A. Pengertian ‘A<m, Bentuk-Bentuk dan
Macam-Macamnya
1.
Pengertian Al-‘A<m
Yang
dimaksud dengan al-’A<m menurut bahasa berarti هو الشامل (yang meliputi),
sedangkan menurut istilah, terdapat beberapa pengertian yang diutarakan oleh
para ulama diantaranya:
a)
Manna’
al-Qat}t}a>n: defenisi ’A<m (العام) adalah lafazh yang mencakup segala
apa yang pantas baginya tanpa ada pembatasan.
b)
Ar-Razi: ’A<m
(العام) adalah lafazh yang mencakup segala apa yang pantas baginya
sesuai dengan satu tujuan.
c)
Subhi
as-Saleh: ’A<m (العام) adalah lafazh yang menunjukkan
padanya dalil, asal bentukan bahasanya mencakup semua person (jiwa) yang bisa
dipercayai maknanya tanpa batas kualitas dan kuantitas. Contoh dalam Q.S.
Yasin/36: 20.
وجاء من أقصي المدينة رجل يسعي (20)…
Maka
lafazh رجل bukan lafaz ’a>m karena ia menunjukkan seseorang
tertentu.
فوجد فيها رجلين يقتتلان
Maka
lafazh رجلين bukan lafazh ‘a>m karena menunjukkan dua orang
tertentu.
Dari
sekian banyak defenisi di atas, maka penulis lebih cenderung kepada pendapat
Manna’ al-Qat}t}a>n, karena dapat dipahami bahwa itu merupakan umum.
2.
Bentuk-Bentuk (s}i>ghat) Lafazh ‘A<m
Lafazh ’a>m mempunyai tanda-tanda
(bentuk-bentuk) agar mudah mengetahuinya, adapun lafazh tersebut, diantaranya:
a.
Kull (كل), seperti
QS Ali Imran/3: 185.
كل نفس ذائقة الموت...(185)
Terjemahnya:
”Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati”.
Lafazh Kull
(كل) mubtada’, sebagaimana
firman Allah dalam Q.S. Al-Rahman/55: 26.
كل من عليها فان
b.
Lafazh-lafazh
yang dimakrifatkan dengan al (alif lam) sebagai
mufrad, sebagaimana firman Allah swt Q.S. Al-Maidah/5:38.
والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما...(38)
atau sebagai jamak,
sebagaimana firman Allah swt Q.S. Al-Mu’minu>n/40:1.
قد أفلح المؤمنون(1)
c.
Isim nakirah
dalam konteks nafi dan nahi, seperti
dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 197.
فلا رفث ولا فسوق
ولا جدال فى الحج...(197)
Dan sebagaimana
firman-Nya dalam Q.S. Al-Isra>’/17: 23.
فلا تقل لهما أف...(23)
d.
Alladzi الذي).) dan allati التي)
) serta cabang-cabangnya. Misalnya dalam firman Allah swt Q.S.
Al-Ahqaf/46: 17.
والذي قال لوالديه أف لكما...(17)
Terjemahnya:
“Dan
orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya: “Cis bagi kamu keduanya…”
Maksudnya,
setiap orang yang mengatakan seperti itu, berdasarkan ayat sesudahnya yang
dalam bentuk jamak, yaitu firman Allah swt Q.S. Al-Ahqaf/46: 18.
أولئك الذين حق عليهم القول...(18)
Terjemahnya:
“Mereka
itulah orang-orang yang telah pasti ketetapan (azab) atas mereka
bersama.”
e.
Semua isim syarat. Misalnya dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 158.
فمن حج البيت أو اعتمر
فلا جناح عليه أن يطوف بهما...(158)
Ini untuk menunjukkan umum bagi semua yang berakal.
3. Macam-Macam Lafazh ‘A<m
Lafazh
yang bersifat umum (العام) terbagi menjadi tiga
macam, yaitu:
Pertama: Umum yang tetap dalam keumumannya. Al-Qadhi
Jalaluddin al-Balqini mengatakan: “Umum yang seperti ini jarang ditemukan,
sebab tidak ada satu pun lafazh ‘a>m (umum) kecuali di dalamnya
terdapat takhs}i>s} (pengkhususan).
Sebagaimana firman Allah swt dalam Q.S. Al-Hajj/22: 1.
