KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS

KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS Pendahuluan latar belakang Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah dua sumber utama ajaran Islam. Oleh karena itu, keduanya selalu dijadikan landasan keyakinan, ritual, adat istiadat, etika, ekonomi, politik, peradaban dan seluruh aspek kehidupan umat Islam, baik yang sakral maupun duniawi, pada tataran ¥ abl minallah (vertikal) dan ¥ abl min al. -n ± s (horizontal).

cara atau Kaedah al-Jarh Wa al-Ta’dil Serta Aplikasinya

BAB I



BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Para pengkaji hadis beserta orang yang selalu menelusuri kajian ilmiah dalam ilmu hadis seperti takhri>j, tahqi>q, tas{hih, tahsi>n dll yang disertai telaah terhadap kandungan aspek-aspek tersebut, pasti memiliki asumsi yang kuat bahwa fase yang dilalui sunnah Nabi saat ini didominasi oleh kekacauan dan pengabaian. Fenomena itu muncul akibat merosotnya metode ilmiah yang didasarkan pada kepekaan rasa terhadap hadis yang merupakan hasil dari latihan cukup lama dan upaya maksimal dalam bidang ilmu yang mulia ini
Kondisi saat ini sangat berbeda dengan kondisi fase masa lalu (fase periwayatan dan pasca periwayatan). Fenomena tersebut mengakibatkan kekhawatiran dan kecemasan tentang masa depan kaidah hadis atau ilmu hadis, khususnya jika fenomena ini jika berkelanjutan. Kenyataan ini mengakibatkan menjadi semakin kaburnya bentuk sebenarnya dari metode kritikus hadis dalam menyingkap keraguan tentang rawi dan pembeberan sikap mengada-ada yang mereka lakukan sehingga meninggalkan kejanggalan.
Keadaan seperti ini, tidak diragukan membuka kesempatan emas bagi musuh-musuh sunnah dama mengarahkan tuduhan negatif terhadap sumber tasyri’ Islam yang kedua, mengurangi penghargaan ulama dalam menjaga dan memelihara hadis dari kebohongan,dll. Yang banyak disaksikan dalam masyarakat modern saat ini adalah bahwa mereka mencurahkan perhatian dalam lapangan studi sanad dan hadis, padahal mereka tidak memiliki latar belakang keilmuan dalam bidang hadis dan konsekuensinya adalah mereka seenaknya memberikan penilaian-penilaian terhadap hadis dalam hal ini hadis yang belum diteliti dan masih tanda tanya kesahihannya dan tetap dikatakan sahih, dan lebih parah lagi jika sebaliknya, sehingga Imam Bukhari dan ulama hadis lainnya dapat menjadi objek celaan, maka kepada siapa lagi yang mereka anggap ahli hadis ?.
Olehnya itu, pentingnya memperkuat Kaedah hadis, Ulum al-Hadis, Mustalah al-Hadis dalam menunjukkan dan membuktikan bahwa inilah hadis yang layak dijadikan sumber Tasyri’ Islam sehingga tak diragukan lagi kehujjahannya.
Dalam kesempatan ini, penulis akan fokus dalam membahas Qawa>id{ al-Tahdi>s\ dalam lingkup kaedah jarh wa al-Ta’dil meliputi pengertian, ruang lingkup dan pengaplikasiannya yang semoga dapat membantu para pengkaji hadis dalam memilah dan memahami hadis.

B.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah pokoknya adalah  bagaimana gambaran kaedah jarh wa al-Ta’dil dan pengaplikasiannya dalam penelitian sanad , yang dirumuskan dalam beberapa sub masalah yang menyangkut pembahasan. Di antaranya:
1.      Bagaimana defenisi kaedah jarh wa al-Ta’dil ?
2.      Bagaimana kaedah jarh wa al-Ta’dil  ?
3.      Bagaimana pengaplikasian jarh wa al-Ta’dil dalam penelitian sanad ?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Defenisi Al-Jarh wa Ta’dil
kata al-jarh merupakan bentuk mashdar dari kata جرح - يجرح  yang berarti “ulama membuat luka pada tubuh ulama lain yang ditandai mengalirnya darah dari luka itu”.[1] Keadaan luka dalam hal ini dapat berkaitan dengan fisik, misalnya luka kena senjata tajam, atau nonfisik, misalnya luka hati karena kata kasar yang dilontarkan oleh ulama. Dikatakan juga جرح الحا كم و غيره الشاهد yang berarti hakim dan yang lain melontarkan sesuatu yang menjatuhkan sifat adil saksi berupa kedustaan dan sebagainya.[2]
Sedangkan menurut terminologi al-jarh adalah:
a.         Al-jarh, terlihatnya sifat pada ulama rawi yang dapat menjatuhkan keadilannya dan merusak hapalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya atau melemahkannya sehingga kemudian ditolak.[3]
b.        Al-jarh, mensifati rawi hadis dengan sesuatu yang melemahkan riwayatnya sehingga tertolak.[4]
c.         Al-jarh, kecacatan pada rawi hadis disebabkan oleh semua yang dapat merusak keadilan dan kedhabitan rawi.[5]
d.        Al-jarh, mencela ulama rawi hadis dengan sesuatu yang dapat merusak atau menghilangkan keadilan atau kedhabitannya.
e.         Al-tajrih, menyifati ulama rawi dengan sifat-sifat yang membawa konsekuensi penilaian lemah atas riwayatnya atau tidak diterima.[6]
Sebagian ulama menyamakan penggunaan kata al-jarhu dan al-tajrih, dan sebagian ulama lagi membedakan penggunaannya dengan alasan bahwa al-jarh berkonotasi tidak mencari-cari cela ulama, yang biasanya telah tampak pada diri ulama. Sedang al-tajrih berkonotasi ada upaya aktif untuk mencari dan mengungkap sifat-sifat tercela ulama.
Al-adl secara etimologi yaitu sesuatu yang terdapat dalam jiwa bahwa sesuatu itu lurus atau lawan dari kata durhaka atau lacur. Jadi, ulama adil adalah ulama yang diterima kesaksiannya dan ta’dil pada diri ulama berarti menilainya positif[7] dan at-ta’dil juga berarti mensucikan dan membersihkannya.[8]
Adapun secara terminologi, al-adl adalah:
a.         Al-adl, ulama yang tidak nampak padanya apa yang dapat merusak agama dan perangainya.[9] Oleh sebab itu, diterima berita dan kesaksiannya apabila memenuhi syarat-syarat menyampaikan hadis.[10]
b.        Al-adl, ulama yang tidak memiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan keperwiraannya.[11]
c.         Al-adl, mengungkap sifat-sifat bersih yang ada pada diri periwayat, sehingga tampak jelas keadilan rawi itu dan karenanya riwayat yang disampaikannya dapat diterima.[12]
d.        At-ta’dil, pensifatan rawi dengan sifat-sifat yang mensucikannya sehingga nampak keadilannya dan riwayatnya diterima.[13]
Dengan demikian, ilmu al-jarh wa ta’dil adalah:
العلم الذى يبحث فى احوال الرواة من حيث قبول روايتهم اوردها
“Ilmu yang membahas hal ikhwal para rawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka.”[14]
Abdurrahman al-Mu’allimi al-Yamani mengatakan bahwa ilmu al-jarh wa ta’dil ialah ilmu yang mempelajari tentang etika dan aturan dalam menilai cacat (kritik: al-jarh) dan sekaligus mengungkap dan memberi rekomendasi positif atas (kesalehan: al-ta’dil) terhadap ulama rawi melalui lafadz-lafadz penilaian yang tertentu, juga untuk mengetahui tingkatan lafadz-lafadz tersebut.[15]

B.    Kaedah-Kaedah dalam Ilmu Jarh Wa al-Ta’dil
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan bagi  seorang kritikus hadis sebelum memberikan penilaian terhadap seorang rawi atau beberapa rawi dalam sebuah hadis.

