KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS

KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS Pendahuluan latar belakang Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah dua sumber utama ajaran Islam. Oleh karena itu, keduanya selalu dijadikan landasan keyakinan, ritual, adat istiadat, etika, ekonomi, politik, peradaban dan seluruh aspek kehidupan umat Islam, baik yang sakral maupun duniawi, pada tataran ¥ abl minallah (vertikal) dan ¥ abl min al. -n ± s (horizontal).

cara TAMBAHAN - kaedah ZIYADAH DALAM AL-QUR'AN


A.  Pengertian al-Ziya>dah
Al-Ziya>dah secara etimologi menurut Ibnu Fa>ris dilihat dari asal katanya zai, ya dan dal artinya tambahan/kelebihan. Mereka berkata: Za>da al-syai’ yazi>du fahuwa za>id.[1]
Secara terminologi,seperti yang dikutip oleh Kha>lid ibnu ‘Uthma>n al-Sabt dari buku Kasysya>f Is}t}la>ha>t al-Funu>n, yang disebut al-ziya>dah menurut ahli bahasa Arab adalah huruf yang tidak asli. Dan kadang juga yang disebut al-za>id adalah sesuatu yang tidak memiliki faedah dan manfaat.  Sebagaimana juga diberikan kepada kata yang wujud dan ketiadaannya tidak mengganggu makna aslinya, meski pun memiliki faedah yang lain.[2]


Penamaan al-ziya>dah atas huruf yang bukan asli, ada dua macam: Pertama, huruf tersebut berada di dalam kata itu juga. Dan ini merupakan pembahasan ilmu S}arf. Kedua, huruf tersebut terletak diantara dua lafaz} baik bersambung dengan salah satu lafaz} tersebut atau pun berpisah dan berdiri sendiri. Dan ini lah yang disebut al-S}ilah.[3] Dan bentuk kedua ini lah yang sesuai dengan pembahasan ini.[4]
Sedangkan pengertian al-ziya>dah atas sesuatu yang tidak memiliki arti atau faedah termasuk yang tidak layak bagi al-Qur’an, karena sama sekali tidak ada hasyw (tambahan yang tidak berfaedah) dalam al-Qur’an. Sedangkan penyebutannnya terhadap kata yang tidak mempengaruhi makna aslinya dengan kehadiran atau ketidak hadirannya meskipun memiliki faedah yang lain, penyebutan ini sesuai dari segi makna tetapi sebaiknya tidak melepaskan lafaz} “al-ziya>dah“ karena bisa menimbulkan kesalah pahaman dan  keluar dari adab terhadap kala>mulla>h.[5]

