KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS

KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS Pendahuluan latar belakang Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah dua sumber utama ajaran Islam. Oleh karena itu, keduanya selalu dijadikan landasan keyakinan, ritual, adat istiadat, etika, ekonomi, politik, peradaban dan seluruh aspek kehidupan umat Islam, baik yang sakral maupun duniawi, pada tataran ¥ abl minallah (vertikal) dan ¥ abl min al. -n ± s (horizontal).

cara melakukan MUNASABAH AYAT


Oleh : Zaharuddin, S.Th.I

Assalamu alaikum bang, ternyata salah satu cara atau tekhnik untuk bisa memahami makna isi kandungan ayat Al-Qur'an yaitu dengan melihat ayat lain yang ada kaitannya dengan tersebut bang. Sedikit mudah juga yach, tentunya ada pengetahuan pendukung seperti bahasa Arab, balagah dan gaya bahasa, sharaf dan bentuk katanya, dan lain-lain


sedikit ane tambahin aja yach dalam ulasan artikel tentang MUNASABAH AYAT Alqur'an

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Melalui salah satu ayatnya, al-Qur’an memperkenalkan diri sebagai hudan (petunjuk) bagi umat manusia, furqan, oleh karena fungsinya yang sangat strategis, maka al-Qur’an haruslah dipahami secara tepat dan benar. Upaya memahaminya melalui ilmu tafsir, salah satu pembahasannya adalah ilmu munasabah. [1]
Al-Quran Al-Karim memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat, salah satunya adalah bahwa Al-Quran adalah kitab yang keotentikannya di jamin oleh Allah, Dan dia adalah kitab yang selalu dipelihara. Sebagaimana firman Allah, (Qs. Al-Hijr-9) :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ (٩)
Terjemahnya :
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.



Kecermatan dalam mencari hubungan ayat dengan ayat atau hubungan surat dengan surat lainnya bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah. Hal ini banyak didasarkan pada penertiban surat dengan surat adalah tauqifiy yakni atas perintah Rasulullah Saw. bukan secara ijtihadiy.
Dalam setiap surat ada maudhu’ yang menonjol dan bersifat menyeluruh, yang atas maudhu’ itulah tersusun juz’iyah-juz’iyah surat yang memiliki hubungan antara satu dengan lainnya.
Adapun fungsi dan faedah munasabah adalah menguatkan bagian-bagian kalimat yang satu dan yang lainnya sehingga susunannya menjadi kukuh dan serasi bagaikan kondisi bangunan. Dalam kaitan ini, Abu Ja'far ibn Zubair, salah seorang guru dari Abu Hayyan, secara khusus menulis sebuah buku yang berjudul Al-Burhan pi Munasabah Tartib Suwar Al-Qur'an. Selain Abu Ja'far, Syaikh Burhan Al-Din Al-Biqa'i juga menulis sebuah buku yang berjudul Nuzhum Al-Durar fi Tanasub Al-Ayi wa Al-Suwar. Begitu juga dengan Imam Al-Suyuthi, beliau menulis sebuah buku kecil yang berjudul Tanasuq Al-Durar fi Tanasub Al-Suwar.
Ilmu tentang kaitan ayat dan surah atau ayat dan ayat (munasabah) termasuk ilmu yang mulia. Sayangnya, perhatian ulama tafsir teradapnya sangat sedikit. Barangkali hal itu disebabkan oleh keabstrakan dan kelembutan kandungannya. Adapun ulama yang paling banyak berbicara tentang tema tersebut adalah Imam Fakhr Al-Din Al-Razi. Dalam tafsirnya, ia berkata, "Kebanyakan hikmah yang terkandung dalam kelembutan atau keabstrakan al-Qur’an (latha'if Al-Qur'an) terdapat pada rahasia keteraturan (al-tartibiit) dan keterkaitan makna (al-rawabith)."
Syaikh 'Izzuddin ibn Abd Al-Salam mengatakan bahwa munasabah termasuk ilmu yang sangat bagus. Namun, untuk menentukan adanya keterkaitan kalimat yang indah, disyaratkan adanya aspek yang menyatu secara utuh, yang bagian awalnya betul-betul berkaitan dengan bagian akhirnya. Apabila aspek tersebut terjadi berdasarkan sebab yang berbeda-beda, keterkaitan (irtibath) itu pun tidak akan terbentuk. Siapa pun yang mencoba mengaitkan berbagai sebab tersebut, berarti ia telah memaksakan diri untuk melakukan sesuatu yang tidak semestinya sehingga hanya akan menghasilkan hubungan yang tidak akurat. Dengan demikian, tentu tidak akan ditemukan pembicaraan yang indah, apalagi yang terbaik dan terindah. Dalam hal ini, harus dipahami bahwa bagai manapun al-Qur’an turun selama lebih dari dua puluh tahun dengan memuat hukum yang berbeda kondisi itulah yang tidak mudah kita hubungkan sebagian dengan yang lain secara paksa.

B.  Rumusan Masalah
Dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan munasabah ayat dan sebagaimana yang dijelaskan di atas, maka penulis perlu mencantumkan masalah pokok yakni bagaimana bentuk  munasabah ayat dan surah yang dimaksudkan, dan akan dibahas sesuai dengan sub-sub masalah di bawah ini;
1.    Apa pengertian ilmu Al-Munasabah/Tanasubil Ayati Wassuwari ?
2.    Bagaimana pendapat Ulama disekitar ilmu munasabah ?
3.    Berapa macam-macam ilmu  munasabah dalam Quran?