ياأيها الناس اتقوا
ربكم...(1)
Kekhususan ini
tanpa ada mukallaf (beban padanya).
dan Dr. Sayyid Abdul Gaffar berpendapat bahwa, keumuman di sini tidak boleh ditakhs}i>s}.
Sebagaimana firman Allah swt “wa
ma> khalaqtu al-jinna wa al-insa illa> liya’budu>n”. Tetapi Al-Zarkasyi
dalam al-Burhan mengemukakan, “Umum yang demikian banyak terdapat dalam
al-Qur’an”. Lalu ia mengajukan beberapa contoh,
antara lain dalam Q.S. Al-Nisa>’/4: 176.
والله بكل شئ عليم(176)
Dalam Q.S.
Al-Kahfi/18: 49.
ولا
يظلم ربك أحدا (49)
Umum dalam kedua
ayat ini tidak mengandung kekhususan.
Kedua:
Umum tetapi yang dimaksud adalah khusus. Misalnya dalam firman Allah swt Q.S.
A<li ‘Imran/3: 173
الذين قال لهم الناس
إن الناس قد جمعوا لكم فاخشوهم...(173)
Yang dimaksud dengan “al-na>s” yang
pertama adalah Nuaim bin Mas’ud, dan “al-na>s” yang kedua adalah Abu
Sufyan. Kedua lafazh tersebut tidak dimaksudkan untuk makna umum.
Ketiga:
Umum yang dikhusukan. Umum seperti ini banyak ditemukan dalam al-Qur’an. Di antaranya
adalah Q.S. Al-Baqarah/2: 187.
وكلوا واشربوا حتي يتبين
لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود من الفجر...(187)
Dan Q.S. A<li
‘Imra>n/3: 97.
ولله علي الناس حج البيت من استطاع إليه
سبيلا...(97)
Adapun
perbedaan antara lafazh umum yang bermakna khusus dengan lafazh umum yang
dikhususkan dapat dilihat dari berbagai sisi, yang terpenting antara lain:
Umum
tetapi yang dimaksud adalah khusus (al-‘a>m al-mura>d bih
al-khus}u>s}), tidak dimaksudkan untuk mencakup semua satuan atau
individu yang dicakupnya sejak semula baik dari segi cakupan makna lafazh
maupun dari hukumnya. Lafazh tersebut memang mempunyai individu-individu namun
ia digunakan hanya untuk satu atau lebih individu. Sedang yang kedua
dimaksudkan untuk menunjukkan makna umum, meliputi semua individunya, dari segi
cakupan makna lafazh, tidak dari hukumnya. Maka lafazh “al-nas” dalam
firman Allah
”الذين
قال لهم الناس”
meskipun bermakna umum tetapi yang dimaksud oleh lafazh
dan hukumnya adalah satu orang.
Adapun lafazah “al-nas” dalam ayat “ولله علي الناس حج البيت”, maka ia adalah lafazh umum tetapi yang dimaksud adalah semua
individu yang bisa dicakup oleh lafazh. Meskipun kewajiban haji hanya meliputi
orang yang mampu saja diantara mereka secara khusus.
B. Pengertian Kha>s{ dan Macam-Macamnya
1. Pengertian Kha>s}
Adapun yang dimaksud dengan al-Kha>s} (khusus),
menurut bahasa lawan kata dari al-’A<m yang berarti al-Munfarid (tidak
mencakup, tidak meliputi).
Sedang menurut Istilah terdapat beberapa pengertian, di antaranya:
1.
Al-kha>s}
berarti tidak menghabiskan keseluruhan apa yang pantas
baginya tanpa pembatasan.
2.
Menurut al-’Amidi
dalam Ushul Fiqh , kha>s} ialah
lafazh yang tidak patut digunakan bersama oleh jumlah yang banyak.
3.
Al-Khud}ari
Bik mendefinisikan kata kha>s} sebagai lafazh yang dari segi
kebahasaan, ditentukan untuk satu arti secara mandiri.
Adapun al-takhs}i>s}
adalah membatasi lafaz ‘am kepada afra>dnya dengan dalil yang
menunjukkan demikian. Ibnu Subki memberikan definisi al-kha>s} adalah
membatasi lafaz ‘a>m kepada satuan pengertiannya (afra>dnya).