B.   Kaidah-kaidah al-Ziya>dah
1. لا زائد فى القرآن[6]
Artinya:
Tidak ada (ziya>dah) penambahan dalam al-Qur’an.
Dalam kaidah ini, al-nafyu (peniadaan) mencakup dua bentuk:
1)      Sesuatu yang tidak memiliki makna.[7] Karena berkata tanpa faedah atau tanpa makna dianggap mengigau/berkata di luar kesadaran. Ini termasuk kekurangan, sedangkan Allah telah memberi sifat bagi al-Qur’an sebagai petunjuk (hudan), penyembuh (syifa>’) dan penjelasan (baya>n), dan kesemuanya itu tidak mungkin terdapat dalam perkataan yang tidak bermakna. Pada bentuk ini jelas tidak sesuai dengan sifat al-Qur’an sehingga tidak diperbolehkan sesuai kesepakatan ulama.
2)      Sesuatu yang tidak merusak makna aslinya atau tidak mengubah keaslian maknanya meskipun tambahan (ziya>dah) tersebut dihilangkan. Padahal diketahui bahwa ketika ada penambahan akan menghasilkan makna yang bertambah pula.[8] Pada bentuk ini umumnya ulama memperbolehkan penggunaan istilah ini secara mutlak, dengan pertimbangan bahwa al-Qur’an diturunkan dalam bahasa orang Arab dan sesuai dengan kebiasaan mereka, dan bentuk ziya>dah banyak ditemukan dalam perkataan mereka. Tetapi ada pula yang tidak memperbolehkan penggunaan istilah ini pada al-Qur’an. Dengan alasan bahwa lafaz}-lafaz} yang dianggap sebagai ziya>dah (penambahan) ini dihadirkan karena adanya faedah-faedah khusus yang terkait dengannya, sehingga tidak dihukumi sebagai ziya>dah. Di antara yang mengingkarinya adalah al-Ima>m Da>wud al-Z}a>hiri>, al-Mubarrid, Tha’lab dan Ibnu al-Sira>j.[9]
Menurut al-Zarkasyi>, perkataan ulama mengenai huruf-huruf ziya>dah (mis.زائدة  "ما" زائدة و "الباء"), maksudnya adalah bahwa perkataan tersebut tidak kacau/cacat artinya tanpa kehadiran huruf ziya>dah tersebut, bukan berarti tidak memiliki faedah sama sekali. Karena yang demikian itu tidak diperbolehkan dari segi perkataan/bahasa, terlebih lagi dalam perkataan Allah swt. Karena adanya penambahan dalam perkataan tersebut karena ada unsur kesengajaan atau ada maksud tertentu.[10] 
Kebanyakan ulama mengingkari penyebutan ungkapan/istilah al-ziya>dah secara mutlak terhadap al-Qurán, tapi mereka menyebutnya al-ta’ki>d, di antara mereka ada yang menyebutnya al-s}ilah dan al-muqh}am (yang disisipkan). Menurut al-Zarkasyi sebaiknya menghindari pemutlakan ungkapan al-ziya>dah dalam al-Qurán, tetapi harus disertai penjelasan tentang maksud ungkapan tersebut.[11]  
Al-Zarkasyi juga beranggapan bahwa al-za>íd bukan sesuatu yang muhmal (terlalaikan/yang ditinggalkan/tidak terpakai) sebagaimana istilah yang digunakan oleh Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, karena maksud al-ziya>dah tidak seperti itu, karena wujud al-za>íd bertujuan sebagai penguat (al-taqwiyah wa al-tauki>d). Maksudnya, makna asli telah dihasilkan tanpa za>’id tersebut meskipun tanpa ada unsur penguatan, tapi dengan kehadiran za>’id, maknanya menjadi lebih kuat.[12]Jadi, dengan adanya penambahan ini maknanya pun bertambah melebihi makna jika tidak ada ziya>dah di dalamnya.
Yang dimaksud oleh ahli Nahwu dengan kata ziya>dah/za>íd adalah dari segi i’ra>b bukan dari segi makna.[13] Seperti dalam firman Allah Q.S. A<li ‘Imra>n/3: 159.
فبما رحمة من الله لنت لهم...(159)
          Terjemahnya:
Maka disebabkan rahmat dari Allah lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.[14]
Para ahli Nahwu mengatakan bahwa "ما" dalam ayat di atas adalah za>’idah (tambahan) dari segi i’ra>b, kebanyakan orang yang tidak mengetahui menganggap bahwa itu adalah tambahan dari segi konstruksi lafaz}, padahal ziya>dah ini merupakan satu bentuk penggambaran yang jika dihilangkan/dihapus maka akan mengurangi unsur-unsur keindahannya. Maksud dari ayat tersebut di atas adalah merupakan deskripsi dari kelemah lembutan nabi Muhammad saw terhadap kaumnya. Dan ini merupakan rahmat dari Allah, kemudian dihadirkan huruf "ما" sebagai bentuk pensifatan secara lafaz} yang menguatkan dan memberi tekanan pada makna al-li>n (lemah lembut), lebih dari itu, langgam pengucapannya juga menimbulkan rasa simpati dan rasa terlindungi. Kemudian pemisahan antar huruf ba’ sebagai huruf jar dengan majru>rnya (yaitu lafaz} rahmah) di antara yang menarik jiwa kita untuk melakukan perenungan makna dan memalingkan pikiran kita pada besarnya nilai rahmat dan kasih sayang yang terkandung di dalamnya. Ini merupakan bukti kefasihan bahasa al-Qur’an.[15]
            Contoh dari penerapan kaidah ini, sebagaimana dalam firman Allah Q.S. Al-Baqarah/2: 259.
أو كالذي مر على قرية...(259)
Terjemahnya:
      Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri...
            Menurut Ibnu Jari>r, ayat di atas adalah ‘at}f (sambungan) dari ayat sebelumnya, meskipun berbeda lafaz} keduanya tetapi memiliki kemiripan makna, yaitu Q.S. Al-Baqarah/2: 258