1.     Syarat-Syarat Bagi Ulama Yang Menta’dilkan Dan Menjarhkan
Tidak semua penilaian ulama harus diterima mentah-mentah tapi harus jelas dulu sebab-sebab penilaian tersebut. Terkadang, ulama menilai cacat ulama lain malah dia sendiri juga cacat. Oleh sebab itu, kita tidak boleh menerima langsung suatu perkataan ulama ulama sebelum ada ulama lain yang menyetujuinya. Sebagian ulama menilai jarh atau negatif ulama lain karena adanya ketidakcocokan atau adanya rasa tidak suka pada rawi tersebut. Hal ini, karena ada ulama yang mudah memberi penilaian positif dan negatif terhadap ulama lain maka perkataan ulama tersebut harus disaring dan tidak boleh langsung diterima begitu saja kalau tidak ada ulama lain yang ketat dalam memberi penilaian yang sama. Sebagian ulama ada juga yang sangat ketat (mutasyaddid) dalam memberi penilaian jarh dan ta’dil maka jika ulama ini menilai bahwa seorang rawi adil maka penilaiannya bisa langsung diterima jika dia telah memenuhi syarat-syarat menta’dilkan dan menjarhkan ulama.
Adapun syarat-syarat bagi ulama yang menta’dilkan dan menjarhkan[16] yaitu:
1.         Berilmu pengetahuan
Adapun yang dimaksudkan dengan berilmu pengetahuan yaitu menguasai berbagai macam disiplin ilmu agama terutama yang berkonotasi ke dalam materi hadis. Mustahil bagi ulama yang menjarh dan atau menta’dil ulama mampu memberikan argumen-argumen atas tuduhan-tuduhannya atau mampu mempertanggungjawabkan penilaiannya itu jika ia tidak memiliki ilmu.

2.         Bertakwa
Ulama yang menjarh dan atau menta’dil ulama haruslah ulama yang senantiasa melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Jika ulama penjarh dan atau penta’dil tidak takut kepada Allah maka ia akan memberikan penilaian sesuai keinginannya sendiri, mungkin disebabkan oleh faktor fanatik golongan atau karena mereka tidak saling suka (bermusuhan). Olehnya itu, penjarh dan atau penta’dil harus bertakwa sehingga ia takut memberikan penilaian yang keliru.

3.      Wara’
Adapun yang dimaksud dengan wara’ yaitu ulama yang menjauhi perbuatan maksiat, syubhat, dosa-dosa kecil, dan makruhat. Akhirnya, ulama-ulama yang suka mengerjakan perbuatan maksiat tidak termasuk dalam golongan wara’.

4.      Jujur dan bersih dalam memberikan penilaian
Dalam hal ini ulama menyebutkan sifat-sifat yang melekat pada diri periwayat, baik positif maupun negatif. Dalam hal ini Ibnu Sirin berkata: “Sungguh engkau telah berbuat zalim atas saudaramu, jika engkau hanya menyebutkan kekurangan-kekurangannya saja tanpa menyertakan kelebihannya.
Menerapkan sifat amanah tanpa melibatkan idiologi tertentu sangat dianjurkan dalam menjelaskan kebenaran, meskipun untuk menilai diri sendiri. Hal ini bisa menambah keimanan dan keistiqamahan ulama. Terkait dengan keadaan ini. Syu’bah bin Hajjaj telah meriwayatkan sebuah hadis: faqila lahu: innaka tukhalifu fi haza al-hadis qala man yukhalifuni ? qalu Sufyan al-Sauri. Qala da’uhu, Sufyan ahfazu mini. Dikatakan bahwa Syu’bah bin Hajjaj meriwayatkan hadis yang berbeda dengan periwayatan Sufyan al-Sauri, kemudian Syu’bah mengakui kelebihan Sufyan al-Sauri, dan mengakui kekurangan yang ada pada pribadinya. Syu’bah memuji Sufyan dengan mengatakan lebih hafiz dari dirinya.
Sifat jujur adalah sifat yang paling urgen. Ulama yang hendak menjarh dan atau menta’dil ulama harus memberikan penilaian yang jujur, apa adanya tanpa mengurangi atau menambahkan sesuatu sehingga ulama tersebut dinilai jarh ataupun ta’dil karena tidak menutup kemungkinan ada ulama yang menjarh hanya sekedar ingin menjatuhkan ulama yang tidak disukai dan ada juga yang menta’dil ulama karena mereka berteman atau satu golongan, sekutu ataupun kerena keluarga, dan terutama harus berhati-hati terhadap ulama yang mutasahil dalam menta’dilkan rawi seperti Imam Muhammad bin Ishaq bin Al Huzaimah dan muridnya, Abu Hatim bin Ibnu Hibban juga Ibnu Hibban Al Hakim Ibnu Abdullah, terutama dalam kitab Al Mustadark-nya, Al-Daruquthni, namun beliau lebih baik dari Ibnu Hibban dan Al Baihaqi.

5.      Menjauhi fanatik golongan
Syarat ini erat kaitannya dengan syarat sebelumnya yaitu jujur. Ulama yang tidak menjauhi sektenya masing-masing dalam memberikan persaksian akan dominan dalam mempertahankan sekte yang dianutnya sehingga kemungkinan besar ia tidak jujur dalam menjarh dan menta’dil karena arogansi yang dimiliki oleh sekte masing-masing.

6.      Mengetahui sebab-sebab untuk menta’dilkan dan menjarhkan
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa sebagian ulama berpendapat bahwa tidak diterima penilaian ulama baik itu jarh maupun ta’dil tanpa menyebutkan sebab-sebabnya. Sebagian lain juga berpendapat bahwa penilaian ta’dil banyak sebab-sebabnya dan mustahil disebutkan satu persatu. Misalnya, “fulan tsiqah adil karena ia rajin melakukan salat, menjalankan puasa, mengerjakan amalan-amalan sunnah dan tidak pernah menyakiti ulama lain”. Tetapi cukup menyebutkan dengan “fulan tsiqah, atau fulan saduq”. Berbeda dengan jarh, pada umumnya mereka menjelaskan sebab-sebab yang melemahkanya, misalnya sering lupa, sering salah, hafalannya kacau, dusta, fasik, dan lain-lain.[17]
Olehnya itu, jangan menerima mentah-mentah penilaian ulama sebelum melakukan penelitian terlebih dahulu karena terkadang setelah diadakan penelitian ternyata sebab-sebab yang digunakan untuk menjarh dan atau menta’dil ulama dapat dipakai untuk menolak tuduhannya kecuali bagi ulama yang ketat (mutasyaddid) dalam menjarh dan menta’dil ulama. Diantara para ulama yang mutasyadid adalah Abu Hatim Ar Razi, Al-Jurjani dan An Nasa’i. Ibnu Ma’in juga dikatakan sebagai mutasyadid.
Sedangkan bagi ulama pertengahan (mu’tadil) antara mutasahil dan mutasyaddid maka perkataannya diterima tapi tidak ditolak kecuali bila menyelisihi jumhur. Ulama yang termasuk mu’tadil adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Zur’ah Ar Razi, Ibnu Ma’in, Asy Syaikhani dan At Tirmidzi.

7.      Memperhatikan etika dalam jarh.
Ulama telah menetapkan beberapa kode etik sesuai dengan penelitian ilmiah yang harus diperhatikan oleh ulama yang memberi penilaian. Di antaranya adalah menghindari ungkapan yang paling kasar, misalnya “fulan wadhdha’, fulan kazzab”, untuk menghindari ungkapan-ungkapan seperti itu bisa memakai kalimat-kalimat yang halus dan sopan, misalnya “hadisuhu laisa bisyai’, lam yakun mustaqim al-lisan”, “dia tidak bisa menjaga lisannya”. Ungkapan itu sama artinya dengan dia suka berbohong. Dalam hal ini, al-Muzni pernah bercerita: sami’ani al-Syafi’I yauman wa ana aqulu fulanun kazzab, faqala li : ya Ibrahim, Aksu alfazaka ahsanuha, la taqul kazzab, wa lakin qul hadisahu laisa bisyai’in. dan lai-lain.

8.      Detail dan cermat dalam meneliti dan menilai.
Ulama penilai harus cermat dan detail dalam melihat kepribadian ulama. Detail dalam melihat kedalaman pengetahuan mereka tentang periwayatan hadis. Ulama periwayat kadang meriwayatkan hadis pada saat daya ingatnya sedang kacau, misalnya karena umurnya sudah lanjut atau dalam keadaan sakit.