Menurut Manna’ al-Qat}t}a>n bahwa Takhs}i>s} adalah
mengeluarkan sebagian apa yang dicakup lafazh ’a>m.
2. Macam-macam Kha>s}
a. Takhs}i>s}
al-Qur’an dengan al-Qur’an
Jumhur
Ulama berpendapat bahwa al-Quran dapat mentakhs}i>s} al-Qur’an’
Mereka berargumen dengan dalil naqli dan aqli.
Dalil naqli yang dikemukakan adalah kenyataan banyaknya ayat al-Quran yang mentakhs}i>s}kan
lafazh ’a>m dalam al-Quran. Sebagaimana dalam Q.S. al-Baqarah/2: 228
sebagai berikut:
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur
ÆóÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/
spsW»n=rO
&ärãè%...(228)
Terjemahnya:
”Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'>.”
Keharusan
perempuan bercerai dari suaminya untuk ber‘iddah tiga quru>’ itu
berlaku umum untuk semua dengan tidak melihat keadaan dan sifat perempuan itu
saat bercerai. Pengertian ’a>m ayat ini ditakhs}i>s} oleh
firman Allah swt dalam Q.S. al-Ahzab(33): 49 sebagai berikut:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) ÞOçFóss3tR ÏM»oYÏB÷sßJø9$# ¢OèO £`èdqßJçGø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br& Æèdq¡yJs? $yJsù öNä3s9 £`Îgøn=tæ ô`ÏB ;o£Ïã $pktXrtF÷ès? ( £`èdqãèÏnGyJsù £`èdqãmÎh| ur %[n#u| WxÏHsd ÇÍÒÈ
Terjemahnya:
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang
beriman, Kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali
tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka
berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-
baiknya.”
Dengan
adanya ayat khusus tentang perempuan yang berpisah dengan suaminya karena kematian
harus ber’iddah selama 4 bulan sepuluh hari, maka hukum a>m yang
mengharuskan beriddah 3 quru>’ tidak lagi mencakup perempuan yang ditalak
dalam keadaan belum pernah digauli.
Adapun
dalil aqli dari Jumhur ulama adalah bila dua nas} al-Qur’an bertemu,
satu di antaranya umum dan yang satu lagi khusus, dan tidak mungkin
dikumpulkan, maka tentu harus beramal dengan salah satu diantaranya, yaitu:
umum atau khusus.
b. Takhs}i>s}
al-Qur’an dengan al-Sunnah
Untuk
sunnah yang kekuatannya mutawa>tir, para ulama tidak berbeda pendapat
tentang kebolehannya sunnah itu mentakhs}i>s} al-Qur’an. Tetapi untuk
sunnah yang kekuatannya a>h}a>d, para ulama berbeda pendapat
tentang boleh tidaknya mentakhs}i>s} al-Qur’an.
Contoh pada Q.S. An-Nisa>’/4: 24.
àM»oY|ÁósßJø9$#ur z`ÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# wÎ) $tB
ôMs3n=tB öNà6ãY»yJ÷r&
(
|=»tGÏ.
«!$# öNä3øn=tæ 4
¨@Ïmé&ur Nä3s9
$¨B
uä!#uur öNà6Ï9ºs...(24)
Terjemahnya:
”Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang
bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum
itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang
demikian.”
Ayat ini
mengandung arti ’a>m, boleh mengawini siapa saja perempuan yang tidak
disebutkan sebelumnya (dalam Q.S al-Nisa>’/4: 22-24). Ayat tersebut ditakhs}i>s}
oleh hadis dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa:
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا
وَلَا عَلَى خَالَتِهَا
Artinya:
”Tidak boleh menikahi seorang perempuan dengan saudara
ayahnya dan tidak boleh dengan saudara ibunya.”
Ketentuan ayat diatas berlaku umum yang kemudian di-takhsish dengan sabda Rasulullah saw.
Yang menerangkan bahwa poligami dengan saudara perempuan bapak dan ibu istrinya
juga dilarang.
c. Takhs}i>s} Sunnah dengan al-Qur’an
Terkadang
ayat al-Qur’an mengkhususkan keumuman Sunnah. Para ulama mengemukakan contoh
dengan hadis riwayat abu Waqid al-Laits r.a, berkata, Nabi Sallallahu ‘Alaih
Wasallam bersabda yang artinya “Bagian apa saja yang dipotong dari hewan
ternak hidup maka ia adalah bangkai”. Hadis ini ditakhsis oleh Q.S.