ألم تر إلى الذي حاجّ إبراهيم...(258)
Terjemahnya:
      Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim...
Sebahagian ahli Nahwu dari Bas}rah beranggapan bahwa “al-ka>f” di dalam ayat tersebut di atas merupakan penambahan (za>idah), dan artinya:
ألم تر إلى الذي حاجّ إبراهيم , أو الذي مر على قرية.
Terjemahnya:
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim, atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri.
Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa tidak boleh ada di dalam al-Qur’an sesuatu yang tidak memiliki makna.[16]
            Menurut jumhur mufassirin bahwa ayat “aw kalladhi> marra ‘ala> qaryah…” adalah ma’t}u>f ‘ala> “alam tara ila> al-ladhi> ha>jja…” dari segi makna. Makna  “ألم تر إلى الذي؟  adalah  أرأيت كالذي حاجّ؟”. Maka ayat " أو كالذي مر di’at}f kan atas makna ini.
Menurut Zamakhsyari> " أو كالذي  artinya أورأيت مثل الذي مرّ ؟ maka digugurkan penyebutannya karena ada petunjuk atasnya dengan menggunakan ألم تر pada ayat sebelumnya, dan keduanya merupakan kata yang menggambarkan ketakjuban.[17]
Merupakan kemungkinan pula bahwa huruf ka>f di sini adalah merupakan isim sebagaimana menurut pandangan Abu> al-Hasan. Maka ka>f ini menempati kedudukan jarr yang di’at}fkan kepada “al-ladhi> ”, maksudnya menjadi { ألم تر إلى الذي حاجّ إبراهيم } أو إلى مثل { الذي مرّ على قرية } ؟. Menurut Abu> H{ayya>n yang benar adalah pendapat Abu> al-Hasan.[18]
2. atau        إذا زيدت فى الألفاظ وجب زيادة المعاني ضرورة.[19]
 زيادة المبنى تدل على زيادة المعنى (قوة اللفظ لقوة المعنى)[20]
Artinya:
            Jika ada penambahan pada lafazh maka dengan sendirinya wajib adanya penambahan makna. Atau penambahan konstruksi lafazh menunjukkan adanya penambahan makna (kekuatan lafazh karena adanya kekuatan makna).
            Suatu lafaz} jika dia berada dalam satu bentuk wazn (timbangan) tertentu kemudian berpindah ke bentuk wazn yang lain yang lebih tinggi, maka pasti lah lafaz} tersebut mengandung makna yang lebih banyak daripada makna yang terkandung pada lafaz} sebelumnya, karena lafaz} adalah petunjuk atas makna. Atau, jika terdapat penambahan susunan kata maka makna yang dikandungnya pun akan bertambah.
            Misalnya dalam Q.S. Al-Qamar/54: 42.
...فأخذناهم أخذ عزيز مقتدر. (42)
Terjemahnya:
Lalu Kami azab mereka sebagai azab dari Yang Maha Perkasa lagi Maha Kuasa.
            Lafaz}  " مقتدر"lebih fasih daripada ."قادر" Karena menunjukkan arti penguasa yang memiliki kekuasaan kokoh dan sempurna, tidak ada sesuatu apa pun yang dapat mengubah tuntutan kekuasaannya. Ini disebut kekuatan lafaz} karena kekuatan maknanya.[21]
3. يحصل بمجموع المترادفين معنى لا يوجد عند انفرادهما[22]
            Artinya:
Penggabungan antara dua kata yang memiliki arti serupa menghasilkan makna yang tidak didapatkan ketika terpisah/disebutkan sendiri.
Kaidah ini menunjukkan bahwa dengan menggabungkan dua lafaz} yang memiliki arti serupa, akan menghasilkan makna yang tidak didapatkan ketika disebutkan sendiri (tanpa sinonimnya). Misalnya dalam Q.S. Yu>suf/12: 86, yang mengabarkan tentang nabi Ya‘qu>b a.s.
                                                                                            قال إنما أشكوا بثى و حزنى إلى الله... (86)
            Terjemahnya:
Ya‘qu>b menjawab: “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku. Misalnya juga dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 171.
إلا دعاءً و نداءً ...(171)
            Terjemahnya:
Selain panggilan dan seruan saja.
Dengan meletakkan sinonimnya setelah lafaz} tersebut, akan memberi kesempurnaan makna yang lebih mendalam dibanding makna ketika masing-masing lafaz} berdiri sendiri.[23]
            4. كل حرف زيد في كلام العرب (للتأكيد) فهو قائم مقام إعادة الجملة مرة أخرى[24]
            Artinya:
Setiap huruf yang ditambahkan dalam perkataan Arab (sebagai penegasan) maka sama dengan mengulang kalimat tersebut untuk kedua kalinya.
Di antara bentuk dari al-ta’ki>d (penegasan/penguatan) adalah dengan al-takri>r (pengulangan). Pada dasarnya suatu bentuk al-ta’ki>d tanpa menggunakan pengulangan maka bentuk penguatan tersebut kembali kepada pengulangan. Al-ta’ki>d (al-ziya>dah) di sini mencakup huruf-huruf dan kata kerja.[25] Jadi, jika ada huruf atau kata kerja yang dimasukkan atau ditambahkan (sebagai al-ta’ki>d) ke dalam perkataan orang Arab, maka tambahan tersebut berperan mengulangi kalimat sekali lagi. Misalnya dalam Q.S. Yu>suf/12: 5.
فيكيدوا لك كيدا... (5)
            Terjemahnya:
Maka mereka membuat makar (untuk membinasakan)mu.
Lafaz} kaida> berkedudukan mengulangi kalimat, menjadi: فيكيدوا لك فيكيدوا لك.
           