2.     Beberapa Ketentuan dalam Jarh wa Ta’dil
Dalam kitab Ilmu Al Jarh wa At Ta’dil, Qawa’iduhu wa Aimmatuhu, Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi, menetapkan beberapa ketentuan dalam melakukan jarh dan ta’dil,[18] yaitu:
1.      Jarh ditujukan untuk rawi atau yang lainnya, maka jangan menjarh mereka kecuali bila ada manfaatnya.
2.      Menjarh untuk kemaslahatan dan nasehat, bukan karena senang menampakkan cacat dan kekurangan ulama lain atau karena hawa nafsu.
3.      Ulama harus berpegang teguh dengan apa yang ia katakan.
4.      Menjarh sesuai dengan kebutuhan.
5.      Bila dalam biografi ulama rawi terkumpul pada dirinya antara jarh dan ta’dil hendaknya ia menyebutkan keduanya secara bersamaan.



3.     Kontroversi Antara Al-Jarh Wa Ta’dil
Terkadang pernyataan-pernyataan ulama tentang jarh dan ta’dil terhadap ulama yang sama bisa saling bertentangan. Sebagian menjarhnya dan sebagian yang lain menta’dilkannya maka harus dikaji terlebih dahulu.
Dalam menghadapi kontroversi ini maka ulama menawarkan empat opsi alternatif untuk memecahkan masalah tersebut[19] yaitu sebagai berikut:
1.         Mendahulukan Jarh ataukah Ta’dil
a.         Al-jarh harus didahulukan secara mutlak walaupun jumlah muaddilnya lebih banyak daripada jarhnya. Sebab, ulama yang menjarh mengetahui dan memberitahukan sesuatu mengenai urusan bathiniah yang tidak diketahui oleh muaddil dan muaddil hanya menilai dari dzahirnya saja. Inilah pendapat mayoritas ulama.[20]
b.         Ta’dil didahulukan daripada jarh bila yang menta’dilkan lebih banyak karena banyaknya ulama yang menta’dilkannya maka itu bisa mengukuhkan keadaan rawi yang bersangkutan. Selain itu, alasannya juga karena sifat asal rawi adalah terpuji.
c.         Jika jarh dan ta’dil bertentangan  maka yang harus didahulukan adalah yang menta’dilkan kecuali yang menjarh menyebutkan sebab-sebabnya. Hal ini cukup menyebutkan salah satu kecacatannya yang dapat menggugurkan keadilan rawi tersebut.
d.        Jika jarh dan ta’dil bertentangan maka yang harus didahulukan adalah yang menjarh jika yang ulama yang menjarh lebih banyak daripada yang menta’dilkannya. Sebagian ulama berpendapat bahwa jika keduanya bertentangan maka salah satunya tidak bisa didahulukan kecuali dengan adanya perkara yang mengukuhkan salah satunya yakni keadaan dihentikan untuk sementara waktu sampai diketahui mana yang lebih kuat di antara keduanya[21] dan tetap dalam ta’arudh bila tidak ditemukan pengukuhan tersebut.[22]

2.         Menjelaskan Sebab jarh dan ta’dil ataukah tidak
1.    Apakah Ta’dil Harus Diterangkan Sebabnya (mufassar) ?
Sebelumnya, penulis berpendapat bahwa sebab yang mufassar adalah hal yang sangat perlu dalam proses penilaian rawi apaka ia terjarah atau ta’dil. Seumpamakan rawi tersebut terjarah dengan beberapa penjelasan sebab dan fakta terjarahnya karena terbukti berbuat negatif maka penulis menilai bahwa sebab tersebut harus didahulukan karena mereka menyebutkan sesuatu yang tidak terlihat dan diketahui oleh orang yang menta’dilkannya maka penulis menganggap yang mufassar itu lebih kuat untuk didahulukan.
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Sebagian para imam berpendapat, harus menyebutkan sebab-sebab keadilannya. Adapun alasannya ada dua:
*        Karena kadang ulama memberikan rekomendasi keadilan tidak sesuai dengan sebab yang menjadikan ulama adil. Sebagaimana yang dikatakan kepada Ahmad bin Yunus: “Abdullah bin Al ‘Amari dha’if, maka dia berkata: “Sesungguhnya yang mendha’ifkannya hanyalah ulama-ulama Rafidhah yang marah kepada bapaknya. Seandainya kalian melihat jenggot dan keadaannya maka Anda akan mengetahui bahwa ia ulama yang tsiqah. “
*        Sesungguhnya sebab-sebab tersebut mempunyai peran sangat besar terhadap keadilan ulama, maka manusia cepat memujinya dengan melihatnya secara dzahir.
Sebagian yang lain tidak mengharuskan penyebutan sebab keadilan. Adapun alasannya ada dua:
o    Ijma’ umat, bahwa ta’dil tidak diambil kecuali dari perkataan ulama yang adil pula, yang mengetahui segala sesuatu yang menjadikan ulama adil atau jarh.
o    Sesungguhnya sebab-sebab keadilan sangat banyak sekali. Bila diharuskan menyebutkannya, maka penta’dil harus menyebutkan setiap perbuatan baik yang dilakukan ulama yang dita’dilnya yang sesuai dengan syar’i maupun yang bertentangan dengan syar’i, sehingga ini sangat sulit untuk menyebutkannya. Ulama yang berpendapat ini diantaranya Imam An Nawawi, Mahmud Al-Thahhan, Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi. Pendapat yang kedua inilah yang paling banyak dipakai.

2.    Apakah Jarh Harus Diterangkan Sebabnya?
Dalam hal ini ulama berpendapat, sebagian ulama tidak mengharuskan menjelaskan jarh selama syarat-syarat sebagai Jarh telah terpenuhi. Sedangkan sebagian yang lain mengharuskan menjelaskan sebab-sebab jarh. Di antara alasannya:
ü  Menjelaskan sebab-sebab jarh tidak sulit, karena dengan satu sebab sudah cukup.
ü  Kebanyakan manusia menyelisihi perbuatan yang menjadikan ulama dijarh. Yang sependapat dengan pendapat ini diantaranya Imam An Nawawi, Mahmud Ath Thahhan, Ibnu Ash Shalah dan yang lainnya.

4.     Lafadz-Lafadz Ilmu Al-Jarh Wa Ta’dil
Ibnu Abi Hatim dalam bagian pendahuluan kitabnya Al Jarh wa At Ta’dil menetapkan lafaz-lafaz dalam jarh wa ta’dil menjadi empat tingkatan, sedangkan para ulama lainnya menambah dua poin menjadi enam, di antaranya adalah:
a.         lafadz tingkatan ta’dil
o    Lafaz menggunakan bentuk superlative (mubalaghah) dalam ketsiqahan atau mengikuti wazan af’al, contoh: فلان اثبت الناس (Fulan adalah manusia yang paling teguh),  فلان اليه المنته الثبوت(fulan yang paling tinggi keteguhannya) dan lainnya.
o    Lafaz yang menyebutkan salah satu sifat atau dua sifat yang menguatkan ketsiqahannya dan keadilan contoh: ثقة ثبت - ثقة ثقة
o    Ungkapan yang menunjukkan ketsiqahan tanpa adanya penguat contoh: ثقة – ثبت- متقن
o    Lafaz yang menunjukkan ta’dil tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian, contoh: shaduquna (ulama yang jujur), ma’mun (terpercaya) laa ba’sa bih (tidak masalah atau tidak ada cacat).
o    Lafaz yang tidak menunjukan ketsiqahan atau pun celaan Contoh; Fulanun Syaikhun, rawiya ‘anhu An Nas (manusia meriwayatkan darinya).
o    Lafaz yang mendekati adanya jarh contoh: fulan shalih hadis (lumayan) atau yuktabu hadisuhu (hadisnya dicatat).
Karena terjadi perbedaan peringkat, maka ada lafaz yang sama untuk peringkat al-jarh dan ta’dil, tetapi memiliki peringkat yang berbeda. Lafaz saduq, misalnya, ada ulama yang menempatkannya pada peringkat kedua dalam urutan al-ta’dil dan ada ulama yang menempatkannya pada urutan keempat. Adanya perbedaan dalam menempatkan peringkat lafaz, untuk jarh wa ta’dil itu memberi petunjuk bahwa memahami tingkat kualitas yang dimaksudkan oleh lafaz jarh wa ta’dil diperlukan penelitian misalnya dengan menghubungkan penggunaan lafaz itu kepada ulama yang memakainya.
Untuk memperoleh gambaran lebih jelas tentang macam-macam lafaz untuk jarh wa ta’dil beserta peringkatnya masing-masing, perlu dipelajari lebih mendalam kitab-kitab yang membahas al-jarh wa ta’dil dan perbedaan lafadz yang digunakan dalam kitab tersebut.

