KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS

KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS Pendahuluan latar belakang Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah dua sumber utama ajaran Islam. Oleh karena itu, keduanya selalu dijadikan landasan keyakinan, ritual, adat istiadat, etika, ekonomi, politik, peradaban dan seluruh aspek kehidupan umat Islam, baik yang sakral maupun duniawi, pada tataran ¥ abl minallah (vertikal) dan ¥ abl min al. -n ± s (horizontal).

KAEDAH 'AM DAN KHAS

A.   Pengertian ‘A<m, Bentuk-Bentuk dan Macam-Macamnya
1.    Pengertian  Al-‘A<m  
           Yang dimaksud dengan al-’A<m menurut bahasa berarti هو الشامل (yang meliputi),[1] sedangkan menurut istilah, terdapat beberapa pengertian yang diutarakan oleh para ulama diantaranya:
a)      Manna’ al-Qat}t}a>n: defenisi ’A<m (العام) adalah lafazh yang mencakup segala apa yang pantas baginya tanpa ada pembatasan.[2]
b)      Ar-Razi: ’A<m (العام) adalah lafazh yang mencakup segala apa yang pantas baginya sesuai dengan satu tujuan.[3]
c)      Subhi as-Saleh: ’A<m (العام) adalah lafazh yang menunjukkan padanya dalil, asal bentukan bahasanya mencakup semua person (jiwa) yang bisa dipercayai maknanya tanpa batas kualitas dan kuantitas. Contoh dalam Q.S. Yasin/36: 20.
وجاء من أقصي المدينة رجل يسعي (20)…


    Maka lafazh رجل bukan lafaz ’a>m karena ia menunjukkan seseorang tertentu.
فوجد فيها رجلين يقتتلان    
           Maka lafazh رجلين bukan lafazh ‘a>m karena menunjukkan dua orang tertentu.[4]
           Dari sekian banyak defenisi di atas, maka penulis lebih cenderung kepada pendapat Manna’ al-Qat}t}a>n, karena dapat dipahami bahwa itu merupakan umum.
          