C.   Pengertian al-Taqdi>r dan al-Hadhf
Pengertian al-taqdi>r secara bahasa memiliki banyak arti, yang paling sesuai dengan pembahasan ini adalah meniatkan sesuatu dengan kemantapan dan keteguhan. Sebagaimana dalam kamus Lisa>n al-‘Arab  makna al-taqdi>rأن تنوي الشئ بعقدك. تقول: قدرت أمر كذا و كذا, أي: نويتُه و عقدت عليه[26].
Menurut terminologi, al-taqdi>r sesuai pembahasan ini adalah lafaz} yang diniatkan atau diinginkan dengan ketetapan hati si pembicara, yang tidak diutarakan secara terbuka (jelas). Jika  apa yang diniatkan telah dijelaskan (diutarakan) agar diketahui dan dipahami, berarti telah jelas apa yang diinginkan atau yang dimaksudkan.[27]
Adapun pengertian al-h}adhf secara etimologi adalah penghapusan, pembuangan atau pengguguran. Sedangkan secara terminologi al-h}adhf menurut para ahli Nahwu dan ahli Bala>gah adalah pengguguran harakat (syakal) atau pun kata, baik jumlahnya banyak atau sedikit.[28] Sebahagian ada yang mengartikannya, menggugurkan sebagian dari kalimat atau keseluruhannya karena adanya dalil tertentu.[29]

