berfungsi sebagai alat untuk memperbagus apa yang Allah ciptakan. Pakaian merupakan penutup aurat dan kebejatan karena
membuka aurat adalah hal yang jelek dan bejat.
Sedangkan penutup aurat adalah pintu takwa.
3)
المضا دة (Perlawanan)
Misalnya, surat Al-Baqarah [2]: 6:
¨bÎ) úïÏ%©!$# (#rãxÿx. íä!#uqy óOÎgøn=tæ öNßgs?öxRr&uä ÷Pr& öNs9 öNèdöÉZè? w tbqãZÏB÷sã ÇÏÈ
Allah tidak akan memberi
petunjuk kepada mereka yang kafir itu. Ayat ini berlawanan
dengan ayat-ayat sebelumnya yang menyebutkan tentang kitab, orang
mukmin, dan petunjuk.
Hal ini berkaitan dengan ayat 23 surat Al-Baqarah.
bÎ)ur öNçFZà2 Îû 5=÷u $£JÏiB $uZø9¨tR 4n?tã $tRÏö7tãù ....
Adapun hikmahnya adalah agar mukmin
merindukan dan memantapkan iman
berdasarkan petunjuk Allah SWT :
التثويق والثبوت علي
الاول
6.
Munasabah Antara Nama Surat Dengan Tujuan Turunya
Al-Biqai
menjelaskan bahwa nama-nama surat al-Qur’an merupakan “inti pembahasan surat
tersebut serta penjelasan menyankut tujuan”. Setiap surat mempunyai tema
pembicaraan yang sangat menonjol, dan itu tercermin dalam nama-nama
masing-masing surat, seperti surat al-Baqarah, surat yusuf, surat an-Naml, dab
surat al-Jinn. Cerita tentang lembu betina dalam surat al-Baqarah umpamanya
merupakan inti pembicaraan surat tersebut, yaitu kekuasaan Allah membangkitkan
orang mati. Surat Yusuf mengisahkan Nabi Yusuf a.a.s. yang dibuang ke sumur
oleh saudara-saudaranya, kemudian setelah menjadi orang orang istana ia
difitnah memperkosa Zulaekha, permasuri penguasa Mesir, padahal justru wanita
itu yang berusaha memaksa Yusuf melakukan pembuatan tidak terpuji. Surat al-Jinn
yang mengisahkan bahwa Jin adalah mahluk yang juga sering mendengarkan bacaan
al-Qur’an, dsb. Singkat cerita semua nama surat mencerminkan isi dari surat
itu.
7. Munasabah Antara Ayat Dengan Ayat Dalam Satu Surah.
Untuk
melihat Munasabah semacam ini perlu
diketahui bahwa ini didaftarkan pada pandangan datar yaitu meskipun dalam satu
surah tersebar sejumlah ayat, namun pada hakikatnya semua ayat itu tersusun
dengan tertib dengan ikatan yang padu sehingga membentuk fikiran serta jalinan
informasi yang sistematis. Untuk menyebut sebuah contoh, ayat-ayat di awal Q.S
al-Baqarah 1–20 memberikan sistematika informasi tentang keimanan, kekufuran,
serta kemunafikan.
Untuk
mengidentifikasikan ketiga tipologi iman, kafir dan nifaq, dapat ditarik
hubungan ayat-ayat tersebut.
Misalnya surah
al-Mu’minun dimulai dengan :
قد أفلح المؤمنون
Terjemahnya:
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman”.
Kemudian
dibagian akhir surah ini ditemukan kalimat :
انه لا يفلح الكافرون.
Terjemahnya:
“Sesungguhnya
orang-orang yang kafir itu tidak beruntung”.
8. Munasabah Antara Penutup Ayat Dengan Isi Ayat Itu Sendiri.
Munasabah
pada bagian
ini, Imam al-Sayuthi menyebut empat bentuk yaitu al-Tamkin ( mengukuhkan
isi ayat ), al-Tashdir ( memberikan sandaran isi ayat pada sumbernya ), al-Tawsyih
( mempertajam relevansi makna ) dan al-Ighal ( tambahan penjelasan ).
Sebagai contoh :
الخالقين احسن الله فتبارك mengukuhkan علقة النطفة خلقنا ثم bahkan mengukuhkan hubungan
dengan dua ayat sebelumnya ( al-Mukminun : 12 –14 ). Kalimat-kalimat : يتفكرون لقوم , يعقلون لقوم, يفقهون لقوم selalu menjadi sandaran
isi ayat. Kata “halim”
sangat erat hubungannya dengan ‘ibadat, sementara “rasyid” kuat hubungannya dengan
al-amwal seperti bunyi ayat Q.S Hud : 87 berikut :
Sedangkan
bentuk al-Ighal dapat dijumpai pada Q.S al-Naml ( 27 ) : 80 :
إِنَّكَ لا تُسْمِعُ الْمَوْتَى وَلا
تُسْمِعُ الصُّمَّ الدُّعَاءَ إِذَا وَلَّوْا مُدْبِرِينَ
Kata
“Wallaw” yang artinya ‘bila mereka berpaling’ berfungsi sebagai
penjelasan terhadap arti ( orang tuli ).
9. Munasabah Antara Awal Uraian Surah Dengan Akhir Uraian Surah.
Salah
satu rahasia keajaiban al-Qur’an adalah adanya keserasian serta hubungan yang
erat antara awal uraian suatu surat dengan akhir uraiannya. Sebagai contoh,
dikemukakan oleh al-Zamakhsyari demikian juga al-Kirmani bahwa Q.S al-Mu’minun
diawali dengan “قد افلح المؤمنون “ ( respek Tuhan kepada orang-orang Mukmin ) dan diakhiri
dengan “انه
لايفلح
الكافرين “ ( sama
sekali Allah tidak menaruh respek terhadap orang-orang Kafir ). Dalam Q.S
al-Qashas, al-Sayuthi melihat adanya Munasabah antara pembicaraan tentang
perjuangan Nabi Musa menghadapi Fir’aun seperti tergambar pada awal surah
dengan Nabi Muhammad Saw yang menghadapi tekanan kaumnya seperti tergambar pada
situasi yang dihadapi oleh Musa As dan Muhammad Saw, serta jaminan Allah bahwa
mereka akan memperoleh kemenangan.