2. Bentuk-Bentuk (s}i>ghat) Lafazh ‘A<m
Lafazh ’a>m mempunyai tanda-tanda (bentuk-bentuk) agar mudah mengetahuinya, adapun lafazh tersebut, diantaranya:
a.       Kull (كل), seperti QS Ali Imran/3: 185.
 كل نفس ذائقة الموت...(185)
Terjemahnya:
”Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati”.[5]
Lafazh Kull (كل) mubtada’,[6] sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al-Rahman/55: 26.
كل من عليها فان
b.      Lafazh-lafazh yang dimakrifatkan dengan al (alif lam) sebagai mufrad, sebagaimana firman Allah swt Q.S. Al-Maidah/5:38.
  والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما...(38)  
 atau sebagai jamak,[7] sebagaimana firman Allah swt Q.S. Al-Mu’minu>n/40:1.
 قد أفلح المؤمنون(1)
c.       Isim nakirah dalam konteks nafi dan nahi,[8] seperti dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 197.
فلا رفث ولا فسوق ولا جدال فى الحج...(197)
 Dan sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. Al-Isra>’/17: 23.
فلا تقل لهما أف...(23)
d.      Alladzi الذي).) dan allati التي)  ) serta cabang-cabangnya. Misalnya dalam firman Allah swt Q.S. Al-Ahqaf/46: 17.
والذي قال لوالديه أف لكما...(17)
Terjemahnya:
“Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya: “Cis bagi kamu keduanya…”
Maksudnya, setiap orang yang mengatakan seperti itu, berdasarkan ayat sesudahnya yang dalam bentuk jamak, yaitu firman Allah swt Q.S. Al-Ahqaf/46: 18. 
أولئك الذين حق عليهم القول...(18)
Terjemahnya:
“Mereka itulah orang-orang yang telah pasti ketetapan (azab) atas mereka bersama.”                       
e.       Semua isim syarat. Misalnya dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 158.
 فمن حج البيت أو اعتمر فلا جناح عليه أن يطوف بهما...(158)   
Ini untuk menunjukkan umum bagi semua yang berakal.[9]
3.  Macam-Macam Lafazh ‘A<m
Lafazh yang bersifat umum (العام)  terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
Pertama:  Umum yang tetap dalam keumumannya. Al-Qadhi Jalaluddin al-Balqini mengatakan: “Umum yang seperti ini jarang ditemukan, sebab tidak ada satu pun lafazh ‘a>m (umum) kecuali di dalamnya terdapat takhs}i>s} (pengkhususan).[10] Sebagaimana firman Allah swt dalam Q.S. Al-Hajj/22: 1.
  ياأيها الناس اتقوا ربكم...(1)   
Kekhususan ini tanpa ada mukallaf (beban padanya).[11] dan Dr. Sayyid Abdul Gaffar berpendapat bahwa, keumuman di sini tidak boleh ditakhs}i>s}.[12] Sebagaimana firman Allah  swt “wa ma> khalaqtu al-jinna wa al-insa illa> liya’budu>n”. Tetapi Al-Zarkasyi dalam al-Burhan mengemukakan, “Umum yang demikian banyak terdapat dalam al-Qur’an”. Lalu ia mengajukan beberapa contoh,[13] antara lain dalam Q.S. Al-Nisa>’/4: 176.
            والله بكل شئ عليم(176)
Dalam Q.S. Al-Kahfi/18: 49.
  ولا يظلم ربك أحدا (49)
Umum dalam kedua ayat ini tidak mengandung kekhususan.
Kedua: Umum tetapi yang dimaksud adalah khusus. Misalnya dalam firman Allah swt Q.S. A<li ‘Imran/3: 173
 الذين قال لهم الناس إن الناس قد جمعوا لكم فاخشوهم...(173)
 Yang dimaksud dengan “al-na>s” yang pertama adalah Nuaim bin Mas’ud, dan “al-na>s” yang kedua adalah Abu Sufyan. Kedua lafazh tersebut tidak dimaksudkan untuk makna umum.