BAB II
MUNASABAH AYAT DAN SURAH

A.  Pengertian
Munasabah secara etimologi berasal dari bahasa Arabنسب – ينسب – منسبت  yang  berarti  مشكلح (keserupaan) dan    مرقبح (kedekatan).[2] Sedangkan menurut Quraish Shihab Munasabah secara bahasa berasal dari kata Al-Munasabah berarti المشا كلة   dan لمقا ربة  yang artinya keserasian dan kedekatan.[3] Semakna dengan Mushakalah dan muraqabah yang berarti serupa dan berdekatan.[4]  Bisa juga dekat, serupa, mirip, dan rapat ( المنا سبة ) artinya dengan ( المقاربة )   yakni mendekatkannya dan menyesuaikannya.[5] Menurut Abdul Djalal Munasabah berarti persesuaian atau hubungan atau relevansi, yaitu hubungan persesuaian antara ayat/surah yang satu dengan ayat/ surah yang sebelum atau sesudahnya.[6]
Yang lainnya seperti ( النسيب   ) artinya ( القريب المتصل )   (dekat dan berkaitan). Misalnya, dua orang bersaudara dan anak paman. Ini terwujud bila kedua-duanya saling berdekatan dalam artian ada ikatan atau hubungan antara kedua-duanya. An-nasib juga berarti ar-rabith, yakni ikatan, pertalian, hubungan.[7]
Para ulama mufassirin berbeda pendapat dalam memberikan definisi ilmu munasabah, untuk jelasnya kita lihat pendapat di bawah ini :
1.    Ilmu munasabah (persesuaian) adalah keserasian, kedekatan hubungan, atau kedekatan bentuk. Berkenaan dengan ayat dan surah dalam al-Qur’an, kesesuaian (munasabah) merupakan kaitan makna yang menghubungkan keduanya, baik antara umum dan khusus, antara rasional ('aqli), fisikal (hissi), dan imajinasi (khaydli), ataupun dalam beberapa bentuk hubungan lainnya. Termasuk dalam hal ini adalah hubungan yang didasarkan pada kausalitas, seperti antara sebab dan akibat (musabbab), sifat (illah) dan yang disifati (ma'lul), antara dua hal yang mirip (al-nazhirain) dan dua hal kontradiktif (al-dhiddain), dan yang sejenisnya.[8]
2.   Aksioma yang diperpegangi dalam menerangkan macam-macam munasabah ayat dan surat tergantung pada tamtsul atau tasyabuh antara maudhu’-maudhu’nya. Jika munasabah itu terjadi pada urusan yang bersatu dan berkaitan awal dan akhirnya, maka itulah munasabah yang dapat diterima akal  dan dapat dipahami. Seperti yang dikatakan oleh al-Syaibaniy sebagai berikut:

المنا سبة امر معقول اذا عرض علي العقول تلقته با القبول.
Terjemahnya :
Munasabah adalah sesuatu urusan yang dapat dipahami, apabila dia dikemukakan kepada akal, niscaya akal dapat menerimanya. [9]