10. Munasabah Antara Penutup Suatu Surah Dengan Awal Surah Berikutnya.
Misalnya akhir
surah al-Waqi’ah / 96 :
إِذَا وَقَعَتِ الْوَاقِعَةُ
“Maka bertasbihlah dengan ( menyebut ) nama
Tuhanmu Yang Maha Besar”.
Lalu
surah berikutnya, yakni surah al-Hadid / 57 ayat 1 :
سَبَّحَ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ
الْحَكِيمُ
11. Munasabah Antar Ayat Tentang Satu Tema.
Munasabah antar ayat tentang satu tema
ini, sebagaimana dijelaskan oleh al-Sayuthi, pertama-tama dirintis oleh
al-Kisa’I dan al-Sakhawi. Sementara al-Kirmani menggunakan metodologi Munasabah dalam membahas mutasyabih
al-Qur’an dengan karyanya yang berjudul al-Burhan
fi Mutasyabih al-Qur’an. Karya yang dinilainya paling bagus adalah Durrah al-Tanzil wa Gharrat
al-Ta’wil oleh Abu ‘Abd Allah al-Razi dan Malak al-Ta’wil oleh
Abu Ja’far Ibn al-Zubair.
Munasabah
ini sebagai contoh dapat dikemukakan tentang tema qiwamah ( tegaknya suatu kepemimpinan
). Paling tidak terdapat dua ayat yang saling berMunasabah, yakni Q.S al-Nisa ( 4 ) : 34 :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا
أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ
حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ
فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ
أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا
كَبِيرًا
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika
mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Dan Q.S al-Mujadalah ( 58 ) : 11
:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي
الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا
فَانْشُزُوا
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah
dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah,.....
Tegaknya
qiwamah (
konteks parsialnya qiwamat al-rijal ‘ala al-nisa ) erat sekali kaitannya dengan
faktor Ilmu pengetahuan / teknologi dan faktor ekonomi. Q.S al-Nisa menunjuk
kata kunci “Bima Fadhdhala”
dan “al-Ilm”
. Antara “Bima
fadhdhala” dengan “yarfa’”
terdapat kaitan dan keserasian arti dalam kata kunci nilai lebih
yang muncul karena faktor ‘Ilmu.
Munasabah al-Qur’an diketahui berdasarkan ijtihad, bukan
melalui petunjuk Nabi ( tawqifi
). Setiap orang bisa saja menghubung-hubungkan antara berbagai hal dalam Kitab
al-Qur’an.
12. Munasabah Penutup Surat Terdahulu dengan Awal Surat Berikutnya.
Munasabah semacam ini menurut al-Suyuthi
(w. 910 H), terkadang tampak jelas, dan terkadang tampak tidak jelas.
Selanjutnya al-Suyuthi dalam al-Itqan
banyak memberikan contoh tentang Munasabah
antara awal uraian dengan akhir uraian suatu sura. Sebagai contoh misalnya
terlihat pada surat al-Mukminun, surat ini dimulai dengan peryataan: Qad aflaha al-mukminun, yaitu
peryataan hipotetik bahwa orang mukmin akan mendapat kemenangan, dan mereka
pasti menang. Di akhir surat di akhiri dengan peryataan la Yufli al-Kafirun, sebagai
isyarat bahwa orang kafir tidak akan mendapat kemenangan. Jelaslah bahwa dua
peryataan ini melukiskan perlawanan antara dua situasi, yaitu dua akhir dari
dua hal yang bertolak belakang.
شبح لله ما في السموات والارض وهو العزيز الحكيم
Terjemahnya:
“semua
yang berada di langit dan yang di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan
kebesaran Allah). Dan dialah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu”
Ayat
ini berMunasabah dengan akhir surat
sebelumnya “al-waqi’ah” yang memerintahkan bertasybih.
DAFTAR PUSTAKA
Adnan Amal, Taufik. Rekontruksi
Sejarah al-Qur’an. jakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
al Suyuthi, Jalal al Din. al Itqan Fi ‘Ulum al-Qur’an. Diterjemahkan
oleh Zubdah dengan judul samudra Ilmu-Ilmu al-Qur’an. Bandung: Mizan,
2002.
Ali Hasan, Al ‘Aridh . Sejarah Dan Methodologi
Tafsir. Jakarta: Rajawali Press, 2008.
ash-Shiddiq, Hasbi. Ilmu-Ilmu al-Qur’an . Jakarta: Bulan
Bintang, 1994.
Az-Zarkasyi¸ al- Burhan Fi ‘Ulum
al-Qur’an. Mesir: Maktabah
al-Qathirah ‘Isa al-Babil al-Halabiy, t.th.
Ma’luf, Louis. al Munjid fi al Lughah al
‘Ulum. Beirut : Dar al Syarqiy,
1973.
Qardhawi,
Yusuf. Berinteraksi Dengan Al-Qur’an.
Bandung: Mizan, 2005.
Salim, Abd. Mu’in .Metodologi Ilmu
Tafsir. Yokyakarta: Teras, 2006.
Syafe’I, Rahmat.
Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Yunus, Mahmud.
Kajian al-Qur’an di Indonesia. Bandung : Mizan’ 2001.
Comments
Post a Comment