Ketiga: Umum yang dikhusukan. Umum seperti ini banyak ditemukan dalam al-Qur’an. [14] Di antaranya adalah Q.S. Al-Baqarah/2: 187.
 وكلوا واشربوا حتي يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود من الفجر...(187)
Dan  Q.S. A<li ‘Imra>n/3: 97.
ولله علي الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا...(97)
Adapun perbedaan antara lafazh umum yang bermakna khusus dengan lafazh umum yang dikhususkan dapat dilihat dari berbagai sisi, yang terpenting antara lain:
Umum tetapi yang dimaksud adalah khusus (al-‘a>m al-mura>d bih al-khus}u>s}), tidak dimaksudkan untuk mencakup semua satuan atau individu yang dicakupnya sejak semula baik dari segi cakupan makna lafazh maupun dari hukumnya. Lafazh tersebut memang mempunyai individu-individu namun ia digunakan hanya untuk satu atau lebih individu. Sedang yang kedua dimaksudkan untuk menunjukkan makna umum, meliputi semua individunya, dari segi cakupan makna lafazh, tidak dari hukumnya. Maka lafazh “al-nas” dalam firman Allah الذين قال لهم الناس  meskipun bermakna umum tetapi yang dimaksud oleh lafazh dan hukumnya adalah satu orang.
Adapun lafazah “al-nas” dalam ayat “ولله علي الناس حج البيت”, maka ia adalah lafazh umum tetapi yang dimaksud adalah semua individu yang bisa dicakup oleh lafazh. Meskipun kewajiban haji hanya meliputi orang yang mampu saja diantara mereka secara khusus.

B. Pengertian Kha>s{ dan Macam-Macamnya
1. Pengertian Kha>s}
Adapun yang dimaksud dengan al-Kha>s} (khusus), menurut bahasa lawan kata dari al-’A<m  yang berarti al-Munfarid (tidak mencakup, tidak meliputi).[15] Sedang menurut Istilah terdapat beberapa pengertian, di antaranya:
1.      Al-kha>s} berarti tidak menghabiskan keseluruhan apa yang pantas baginya tanpa pembatasan.[16]
2.      Menurut al-’Amidi dalam Ushul Fiqh , kha>s}  ialah lafazh yang tidak patut digunakan bersama oleh jumlah yang banyak.[17]
3.      Al-Khud}ari Bik mendefinisikan kata kha>s} sebagai lafazh yang dari segi kebahasaan, ditentukan untuk satu arti secara mandiri.[18]
 Adapun al-takhs}i>s} adalah membatasi lafaz ‘am kepada afra>dnya dengan dalil yang menunjukkan demikian. Ibnu Subki memberikan definisi al-kha>s} adalah membatasi lafaz ‘a>m kepada satuan pengertiannya (afra>dnya).[19]
Menurut Manna’ al-Qat}t}a>n bahwa Takhs}i>s} adalah mengeluarkan sebagian apa yang dicakup lafazh ’a>m. [20]
2. Macam-macam Kha>s}
a. Takhs}i>s} al-Qur’an dengan al-Qur’an
Jumhur Ulama berpendapat bahwa al-Quran dapat mentakhs}i>s} al-Qur’an’ Mereka berargumen dengan dalil naqli dan aqli.[21] Dalil naqli yang dikemukakan adalah kenyataan banyaknya ayat al-Quran yang mentakhs}i>s}kan lafazh ’a>m dalam al-Quran. Sebagaimana dalam Q.S. al-Baqarah/2: 228 sebagai berikut:
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &ärãè%...(228) 
Terjemahnya:       
”Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'>.”
Keharusan perempuan bercerai dari suaminya untuk ber‘iddah tiga quru>’ itu berlaku umum untuk semua dengan tidak melihat keadaan dan sifat perempuan itu saat bercerai. Pengertian ’a>m ayat ini ditakhs}i>s} oleh firman Allah swt dalam Q.S. al-Ahzab(33): 49 sebagai berikut:

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) ÞOçFóss3tR ÏM»oYÏB÷sßJø9$# ¢OèO £`èdqßJçGø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br&  Æèdq¡yJs? $yJsù öNä3s9 £`ÎgøŠn=tæ ô`ÏB ;o£Ïã $pktXrtF÷ès? ( £`èdqãèÏnGyJsù £`èdqãmÎhŽ| ur %[n#uŽ|  WxŠÏHsd ÇÍÒÈ
 Terjemahnya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, Kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.”

Dengan adanya ayat khusus tentang perempuan yang berpisah dengan suaminya karena kematian harus ber’iddah selama 4 bulan sepuluh hari, maka hukum a>m yang mengharuskan beriddah 3 quru>’ tidak lagi mencakup perempuan yang ditalak dalam keadaan belum pernah digauli.
Adapun dalil aqli dari Jumhur ulama adalah bila dua nas} al-Qur’an bertemu, satu di antaranya umum dan yang satu lagi khusus, dan tidak mungkin dikumpulkan, maka tentu harus beramal dengan salah satu diantaranya, yaitu: umum atau khusus.
b. Takhs}i>s} al-Qur’an dengan al-Sunnah
Untuk sunnah yang kekuatannya mutawa>tir, para ulama tidak berbeda pendapat tentang kebolehannya sunnah itu mentakhs}i>s} al-Qur’an. Tetapi untuk sunnah yang kekuatannya a>h}a>d, para ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya mentakhs}i>s} al-Qur’an.[22] Contoh pada Q.S. An-Nisa>’/4: 24.
àM»oY|ÁósßJø9$#ur z`ÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# žwÎ) $tB ôMs3n=tB öNà6ãY»yJ÷ƒr& ( |=»tGÏ. «!$# öNä3øn=tæ 4 ¨@Ïmé&ur Nä3s9 $¨B uä!#uur öNà6Ï9ºsŒ...(24)
Terjemahnya:
”Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian.”
Ayat ini mengandung arti ’a>m, boleh mengawini siapa saja perempuan yang tidak disebutkan sebelumnya (dalam Q.S al-Nisa>’/4: 22-24). Ayat tersebut ditakhs}i>s} oleh hadis dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا وَلَا عَلَى خَالَتِهَا[23]
      Artinya:
”Tidak boleh menikahi seorang perempuan dengan saudara ayahnya dan tidak boleh dengan saudara ibunya.”
Ketentuan ayat diatas berlaku umum yang kemudian di-takhsish dengan sabda Rasulullah saw. Yang menerangkan bahwa poligami dengan saudara perempuan bapak dan ibu istrinya juga dilarang.


c. Takhs}i>s} Sunnah dengan al-Qur’an[24]
           Terkadang ayat al-Qur’an mengkhususkan keumuman Sunnah. Para ulama mengemukakan contoh dengan hadis riwayat abu Waqid al-Laits r.a, berkata, Nabi Sallallahu ‘Alaih Wasallam bersabda yang artinya “Bagian apa saja yang dipotong dari hewan ternak hidup maka ia adalah bangkai”. Hadis ini ditakhsis oleh Q.S. An-Nahl/16: 80 yang artinya: “Dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu onta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu)”.

d. Takhs}i>s} Sunnah dengan Sunnah[25]
Jumhur ulama berpendapat bahwa boleh takhs}i>s} sunnah dengan sunnah, baik sunnah itu dalam bentuk ucapan, perbuatan atau keputusan. Misalnya hadis riwayat dari Sa’id ibn Abdullah riwayat Bukhari:
قَالَ فِيمَا سَقَتْ السَّمَاءُ وَالْعُيُونُ أَوْ كَانَ عَثَرِيًّا الْعُشْر....[26]              
Artinya:
”Tanaman yang dialiri oleh hujan, matahari dan sungai, zakatnya sepersepuluh.”
Hadis ini secara ’a>m menjelaskan kewajiban zakat atas tanaman yang dialiri oleh hujan, mata air atau sungai sebanyak sepersepuluh, baik sudah sampai satu nas}ab atau belum. Keumuman hadis ini ditakhsis oleh hadis Nabi saw dari Sa’id al-Khudri yang mengatakan bahwa:
أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسَاقٍ مِنْ تَمْرٍ وَلَا حَبٍّ صَدَقَةٌ[27]

Artinya:
”Buah-buahan dan biji-bijian yang kurang dari lima wasaq tidak diwajibkan zakat”.