b.         Hukum Tingkatan-tingkatan Ta’dil
-            Untuk tiga tingkatan pertama, dapat dijadikan hujjah, meskipun sebagian mereka lebih kuat dari sebagian yang lain.
-            Adapun tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadis mereka boleh ditulis, dan diuji kedlabithan mereka dengan membandingkan hadis mereka dengan hadis-hadis para tsiqah yang dlabith. Jika sesuai dengan hadis mereka, maka bisa dijadikan hujjah. Dan jika tidak sesuai, maka ditolak.
-            Sedangkan untuk tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadis mereka ditulis untuk dijadikan sebagai pertimbangan saja, bukan untuk pengujian, karena mereka tidak dlabith.

c.         Lafadz tingkatan jarh:
*        Lafaz yang menunjukan adanya kelemahan (yaitu jarh yang paling ringan), contohnya fulan layyinun Al Hadis, atau hadisuhu maqalun, (hadisnya diperbincangkan).
*        Lafaz yang menunjukkan adanya kelemahan terhadap rawi tidak dapat dijadikan hujjah, contoh fulan laa yuhtaj bihi (fulan tidak bisa dijadikan hujjah), atau dha’if, lahu manakir (hadis nya munkar).
*        Lafaz yang menunjukan lemah sekali tidak dapat ditulis hadis nya, contoh : fulan laa yuktab hadis uhu (fulan hadis nya tidak ditulis), laa tahillu riwayatahu (tidak boleh meriwayatkan darinya), fulan dha’if jiddan, wahn bi marattin (ulama yang sering melakukan persangkaan).
*        Lafaz yang menunjukkan adanya tuduhan berbuat dusta atau pemalsuan hadis. Contoh fulan muthamun bil kadzb (fulan dituduh berbuat dusta), fulan muthamun bi Al Wadh’i (fulan dituduh membuat hadis palsu), yasriqu Al Hadis (dia mencuri hadis), matruk, atau laisa bi tsiqah.
*        Lafaz yang menunjukkan adanya perbuatan dusta atau yang semacamnya, contoh kadzdzab atau dajjal, wadha’ (pemalsu).
*        Lafaz yang menunjukkan adanya mubalaghah (superlatif) dalam perbuatan dusta, contoh fulan paling pembohong, ilaihi al muntaha bi al kadzb (dia pangkalnya kedustaan) dan lainnya.
d.         Hukum Tingkatan-tingkatan Al-Jarh
·           Untuk dua tingkatan pertama tidak bisa dijadikan sebagai hujjah terhadap hadis mereka, akan tetapi boleh ditulis untuk diperhatikan saja. Dan tentunya ulama untuk tingkatan kedua lebih rendah kedudukannya daripada tingkatan pertama.
·           Sedangkan empat tingkatan terakhir tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak boleh ditulis, dan tidak dianggap sama sekali.

Penjelasan ulama tersebut dapat disimpulkan:
Syarat-syarat yang berkenaan dengan sifat pribadi, yakni bersifat adil, (sifat adil dalam hal ini adalah menurut ulama ahli hadis), yaitu tidak bersikap fanatik terhadap mazhab yang dianutnya, dan tidak bermusuhan dengan periwayat yang dinilainya, termasuk terhadap periwayat yang berbeda aliran dengannya.
Syarat-syarat yang berhubungan dengan penguasaan pengetahuan, dalam hal ini harus memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam, terutama yang berkenaan dengan ajaran Islam, bahasa Arab, hadis dan ilmu hadis, pribadi periwayat yang di kritiknya, adat istiadat (urf) yang berlaku, sebab-sebab yang melatarbelakangi sifat-sifat utama dan tercela yang dimiliki oleh periwayat.
Dalam mengemukakan kritikan, sikap ulama, ahli kritik hadis ada yang ketat (tasyaddud), ada yang longgar (tasahhul), ada pula yang berada antara kedua sifat itu yakni moderat (tawassut). Ulama yang dikenal mutasyaddid atau mutasahhil ada yang berkaitan dengan sikap dalam menilai kesahihan hadis dan ada yang berkaitan dengan sikap dalam menilai.
Adapun untuk menetapkan Jarh, ada dua unsur yang bisa dijadikan dasar, pertama, melalui kesaksian satu atau dua ulama yang adil. Jadi jarh ditetapkan cukup dengan kesaksian satu ulama yang adil, laki-laki atau perempuan, merdeka atau budak. Kedua, melalui kemasyhuran di kalangan ahli ilmu dengan jarh- (cacat) nya. Barang siapa yang terkenal di kalangan ahli ilmu jarh (cacat) nya, maka ia majruh (ulama yang dijarh). Bahkan ini jarhnya lebih kuat dari pada jarh dari kesaksian satu atau ulama yang adil.

5.     Kitab-kitab Ilmu Al-Jarh Wa Ta’dil
Munculnya kitab-kitab mengenai jarh wa ta’dil mulai pada abad ke-II Hijriyah yakni ketika modifikasi ilmu mulai marak di segenap penjuru Islam.[23]
Kitab-kitab tersebut memiliki ukuran yang berbeda-beda. Mulai ukuran yang terkecil yang terdiri dari sau jilid dan memuat ratusan rawi sampai yang terbesar yang terdiri dari puluhan jilid dan memuat puluhan ribu rawi. Selain itu, metode yang digunakannya juga berbeda-beda. Mulai dari yang membatasi karyanya dengan menyebut rawi yang dhaif sampai ada juga yang membatasi pada rawi-rawi yang tsiqah saja. Namun, ada juga yang memadukan antara rawi-rawi yang dhaif dan tsiqah. Karya-karya ini sebagian besar disusun secara alfabet.[24]
Kitab perdana yang sampai pada kita adalah kitab Ma’rifat ar-Rijal karya Ibn Ma’in, kitab adh-Dhuafa karya imam al-Bukhari, dan kitab adh-Dhuafa wa al-Matrukin karya Iman an-Nasa’i. Adapun karya-karya ulama mutaqaddimin yang paling lengkap adalah karya Abdurrahman ibn Abu Hatim ar-Razi yang berjudul “Al-Jarh wa at-Ta’dil”. Kitab ini terdiri dari empat juz dan memuat 1.850 biografi. Dicetak di India pada tahun 1375 H dalam sembilan jilid.[25]
  1. Kitab-kitab yang membahas biografi singkat para sahabat Nabi:
·         Isti’ab fi ma’rifat al-Ashab Susunan Ibnu ‘Abdil Barr (W. 463 H/1071 M).dll
2.      Kitab-kitab yang membahas biografi singkat para periwayat hadis yang disusun berdasarkan tingkatan para periwayat (tabaqah al-ruwwah), yaitu:
·         al-Tabaqah al-Kubra, karya Ibnu Saad (W. 230 H).dll

3.      Kitab-kitab yang membahas tentang para periwayat hadis secara umum.
·         Al-Tarikh al-Kabir, karya al-Bukhari (W. 256 H/870 M).
·         Al-jarh wa al-ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim al-Razi (W. 328 H). dll
4.      Kitab-kitab yang membahas para periwayat hadis untuk kitab-kitab tertentu.
·         Al-Hidayah wa al-Irsyad fi Ma’rifati Ahli Siqqah wa al-Sadad, karya Ahmad bin Muhammad al-Kalabazi (W. 318 H). kitab ini membahas khusus para periwayat hadis pada kitab Sahih Bukhari. dll
5.      Kitab-kitab yang memuat penyempurnaan ataupun ringkasan rijal yang membahas para periwayat dalam Kutub al-Sittah.
·         Tahzib al-Kamal, susunan Abu al-Hajjaj Yusuf bin Zakki al-Mizzi, (W. 742 H).
·         Akmal Tahzib al-Kamal, karya ‘Ala’ al-Din Muglataya (W. 762 H),
·         Tazhib al-Tazhib, karya Muhammad bin Ahmad al-Zahabi (W. 746 H/1348 M). dll
6.      Kitab-kitab yang membahas kualitas para periwayat hadis, yaitu, kitab-kitab yang khusus membahas para periwayat yang dinilai berkualitas tsiqah oleh penyusunnya.
·         Al-Siqat karya Abu al-Hasan Ahmad bi ‘ Abdillah al-‘Ijli (W. 261 H).dll
7.      Sedangkan kitab-kitab yang khusus membahas periwayat yang dinilai lemah (dha’if) oleh penyusunnya.
·         Al-Dhu’afa’ al-Kabir dan al-Dhu’afa’ al-Saghir susunan al-Bukhari.
·         Al-Dhu’afa’ wa al-Matrukun karya al-Nasa’i.dll