An-Nahl/16: 80 yang artinya: “Dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu
onta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai)
sampai waktu (tertentu)”.
d. Takhs}i>s} Sunnah dengan Sunnah
Jumhur ulama
berpendapat bahwa boleh takhs}i>s} sunnah dengan sunnah, baik sunnah
itu dalam bentuk ucapan, perbuatan atau keputusan. Misalnya hadis riwayat dari
Sa’id ibn Abdullah riwayat Bukhari:
قَالَ فِيمَا سَقَتْ السَّمَاءُ وَالْعُيُونُ أَوْ كَانَ عَثَرِيًّا الْعُشْر....
Artinya:
”Tanaman yang dialiri oleh hujan, matahari dan sungai,
zakatnya sepersepuluh.”
Hadis ini secara ’a>m menjelaskan kewajiban
zakat atas tanaman yang dialiri oleh hujan, mata air atau sungai sebanyak
sepersepuluh, baik sudah sampai satu nas}ab atau belum. Keumuman hadis
ini ditakhsis oleh hadis Nabi saw dari Sa’id al-Khudri yang mengatakan
bahwa:
أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ فِيمَا
دُونَ خَمْسَةِ أَوْسَاقٍ مِنْ تَمْرٍ وَلَا حَبٍّ صَدَقَةٌ
Artinya:
”Buah-buahan dan biji-bijian yang kurang dari lima wasaq
tidak diwajibkan zakat”.
B.
Kaidah-kaidah
’A<m dan Kha>s}
1.Kaidah-kaidah ’A<m
Kaidah Pertama:
الألفاظ معارف و نكرات.
فكل إسم معرفة ذي أفراد يفيد العموم, و كل لفظ نكرة في النفي أو النهي أو الشرط أو
الاستفهام أو الا متنان فإنه يفيد العموم سواء
كان إسما أو فعلا.
Artinya:
Kaidah ini
sangat luas, mencakup s}i>gah-s}i>gah (bentuk-bentuk) keumuman
secara lafazh.
Setiap isim ma’rifah
yang memiliki satuan-satuan (individu-individu) mengandung arti umum. Maksudnya
sesuatu yang tidak memiliki satuan-satuan seperti nama orang, misalnya:
Muhammad, adalah nama khusus yang tidak tercakup dalam kaidah ini.
Yang termasuk dalam isim ma’rifah
yang memiliki satuan-satuan (individu-individu) adalah:
1.
Asma>’ Maus}u>lah (Kata Sambung)
Isim maus}u>l menunjukkan
keumuman baik bentuknya mufrad, muthanna> atau jamak. Yang
termasuk asma>’ maus}u>lah adalah:
a. الذي
danالتي serta cabang-cabangnya. Terkadang "الذي" berarti "الذين".
Sebagaimana dalam Q.S. Al-Baqarah/2:
17.
مثلهم كمثل الذي استوقد
نارا...(17)
b. من mencakup bentuk mudhakkar, muannath,
mufrad, muthanna> dan jamak.
Kebanyakan digunakan untuk ‘a>lim (yang mengetahui/berakal).
Misalnya dalam
Q.S. Al-Rahman/55: 46.
و لمن خاف مقام ربه
جنتان(46)
c. ما kebanyakan digunakan untuk yang
tidak berilmu/berakal, meskipun terkadang juga digunakan untuk yang berakal.
Misalnya dalam Q.S. Al-Baqarah/2:
229.
فلا جناح عليهما فيما
افتدت به...(229)
d. الألف
dan اللام digunakan untuk yang berakal dan yang selainnya.
Misalnya dalam
Q.S. Al-Nur/24: 2.
الزانية و الزاني فاجلدوا...(2)
e. ذا
digunakan untuk yang berakal dan
yang selainnya, dan syarat digunakannya sebagai maus}u>lah adalah
dengan didahului oleh من
atau ما yang bersifat pertanyaan.
Misalnya dalam Q.S. Al-Baqarah/2:
255.
من ذاالذي يشفع عنده
إلا بإذنه...(255)
f.