B.    Kaidah-kaidah ’A<m dan Kha>s}
1.Kaidah-kaidah ’A<m
Kaidah Pertama:
الألفاظ معارف و نكرات. فكل إسم معرفة ذي أفراد يفيد العموم, و كل لفظ نكرة في النفي أو النهي أو الشرط أو الاستفهام أو الا متنان  فإنه يفيد العموم سواء كان إسما أو فعلا.[28]
Artinya:
Lafazh terdiri dari ma’rifah dan nakirah. Setiap isim ma’rifah yang memiliki individu-individu, dan setiap lafazh nakirah dalam konteks nahi> (larangan), nafi> (penegasian), syart} (syarat), istifhām (pertanyaan) dan imtina>n (ucapan selamat) menunjuk pengertian umum baik dia berupa isim atau fi’l (kata kerja).

Kaidah ini sangat luas, mencakup s}i>gah-s}i>gah (bentuk-bentuk) keumuman secara lafazh.
Setiap isim ma’rifah yang memiliki satuan-satuan (individu-individu) mengandung arti umum. Maksudnya sesuatu yang tidak memiliki satuan-satuan seperti nama orang, misalnya: Muhammad, adalah nama khusus yang tidak tercakup dalam kaidah ini.
Yang termasuk dalam isim ma’rifah yang memiliki satuan-satuan (individu-individu) adalah:
1.      Asma>’ Maus}u>lah (Kata Sambung)
Isim maus}u>l menunjukkan keumuman baik bentuknya mufrad, muthanna> atau jamak. Yang termasuk asma>’ maus}u>lah adalah:
a.       الذي danالتي serta cabang-cabangnya. Terkadang "الذي" berarti "الذين".
Sebagaimana dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 17.
مثلهم كمثل الذي استوقد نارا...(17)
b.      من mencakup bentuk mudhakkar, muannath, mufrad, muthanna> dan jamak.  Kebanyakan digunakan untuk ‘a>lim (yang mengetahui/berakal).
Misalnya dalam Q.S. Al-Rahman/55: 46.
و لمن خاف مقام ربه جنتان(46)
c.       ما kebanyakan digunakan untuk yang tidak berilmu/berakal, meskipun terkadang juga digunakan untuk yang berakal.
Misalnya dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 229.
فلا جناح عليهما فيما افتدت به...(229)
d.      الألف dan اللام digunakan untuk yang berakal dan yang selainnya.
Misalnya dalam Q.S. Al-Nur/24: 2.
الزانية و الزاني فاجلدوا...(2)
e.       ذا  digunakan untuk yang berakal dan yang selainnya, dan syarat digunakannya sebagai maus}u>lah adalah dengan didahului oleh من atau ما yang bersifat pertanyaan.
Misalnya dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 255.
من ذاالذي يشفع عنده إلا بإذنه...(255)
f.        أيّ sebagaimana dalam Q.S. Maryam/19: 69.
ثم لننزعن من كل شيعة أيهم أشد على الرحمن عتيا(69)
2.   Jamak secara umum, baik yang dita’rif dengan menggunakan al-la>m atau dengan al-id}a>fah dengan syarat bukan hal tertentu yang diketahui.[29]
            Maksud dari jamak secara mutlak menunjukkan pengertian umum adalah baik yang berbentuk mudhakkar atau mu’annath, baik berupa jamak yang beraturan (sa>lim) dan yang tidak beraturan (taksi>r), baik berupa jamak qillah atau pun jamak kathrah dan begitu pula isim jamak.
Misalnya dalam Q.S. AL-Baqarah/2: 210.
إلى الله ترجع الأمور(210)
Terjemahnya:
      Dan hanya kepada Allah dikembalikan segala urusan.
            Misalnya yang dita’rif dengan id}a>fah, sebagaimana dalam Q.S. AL-Nisa>’/4: 11.
يوصيكم الله في أولادكم...(11)
Kata al-aula>d mencakup setiap anak secara umum.
 3.   Jika bentuk tunggal (mufrad) merupakan isim jenis kebanyakan penyebutannya dimaksudkan sebagai jamak baik dalam bentuk nakirah atau ma’rifah dengan menggunakan alif la>m atau pun id}a>fah, dengan syarat tidak didapati adanya hal tertentu yang diketahui.[30]
Contoh isim jenis bentuk tunggal nakirah yang menunjukkan jamak adalah dalam Q.S. AL-Hajj/22: 5.
ثم نخرجكم طفلا...(5)
 Contoh bentuk tunggal yang diid}a>fahkan yang menunjukkan jamak adalah Q.S. Al-Nu>r/24: 61.
أو صديقكم...(61)
Contoh bentuk tunggal yang dita’rif dengan menggunakan alif dan la>m yang menunjukkan jamak adalah Q.S. Ali ‘Imra>n/3: 119.
و تؤمنون بالكتاب كله...(119)
4.  Nakirah dalam konteks nahi> (larangan), nafi> (penegasian), syart} (syarat), istifhām (pertanyaan) dan imtina>n (pemberian anugerah/nikmat) menunjukkan pengertian umum.
Contoh nakirah dalam konteks penegasian, dalam Q.S. Al-Infit}a>r/82: 19.
tPöqtƒ Ÿw à7Î=ôJs? Ó§øÿtR <§øÿuZÏj9 $\«øx© ( ãøBF{$#ur 7Í´tBöqtƒ °! ÇÊÒÈ  
Terjemahnya:
“(yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain. dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah.”
Kata nafs dan syai’a dalam ayat ini adalah bentuk nakirah yang dinegasikan sehingga menunjukkan pengertian umum, siapa pun orangnya tidak mampu memberikan apa pun kepada orang lain (pada hari kiamat).[31]
Contoh nakirah dalam konteks larangan, dalam Q.S. Al-Nisa’/4: 36.
(#rßç6ôã$#ur ©!$# Ÿwur (#qä.ÎŽô³è@ ¾ÏmÎ/ $\«øx©
Terjemahnya:
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.”
Maksudnya  larangan mempersekutukan Allah dengan cara bagaimana pun; baik berbentuk niat, perkataan, dan perbuatan sebagaimana juga mencakup segala macam syirik baik syirik besar, kecil, nyata maupun tersembunyi.[32]
Contoh nakirah dalam konteks syarat, dalam Q.S. Fus}s}ilat/41: 46.
من عمل صالحا فلنفسه...(46)
Ayat ini mencakup seluruh amal salih besar atau pun kecil, tersembunyi ataupun terang-terangan.
Contoh nakirah dalam konteks pertanyaan, dalam Q.S. Fa>t}ir/35: 3.
هل من خالق غير الله يرزقكم من السماء و الأرض لا إله إلا هو...(3)
Terjemahnya:
“Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki kepada kamu dari langit dan bumi ? Tidak ada Tuhan selain Dia.”
            Dalam kaidah ini dapat pula ditambahkan jika kata min (من) dihubungkan dengan nakirah, maka kata itu merupakan petunjuk untuk menetapkan pengertian umum.[33]
            Contoh nakirah dalam konteks pemberian anugerah/nikmat (imtina>n), dalam Q.S. Al-Furqa>n/25: 48.
و أنزلنا من السماء ماء طهورا (48)
            Maka setiap air yang diturunkan dari langit merupakan air yang bersih.