3.   Munasabah adalah kemiripan-kemiripan yang terdapat pada hal-hal tertentu dalam al-Qur’an baik surat maupun ayat-ayatnya yang menghubungkan uraian satu dengan yang lainnya.
Dalam hal ini, munasabah bisa berarti suatu pengetahuan yang diperoleh secara 'aqli dan bukan diperoleh melalui tauqifi. Dengan demikian, akallah yang berusaha mencari dan menemukan hubungan-hubungan, pertalian, atau keserupaan antara sesuatu itu.
4.   Az-Zarkasyi mengatakan munasabah adalah perkara yang menyangkut tafsiran akal. Bila sesuatu muncul dan disampaikan berdasarkan akal, ia akan diterima. Munasabah al-ayat terdiri dari hubungan antara permulaan dan penutup ayat dikembalikan kepada arti yang terkait di antaranya. Kaitan itu bisa berupa 'am atau khas, 'aqli atau perasaan atau khayali. Bisa juga berupa faktor pemikiran, seperti (al-sabab wal musabba, al-Shilah wa al-maushul) dua hal yang berlawanan, atau ia berupa faktor luar, seperti yang tersusun menurut urutan peristiwa.[10]
Dari beberapa pengertian di atas, penulis memahami bahwa Munasabah ialah segi-segi hubungan antara satu kalimat dengan kalimat lain dalam 1 ayat, antara 1 ayat dengan ayat lain dalam banyak ayat atau antara satu surah dengan surah yang lain.[11] Quraish Shihab menyatakan bahwa Munasabah adalah keserupaan dan kedekatan di antara berbagai ayat, surah dan kalimat yang mengakibatkan adanya hubungan.[12] Makna tersebut dapat dipahami bahwa apabila suatu ayat atau surah sulit ditangkap maknanya secara utuh, maka menurut metode Munasabah ini mungkin dapat dicari penjelasannya di ayat atau surat lain yang punya kesamaan atau kemiripan.[13]
Ibnu Arabi sebagaimana dikutip oleh Imam Al-Sayuti mendefinisikan Munasabah itu kepada,”keterkaitan ayat-ayat Al-Qur’an antara sebagiannya dengan sebagian yang lain, sehingga ia terlihat sebagai suatu ungkapan yang rapi dan sistematis.[14] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Munasabah ialah ilmu yang membahas tentang keterkaitan atau keserasian ayat-ayat Al-Qur’an antara 1 dengan yang lain.[15] Ilmu ini menjelaskan tentang berbagai hubungan di dalam al-Qur’an yang meliputi:
1.    Hubungan antara satu surah dengan surah sebelumnya, satu surah menjelaskan surah sebelumnya.
2.    Hubungan antara nama surah dengan isi atau tujuan surah
3.    Hubungan antara fawatih al-suwar (ayat pertama yang terdiri dari beberapa huruf).
4.    Hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surah.
5.    Hubungan antara satu ayat dengan ayat yang lain dalam satu surah.
6.    Hubungan antara kalimat dengan kalimat yang lain dalam satu ayat.
7.    Hubungan antara fashilah dengan isi ayat.
8.    Hubungan antara penutup surah dengan awal surah berikutnya.[16]
Tentang adanya hubungan tersebut, maka dapat diperhatikan lebih jelas bahwa ayat-ayat yang terputus tanpa adanya kata penghubung (pengikat) mempunyai Munasabah / persesuaian antara 1 dengan yang lainnya.[17]
Ilmu ini juga menjelaskan segi-segi hubungan antara beberapa ayat/beberapa surah al-Qur’an, apakah hubungan itu berupa ikatan antara ‘am (umum) dan khusus, atau antara abstrak dan konkret, atau antara sebab-akibat, atau antara illat dan ma’lulnya ataukah antara rasional dan irrasional atau bahkan antara 2 hal yang kontradiksi.[18]
Adapun fungsi dan faedah munasabah adalah menguatkan bagian-bagian kalimat yang satu dan yang lainnya sehingga susunannya menjadi kukuh dan serasi bagaikan kondisi bangunan.[19]
Munasabah adalah salah satu bagian pembahasan 'ulum al-Qur’an. Pembahasan tentang munasabah pertama kali diperkenalkan oleh seorang alim bernama Al-Imam Abu Bakar An-Naisabury atau Abu Bakr 'Abdullah ibn Muhammad Ziyad Al-Naisavury (wafat tahun 324 H).
Dalam pertumbuhannya kemudian, terdapat dua aliran tentang munasabah ini. Pertama, pihak yang mengatakan secara pasti adanya pertalian yang erat antara surat dengan surat dan antara ayat dengan ayat. Pihak ini diwakili oleh As-Syaikh 'Izz Ad-Din Ibn 'Abd As-Salam atau 'Abd Al-'Aziz ibn, Abd As-Salam (577-600 H.).
Menurut aliran ini, munasabah adalah ilmu yang mensyaratkan bahwa baiknya kaitan pembicaraan (  ارتباط الكلام )  itu antara permulaan dan akhirnya terkait menjadi satu. Apabila hubungan itu terjadi karena sebab yang berbeda-beda, tidaklah diisyaratkan adanya pertalian salah satunya dengan yang lain.
'Izz Ad-Din memberikan alasan bahwa al-Qur’an diturunkan pada masa dua puluh tahun lebih. al-Qur’an berisikan berbagai hukum dengan sebab-sebab yang berbeda pula. Lantas, apakah lalu tidak ada peraturan satu sama lain?
la memberikan alasan selanjutnya dengan mengajukan pertanyaan apakah artinya Tuhan mencipta hukum dan makhluk-Nya; Perbedaan 'illah dan sebab, upaya para mufti dan penguasa, serta upaya manusia tentang hal-hal yang disepakati, diperselisih-kan, dan dipertentangkan. Tentunya, tidak akan ada orang yang mau mencari-cari hubungan itu apabila tidak ada artinya.
Kedua, pihak yang menyatakan bahwa tidak perlu ada munasabah ayat, sebab peristiwa-peristiwa tersebut saling berlainan. al-Qur’an disusun dan diturunkan serta diberi hikmah secara tauqifi dan tersusun atas petunjuk Allah SWT.[20]
  Terlepas dari kedua pendapat di atas, munasabah telah merupakan bagian tak terpisahkan dari 'ulum al-Qur’an. Apakah adanya munasabah itu ijtihadi atau tauqifi barangkali akan dapat dijawab ketika memperhatikan telaah tentang kaitan ayat dengan ayat atau surat dengan surat.

B.  Pendapat-Pendapat Ulama di Sekitar Munasabah
Para ulama sepakat bahwa tertib ayat-ayat dalam Al-Qura>n adalah taukifi, artinya penetapan dari Rasul. Sementara tertib surah dalam Al-Qura>n masih terjadi perbedaan pendapat.
Al-Qhurtubi meriwayatkan pernyataan Ibn Al-T{ibb bahwa tertib surat Al-Qura>n di perselisihkan. Dalam hal ini ada tiga golongan:
a.    Tertib surat berdasarkan ijtihad para sahabat. Pendapat ini diikuti oleh jumhur ulama seperti Imam Malik, Al-Qhadi Abu Bakr At-Thibb. Beberapa alasan mereka adalah sebagai berikut:
1)   Tidak adanya petunjuk langsung dari Rasulullah tentang tertib surah dalam Al-Qura>n dan sahabat pernah mendengar Rasul membaca Al-Qura>n berbeda dengan susunan surah sekarang, hal ini di buktikan dengan munculnya empat buah mushaf dari kalangan sahabat yang berbeda susunannya antara yang satu dengan yang lainnya. Yaitu mushaf Ali, mushaf ‘Ubay, mushaf Ibn Mas’ud, mushaf Ibnu Abbas.
2)   Mushaf yang ada pada catatan sahabat berbeda-beda ini menunjukkan bahwa susunan surah tidak ada petunjuk resmi dari Rasul.[21]
3)   Alasan lain adalah riwayat Abu Muhammad Al-Quraysi bahwa Umar memerintahkan agar mengurutkan surat At-Tiwal. Akan tetapi, riwayat ini diberi catatan kaki oleh Al-Sayu>t}y agar diteliti kembali.[22]
b.    Susunan surat berdasarkan petunjuk Rasulullah Saw (taukifi). Di antara ulama yang  yang berpendapat demikian adalah Al-Qadhi Abu Bakr Al-Anbari, Ibn Hajar, Al-Zarkasyi dan Al-Sayuthi. Alasan yang dikemukakan sebagai berikut :
1)   Ijma’ sahabat terhadap mushaf Us\man. Ijma’ ini tak akan mungkin terjadi kecuali kalau tertib itu tauqifiy, seandainya bersifat ijtihadiy, niscaya pemilik mushaf lainnya akan berpegang teguh pada mushafnya.[23]
2)   Hadist tentang hijzb Al-Qura>n yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Dawud dari Huzaifah Al-Syaqafi.[24] Dengan meneliti pembagian yang dikemukakan hadis tersebut didapatkan pembagian Al-Qura>n dalam tujuh bagian yang seimbang.
3)   Hadis Ibn Abba>s tentang alasan penyatuan surat Al-Taubah dan Al-Anfa>l. Ibn Hajar menyatakan bahwa kebijakan tersebut menunjukkan bahwa susunan Al-Qura>n taukifi, hanya karna Nabi tidak menjelaskan kepada Usman, maka surat Al-Taubat disatukan dengan surah Al-Anfal. Selanjutnya Ibn Hajar menyatakan dalam mushaf Ibn Mas’ud terdapat basmalah di awal surat Al-Taubah, tetapi tidak diambil oleh lembaga.
4)   Nabi sering membaca Al-Qura>n dengan tertib surat yang ada pada sekarang.[25]
c.    Tertib surat sebagian taukifi dan sebagian ijtihadiy. Di antara yang berpendapat demikian adalah Al-Baihaqi. Menurutnya: “seluruh surat susunannya berdasarkan tauqif  Rasul kecuali surat Baraah dan Al-Anfal”.[26] Al-Qhadi Abu Muhammad Ibn Athiyah termasuk golongan ini.[27]
Alasan lainnya yaitu ternyata tidak semua nama-nama surah itu diberikan oleh Allah, tapi sebagiannya diberikan oleh Nabi dan bahkan ada yang diberikan oleh para sahabat. Adapun yang diberikan oleh Allah adalah misalnya surat Al-Baqarah, At-Taubah, Ali Imran dll. Nama surah yang diberikan oleh Nabi adalah yang Nabi sendiri menyebutkan surah tersebut, seperti surah Thaha dan Yasin. Oleh para sahabat seperti Al-Baro’ah, yaitu surat yang di awali dengan lafal basmalah.