أيّ sebagaimana dalam Q.S. Maryam/19: 69.
ثم لننزعن من كل شيعة
أيهم أشد على الرحمن عتيا(69)
2. Jamak secara umum, baik yang dita’rif dengan
menggunakan al-la>m atau dengan al-id}a>fah dengan syarat
bukan hal tertentu yang diketahui.
Maksud dari jamak secara mutlak
menunjukkan pengertian umum adalah baik yang berbentuk mudhakkar atau
mu’annath, baik berupa jamak yang beraturan (sa>lim) dan yang
tidak beraturan (taksi>r), baik berupa jamak qillah atau pun
jamak kathrah dan begitu pula isim jamak.
Misalnya dalam
Q.S. AL-Baqarah/2: 210.
إلى الله ترجع الأمور(210)
Terjemahnya:
Dan
hanya kepada Allah dikembalikan segala urusan.
Misalnya
yang dita’rif dengan id}a>fah, sebagaimana dalam Q.S. AL-Nisa>’/4:
11.
يوصيكم الله في أولادكم...(11)
Kata al-aula>d mencakup setiap anak secara
umum.
3. Jika
bentuk tunggal (mufrad) merupakan isim jenis kebanyakan penyebutannya
dimaksudkan sebagai jamak baik dalam bentuk nakirah atau ma’rifah
dengan menggunakan alif la>m atau pun id}a>fah, dengan
syarat tidak didapati adanya hal tertentu yang diketahui.
Contoh
isim jenis bentuk tunggal nakirah yang menunjukkan jamak adalah dalam Q.S.
AL-Hajj/22: 5.
ثم نخرجكم طفلا...(5)
Contoh bentuk
tunggal yang diid}a>fahkan yang menunjukkan jamak adalah Q.S.
Al-Nu>r/24: 61.
أو صديقكم...(61)
Contoh bentuk tunggal yang dita’rif
dengan menggunakan alif dan la>m yang menunjukkan jamak adalah Q.S. Ali
‘Imra>n/3: 119.
و تؤمنون بالكتاب كله...(119)
Kaidah Kedua:
قد استقر في عرف الشارع أن الأحكام المذكورة
بصيغة المذكرين إذا أطلقت و لم تقترن بالمؤنث فإنها تتناول الرجال و النساء.
Artinya:
Telah menjadi ketetapan sya>ri’ (Allah swt)
bahwa hukum-hukum yang disebutkan dengan menggunakan bentuk mudhakkarin
(jamak jenis laki-laki) jika disebutkan secara bebas tanpa disertai dengan bentuk mu’annath (jenis
perempuan), maka ia mencakup laki-laki dan perempuan.
Misalnya
dalam Q.S. Al-Nisa>’/4: 11.
فإن كان له إخوة فلأمه
السدس...(11)
Kata
ikhwah di sini mencakup semua saudara baik itu laki-laki maupun perempuan.
Kaidah Ketiga:
الخطاب لواحد من الأمة يعم غيره إلا لدليل يخصصه به.
ِArtinya:
Ucapan/suatu
pembicaraan yang ditujukan kepada salah satu umat mencakup secara umat yang
lainnya, kecuali ada petunjuk yang mengkhususkannya.
Kaidah ini sangat penting,
sebagaimana telah diungkapkan oleh al-Sya>t}ibi> dengan perkataannya
bahwa: “ setiap dalil/petunjuk syar’i bisa dibawa menjadi hal yang umum/tidak
terbatas, baik itu bagi kita itu umum atau pun hal yang terbagi-bagi, kecuali ada
dalil yang mengkhususkannya.
Misalnya dalam Q.S. Al-Ahzab/33: 53.
وإذا سألتموهن متاعا فاسألوهن من وراء حجاب
ذلكم أطهر لقلوبكم و قلوبهن...(53)
Ayat ini merupakan dalil yang jelas
bahwa kewajiban berhijab merupakan hal yang umum/mencakup seluruh wanita, tidak
dikhususkan pada istri-istri Nabi saw saja, meskipun lafazh aslinya khusus
untuk mereka (istri-istri Nabi), karena keumuman ‘illah (factor
penyebab) merupakan petunjuk atas keumuman hukum di dalamnya.