Kaidah Kedua:
قد استقر في عرف الشارع أن الأحكام المذكورة بصيغة المذكرين إذا أطلقت و لم تقترن بالمؤنث فإنها تتناول الرجال و النساء.[34]
Artinya:
Telah menjadi ketetapan sya>ri’ (Allah swt) bahwa hukum-hukum yang disebutkan dengan menggunakan bentuk mudhakkarin (jamak jenis laki-laki) jika disebutkan secara bebas  tanpa disertai dengan bentuk mu’annath (jenis perempuan), maka ia mencakup laki-laki dan perempuan.
            Misalnya dalam Q.S. Al-Nisa>’/4: 11.
فإن كان له إخوة فلأمه السدس...(11)
            Kata ikhwah di sini mencakup semua saudara baik itu laki-laki maupun perempuan.

Kaidah Ketiga:
الخطاب لواحد من الأمة يعم غيره  إلا لدليل يخصصه به.[35]
ِArtinya:
Ucapan/suatu pembicaraan yang ditujukan kepada salah satu umat mencakup secara umat yang lainnya, kecuali ada petunjuk yang mengkhususkannya.
            Kaidah ini sangat penting, sebagaimana telah diungkapkan oleh al-Sya>t}ibi> dengan perkataannya bahwa: “ setiap dalil/petunjuk syar’i bisa dibawa menjadi hal yang umum/tidak terbatas, baik itu bagi kita itu umum atau pun hal yang terbagi-bagi, kecuali ada dalil yang mengkhususkannya.
Misalnya dalam Q.S. Al-Ahzab/33: 53.
وإذا سألتموهن متاعا فاسألوهن من وراء حجاب ذلكم أطهر لقلوبكم و قلوبهن...(53)
Ayat ini merupakan dalil yang jelas bahwa kewajiban berhijab merupakan hal yang umum/mencakup seluruh wanita, tidak dikhususkan pada istri-istri Nabi saw saja, meskipun lafazh aslinya khusus untuk mereka (istri-istri Nabi), karena keumuman ‘illah (factor penyebab) merupakan petunjuk atas keumuman hukum di dalamnya.        
Adanya ‘illah (sebab) hukum dalam ayat ini merupakan indikasi yang jelas mengenai keumuman hukum ayat ini, sebagai ‘illahnya adalah firman Allah swt dalam ayat ini " ذلكم أطهر لقلوبكم و قلوبهن..."karena tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa selain daripada istri-istri Nabi saw tidak membutuhkan kesucian hati mereka dan kesucian hati kaum lelaki dari kegelisahan/kecemasan terhadap mereka (perempuan). Telah menjadi ketetapan dalam ilmu Ushul Fiqh bahwa ‘illah (sebab) mencakup/meliputi seluruh ma’lu>lnya (akibatnya).[36]

Kaidah Keempat:
الخطابات العامة في القرآن تشمل النبي صلى الله عليه وسلم كما أن الخطابات الموجهة إليه عليه الصلاة والسلام تشمل الأمة إلا لدليل.[37]
Artinya:
Ucapan-ucapan/pembicaraan yang bersifat umum dalam al-Qur’an berlaku bagi Nabi Muhammad saw, sebagaimana pembicaraan yang ditujukan kepada Nabi saw berlaku juga bagi umat secara umum kecuali ada dalil yang menunjukkan pada hal yang tidak demikian.
            Ucapan/perkataan yang bersifat umum dalam al-Qur’an berlaku juga bagi Nabi Muhammad saw karena Nabi saw juga mengemban taklif sehingga pembicaraan yang sifatnya umum bagi umat juga berlaku bagi Nabi saw.
            Misalnya dalam Q.S. Ali ‘Imran/3: 200.
            يا أيها الذين آمنوا اصبروا و صابروا ورابطوا و اتقوا الله...(200)
            Sedangkan ucapan-ucapan yang diarahkan kepada Rasulullah saw, berlaku juga bagi umat secara umum kecuali ada dalil yang lain. Hal ini dikarenakan Nabi saw merupakan suri tauladan bagi umatnya, sehingga pembicaraan/ucapan tersebut diarahkan kepada siapa yang menjadi panutan/tauladan umat bukan berarti mengkhususkan pada beliau saja hukumnya, tetapi perkataan tersebut berlaku juga bagi umat secara keseluruhan yang terwakili oleh pribadi Nabi saw. Sebagaimana telah diketahui bahwa pada dasarnya, ucapan yang disampaikan kepada seorang tokoh yang dijadikan tauladan juga merupakan perkataan bagi para pengikutnya. Ini dilihat dari sudut pandang hukumnya bukan dari segi lafazhnya, maka keumuman ini bersifat syar’i.[38]
            Misalnya dalam Q.S. Al-T{ala>q/65: 1.
يا أيها النبي إذا طلقتم النساء فطلقوهن لعدتهن...(1)
            Pada awal ayat ini yang diajak berbicara adalah Nabi Muhammad saw kemudian Allah swt berfirman setelahnya  " فطلقوهن "dengan menggunakan bentuk jamak, inilah yang merupakan indikator/keterangan dalam ayat yang menunjukkan bahwa pembicaraan tersebut diarahkan kepada seluruh umat secara umum.[39]
Kaidah Kelima:
إذا كان أول الكلام خاصا, و آخره بصيغة العموم, فإن خصوص أوله لا يكون مانعا من عموم آخره.[40]
ِِArtinya:
Jika pada awal perkataan menunjukkan sesuatu yang khusus kemudian di akhir perkataan berbentuk umum, maka bentuk khusus yang ada pada awal perkataan tidak menghalangi keumuman akhir perkataan tersebut.
            Misalnya dalam Q.S. Al-Maidah/5: 38.
و السارق و السارقة فاقطعوا أيديهما...(38)
Kemudian pada ayat setelahnya Q.S. Al-Maidah/5:39.
فمن تاب من بعد ظلمه و أصلح فإن الله يتوب عليه...(39)
            Pada ayat yang pertama hanya terbatas pada salah satu sifat khusus dari orang-orang yang zalim yaitu mencuri. Sedangkan pada ayat setelahnya dijelaskan taubat setelah melakukan kezaliman/kejahatan dan memperbaiki diri bagi semua orang zalim (apa pun bentuk kezalimannya). Jadi, tidak dapat  dikatakan bahwa ayat yang kedua hanya dikhususkan/terbatas pada salah satu sifat khusus dari orang-orang yang berbuat zalim, tetapi ayat kedua tersebut tetap bersifat umum.