C.  Macam-Macam Munasabah
Jika dalam mengkaji Munasabah antar surat dan ayat, ulama berangkat dari pertanyaan tentang tujuan di balik penempatan satu ayat dengan ayat lain, dan penempatan surat dengan surat lain, maka wajar apabila mereka berusaha menciptakan hubungan – hubungan umum antar surat, pertama-tama dari sisi isi.
Pada garis besarnya Munasabah itu menyangkut pada dua hal, yaitu hubungan antara ayat dengan dan hubungan surat dengan surat.
1.    Munasabah antara surah dengan surah.
Keserasian hubungan atau Munasabah antar surah ini pada hakikatnya memperlihatkan kaitan yang erat dari suatu surah dengan surah lainnya. Bentuk Munasabah yang tercermin pada masing-masing surah, kelihatannya memperlihatkan kesatuan tema. Salah satunya memuat tema sentral, sedangkan surah-surah yang lainnya menguraikan sub-sub tema berikut perinciannya baik secara umum maupun secara parsial. salah satu contoh yang dapat diajukan di sini adalah Munasabah yang dapat ditarik pada tiga surah beruntun, masing-masing Q.S al-Fatihah. (1), Q. S al-Baqarah dan Q. S Al-Imran.
Satu surah berfungsi menjelaskan surah sebelumnya, misalnya di dalam surah al-Fatihah:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6)
Terjemahnya :
Tunjukan kami ke jalan yang lurus.
Lalu dijelaskan di dalam surah al-Baqarah, bahwa jalan yang lurus itu ialah mengikuti petunjuk al-Qur’an, sebagaimana disebutkan:
ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (2)
Terjemahnya:
Kitab ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa.

2.    Munasabah antara satu surat dengan surat sebelumnya.
Untuk mencari Munasabah antara satu surat dengan surat sebelumnya, al-Suyuthi menyimpulkan bahwa satu surat berfungsi menerangkan atau menyempurkan ungkapan pada surat sebelumnya. Sebagai contoh dalam surat al-Baqarah [2] ayat 152 dan 182:

الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (156)
Terjemahnya:
(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun"

فَمَنْ خَافَ مِنْ مُوصٍ جَنَفًا أَوْ إِثْمًا فَأَصْلَحَ بَيْنَهُمْ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (182)
Terjemahnya:
(Akan tetapi) barang siapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Ayat-ayat dari surat ini menerangkan dan menyempurnakan dari surat sebelumnya al-Fatihah [1] ayat 2:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (1) الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (2)