D.  Kaidah-kaidah al-Taqdi>r dan al-H}adhf
1.      العرب تحذف ما كفى منه الظاهر في الكلام إذا لم تَشُك في معرفة السامع مكان الحذف[30].
Artinya:
Orang Arab menggugurkan/menghilangkan pada perkataan yang cukup hanya dengan kata yang jelas/tampak, jika tidak ragu bahwa si pendengar mengetahui kata yang dihilangkan tersebut.
Orang-orang Arab sebagaimana dikenal sebagai ahli bala>gah dan fasih dalam hal berkata-kata, di antara kefasihannya adalah mereka membatasi/mencukupkan perkataannya dan meringkasnya jika tidak dikhawatirkan bahwa hal itu akan menyebabkan adanya makna yang samar/kabur bagi si pendengar karena si pendengar mengetahui letak kata yang dihapus tersebut.   
Misalnya dalam firman Allah Q.S. Al-Fa>tih}ah/1: 2-4.
الحمد لله رب العالمين(2) الرحمن الرحيم(3) ملك يوم الدين(4) إياك نعبد و إياك نستعين(5)
            Terjemahnya:
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasai hari pembalasan. Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.
Ibnu Jari>r dalam tafsirnya mengatakan bahwa:
“Jika ada seseorang bertanya kepada kita: “Apakah arti dari " الحمد لله " apakah Allah sendiri yang memuji diri-Nya kemudian Dia mengajarkan kita untuk mengucapkannya juga sebagaimana Dia mengucapkan dan menyifati diri-Nya sendiri? Jika demikian, jadi apa maksud/tujuan firman Allah: " إياك نعبد و إياك نستعين" sedangkan Allah swt adalah sebagai Yang disembah (ma’bu>d) bukan sebaliknya (‘a>bid)? Apakah itu merupakan perkataan Jibril a.s, atau Muhammad saw? Karena salah jika itu perkataan dari Allah swt. Dikatakan padanya: bahwa itu semua adalah perkataan Allah swt, tetapi Allah swt memuji diri-Nya sendiri dengan apa yang memang Dia pantas untuk itu, kemudian Dia mengajarkan itu kepada hamba-hamba-Nya, dan mewajibkan mereka untuk membacanya sebagai ujian dan cobaan dari-Nya untuk mereka. Jadi Allah swt berkata kepada mereka: katakanlah (wahai kamu sekalian): " الحمد لله رب العالمين" dan katakanlah (qu>lu)>: " إياك نعبد و إياك نستعين " . Maka, firman Allah swt " إياك نعبد" termasuk di antara apa yang diajarkan oleh Allah swt kepada mereka agar mereka mengucapkannya dan meyakini artinya, dan perkataan Allah ini maus}u>l (bersambung) dengan firman Allah swt: " الحمد لله رب العالمين", jadi seakan-akan Allah berkata: Qu>lu> ha>dha> wa ha>dha>. Kemudian jika ada yang bertanya: di manakah letak perkataan Allah:"  (قولوا) " atau Qu>lu>  tersebut?maka jawabannya adalah: telah dikemukakan sebelumnya bahwa sudah menjadi kebiasaan orang Arab –jika mereka mengetahui letak kata tersebut, dan mereka tidak khawatir/ragu bahwa si pendengarnya juga mengetahui kata atau apa yang disamarkan tersebut, maka mereka menyamarkan/mengaburkan apa yang tidak perlu (cukup dapat dipahami) dari yang nampak dari perkataannya. Terlebih lagi jika kata (yang disamarkan) tersebut merupakan suatu perkataan atau penjelasan dari perkataan.”[31]
2.      الغالب في القرآن و في كلام العرب أن الجواب المحذوف يذكر قبله ما يدل عليه[32].
Artinya:
Mayoritas yang terdapat dalam al-Qur’an dan dalam perkataan orag-orang Arab bahwa jawaban yang digugurkankan disebutkan sebelumnya apa yang menunjukan pada jawaban tersebut.
Umumnya dalam al-Qur’an dan perkataan orang Arab, jawaban dari sesuatu yang dihilangkan (jawa>b mah}dhu>f), disebutkan sebelumnya apa yang mengisyaratkan/menunjukkan kepada jawaban tersebut. Misalnya dalam Q.S.  Al-Qas}as}/28: 10.
إن كادت لتبدى به لولا أن رّبطنا على قلبها لتكون من المؤمنين (10)
Terjemahnya:
Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa, seandainya tidak Kami teguhkan hatinya, supaya ia termasuk orang-orang yang percaya (kepada janji Allah).
Perkataan sebelum kata "لولا" merupakan isyarat yang menunjukkan jawabannya lawla>, maksudnya menjadi:  لولا أن رّبطنا على قلبها لكادت لتبدى به.
3.      متى جاءت "بلى" أو "نعم" بعد كلام يتعلق بها تعلق الجواب و ليس قبلها ما يصلح أن يكون جوابا له, فاعلم أن هناك سؤالا مقدرا, لفظه لفظ الجواب[33].
Artinya:
Ketika ada kata “bala>” atau “na’am” setelah perkataan yang berkaitan dengannya (“bala>” atau “na’am”) sebagai jawaban dan sebelumnya tidak ditemui apa yang sesuai untuk menjadi jawaban perkataan tersebut, maka ketahuilah bahwa di sana ada pertanyaan yang terkandung di dalamnya/tersimpan dengan menggunakan lafazh jawaban.
Maksudnya bahwa sengaja diringkas dan penyebutannya secara fleksibel saja karena telah diketahui maknanya. Misalnya dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 112.
بلى من أسلم وجهه لله وهو محسنٌ فله أجره عند ربه...(112)
            Terjemahnya:
(Tidak demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala dari sisi Tuhannya.
Di dalam ayat ini dilihat bahwa si penjawab berkata: "بلى", pertanyaannya dikembalikan kepada jawabannya, jadi maksud adalah: أليس من أسلم وجهه لله وهو محسن له أجره عند ربه؟.[34]
4.      إذا كان ثبوت شئ أو نفيه يدل على ثبوت آخر أو نفيه, فالأولى الاقتصار على الدال منهما, فإن ذكرا فالأولى تأخير الدال.
Artinya:
Jika penetapan sesuatu atau penegasiannya menunjukkan pada penetapan yang lain atau penegasian yang lain, maka yang lebih utama adalah mencukupkan/membatasi penyebutannya hanya pada indikator yang menunjukkan dari keduanya, tetapi jika disebutkan keduanya maka yang lebih utama adalah mengakhirkan (menempatkan di akhir) hal yang menjadi indikator/petunjuk.
Misalnya jika sesuatu memiliki dua sifat, dan salah satu sifatnya megindikasikan/menunjukkan sifat yang lainnya, maka lebih diutamakan membatasi penyebutan pada sifat yang menunjukkan sifat yang lainnya, untuk menghindari pengulangan yang membosankan. Tetapi jika disebutkan keduanya, maka sebaiknya sifat yang menunjukkan sifat yang lainnya diletakkan di akhir/diakhirkan. Misalnya dalam Q.S. A<li ‘Imra>n/3: 133.
و سارعوا إلى مغفرة من ربكم و جنة عرضها السماوات والأرض...(133)
            Terjemahnya:
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi.
Kita ketahui, bahwa setiap yang mempunyai luas mempunyai panjang, maka ketika al’ard} (luas) menunjukkan/mengindikasikan al-t}u>l (panjang), maka membatasi penyebutan sifatnya dengan al’ard} saja menjadi lebih utama.[35]
5.      حذف جواب الشرط يدل على تعظيم الأمر و شدته فى مقامات الوعيد[36].
Artinya:
Penghapusan/pengguguran jawa>b al-syart} menunjukkan pentingnya dan dahsyatnya hal tersebut dalam  konteks ancaman.
Jawa>b al-syart} yang tidak disebutkan dalam suatu ayat menunjukkan pentingnya atau dahsyatnya hal yang dibicarakan.
Ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung fi’l al-syart} (kata kerja bersyarat), tetapi jawa>b al-syart} (jawaban dari kata bersyarat)nya tidak disebutkan menunjukkan pentingnya masalah yang dibicarakan, atau-jika yang dibicarakan adalah masalah siksa dan ancaman- menunjukkan dahsyatnya keadaan yang disebutkan.
Misalnya dalam Q.S. Al-Sajdah/32: 12.
ولو ترى إذالمجرمون ناكسوا رُؤُوسِهم عند ربهم...(12)
            Terjemahnya:
Dan (alangkah ngerinya), jika sekiranya kamu melihat ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya.
Jawa>b al-syart} kata law tara> memang tidak disebutkan, dan yang disebutkan hanya reaksi orang-orang yang melihat siksaan neraka.[37]
6.      قد يقتضي الكلام ذكر شيئين فيقتصر على أحدهمالأنه المقصود[38].
Artinya:
Sebuah perkataan terkadang perlu untuk menyebutkan dua hal tetapi dicukupkan penyebutannya pada satu hal saja karena hal tersebut lah yang dimaksudkan.
Terkadang di dalam suatu perkataan yang disebutkan hanya satu dari dua yang harus disebutkan dikarenakan hal yang dimaksudkan terbatas pada yang disebutkan saja. Misalnya dalm Q.S. T}a>ha>/20: 49.
قال فمن ربكما يا موسى (49)
            Terjemahnya:
Berkata Fir’aun: “Maka siapakah Tuhanmu berdua, hai Musa?
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa setelah nabi Musa a.s. dan nabi Harun a.s. mendapat perintah Allah swt, pergilah mereka kepada Fir‘aun dan terjadilah soal jawab seperti yang disebutkan pada ayat ini dan ayat berikutnya.[39] Dalam ayat ini tidak disebutkan "و هارون" padahal yang digunakan adalah bentuk mutsanna> (dua orang), dikarenakan Musa lah yang dimaksud kan (lebih penting) karena dialah yang mengemban tanggungjawab misi kenabian.[40]
7.      قد يقتضي المقام ذكر شيئين بينهما تلازم وارتباط فيكتفى بأحدهما عن الآخر[41].
Artinya:
Terkadang dalam suatu konteks perkataan menyebutkan dua hal yang di antara keduanya memiliki keterikatan antara satu dengan yang lain (inherensi), maka cukup menyebutkan salah satunya saja.
Yang dimaksud di sini adalah membatasi penyebutan pada salah satu dari dua hal yang tidak bisa dipisahkan dan memiliki ketergantungan antara satu dengan yang lain (inherensi), karena jika salah satunya disebut akan mengingatkan yang lainnya. Dan pembatasan di sini dikarenakan adanya maksud tertentu yang menuntut agar dibatasi pada salah satunya saja. Misalnya dalam Q.S. Al-Nah}l/16: 81.
و جعل لكم سرابيل تقيكم الحرّ...(81)
            Terjemahnya:
                  Dan Dia jadikan bagimu pakaian yang memeliharamu dari panas.
Maksud ayat ini adalah pakaian yang memeliharamu dari panas atau pun dingin. Tetapi dibatasi hanya pada penyebutan alh}arr karena yang diajak bicara adalah kaum Arab yang mana negeri mereka beriklim panas, sehingga berlindung dari panas lebih penting bagi mereka, karena panas lebih menyiksa bagi mereka daripada dingin.
8.      لا يقدَّر من المحذوفات إلاّ أفصحها و أشدها موافقة للغرض[42].
Artinya:
Sesuatu yang digugurkan/dihapuskan tidak dikembalikan pemahamannya kecuali dengan sesuatu yang paling fasih dan yang paling sesuai dengan tujuan yang dimaksud.
Di antara kebiasaan berbahasa orang Arab, mereka tidak menilai/memperkirakan maksud dari sesuatu yang mah}dhu>f  (yang tidak disebutkan) kecuali dengan penilaian yang paling sesuai dan paling tepat dengan maksud yang diinginkan. Misalnya dalam Q.S. Al-Ma>’idah/5: 97.
جعل الله الكعبة البيت الحرام قياما للناس...(97)
          Terjemahnya:
Allah telah menjadikan Ka’bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia.
Ayat " جعل الله الكعبة" terdapat taqdi>r di dalamnya, ada yang mengatakan taqdi>rnya adalah nus}b/nas}b al-ka’bah (sesuatu yang ditegakkan /dipasang) pada Ka’bah, sebagian yang lain mengatakan yang dimaksud adalah h}urmah al-ka‘bah (kesucian Ka’bah), dan yang paling utama adalah yang kedua, karena taqdi>r alhurmah} (kesucian) dalam hal yang berkaitan dengan al-hadya,[43] al-qala>’id [44]dan al-syahr alh}ara>m tidak diragukan lagi kefasihannya. Sedangkan taqdi>r nas}b/nus}b jauh dari sifat kefasihan al-Qur’an.[45]
9.      ينبغي تقليل المقدر مهما أمكن لتقل مخالفة الأصل[46].
Artinya:
Harus meminimalisir al-muqaddar (sesuatu yang dikandung/tersimpan) sebisa mungkin untuk meminimalisir perbedaan dengan aslinya.
Maksud kaidah ini adalah, pada dasarnya tidak ada  taqdi>r, jadi sebisa mungkin meminimkan sesuatu yang disamarkan (yang tersirat) untuk meminimalisir perbedaan dari aslinya/pokok pegangannya.            Misalnya dalam Q.S. Al-T}ala>q/65: 4.
والَّئ يئسن من المحيض من نسائكم إن ارتبتم فعدتهن ثلاثة أشهر و الّئ لم يحضن...(65)
            Terjemahnya:
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.
Sebahagian ulama mengatakan bahwa iddah perempuan-perempuan yang tidak haid adalah tiga bulan, dan memang sebaiknya ditaqdi>rkan (yang dimaksud) seperti itu, karena selain lebih ringkas juga ada petunjuk/indikasi atas makna tersebut sebelumnya.[47]
10.  إذا كان للكلام وجه مفهوم على اتساقه على كلام واحد, فلا وجه لصرفه إلى كلامين[48].
Artinya:
Jika suatu perkataan telah dapat dimengerti dengan menggunakan satu bentuk perkataan yang teratur (konsisten), maka tidak perlu untuk mengubahnya ke dalam bentuk perkataan yang lain.
Misalnya dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 83.
وإذ أخذنا ميثاق بنى إسراءيلَ لا تعبدون إلاّ اللهَ  و بالوالدين إحساناً...(83)
            Terjemahnya:
Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak.
Di dalam tafsir Ibnu Jari>r dikatakan bahwa al’ihsa>n bentuknya mans}u>b dikarenakan oleh fi’l mud}mar (kata kerja yang tersembunyi) yang mana kata kerja tersebut digantikan tugasnya oleh kata wabilwa>lidaini, sehingga maknanya dapat dipahami. Ada pun makna perkataan tersebut jika diperjelas menjadi:
  وإذ أخذنا ميثاق بنى إسراءيلَ, بأن لا تعبدوا إلاّ اللهَ, و بأن تحسنوا إلى الوالدين إحساناً.
Maka cukup mengatakan و بالوالدين " "daripada: و بأن تحسنوا إلى الوالدين إحساناً, karena dari kalimat yang diucapkan sudah tampak jelas maknanya.[49]