Kaidah Keenam:
حذف المتعلق المعمول فيه يفيد تعميم المعنى المناسب له.[41]
ِArtinya:
Peniadaan objek kalimat menunjukkan pengertian umum yang sepadan.
            Apabila suatu kata kerja (fi’l) –ataupun yang mengandung arti kata kerja- dihubungkan dengan suatu objek tertentu, pengertiannya menjadi terbatas hanya pada kata yang berkaitan. Akan tetapi jika objek kata kerja ataupun yang mengandung arti kata kerja itu dibuang (tidak disebutkan), kata tersebut menunjuk pengertian umum.
            Misalnya dalam Q.S. Al-Nur/24: 61.
كذالك يبين الله لكم الآيات لعلكم تعقلون(61)
            Objek dalam kalimat ini memang tidak disebutkan. Hal ini untuk menunjuk pengertian umum, yatu agar kalian memikirkan tentang Allah yaitu semua yang mengarahkan/memberi petunjuk kepada-Nya dan yang telah diajarkan kepada kalian, serta memikirkan semua yang telah diturunkan kepada kalian berupa al-Qur’an dan hikmah yang terkandung di dalamnya, dan berpikir tentang Allah beserta semua sifat-Nya.[42] Jadi semua makna yang sepadan dalam pengertian kata berpikir adalah bagian dari pengertian ayat tersebut di atas.


2. Kaidah-Kaidah Kha>s}
إذا ورد الشرط, أو الاستثناء, أو الصفة, أو الغاية, أو الإشارة ب"ذلك", بعد مفردات أو جمل متعاطفة, عاد إلى جميعها, إلا بقرينة.[43]
Artinya:
Jika ada syarat (syart}), pengecualian (istithna>’), sifat, batas maksimal (ga>yah),petunjuk (isya>rah) dengan menggunakan lafazh “itu” (dha>lika), setelah kata-kata terperinci atau kalimat bersambung, maka kembali kepada semua kata atau kalimat tersebut, kecuali ada indikator yang menunjukkan kembalinya kepada selainnya.
            Contoh dari syarat (syart}), dalam Q.S. Al-Maidah/5: 89 tentang kafarat melanggar sumpah (yami>n).
فكفارته إطعام عشرة مساكين من أوسط ما تطعمون أهليكم أو كسوتهم أو تحرير رقبة فمن لم يجد فصيام ثلاثة أيام...(89)
Ayat " فمن لم يجد" kembali pada ketika perkara yang disebutkan sebelumnya tersebut.
            Contoh dari pengecualian (istithna>’), dalam Q.S. Al-Nisa’/4: 43.
يا أيها الذين آمنوا لا تقربوا الصلاة و أنتم سكارى حتى تعلموا ما تقولون ولا جنبا إلا عابري سبيل حتى تغتسلوا...(43)
Ayat  " إلا عابري سبيل "kembali kepada kata " جنبا".
            Contoh dari batas maksimal (ga>yah), dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 187.
وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود من الفجر...(187)
Ayat " حتى يتبين" kembali kepada makan dan minum.
            Contoh dari sifat, dalam Q.S. Fa>t}ir/35: 32-33.
ثم أورثنا الكتاب الذين من عبادنا فمنهم ظالم لنفسه و منهم مقتصد و منهم سابق بالخيرات بإذن الله ذلك هو الفضل الكبير(32)جنات عدن يدخلونها يحلون فيها من أساور من ذهب و لؤلؤا ولباسهم فيها حرير(33)
Ayat  " جنات عدن يدخلونها "kembali kepada ketiga pembagian yang disebutkan pada ayat sebelumnya.
            Contoh dari kata petunjuk dengan menggunakan “itu” (dha>lika), dalam Q.S. Al-Furqan/25: 68.
و الذين لا يدعون مع الله إلها آخر ولا يقتلون النفس التى حرم الله إلا بالحق ولا يزنون ومن يفعل ذلك يلق أثاما(68)
Maka kata petunjuk ذلك pada ayat tersebut kembali kepada semua yang disebutkan sebelumnya.




[1]Kha>lid Ibn ’Uthma>n al-Sabt, Qawa>’id al-Tafsi>r; Jam’an wa Dira>satan, Juz II (Saudi Arabia: Dar Ibn 'Affan, 1997), h. 547.