Begitu juga ayat 21-22 surat al-Baqarah [2]:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ . الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ .
Merupakan penyempurnaan dari ungkapan  (الْعَالَمِينَ رَبِّ )  dalam surat al-fatihah.
3.    Munasabah Antara Nama Surat Dengan Kandungan Isinya
Nama suatu surah pada dasarnya bersifat tawqifi. Namun beberapa bukti menunjukkan bahwa suatu surah terkadang memiliki satu nama dan terkadang dua nama atau lebih. Tampaknya ada rahasia dibalik nama tersebu. Para ahli tafsir sebagaimana yang dikemukan oleh sayuthi melihat adanya keterkaitan antara nama-nama surah dengan isi atau uraian yang dimuat dalam suatu surah. Kaitan antara nama surah dengan isi ini dapat di indentifikasikan sebagai berikut:
a)    Nama diambil dari urgensi isi serta kedudukan surah. Nama surah al-fatihah disebut dengan umm al-kitab karena urgensinya dan disebut dengan al-Fatihah karena kedudukannya.
b)   Nama diambil dari perumpamaan, peristiwa, kisah atau peran itu syarat dengan ide. Di sini dapat disebut nama-nama surah: al-‘Ankabut, al-Fath, al-Fil, al-Lahab dan sebagainya.
c)    Nama sebagai cerminan isi pokoknya, misalnya al-ikhlas karena mengandung ide pokok keimanan yang paling mendalam serta kepasrahan; al-Mulk, mengandung ide pokok hakikat kekuasaan dan sebagainya.
4.    Munasabah Antara Nama Surah Dengan Kandungan Isinya.
Nama suatu surah pada dasarnya bersifat tawqifi. Namun beberapa bukti menunjukkan bahwa suatu surah terkadang memiliki satu nama dan terkadang dua nama atau lebih. Tampaknya ada rahasia dibalik nama tersebut. Para ahli tafsir sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Sayuthi melihat adanya keterkaitan antara nama-nama surah dengan isi atau uraian yang dimuat dalam suatu surah. Kaitan antara nama surah dengan isi ini dapat di indentifikasikan sebagai berikut :
a.    Nama diambil dari urgensi isi serta kedudukan surah. Nama surah al-Fatihah disebut dengan umm al-Kitab karena urgensinya dan disebut dengan al-Fatihah karena kedudukannya.
b.    Nama diambil dari perumpamaan, peristiwa, kisah atau peran yang menonjol, yang dipparkan pada rangkaian ayat-ayatnya; sementara di dalam perumpamaan, peristiwa, kisah atau peran itu sarat dengan ide. Di sini dapat disebut nama-nama surah : al-‘Ankabut, al-Fath, al-Fil, al-Lahab dan sebagainya.
c.    Nama sebagai cerminan isi pokoknya, misalnya al-ikhlas karena mengandung ide pokok keimanan yang paling mendalam serta kepasrahan; al-Mulk mengandung ide pokok hakikat kekuasaan dan sebagainya.
d.   Nama diambil dari tema spesifik untuk dijadikan acuan bagi ayat-ayat lain yang tersebar diberbagai surah. Contoh al-Hajj ( dengan spesifik tema haji ), al-Nisa ( dengan spesifik tema tentang tatanan kehidupan rumah tangga). Kata Nisa yang berarti kaum wanita adalah lambang keharmonisan rumah tangga.
e.    Nama diambil dari huruf-huruf tertentu yang terletak dipermulaan surah, sekaligus untuk menuntut perhatian khusus terhadap ayat-ayat di dalamnya yang memakai huruf itu. Contohnya : T{a>ha>, Ya>sin, S{a>d dan Qa>f.
5.    Munasabah Antara Satu Kalimat Lainnya Dalam Satu Ayat.
Hubungan antara ayat dengan ayat al-Qur’an terbagi dalam dua macam. Pertama, hubungan yang sudah jelas antara kalimat terdahulu dengan kalimat kemudian, atau akhir kalimat dengan awal kalimat berikutnya, atau masalah yang terdahulu dengan masalah yang   dibahas   kemudian.   Hubungan   ini   dapat   berbentuk     تفسير, تشديد , اعتراض.
Kedua, hubungan yang belum jelas antara ayat dengan ayat atau kalimat dengan kalimat. Hubungan demikian terdiri dari dua macam lagi, yaitu :                  ( لا تكون معطوفة ) dan (       تكون معطوف ).
a)    Ma'thufah
Secara umum dapat dikatakan bahwa adanya huruf 'athaf ini mengisyaratkan adanya hubungan pembicaraan. Ini dapat dilihat. Misalnya dalam surat Al-Baqarah (2): 245: (  يقبض ويبسط  والله )  atau dalam surat Al-Hadid (57): 4:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الأرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِير
Terjemahnya:           
 Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya . dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
Namun demikian, ayat-ayat yang ma'thuf itu dapat diteliti melalui bentuk susunan berikut:
1)   المضا دة      (Perlawanan/bertolak belakang antara suatu kata dengan kata lain).
Misalnya kata  الرحمةdisebut setelah العذاب kata  الرغبة sesudah الرهبة menyebut janji dan ancaman sesudah me­nyebut hukum-hukum. Hubungan seperti ini banyak terdapat dalam surat Al-Baqarah, An-Nisa, dan Al-Maidah.
2)   الاستطراد (pindah ke kata lain yang ada hubungannya atau penjelasan lebih lanjut).
Misalnya, kaitan antara   الاهلة   dengan memasuki rumah dari belakang dalam ayat 189 surat Al-Baqarah (2). Pada musim haji, kaum Anshar mempunyai kebiasaan tidak memasuki pintu rumah dari depan. Sebelum itu mereka menanyakan الاهلة Lalu ayat ini menjelaskan bahwa yang dimaksud البر itu adalah takwa kepada Allah dengan men-jalankan apa yang Allah tentukan dalam berhaji. Mereka telah melupakan masalah الاهلة tadi karena beralih ke soal memasuki rumah dari belakang dalam kaitannya dengan ibadah haji. Masalah ini berkaitan pula dengan pertanyaan mereka tentang berwudhu dengan air laut yang diceritakan dalam hadis riwayat Ibn Majah dari Abu Hurairah.
3)   Tamsil dari keadaan
Misalnya, ayat 189 surat Al-Baqarah (2) yang mengisahkan mereka yang mendatangi rumah dari belakang pada musim haji. Tindakan ini bukan merupakan kebaikan. Oleh karena itu, masuklah ke rumah melalui pintunya. Memasuki rumah dari pintu belakang bukan dari depan ini merupakan perumpamaan bagi mereka yang suka membolak-balikkan pertanyaan. Pertanyaan demikian tidak baik. Dengan kata lain, jangan membolak-balikan pertanyaan.
Atau tamtsil yang disodorkan dalam surat Al-Isra' [17] ayat 1 dengan 2 dan 3. Peristiwa Isra Nabi Muhammad SAW. dari Mekah ke Palestina sebanding juga dengan Isra Nabi Musa a.s. dari Mesir ke Palestina. Ayat itu dihubungkan dengan ayat 3 yang berisi kisah Nuh; bahwa keturunannya wajib meniru Nuh a.s. sebagai hamba yang bersyukur. Ayat tersebut dihubungkan lagi dengan ayat 8-9 yang menyebutkan barang siapa berbuat baik atau jahat akan mendapatkan balasan sesuai janji Allah.[28]
b)   Tidak Ada Ma'thufah
Dalam hal tidak ada ma'thufah dapat dicari hubungan ma'nawiyah-nya, seperti hubungan sebab akibat. Ada tiga bentuk hubungan yang menandai adanya hubungan ayat dengan ayat atau hubungan kalimat dengan kalimat.[29]
1)    التنظير     (berhampiran/berserupaan)
Misalnya ayat 4 dan 5 surat Al-Anfal [8]:
أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ.
كَمَا أَخْرَجَكَ رَبُّكَ مِنْ بَيْتِكَ بِالْحَقِّ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنَ الْمُؤْمِنِينَ لَكَارِهُونَ
Huruf al-kaf     ( ك )   pada ayat 5 berfungsi sebagai pengingat dan sifat bagi fi'il yang bersembunyi. Hubungan itu tampak dari jiwa kalimat itu. Maksud ayat itu, Allah menyuruh untuk mengerjakan urusan harta rampasan, seperti yang telah kalian lakukan ketika Perang Badar meskipun kaummu membenci cara demikian itu. Allah menurunkan ayat ini agar kaum Nabi Muhammad SAW. mengingat nikmat yang telah diberikan Allah dengan diutusnya rasul dari kalangan mereka (surat Al-Baqarah [2]: 151)   كما ارسلنا فيكم   , sebagaimana juga kaummu membencimu (Rasul) ketika engkau mengajak mereka keluar dari rumah untuk berjihad. Hubungan ini terjalin dengan ayat-ayat yang berada jauh sebelumnya; bukan seperti nazhiran yang ma'thufah.
Misalnya, ayat 16 surat Al-Qiyamah (75) dan yang mengandung larangan tergesa-gesa untuk lidah dalam membicarakan hari kiamat.
2)   الاستطراد  (pindah ke perkataan lain yang erat kaitan)
Misalnya, surat Al-A'raf [7]: 26 tentang pake" lebih baik. Allah menyebutkan pakaian itu untuk mengingatkan manusia bahwa pakaian penutup aurat itu lebih baik. Pakaian berfungsi sebagai alat untuk memperbagus apa yang Allah ciptakan. Pakaian merupakan penutup aurat dan kebejatan karena membuka aurat adalah hal yang jelek dan bejat. Sedangkan penutup aurat adalah pintu takwa.
3)   المضا دة (Perlawanan)
Misalnya, surat Al-Baqarah [2]: 6:

¨bÎ) šúïÏ%©!$# (#rãxÿx. íä!#uqy óOÎgøŠn=tæ öNßgs?öxRr&uä ÷Pr& öNs9 öNèdöÉZè? Ÿw tbqãZÏB÷sムÇÏÈ
 
Allah tidak akan memberi petunjuk kepada mereka yang kafir itu. Ayat ini berlawanan dengan ayat-ayat sebelumnya yang menyebutkan tentang kitab, orang mukmin, dan petunjuk. Hal ini berkaitan dengan ayat 23 surat Al-Baqarah.
bÎ)ur öNçFZà2 Îû 5=÷ƒu $£JÏiB $uZø9¨tR 4n?tã $tRÏö7tãù ....
Adapun hikmahnya adalah agar mukmin merindukan dan  memantapkan iman berdasarkan petunjuk Allah SWT :

التثويق والثبوت علي الاول
6.    Munasabah Antara Nama Surat Dengan Tujuan Turunya
Al-Biqai menjelaskan bahwa nama-nama surat al-Qur’an merupakan “inti pembahasan surat tersebut serta penjelasan menyankut tujuan”. Setiap surat mempunyai tema pembicaraan yang sangat menonjol, dan itu tercermin dalam nama-nama masing-masing surat, seperti surat al-Baqarah, surat yusuf, surat an-Naml, dab surat al-Jinn. Cerita tentang lembu betina dalam surat al-Baqarah umpamanya merupakan inti pembicaraan surat tersebut, yaitu kekuasaan Allah membangkitkan orang mati. Surat Yusuf mengisahkan Nabi Yusuf a.a.s. yang dibuang ke sumur oleh saudara-saudaranya, kemudian setelah menjadi orang orang istana ia difitnah memperkosa Zulaekha, permasuri penguasa Mesir, padahal justru wanita itu yang berusaha memaksa Yusuf melakukan pembuatan tidak terpuji. Surat al-Jinn yang mengisahkan bahwa Jin adalah mahluk yang juga sering mendengarkan bacaan al-Qur’an, dsb. Singkat cerita semua nama surat mencerminkan isi dari surat itu.
7.    Munasabah Antara Ayat Dengan Ayat Dalam Satu Surah.
Untuk melihat Munasabah semacam ini perlu diketahui bahwa ini didaftarkan pada pandangan datar yaitu meskipun dalam satu surah tersebar sejumlah ayat, namun pada hakikatnya semua ayat itu tersusun dengan tertib dengan ikatan yang padu sehingga membentuk fikiran serta jalinan informasi yang sistematis. Untuk menyebut sebuah contoh, ayat-ayat di awal Q.S al-Baqarah 1–20 memberikan sistematika informasi tentang keimanan, kekufuran, serta kemunafikan.
Untuk mengidentifikasikan ketiga tipologi iman, kafir dan nifaq, dapat ditarik hubungan ayat-ayat tersebut.
Misalnya surah al-Mu’minun dimulai dengan :
قد أفلح المؤمنون
Terjemahnya:
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman”.

Kemudian dibagian akhir surah ini ditemukan kalimat :

انه لا يفلح الكافرون.
Terjemahnya:
 “Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tidak beruntung”.