Adanya ‘illah (sebab) hukum
dalam ayat ini merupakan indikasi yang jelas mengenai keumuman hukum ayat ini,
sebagai ‘illahnya adalah firman Allah swt dalam ayat ini " ذلكم أطهر لقلوبكم و قلوبهن..."karena
tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa selain daripada istri-istri Nabi
saw tidak membutuhkan kesucian hati mereka dan kesucian hati kaum lelaki dari
kegelisahan/kecemasan terhadap mereka (perempuan). Telah menjadi ketetapan
dalam ilmu Ushul Fiqh bahwa ‘illah (sebab) mencakup/meliputi seluruh
ma’lu>lnya (akibatnya).
Kaidah Keempat:
الخطابات العامة في القرآن تشمل النبي صلى
الله عليه وسلم كما أن الخطابات الموجهة إليه عليه الصلاة والسلام تشمل الأمة إلا لدليل.
Artinya:
Ucapan-ucapan/pembicaraan yang
bersifat umum dalam al-Qur’an berlaku bagi Nabi Muhammad saw, sebagaimana
pembicaraan yang ditujukan kepada Nabi saw berlaku juga bagi umat secara umum
kecuali ada dalil yang menunjukkan pada hal yang tidak demikian.
Ucapan/perkataan
yang bersifat umum dalam al-Qur’an berlaku juga bagi Nabi Muhammad saw karena
Nabi saw juga mengemban taklif sehingga pembicaraan yang sifatnya umum bagi
umat juga berlaku bagi Nabi saw.
Misalnya
dalam Q.S. Ali ‘Imran/3: 200.
يا أيها الذين آمنوا اصبروا و صابروا ورابطوا
و اتقوا الله...(200)
Sedangkan
ucapan-ucapan yang diarahkan kepada Rasulullah saw, berlaku juga bagi umat
secara umum kecuali ada dalil yang lain. Hal ini dikarenakan Nabi saw merupakan
suri tauladan bagi umatnya, sehingga pembicaraan/ucapan tersebut diarahkan
kepada siapa yang menjadi panutan/tauladan umat bukan berarti mengkhususkan
pada beliau saja hukumnya, tetapi perkataan tersebut berlaku juga bagi umat
secara keseluruhan yang terwakili oleh pribadi Nabi saw. Sebagaimana telah
diketahui bahwa pada dasarnya, ucapan yang disampaikan kepada seorang tokoh
yang dijadikan tauladan juga merupakan perkataan bagi para pengikutnya. Ini
dilihat dari sudut pandang hukumnya bukan dari segi lafazhnya, maka keumuman
ini bersifat syar’i.
Misalnya
dalam Q.S. Al-T{ala>q/65: 1.
يا أيها النبي إذا طلقتم النساء فطلقوهن
لعدتهن...(1)
Pada
awal ayat ini yang diajak berbicara adalah Nabi Muhammad saw kemudian Allah swt
berfirman setelahnya " فطلقوهن "dengan
menggunakan bentuk jamak, inilah yang merupakan indikator/keterangan dalam ayat
yang menunjukkan bahwa pembicaraan tersebut diarahkan kepada seluruh umat
secara umum.
Kaidah Kelima:
إذا كان أول الكلام خاصا, و آخره بصيغة
العموم, فإن خصوص أوله لا يكون مانعا من عموم آخره.
ِِArtinya:
Jika pada awal perkataan menunjukkan
sesuatu yang khusus kemudian di akhir perkataan berbentuk umum, maka bentuk
khusus yang ada pada awal perkataan tidak menghalangi keumuman akhir perkataan
tersebut.
Misalnya
dalam Q.S. Al-Maidah/5: 38.
و السارق و السارقة فاقطعوا أيديهما...(38)
Kemudian pada ayat setelahnya Q.S. Al-Maidah/5:39.
فمن تاب من بعد ظلمه و أصلح فإن الله يتوب
عليه...(39)
Pada
ayat yang pertama hanya terbatas pada salah satu sifat khusus dari orang-orang
yang zalim yaitu mencuri. Sedangkan pada ayat setelahnya dijelaskan taubat
setelah melakukan kezaliman/kejahatan dan memperbaiki diri bagi semua orang
zalim (apa pun bentuk kezalimannya). Jadi, tidak dapat dikatakan bahwa ayat yang kedua hanya dikhususkan/terbatas
pada salah satu sifat khusus dari orang-orang yang berbuat zalim, tetapi ayat
kedua tersebut tetap bersifat umum.