C.    Contoh Penerapan Sederhana Kaedah Jarh dan Ta’dil dalam kritik Sanad
Penulis mencantumkan sebuah penelitian hadis dengan metode tematik di mana salah satu sub temanya tentang Tawassul melalui do’a Orang Shaleh
Ada 1 riwayat hadis yang tergolong dalam masalah ini dan hanya 1 mukharrij  saja, yaitu ; Bukhariy. Dan sudah jelas bahwa tak terdapat sya>hid atau muta>bi’\, ini dapat dilihat pada skema berikut :

GAMBAR SKEMA
      Hadis tentang Bertawassul Kepada Allah Melalui Do’a dari Orang Shaleh



Cat.: Hadis ini mauquf dari Umar Ibn Khattab

 







Pada gambar tersebut di atas, tercantum seluruh jalur sanad mengenai masalah ini. Dan tampak jelas dilihat bahwa hanya ada 1 orang sahabat saja yang merupakan periwayat pertama hadis-hadis tersebut, dia adalah Umar Ib Khattab, dan pada tingkat kedua dan seterusnya tidak terlihat ada dari jalur lain yang menerimanya, ini berarti hadis-hadis mengenai masalah ini tak terdapat sya>hid, muta>bi’ untuk mendukung hadis ini.
Masing-masing perawi mempunyai cara penerimaan hadis yang ditandai dengan lambang Sigat al-Tahammul. Adapun Sigat al-Tahammul yang digunakan pada masing-masing perawi adalah ; H{addas\ana>, H{addas\ani>y, ‘An, anna>, dan Ka>na.
Maka yang diteliti langsung dalam kritik sanad ini ialah sanad Bukhariy melalui jalur al-H{asan Ibn Muhammad. Kritik dilakukan secara berurutan mulai dari mukharrij hadis. [26]

a.      Bukhariy
a)    Nama lengkapnya adalah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibra>hi>m Ibn al-Mughirat Ibn Bardizbat Ibn al-Ahnaf al-Jufiy, Abu> Abdullah Al-Bukhariy (194-256 M). [27]
b)      Gurunya cukup banyak antar lain, Ubayd Allah Ibn Mu>sa>, Muhammad Ibn Abdullah al-Anshariy, Qutaybah Ibn sa'id. Muridnya antara lain, al-Turmuziy, Muslim, dan Al-Nasa'iy. [28]
c)    Al-Bukhariy adalah seorang ahli hadis yang jarang tandingannya. Perhatiannya terhadap hadis nabi dimulai sejak umur di bawah sepuluh tahun. Pada usia enam belas tahun, al-Bukhariy telah berhasil menghafal kitab hadis karya ulama terkemuka pada saat itu seperti Ibn al-Mubarak dan Wakii, ia adalah periwayat hadis yang cerdas, wara dan tekun beribadah.[29] Pengembaraan beliau sempat bertemu sejumlah besar guru di bidang hadis dan menghafal sebanyak 100.000 hadis s{ah{i>h dan 200.000 yang tidak s{ah{i>h.
Selain itu, al-Bukhariy juga dikenal sebagai penulis produktif di bidang hadis. Salah satu karyanya yang termasyhur adalah al-jami' al-s{ah{i>h.[30] Kitab ini di susun dalam jangka waktu enam belas tahun. Setiap hadis yang ada di dalamnya benar-benar diseleksi dan diteliti sehingga di dalam kitab tersebut hanya memuat hadis-hadis s{ah{i>h. Untuk setiap hadis yang diseleksi, al-Bukhariy selalu  melaksanakan salat istikharah sebelum dimasukkan ke dalam kitabnya.[31]
Di samping itu, al-Bukhariy adalah periwayat sekaligus mukharrij al-hadis yang memiliki kualitas pribadi (sifat adil) dan kafasitas inteleqtualnya (sifat d{a>bitnya), terbukti dari pernyataan kritikus hadis tentang dirinya :
·      Muhammad Ibn Abi Hatim (w. 327 H) berkata bahwa saya pernah mendengar Hisyam Ibn Ismail dan seorang lainnya membicarakan al-Bukhariy. Keduanya berkata bahwa kami berbeda dengan dia dalam pendengaran, dia adalah seorang yang tidak menulis hingga waktu yang telah ditentukan. Kami berkata kepadanya, kenapa engkau tidak menulis ?, al-Bukhariy menjawab : engkau berdua lebih banyak hadismu daripada saya, lalu kami keluarkan hadis kami, tetapi ia menambah 125 hadis yang dihafalnya, kemudian ia berkata : apakah engkau melihat saya menyia-nyiakan waktu?, kamim menjawab kami tahu bahwa tidak ada  yang melebihi dia diantara kami.
·      Ibn Hibban menyebut al-Bukhariy pada peringkat keempat dalam kitab al-s\iqat.[32]
·      Qutaibah Ibn Sa'id (148-240 H), saya telah  berjumpa dengan ahli hadis, ahli ra'yi, Ahli Fiqih, Ahli Ibadah dan orang zuhud, namun saya  belum pernah bertemu dengan orang seperti Muhammad Ibn Isma'il. Al-Turmuziy (209-279 H): Allah telah menjadikan al-Bukhariy perhiasan bagi umat dan saya menyebut riwayat yang berasal dari al-Bukhariy dalam kitab al-jami'. Saya tidak melihat orang yang mengetahui 'ilal dan rijal al-hadis yang melebihi al-Bukhariy.[33]
·      Al-Asqalaniy (773-852 H) menyatakan seandainya pujian dan sanjungan masih terbuka bagi generasi setelah al-Bukhariy, niscaya kertas akan habis, karena dia bagaikan laut yang tidak berpantai.[34]
Tidak seorangpun dari ahli kritik hadis yang mencela pribadi al-Bukhariy. Pujian-pujian yang diberikan kepadanya adalah berperingkat tertinggi. Jadi pengakuan bahwa ia telah menerima hadis dari al-H{asan Ibn Muhammad dengan metode al-sama' diyakini kebenarannya. Itu berarti, antara keduanya terjadi persambungan sanad.
b.  Al-H{asan Ibn Muhammad
a)    Nama lengkapnya adalah al-H{asan Ibn Muhammad Ibn al-sabbah al-Za’fara>niy Abu> Aliy al-Bagda>diy, wafat pada hari senin Rabi’il Awwal tahun 259 H ada juga yang mengatakan 260 H[35] data ini menunjukkan dari segi usia mereka memungkinkan untuk bisa bertemu.
b)   Beliau pernah berguru kepada Muhammad Ibn Abdullah al-Ansa}>riy dan murdinya seperti Jama’ah termasuk di dalamnya al-Bukha>riy,[36] sebagaimana yang tercantum dalam sanad hadis di atas dan menjadi bukti bahwa antara Bukhari dan beliau terjadi ketersambungan sanad dari segi guru dan murid dalam proses penerimaan hadis Nabi.
c)    Al-Nasa>iy mengatakan bahwa beliau itu s\iqah dan Ibn Hibban menyebutnya dalam kitab al-s\iqah, Ibn Ha>tim mengatakan bahwa dia menerima hadis darinya dan ia itu s\iqah dan ayah Ibn Ha>tim mengataka s}aduq, begitu juga dengan al-Sya>fi’iy bahwa dia itu s\iqah ma’mun. [37]
Tidak seorangpun dari ahli kritik hadis yang mencela pribadi al-H{asan Ibn Muhammad. Pujian-pujian yang diberikan kepadanya adalah berperingkat tertinggi. Jadi pengakuan bahwa ia telah menerima hadis dari Muhammad Ibn Abdullah al-Ansa}>riy dengan metode al-sama' diyakini kebenarannya. Itu berarti, antara keduanya terjadi persambungan sanad.
c.  Muhammad Ibn Abdullah al-Ansa}>riy
a)    Nama lengkapnya adalah Muhammad Ibn Abdullah Ibn al-Mus\anna> Ibn Abdullah Ibn Anas Ibn Matik al-Ans}a>riy al-Qa>diy, Imam di Bas}rah.Ya’qub Ibn Sufyan berkata bawha beliau wafat di Bas}rah pada tahun 294 H. [38]
b)   Gurunya antara lain pernah belajar kepada bapaknya yaitu Abdullah Ibn al-Mus\anna> dan muridnya antara lain al-H{asan Ibn Muhammad al-Za’fara>niy[39] sebagaimana dalam sanad hadis dan menjadi bukti bahwa sanad antara Muhammad Ibn Abdullah dan bapaknya Abdullah Ibn al-Mus\anna> pernah terjadi hubungan murid dan guru.
c)    Abdurrahman bertanya kepada ayahnya tentang beliau bahwa daia adalah s|aduq dan s\iqah. [40] Al-Nasa>iy mengatakan bahwa laisa bih ba’sun, Abu> Ha>tim mengatakan S}aduq, dan Ibn Hayyan menyebutnya dalam al-s\iat [41]
Tidak seorangpun dari ahli kritik hadis yang mencela pribadi Muhammad Ibn Abdullah Ibn al-Mus\anna. Pujian-pujian yang diberikan kepadanya adalah berperingkat tertinggi. Jadi pengakuan bahwa ia telah menerima hadis dari Bapaknya Abdullah Ibn al-Mu>sa>\nna> al-Ansa}>riy dengan metode al-sama' diyakini kebenarannya. Itu berarti, antara keduanya terjadi persambungan sanad.