8.    Munasabah Antara Penutup Ayat Dengan Isi Ayat Itu Sendiri.
Munasabah pada bagian ini, Imam al-Sayuthi menyebut empat bentuk yaitu al-Tamkin ( mengukuhkan isi ayat ), al-Tashdir ( memberikan sandaran isi ayat pada sumbernya ), al-Tawsyih ( mempertajam relevansi makna ) dan al-Ighal ( tambahan penjelasan ).
Sebagai contoh :
الخالقين احسن الله فتبارك mengukuhkan علقة النطفة  خلقنا ثم bahkan mengukuhkan hubungan dengan dua ayat sebelumnya ( al-Mukminun : 12 –14 ). Kalimat-kalimat : يتفكرون لقوم  , يعقلون لقوم, يفقهون لقوم selalu menjadi sandaran isi ayat. Kata “halim” sangat erat hubungannya dengan ‘ibadat, sementara “rasyid” kuat hubungannya dengan al-amwal seperti bunyi ayat Q.S Hud : 87 berikut :
Sedangkan bentuk al-Ighal dapat dijumpai pada Q.S al-Naml ( 27 ) : 80 :
إِنَّكَ لا تُسْمِعُ الْمَوْتَى وَلا تُسْمِعُ الصُّمَّ الدُّعَاءَ إِذَا وَلَّوْا مُدْبِرِينَ
Kata “Wallaw” yang artinya ‘bila mereka berpaling’ berfungsi sebagai penjelasan terhadap arti ( orang tuli ).

9.    Munasabah Antara Awal Uraian Surah Dengan Akhir Uraian Surah.
Salah satu rahasia keajaiban al-Qur’an adalah adanya keserasian serta hubungan yang erat antara awal uraian suatu surat dengan akhir uraiannya. Sebagai contoh, dikemukakan oleh al-Zamakhsyari demikian juga al-Kirmani bahwa Q.S al-Mu’minun diawali dengan “قد افلح المؤمنون “ ( respek Tuhan kepada orang-orang Mukmin ) dan diakhiri dengan “انه لايفلح الكافرين “ ( sama sekali Allah tidak menaruh respek terhadap orang-orang Kafir ). Dalam Q.S al-Qashas, al-Sayuthi melihat adanya Munasabah antara pembicaraan tentang perjuangan Nabi Musa menghadapi Fir’aun seperti tergambar pada awal surah dengan Nabi Muhammad Saw yang menghadapi tekanan kaumnya seperti tergambar pada situasi yang dihadapi oleh Musa As dan Muhammad Saw, serta jaminan Allah bahwa mereka akan memperoleh kemenangan.

10.     Munasabah Antara Penutup Suatu Surah Dengan Awal Surah Berikutnya.
Misalnya akhir surah al-Waqi’ah / 96 :
إِذَا وَقَعَتِ الْوَاقِعَةُ
 “Maka bertasbihlah dengan ( menyebut ) nama Tuhanmu Yang Maha Besar”.
Lalu surah berikutnya, yakni surah al-Hadid / 57 ayat 1 :
سَبَّحَ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

11.    Munasabah Antar Ayat Tentang Satu Tema.
Munasabah antar ayat tentang satu tema ini, sebagaimana dijelaskan oleh al-Sayuthi, pertama-tama dirintis oleh al-Kisa’I dan al-Sakhawi. Sementara al-Kirmani menggunakan metodologi Munasabah dalam membahas mutasyabih al-Qur’an dengan karyanya yang berjudul al-Burhan fi Mutasyabih al-Qur’an. Karya yang dinilainya paling bagus adalah Durrah al-Tanzil wa Gharrat al-Ta’wil oleh Abu ‘Abd Allah al-Razi dan Malak al-Ta’wil oleh Abu Ja’far Ibn al-Zubair.
Munasabah ini sebagai contoh dapat dikemukakan tentang tema qiwamah ( tegaknya suatu kepemimpinan ). Paling tidak terdapat dua ayat yang saling berMunasabah, yakni Q.S al-Nisa ( 4 ) : 34 :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”

Dan Q.S al-Mujadalah ( 58 ) : 11 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا
“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah,.....
Tegaknya qiwamah ( konteks parsialnya qiwamat al-rijal ‘ala al-nisa ) erat sekali kaitannya dengan faktor Ilmu pengetahuan / teknologi dan faktor ekonomi. Q.S al-Nisa menunjuk kata kunci “Bima Fadhdhala” dan “al-Ilm” . Antara “Bima fadhdhala” dengan “yarfa’” terdapat kaitan dan keserasian arti dalam kata kunci nilai lebih yang muncul karena faktor ‘Ilmu.
Munasabah al-Qur’an diketahui berdasarkan ijtihad, bukan melalui petunjuk Nabi ( tawqifi ). Setiap orang bisa saja menghubung-hubungkan antara berbagai hal dalam Kitab al-Qur’an.
12.    Munasabah Penutup Surat Terdahulu dengan Awal Surat Berikutnya.
Munasabah semacam ini menurut al-Suyuthi (w. 910 H), terkadang tampak jelas, dan terkadang tampak tidak jelas. Selanjutnya al-Suyuthi dalam al-Itqan banyak memberikan contoh tentang Munasabah antara awal uraian dengan akhir uraian suatu sura. Sebagai contoh misalnya terlihat pada surat al-Mukminun, surat ini dimulai dengan peryataan: Qad aflaha al-mukminun, yaitu peryataan hipotetik bahwa orang mukmin akan mendapat kemenangan, dan mereka pasti menang. Di akhir surat di akhiri dengan peryataan la Yufli al-Kafirun, sebagai isyarat bahwa orang kafir tidak akan mendapat kemenangan. Jelaslah bahwa dua peryataan ini melukiskan perlawanan antara dua situasi, yaitu dua akhir dari dua hal yang bertolak belakang.
شبح لله ما في السموات والارض وهو العزيز الحكيم
Terjemahnya:
“semua yang berada di langit dan yang di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan dialah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu”
Ayat ini berMunasabah dengan akhir surat sebelumnya “al-waqi’ah” yang memerintahkan bertasybih.