                [2]Defenisi ini sependapat dengan As-Suyuti. Lihat: al-Itqan fi Ulum al-Quran, jilid 2 (Cet I; ast-thaqafiyah, 1416H/ 1996M).

                [3]Muhammad Bakr Ismail, loc. cit

                [4]Subhi al-Salih, Maba>hith fi ’Ulu>m al-Qur’an (Cet XVII; Beirut: Dar al-Ilm al-Malayin, 1988) h. 304.

[5]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1990), h. 109.

                [6]Jalaluddin al-Suyuti, Al-Itqan fi Ulum al-Quran, Jilid 2 (Cet I; ast-Thaqafiyah, 1416H/ 1996M) h. 41. 

                [7]Subhi al-Salih, op. cit h. 305.

                [8]Manna al-Qattan, op. cit., h.27.
                [9]Ibid.
                [10]Manna al-Qattan, op. cit., h.276.
                [11]Jalaluddin al-Suyuti,  op. cit., h.42.
                [12]Ahmad Abd al-Gaffar, Qad}a>ya> fi ’Ulu>m al-Qur’an, Tu’i>nu ’ala> Fah}mihi (Iskandariah: ar al-Ma’rifah al-Jamiah, 1410/1990), h. 83.
                [13]Manna al-Qattan, loc. cit.
                [14]Ibid., h. 277.
15]Kha>lid Ibn ’Uthma>n al-Sabt, op. cit. h. 610.
  
[16]Lihat Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, diterjemahkan oleh Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib (Cet. I; Semarang: Dina Utama Semarang, 1994), h. 299.

[17]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II (Cet. IV; Jakarta: Kencana, 2008), h. 83.

[18]Khudari Bik, Ushul Fiqh (Beirut: Dar Fikr, 1988), h. 172.

[19]Amir Syarifuddin, op. cit., h. 83.  

                [20]Manna’ al-Qattan,  loc. cit.

[21]Amir Syarifuddin, op. cit., h. 94.
[22]Ibid., h. 96.

[23]Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, juz II (Kairo: Matba’ah al-Misriyah, 1993), h. 439.

[24]Manna al-Qattan, op. cit., h.280.

[25]Amir Syarifuddin, op. cit., h. 99.

[26]Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari (Beirut: al-Maktabah al-Islamiyah, 1978), h. 408. 

[27]Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi, op. cit., h. 284

[28]Kha>lid Ibn ’Us\ma>n al-Sabt, op. cit., h. 548.
[29]Kha>lid Ibn ’Uthma>n al-Sabt, op. cit., h. 552.

[30]Ibid., h. 553.

[31]Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-kaidah Penafsiran al-Qur’an; Disusun berdasarkan al-Qawā’id al-Hisān lī Tafsīr al-Qur’ān Karya al-Sa’di (Cet. II; Bandung: Penerbit Mizan, 1998), h. 66.

[32] Kha>lid Ibn ’Uthma>n al-Sabt, op. cit., h. 562.

[33]Abd. Rahman Dahlan, op. cit., h. 68.

[34]Kha>lid Ibn ’Uthma>n al-Sabt, op. cit., h. 571.

[35]Ibid., h. 573.

[36]Ibid., h. 574.

[37]Ibid., 578.

[38]Ibid., h. 578-579.

[39]Ibid., h. 580.

[40]Ibid., h. 586.

[41]‘Abd al-Rahma>n ibnu Na>s}ir al-Sa‘di>, Al-Qawa>‘id al-Hisa>n liTafsi>r al-Qur’a>n (Riya>d}: Maktabah al-Ma‘a>rif, 1980), h. 46.
[42]Ibid.

[43]Kha>lid Ibn ’Uthma>n al-Sabt, op. cit., h. 611.

Comments

BERITA TERBARU !!

Popular posts from this blog

BIL MA'TSUR ( TAFSIR AYAT DENGAN AYAT )

download TAFSIR AL-NASAFIY

cara atau Kaedah al-Jarh Wa al-Ta’dil Serta Aplikasinya

CARA MELAKUKAN TAKHRIJ HADIS

HADIS TARBAWIY DAN AKHLAK (BERKURANGNYA IMAN KARENA MAKSIAT)

kaedah 'ATAF - AL-'ATFU DALAM AL-QUR'AN

cara TAMBAHAN - kaedah ZIYADAH DALAM AL-QUR'AN

apa contoh MUKJIZAT AL-QUR'AN (Pengertian dan Pembagiannya)

cara melakukan MUNASABAH AYAT

QAWAIDH AL-TAHDIS (Pengertian , Ruang Lingkup dan Urgensinya )