d.  Abiy; dia adalah ayahnya yaitu Abdullah Ibn al-Mu>sa>\nna> al-Ansa}>riy
a)    Nama lengkapnya adalah Abdullah Ibn al-Mus\anna> Ibn Abdullah Ibn Anas Ibn Ma>lik al-Ans\a>riy, panggilannya adalah Abu> al-Mus\anna>.[42]
b)   Guru beliau adalah pamannya sendiri, ia adalah S\|ama>mah Ibn Abdullah Ibn Anas dan muridnya adalah anaknya sendiri ialah Muhammad Ibn Abdullah, [43] dan ini membuktikan ketersambungan sanad antara Abdullah Ibn al-Mus\anna> dengan anaknya sendiri yaitu Muhammad Ibn Abdullah dalam melakukan periwayatan hadis, sebagaimana yang tercantum dalam sanad hadis.
c)    Yahya Ibn Ma’in mengatakan orangnya Saleh, dan Abu> Zar’ah pun mengatakan demikian, dan Turmudziy pun mengtakan siqah[44] hanya saja beliau mendapat celaan dari beberapa Ulama juga seperti al-Nasa>iy mengatakan bahwa beliau bukan rawi yang kuat, seperti halnya dengan Ibn Hibban menyebutnya di dalam kitabnya bahwa terkadang beliau itu memiliki kesalahan, dan Abu> Da>ud juga tidak mengeluarkan hadisnya, dan al-Sa>jiy mengatakan bahwa beliau itu memiliki lemah, dan meskipun al-Da>ruqut}niy pernah mengatakan s\iqah tapi beliau juga mengatakan lemah. [45]
Ulama kritik hadis berimbang antara yang mencela pribadi Abdullah Ibn al-Mus\anna dan yang memujinya. Di antara ulama yang mencela beliau seperti; al-Nasa>iy, Ibn Hibban, Abu> Da>ud, al-Sajiy, al-Da>ruqut|\niy, kesemua dari mereka adalah perawi yang ulama yang diakui kreadibilitasnya dalam mentajrih, dalam hal ini celaan itu menjadi bahan pertimbangan bagi penulis, Jadi pengakuan bahwa ia telah menerima hadis dari S\ama>mah diragukan oleh penulis.
Dengan demikian, penulis menganggap bahwa Abdullah Ibn al-Mus\anna> termasuk perawi yang tidak d{abit dan membuat hadisnya turun dari kes{ah{i>han.

e.  S|ama>mah Ibn Abdullah Ibn Anas
a)    Nama lengkapnya adalah S|ama>mah Ibn Abdullah Ibn Anas Ibn Ma>lik al-Ans}a>riy al-Bas}riy,[46]
b)   Beliau meriwayatkan dari Anas Ibn Matik dan muridnya yaitu keponakannya sendiri ialah Abdullah Ibn Mus\anna>,[47] sebagaimana yang tercantum dalam hadis dan menjadi bukti data ketersambungan sanad antara mereka.
c)    Ah{mad Ibn H{anbal mengatakan bahwa dia itu s\iqah dan begitu pula dengan al-Nasa>iy, Abu> Ah{mad Ibn ‘Adiy bahwa benar ia menerima hadis dari Anas, [48]
Tidak seorangpun dari ahli kritik hadis yang mencela pribadi S|ama>mah Ibn Abdullah Ibn Anas. Pujian-pujian yang diberikan kepadanya adalah berperingkat tertinggi. Jadi pengakuan bahwa ia telah menerima hadis dari Anas Ibn Ma>lik diyakini kebenarannya. Itu berarti, antara keduanya terjadi persambungan sanad.

f.   Anas Ibn Ma>lik; beliau termasuk sahabat sekaligus murid Rasulullah.[49]  Dan gurunya selain Rasulullah adalah belajar dari Umar Ibn Khattab, dan muridnya antara lain cucunya ialah S|ama>mah Ibn Abdullah Ibn Anas.[50] Ini berarti ketersambungan sanad antara S|ama>mah dan Anas dapat dipercaya. Dan pernyataan Anas katau ia menerima hadis tersebut dari Umar tak dipertanyakan lagi.


g.  Umar Ibn al-Khattab
a)    Nama lengkapnya adalah Umar Ibn Khattab Ibn Nufail Abdul ‘Uzza Ibn Riya Ibn Abdullah Ibn Qart} Ibn Razzah Ibn ‘Adiy Ibn Ka’ab al-Qurasiy al-‘Aduwiy, masyhur, Amir al-Mukminin. Wafat pada tahun 58 H atau 59 H [51]
b)   Gurunya adalah Nabi Saw sekaligus adalah sahabat Nabi, dan Muridnya seperti Anas Ibn Matik[52]
Beliau termasuk salah seorang sahabat nabi dan terkenal dengan nama Amir al-Mukminin, yang tidak lagi dipertanyakan akan kepribadian beliau.
Setelah meneliti sanad dari Bukhariy melalui jalur al-H{asan Ibn Muhammad ternyata telah ditemukan seorang perawi yang bernama Abdullah Ibn al-Mus\anna> memiliki lemah seperti yang dikatakan oleh al-Nasa>iy, Abu Da>ud, Ibn Hibban, , al-Sajiy, al-Da>ruqut|\niy, kesemua dari mereka adalah perawi yang ulama yang diakui kepribadiannya,
Dengan demikian, penulis menganggap bahwa salah satu dari perawi hadis ini kurang d{a>bit, dia ialah Abdullah Ibn al-Mus\anna> dan sampai sekarang penulis masih belum yakin akan hasil temuan ini dan butuh kajian lebih lanjut.
Akan tetapi, jika hendak menempuh perbandingan riwayat dengan jalur lain  maka hadis tersebut tidak ditemukan jalur lain yang meriwayatkannya kecuali hanya dari al-Hasan Ibn Muhammad melalui jalur Umar ibn Khattab, dalam artian hadis ini hanya sendirian.