Kaidah Keenam:
حذف المتعلق المعمول فيه يفيد تعميم المعنى
المناسب له.
ِArtinya:
Peniadaan objek kalimat menunjukkan
pengertian umum yang sepadan.
Apabila
suatu kata kerja (fi’l) –ataupun yang mengandung arti kata kerja-
dihubungkan dengan suatu objek tertentu, pengertiannya menjadi terbatas hanya
pada kata yang berkaitan. Akan tetapi jika objek kata kerja ataupun yang
mengandung arti kata kerja itu dibuang (tidak disebutkan), kata tersebut
menunjuk pengertian umum.
Misalnya dalam Q.S. Al-Nur/24: 61.
كذالك يبين الله لكم الآيات لعلكم تعقلون(61)
Objek
dalam kalimat ini memang tidak disebutkan. Hal ini untuk menunjuk pengertian
umum, yatu agar kalian memikirkan tentang Allah yaitu semua yang
mengarahkan/memberi petunjuk kepada-Nya dan yang telah diajarkan kepada kalian,
serta memikirkan semua yang telah diturunkan kepada kalian berupa al-Qur’an dan
hikmah yang terkandung di dalamnya, dan berpikir tentang Allah beserta semua
sifat-Nya.
Jadi semua makna yang sepadan dalam pengertian kata berpikir adalah bagian dari
pengertian ayat tersebut di atas.
2. Kaidah-Kaidah Kha>s}
إذا
ورد الشرط, أو الاستثناء, أو الصفة, أو الغاية, أو الإشارة ب"ذلك", بعد مفردات
أو جمل متعاطفة, عاد إلى جميعها, إلا بقرينة.
Artinya:
Jika ada syarat (syart}),
pengecualian (istithna>’), sifat, batas maksimal (ga>yah),petunjuk
(isya>rah) dengan menggunakan lafazh “itu” (dha>lika),
setelah kata-kata terperinci atau kalimat bersambung, maka kembali kepada semua
kata atau kalimat tersebut, kecuali ada indikator yang menunjukkan kembalinya
kepada selainnya.
Contoh
dari syarat (syart}), dalam Q.S. Al-Maidah/5: 89 tentang
kafarat melanggar sumpah (yami>n).
فكفارته إطعام عشرة مساكين من أوسط ما تطعمون
أهليكم أو كسوتهم أو تحرير رقبة فمن لم يجد فصيام ثلاثة أيام...(89)
Ayat " فمن لم يجد" kembali pada ketika perkara yang
disebutkan sebelumnya tersebut.
Contoh
dari pengecualian (istithna>’), dalam Q.S. Al-Nisa’/4: 43.
يا أيها الذين آمنوا لا تقربوا الصلاة و
أنتم سكارى حتى تعلموا ما تقولون ولا جنبا إلا عابري سبيل حتى تغتسلوا...(43)
Ayat " إلا عابري سبيل
"kembali kepada kata " جنبا".
Contoh
dari batas maksimal (ga>yah), dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 187.
وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الأبيض
من الخيط الأسود من الفجر...(187)
Ayat " حتى يتبين" kembali
kepada makan dan minum.
Contoh
dari sifat, dalam Q.S. Fa>t}ir/35: 32-33.
ثم أورثنا الكتاب الذين من عبادنا فمنهم
ظالم لنفسه و منهم مقتصد و منهم سابق بالخيرات بإذن الله ذلك هو الفضل الكبير(32)جنات
عدن يدخلونها يحلون فيها من أساور من ذهب و لؤلؤا ولباسهم فيها حرير(33)
Ayat " جنات عدن يدخلونها
"kembali kepada ketiga pembagian yang
disebutkan pada ayat sebelumnya.
Contoh
dari kata petunjuk dengan menggunakan “itu” (dha>lika), dalam Q.S.
Al-Furqan/25: 68.
و الذين لا يدعون مع الله إلها آخر ولا
يقتلون النفس التى حرم الله إلا بالحق ولا يزنون ومن يفعل ذلك يلق أثاما(68)
Maka kata petunjuk ذلك pada ayat tersebut kembali kepada semua yang disebutkan
sebelumnya.
Comments
Post a Comment