[1]Ibnu al-Husain Ah}mad ibnu Fa>ris>, Mu’jam Maqa>yis al-Lugah, juz III (Cet. II; Mesir: Mus}t}afa} al-Ba}bai al-Halabi>, 1970), h. 40.

[2]Kha>lid ibnu ‘Uthma>n al-Sabt, op. cit., h. 348.  

[3]Istilah al-ziya>dah dan al-lagw  merupakan ungkapan orang-orang Bas}rah, sedangkan al-s}ilah dan al-hasyw merupakan istilah orang-orang Kufi>. Badr al-Dīn Muhammad ibnu ‘Abdillāh al-Zarkasyī, selanjutnya disebut al-ZarkasyīAl-Burhān fi> ‘Ulūm al-Qurān , juz III (Cet. I; Beirut: Dār al-Fikr, 1988), h. 80.

[4]Kha>lid ibnu ‘Uthma>n al-Sabt, loc. cit.
[5]Ibid., h. 349.

[6]Kha>lid ibnu ‘Uthma>n al-Sabt, Mukhtas}ar fi> Qawa>’id al-Tafsi>r (Cet. I; Saudi Arabia: Da>r Ibnu ‘Affa>n, 1996), h. 9.

[7]Al-Zarkasyī, Al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qurān , juz I (Cet. I; Kairo: Dār al-Tura>ts, t.th), h. 305.

[8]Kha>lid ibnu ‘Uthma>n al-Sabt, Qawa>’id, op. cit., h. 350-351.  

[9]Ibid., h. 353-354.

[10]Al-Zarkasyī, juz I, loc. cit.

[11]Al-Zarkasyī, juz I, loc. cit.

[12]Al-Zarkasyī, juz III, op. cit., h. 81.

[13]Ibid., h. 80.

[14]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1990), h. 103.

[15]Kha>lid ibnu ‘Uthma>n al-Sabt, Qawa>’id, op. cit., h. 352.
[16]Abi> Ja‘far Muhammad ibnu Jari>r al-T}abari>, selanjutnya disebut al-T}abari>, Ja>mi‘ al-Baya>n ‘an Ta’wi>l A<y al-Qur’a>n; Tafsi>r al-T}abari>, juz. III (Cet. I; Beirut: Da>r Ihya>’ al-Tura>th al-‘Arabi>, 2001), h. 35.  
[17]Abu> al-Qa>sim Mah}mu>d ibnu ‘Amru> ibnu Ah}mad al-Zamakhsyari>, Tafsi>r al-Kasysya>f, juz I, h. 229., dalam al-Maktabah al-Sya>milah, ver. 2 [CD-ROM].