BAB III
PENUTUP

Ilmu al-jarh wa ta’dil ialah ilmu yang mempelajari tentang etika dan aturan dalam menilai cacat (kritik: al-jarh) dan sekaligus mengungkap dan memberi rekomendasi positif atas (kesalehan: al-ta’dil) terhadap ulama rawi melalui lafadz-lafadz penilaian yang tertentu, juga untuk mengetahui tingkatan lafadz-lafadz tersebut.
Mengenai kaedah jarh dan ta’dil, maka banyak hal yang mesti diperhatikan oleh seorang kritikus hadis dalam menilai seorang atau beberapa rawi hadis, diantaranya :
1.        Syarat-Syarat Bagi Ulama Yang Menta’dilkan Dan Menjarhkan
2.        Beberapa Ketentuan dalam Jarh wa Ta’dil
3.        Kontroversi Antara Al-Jarh Wa Ta’dil
4.        Lafadz-Lafadz Ilmu Al-Jarh Wa Ta’dil
5.        Dll
Serta pengaplikasian jarh ta’dil dalam penelitian sanad tidak membuat seorang ahli hadis  ceroboh dan cepat memberikan kesimpulan terhadap sebuah hadis sebelum ada penelitian yang secara mendalam dan bahkan pengakuan dari orang lain yang bergelut di dunia ilmu hadis.









DAFTAR PUSTAKA

al-Adlabi, Salahuddin Ibn Ahmad Manhaj Naqd al-Matan, Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1403 H/ 1983 M.
al-Asqalani, Al-Naw Ibn Hajar Tahzib at-Tahzib, (India: Majlis Dairat al-Ma’arif al-Nizamiyyah, 1325 H), Juz II, h. 402-406 dan Juz XII, h. 288.awi, Shahih Muslim bi Syarah al-Nawawi, Mesir: al-Matba’ah al-Misriyyah, 1924.
al-Asqalani,Ibn Hajar, Fath al-Bari. ttp. Dar al-Fikr al-Maktabah al-Salafiyyah, tth.
al-Khatib, Ajja Ushul al-Hadis “Ulumuhu wa Mustalahu. Beirut: Dar al-Fikr, 1989.
al-Khatib,Ajj, Ushul al-Hadis, Terj. Qodirun dan Ahmad Musyafiq, Gaya Media Pratama: Jakarta. 2003.
Latif, Abdul Aziz ibn Ibrahim Abdul ,Dhawabit al-Jarh wa Ta’dil, t.th.
M.Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Cet. I; Bandung: CV. Pustaka Setia,  2009), h. 157.
Mandzur,Ibnu , Lisan al-Arab, Pokok kata J-R-H. 1302.
al-Qatthan, Manna, Pengantar Studi Ilmu Hadis, Terj. Mifdhol Abdurrahman. Cet. IV; Jakarta Timur: Pustaka al Kautsar.2009.
al-Qurthubi, al-Jami li Ahkam Al-Quran, Kairo; Dar al-Kutub al-Arabi, 1387 H/ 1967 M.
Abdul Ba>qiy, Muhammad Fua>d. Miftah Kunu>n al-Sunnah, (Lahore, Aebak Ru>d, 1398 H/1978 M

Abdullah bin Taslim Al-Buthoni, Tawassul Ibadah Agung Yang Banyak Diselewengkan” t.tp : t.p, 2011

Abu al-Husayn Muslim bin Hajjaj al-Qusyairiy (Muslim), al-Jami’ al-shahih, juz 8 (Beyrut: Da>r al-Afa>q al-Jadi>dah, t.th

Abu Da>ud al-asy’as\ al-sijista>niy, Sulai>man al-azadiy, Sunan Abi Da>ud, jilid 1. t.t : Da>r Ibn Hazm, t,th

Abu Da>ud al-Sijista>niy, Sulaiman bin al-Asy’as\ al-Azadiy, Sunan Abi Da>ud, vol 2 (t.tp; Da>r al-Fikr, t.th/Maktabah al-sya>milah

Abu Ha>tim al-Taimiy al-Bastiy, Muhammad bin Hibban bin Ahmad. Al-S|iqa>t Ibn H{ibban, ed. I (t.tp : Da>r al-Fikr : 1395 H/1975 M

Ahmad bin Hanbal, Abu  ‘Abd Allah. Musnad Ahmad bin Hanbal, juz 3. T.tp: Da>r al-Fikr, T.th

Ahmad bin Husain, Abu Muhammad Mahmu>d bin Ahmad bin Mu>sa bin. Magha>ni al-Akhya>r Fi> Syarh Rija<l Ma’a>n al-As\a>r. vol 1. t.tp : t.p, t.th

Ahmad, Arifuddin. Paradigm Baru Memahami Hadis Nabi (Refleksi Pemikiran Pembaruan Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail) edt. Zubair, Edisi ke-2, Ciputat; MSCC, 2005

Ali Ibn Ahmad al-Dawudiy, Syams al-Din Muhammad ibn. Tabaqat al-Mufassirin, vol II (Beyrut : Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 1430 H/ 1938 M.

al-Alba>ni, Muhammad Nasir al-Din. “Al-Tawassul Anwa>uhu> Wa Ahka>muhu>, ed. III Beyrut : al-Maktabah al-Isla>mih

al-Alu>si>y, Syiha>b al-Di>n Mahmu>d Ibn ‘Abdullah al-Husai>ni>y. Ru>h al-Ma’a>ni>y Fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Adz{i>m Wa Sab’u al-Mas\a>ni>y, Makta>bah al-Sya>milah; http://www.altafsir.com. t.th

al-Asfaha>ni, Ra>ghib. Mufrada>t alfa>z al-Qur’a>n, (t.t; t.tp, t.th

al-Siba’i, Al-Sunnah wa Manakanatuha fi Tasyri’ al-Islam, ttp,: Dar al-Qaumiyyah, 1966.
Soetari, Endang Ilmu Hadis “Kajian Riwayah dan Dirayah”. Bandung: Mimbar Pustaka, 2005.
Sulaiman, Noor , Antologi Ilmu Hadis,Jakarta: Gaung Persada Press Jakarta, 2009.