DAFTAR PUSTAKA

Adnan Amal, Taufik.  Rekontruksi Sejarah al-Qur’an.  jakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

al Suyuthi, Jalal al Din.  al Itqan Fi ‘Ulum al-Qur’an. Diterjemahkan oleh Zubdah dengan judul samudra Ilmu-Ilmu al-Qur’an. Bandung: Mizan, 2002.

Ali Hasan, Al ‘Aridh . Sejarah Dan Methodologi Tafsir. Jakarta: Rajawali Press, 2008.

al-Shaleh, Shubhi.  Mabahis fi “Ulum al-Qur’an . Qairo: Dar al’ Ilmiy alMalayin, 1977.

ash-Shiddiq, Hasbi.   Ilmu-Ilmu al-Qur’an . Jakarta: Bulan Bintang, 1994.

Az-Zarkasyi¸ al- Burhan Fi ‘Ulum al-Qur’an.  Mesir: Maktabah al-Qathirah ‘Isa al-Babil al-Halabiy, t.th.

Ma’luf, Louis. al Munjid fi al Lughah al ‘Ulum.  Beirut : Dar al Syarqiy, 1973.

Qardhawi,  Yusuf. Berinteraksi Dengan Al-Qur’an.  Bandung: Mizan, 2005.

Salim, Abd. Mu’in .Metodologi Ilmu Tafsir.  Yokyakarta: Teras, 2006.

Syafe’I, Rahmat.  Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia, 2004.

Yunus, Mahmud.  Kajian al-Qur’an di Indonesia. Bandung : Mizan’ 2001.



[1] Abd. Mu’in Salim, Metodologi Ilmu Tafsir (yokyakarta: Teras, 2006), h.39.
[2] Badr al-Din al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Ma’rifah li al-Tiba’ah wa al-Nasyr. 1972),  h. 35-36.
[3] M. Quraish Shihab, Wawasan Alquran (Bandung: Mizan. 1996), h. 319.
[4] Kadar M. Yusuf, Studi Al-Qur’an (Jakarta:Amzah., 2009) , h. 101.
[5] Al ‘Aridh Ali Hasan, Sejarah Dan Methodologi Tafsir (Jakarta: Rajawali Press, 2008),       h. 76.
[6] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an (Surabaya: Dunia Ilmu, 2008),  h. 154.
[7] Louis Ma’luf, al Munjid fi al Lughah al ‘Ulum  (Beirut : Dar al Syarqiy, 1973), h. 803.
[8] Jalal al Din al Suyuthi,  al Itqan Fi ‘Ulum al-Qur’an. Diterjemahkan oleh Zubdah dengan judul samudra Ilmu-Ilmu al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2002), h. 225.
[9] Hasbi ash-Shiddiq,  Ilmu-Ilmu al-Qur’an (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 41.
[10] Lihat selengkapnya Rahmat Syafe’I, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 37-38.
[11] Manna Khalil al-Qattan, Studi ilmu-ilmu Qur’an (Jakarta: Mitra Kertajaya Indonesia, 2007), h. 138.
[12] M. Quraish Shihab, loc. cit.
[13] Abu Anwar, Ulumul Qur’an Suatu Pengantar (Jakarta: Amzah. 2009), h. 61.
[14] Al-Suyuti, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an. Jilid II (Beirut: Al-Maktabah Al-Saqafiyyah, t.th.), h. 108.
[15] Kadar M.Yusuf, loc. cit.
[16] Quraish Shihab,dkk,  Sejarah dan Ulum Al-Qur’an , (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. 75-76.
[17] Husni Thamrin, Muhimmah Ulumul Qur’an,  (Semarang, t.p., 1982), h. 46.
[18] Abdul Djalal, loc. cit.
[19] Lihat selengkapnya Rahmat Syafe’I, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 226.
[20] Yusuf Qardhawi, Berinteraksi Dengan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2005), h. 186.
[21] Dikutip dalam bukunya Abu Anwar, Ulum al-Qur’a>n: Sebuah Pengantar , (Malang ; Mizan, 2003) h. 63.,
[22] Ahmad Syafe’i, Tafsir Sebuah Pengantar (Bandung; Pustaka Setia, 1999), h. 17.
[23] Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Qarh al-Qurtubiy Abu Abdillah , al-Jami’u li Ahkam Al-Qur’an, (T.t, t.p, t.th), h. 59-60.
[24] Al-Suyuti, ibid., h. 63.
[25] Abu Anwar, op. cit., h. 62.
[26] Al-Suyu>ty, op. cit., h. 65.
[27] Al-Zarkasyi, op. cit., h. 260.
[28] Mzahmud Yunus, Kajian al-Qur’an di Indonesia (Bandung : Mizan’ 2001), h. 43.
[29] Lihat selengkapnya Taufik Adnan Amal, Rekontruksi Sejarah al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 98.

Comments

BERITA TERBARU !!

Popular posts from this blog

BIL MA'TSUR ( TAFSIR AYAT DENGAN AYAT )

CARA MELAKUKAN TAKHRIJ HADIS

download TAFSIR AL-NASAFIY

HADIS TARBAWIY DAN AKHLAK (BERKURANGNYA IMAN KARENA MAKSIAT)

cara atau Kaedah al-Jarh Wa al-Ta’dil Serta Aplikasinya

apa contoh MUKJIZAT AL-QUR'AN (Pengertian dan Pembagiannya)

cara TAMBAHAN - kaedah ZIYADAH DALAM AL-QUR'AN

QAWAIDH AL-TAHDIS (Pengertian , Ruang Lingkup dan Urgensinya )

kaedah 'ATAF - AL-'ATFU DALAM AL-QUR'AN