[18]Abu> H{ayya>n al-Andalusi>, Tafsi>r al-Bah}r al-Muh}i>t} , juz III, h. 26, dalam al-Maktabah al-Sya>milah, ver. 2 [CD-ROM].

[19]Al-Zarkasyī, juz III, op. cit., h. 38.

[20]Kha>lid ibnu ‘Uthma>n al-Sabt, Mukhtas}ar, loc. cit.

[21]Al-Zarkasyī, juz III, loc. cit.

[22]Kha>lid ibnu ‘Uthma>n al-Sabt, Mukhtas}ar, loc. cit.

[23] Kha>lid ibnu ‘Uthma>n al-Sabt, Qawa>’id, op. cit., h. 359.

[24]Al-Suyūt}ī, op. cit., h. 121.
[25]Kha>lid ibnu ‘Uthma>n al-Sabt, Qawa>’id, op. cit., h. 360.

[26]Jama>l al-Di>n Muhammad ibnu Makram ibnu Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, juz XII (Cet. I; Beirut: Da>r S}a>dir, 2000), h. 37.

[27]Kha>lid ibnu ‘Uthma>n al-Sabt, Qawa>’id, op. cit., h. 361.

[28]Ibid.

[29]Al-Zarkasyī, juz III, op. cit., h. 115.

[30]Al-T}abari>, juz I, op. cit., h. 71.
[31]Ibid.

[32]Kha>lid ibnu ‘Uthma>n al-Sabt, Mukhtas}ar, op. cit., h. 10.

[33]Ibid.

[34]Kha>lid ibnu ‘Uthma>n al-Sabt, Qawa>’id, op. cit., h. 370.

[35]Ibid., h. 371.

[36]‘Abd al-Rahma>n ibnu Na>s}ir al-Sa‘di>, Al-Qawa>‘id al-Hisa>n liTafsi>r al-Qur’a>n (Riya>d}: Maktabah al-Ma‘a>rif, 1980), h. 52.

[37]Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-kaidah Penafsiran al-Qur’an; Disusun berdasarkan al-Qawā’id al-Hisān lī Tafsīr al-Qur’ān Karya al-Sa’di (Cet. II; Bandung: Penerbit Mizan, 1998), h. 86.

[38]Kha>lid ibnu ‘Uthma>n al-Sabt, Mukhtas}ar, loc. cit.

[39]Departemen Agama RI, op. cit., h. 481.

[40]Kha>lid ibnu ‘Uthma>n al-Sabt, Qawa>’id, op. cit., h. 373.

[41]Kha>lid ibnu ‘Uthma>n al-Sabt, Mukhtas}ar, loc. cit.

[42]Al-Suyūt}ī, op. cit., h.109.

[43]Al-hadya  ialah binatang (unta, lembu, kambing, biri-biri) yang dibawa ke Ka’bah untuk mendekatkan diri kepada Allah, disembelih di tanah haram dan dagingnya  dihadiahkan kepada fakir miskin dalam rangka ibadah haji. Departemen Agama RI, op. cit., h. 156.

[44]Al-qala>’id ialah binatang hadya yang diberi kalung, supaya diketahui orang bahwa binatang itu telah diperuntukkan untuk dibawa ke Ka’bah. Ibid.

[45]Kha>lid ibnu ‘Uthma>n al-Sabt, Qawa>’id, op. cit., h. 375.

[46]Al-Suyūt}ī, loc. cit.

[47]Kha>lid ibnu ‘Uthma>n al-Sabt, Qawa>’id, op. cit., h. 376.

[48]Kha>lid ibnu ‘Uthma>n al-Sabt, Mukhtas}ar, loc. cit.

[49]Al-T}abari>, juz I, op. cit., h. 339.

Comments

BERITA TERBARU !!

Popular posts from this blog

BIL MA'TSUR ( TAFSIR AYAT DENGAN AYAT )

CARA MELAKUKAN TAKHRIJ HADIS

download TAFSIR AL-NASAFIY

HADIS TARBAWIY DAN AKHLAK (BERKURANGNYA IMAN KARENA MAKSIAT)

cara atau Kaedah al-Jarh Wa al-Ta’dil Serta Aplikasinya

apa contoh MUKJIZAT AL-QUR'AN (Pengertian dan Pembagiannya)

cara melakukan MUNASABAH AYAT

QAWAIDH AL-TAHDIS (Pengertian , Ruang Lingkup dan Urgensinya )

kaedah 'ATAF - AL-'ATFU DALAM AL-QUR'AN