[1] M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Cet. I; Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009), h. 157.
[2] Lihat Ibn Mandzur, Lisan al-Arab, Pokok kata J-R-H. Juz III. 1302, h. 246.
[3] Manna al-Qatthan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, Terj. Mifdhol Abdurrahman, (Cet. IV; Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2009), h. 82.
[4] Abdul Aziz ibn Ibrahim Abdul Latif, Dhawabit al-Jarh wa Ta’dil, h. 10.
[5] Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadis, (Cet. II; Jakarta: Gaung Persada Press Jakarta, 2009), h. 176.
[6] Ajj al-Khatib,Ushul al-Hadis, Terj. Qodirun dan Ahmad Musyafiq, (Gaya Media Pratama: Jakarta, 2003), h. 233.
[7] Ibn Mandzur,., h. 456
[8] Manna al-Qatthan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, h. 82
[9] Manna al-Qatthan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, h. 82
[10] Islam, baligh, berakal, dan kuat hapalannya.
[11] Agus Solahuddin dan Agus Suyadi,., h. 158.
[12] Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadis h. 176.
[13] Manna al-Qatthan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, h. 82
[14] Ajj al-Khatib,Ushul al-Hadis, H. 233
[15] Salahuddin Ibn Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matan (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1403 H/ 1983 M), hlm. 20-23
[16]  M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, h. 158.
[17] Ajja al-Khatib, Ushul al-Hadis “Ulumuhu wa Mustalahu”, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 266-268.
[18] Lihat selengkapnya, Amru Abdul Mu’in Salim, Tafsir Ulumul li al-Mudtadi’in, h. 160-161.
[19] M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, h. 163.
[20] Ajj al-Khatib,Ushul al-Hadis h. 241.
[21] Ajj al-Khatib,Ushul al-Hadis h. 241..,  
[22] Endang Soetari, Ilmu Hadis “Kajian Riwayah dan Dirayah”, (Bandung: Mimbar Pustaka, 2005), h. 208.
[23] M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi,., h. 168.
[24] M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi,., h. 168..,
[25] M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi,., h. 168..,
[26] Untuk lebih lengkapnya, silahkan buka lampiran-lampiran tentang kririk sanad H{adi>s\ tentang tawassul melalui doa dari orang shaleh.
                [27] Al-'Asqala>niy, Tahz\i>b al-Tahz\i>b, op.cit., juz 9, h. 39-40; juga Al-Zahabiy, “Tazkirat al-Huffa>z{”, op.cit., juz 2, h.555, Syams al-Din Muhammad ibn Ali ibn Ahmad al-Dawudiy (selanjutnya ditulis Ahmad al-Dawudiy), Tabaqa>t al-Mufassirin, juz II (Beirut : dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1430 H/ 1938 M), h. 104-105; Muhammad Ajjaj al-Khatib, “Usul”, op.cit., h. 309-310 , ustafa al-Siba’I, al-sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islamiy (Beirut : al-Maktab al-Islamiy, 1405 H/1985 M), h. 405, al-Nawawiy, Tahdz}i>b al-Asma, op.cit., juz 1, h. 83-93
                [28] Al-'Asqala>niy, Tahz\i>b al-Tahz\i>b, ibid., juga Al-Zahabiy, “Tazkirat al-Huffa>z{”, ibid,  Ahmad al-Dawudiy, Tabaqa>t al-Mufassirin, ibid. Muhammad Ajjaj al-Khatib, “Usul”, ibid, Mustafa al-Siba’I, al-sunnah wa Makanatuha…, ibid.
                [29] Al-Zahabiy, “Tazkirat al-Huffa>z{”, op.cit., juz 2, h. 556, al-Nawawiy, Tahdz}i>b al-Asma, ibid.
                [30] Al-Bukha>riy, karya-karyanya selain al-Jami’ al-sahih antara lain: al-Adab al-Mufradat, al-Tarikh al-Sighar, al-Musnad al-Kabir, al-Kitab al-‘Ilal fi yadan al-shalah, dan Biir al-Walidayn
                [31] Lihat Al-'Asqala>niy, Tahz\i>b al-Tahz\i>b, op.cit, juz 9, h. 39-45; Ibn Hibban, Kitab al-Siqat, juz IX (Heyderabad: Dar al-Ma’arif al-Usmaniyah, 1980 M), h. 113-114, juga Abu al-‘Ula al-Mubarak Kafuriy, Tuhfat al-Ahwaziy Syarh jami’ al-Turmuziy (t.tp,: Dar al-Fikr, t.th), h. 115-120; Muhammad Ajjaj al-Khatib, op.cit., h. 309-314, al-Nawawiy, Tahdz}i>b al-Asma, ibid.
                [32] Al-Zahabiy, “Tazkirat al-Huffa>z{”, op.cit., juz 2, h. 556. al-Nawawiy, Tahdz}i>b al-Asma, ibid.
[33] Lihat Al-'Asqala>niy, Tahz\i>b al-Tahz\i>b, op.cit,, juz 9, h. 45, al-Nawawiy, Tahdz}i>b al-Asma, ibid.
                [34] Lihat Syihab al-Din Abi Fadl Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-Asqalaniy, Muqaddimah Fath al-Ba>riy bi Syarh{ S{ah{i>h{ al-Bukha>riy, juz II (Bey>rut: Dar al-Fikr, 1414 H/ 1993 M), h. 102.
                [35] Lihat Al-'Asqala>niy, Tahz\i>b al-Tahz\i>b, op.cit,, juz 2, h. 275, juga al-Muziy, Tahz\i>b al-Kama>l fi…, op.cit., juz 6, h. 310-313, juga al-Ra>ziy al-Taimiy, al-Jarh{ wa al-Ta’di>l, op.cit, juz 3, h. 36, juga Abu Abdullah al-z}ahabiy, al-Ka>syif fi …, op.cit., juz 1, h. 329
                [36] Lihat Al-'Asqala>niy, Tahz\i>b al-Tahz\i>b, ibid. al-Muziy, Tahz\i>b al-Kama>l fi…, ibid, al-Ra>ziy al-Taimiy, al-Jarh{ wa al-Ta’di>l, ibid.
                [37] Lihat Al-'Asqala>niy, Tahz\i>b al-Tahz\i>b, ibid. al-Muziy, Tahz\i>b al-Kama>l fi…, ibid, juga al-Muziy, Tahz\i>b al-Kama>l fi…, ibid, al-Ra>ziy al-Taimiy, al-Jarh{ wa al-Ta’di>l, ibid. juga juga Abu Abdullah al-z}ahabiy, al-Ka>syif fi …, ibid
[38] al-Ra>ziy al-Taimiy, al-Jarh{ wa al-Ta’di>l, op.cit, juz 7, h. 305, juga Al-khatib Al-Bagdadiy, Tarikh Bagdad, op.cit., juz 4, h. 114. Dan juga Al-'Asqala>niy, Tahz\i>b al-Tahz\i>b, op.cit,, juz 9, h. 244, Yu>suf Ibn al-Zakkiy al-Mu>ziy, Tahz\i>b- al-Kama>l,  op.cit., juz 25, h. 539
[39] Al-'Asqala>niy, Tahz\i>b al-Tahz\i>b, ibid, dan juga Yu>suf Ibn al-Zakkiy al-Mu>ziy, Tahz\i>b- al-Kama>l,  ibid.
[40] al-Ra>ziy al-Taimiy, al-Jarh{ wa al-Ta’di>l, loc.cit
[41] Al-'Asqala>niy, Tahz\i>b al-Tahz\i>b, loc.cit
[42] al-Ra>ziy al-Taimiy, al-Jarh{ wa al-Ta’di>l, op.cit., juz 5, h. 177, dan juga Mahmu>d Ibn Ahmad, Magha>ni al-Akhya>r Fi> ..,, op.cit., juz 3, h. 150, juga Al-'Asqala>niy, Tahz\i>b al-Tahz\i>b, op.cit,, juz 5, h. 338, dan juga , Yu>suf Ibn al-Zakkiy al-Mu>ziy, Tahz\i>b- al-Kama>l,  op.cit., juz 16, h. 25
[43] Mahmu>d Ibn Ahmad, Magha>ni al-Akhya>r Fi> ..,, ibid, juga Al-'Asqala>niy, Tahz\i>b al-Tahz\i>b, ibid. dan juga , Yu>suf Ibn al-Zakkiy al-Mu>ziy, Tahz\i>b- al-Kama>l,  ibid.
[44] Mahmu>d Ibn Ahmad, Magha>ni al-Akhya>r Fi> ..,, ibid, juga Ibn Hajar al-'Asqala>niy, Tahz\i>b al-Tahz\i>b … ibid., juz 11, h. 236, Ibn Hajar al-Asyqala>niy, Taqri>b al-Tahz\i>b, ibid. juga Al-'Asqala>niy, Tahz\i>b al-Tahz\i>b, ibid.
[45] Lihat, al-'Asqala>niy, Tahz\i>b al-Tahz\i>b, ibid. juga, Yu>suf Ibn al-Zakkiy al-Mu>ziy, Tahz\i>b- al-Kama>l,  op.cit., juz 16, h. 26.
[46] Abu Abdullah al-z}ahabiy, al-Ka>syif fi …, op.cit., juz 4, h. 408, , Ibn Hajar al-Asyqala>niy, Taqri>b Al-Tahz\i>b, op.cit, juz 1, h. 134
[47] Abu Abdullah al-z}ahabiy, al-Ka>syif fi …, ibid
[48] Abu Abdullah al-z}ahabiy, al-Ka>syif fi …, ibid
[49] Silahkan buka kembali pembahasan tentang Anas Ibn Malik pada halaman 268..
[50] al-Muziy, Tahz\i>b al-Kama>l fi…, op.cit., juz 3, h. 353-355
[51] Lihat, Al-'Asqala>niy, Tahz\i>b al-Tahz\i>b, op.cit., juz 6, h. 45, juga Al-'Asqala>niy, Tahz\i>b al-Tahz\i>b, juz 7, h. 385-386
[52] Yu>suf Ibn al-Zakkiy al-Mu>ziy, Tahz\i>b- al-Kama>l,  op.cit., juz 21, h. 317

Comments

BERITA TERBARU !!

Popular posts from this blog

BIL MA'TSUR ( TAFSIR AYAT DENGAN AYAT )

download TAFSIR AL-NASAFIY

CARA MELAKUKAN TAKHRIJ HADIS

HADIS TARBAWIY DAN AKHLAK (BERKURANGNYA IMAN KARENA MAKSIAT)

kaedah 'ATAF - AL-'ATFU DALAM AL-QUR'AN

cara TAMBAHAN - kaedah ZIYADAH DALAM AL-QUR'AN

apa contoh MUKJIZAT AL-QUR'AN (Pengertian dan Pembagiannya)

cara melakukan MUNASABAH AYAT

QAWAIDH AL-TAHDIS (Pengertian , Ruang Lingkup dan Urgensinya )