A.
Pengertian al-Ziya>dah
Al-Ziya>dah secara etimologi menurut Ibnu Fa>ris dilihat dari
asal katanya zai, ya dan dal artinya tambahan/kelebihan. Mereka berkata: Za>da
al-syai’ yazi>du fahuwa za>id.
Secara terminologi,seperti yang dikutip
oleh Kha>lid ibnu ‘Uthma>n al-Sabt dari buku Kasysya>f
Is}t}la>ha>t al-Funu>n, yang disebut al-ziya>dah menurut
ahli bahasa Arab adalah huruf yang tidak asli. Dan kadang juga yang disebut al-za>id
adalah sesuatu yang tidak memiliki faedah dan manfaat. Sebagaimana juga diberikan kepada kata yang
wujud dan ketiadaannya tidak mengganggu makna aslinya, meski pun memiliki
faedah yang lain.
Penamaan al-ziya>dah atas
huruf yang bukan asli, ada dua macam: Pertama, huruf tersebut berada di dalam
kata itu juga. Dan ini merupakan pembahasan ilmu S}arf. Kedua, huruf
tersebut terletak diantara dua lafaz} baik bersambung dengan salah satu lafaz}
tersebut atau pun berpisah dan berdiri sendiri. Dan ini lah yang disebut al-S}ilah. Dan bentuk kedua
ini lah yang sesuai dengan pembahasan ini.
Sedangkan pengertian al-ziya>dah
atas sesuatu yang tidak memiliki arti atau faedah termasuk yang tidak layak
bagi al-Qur’an, karena sama sekali tidak ada hasyw (tambahan yang tidak
berfaedah) dalam al-Qur’an. Sedangkan penyebutannnya terhadap kata yang tidak
mempengaruhi makna aslinya dengan kehadiran atau ketidak hadirannya meskipun
memiliki faedah yang lain, penyebutan ini sesuai dari segi makna tetapi
sebaiknya tidak melepaskan lafaz} “al-ziya>dah“ karena bisa
menimbulkan kesalah pahaman dan keluar
dari adab terhadap kala>mulla>h.
B.
Kaidah-kaidah al-Ziya>dah
Artinya:
Tidak ada (ziya>dah) penambahan dalam
al-Qur’an.
Dalam kaidah ini, al-nafyu (peniadaan) mencakup
dua bentuk:
1)
Sesuatu yang tidak memiliki makna.
Karena berkata tanpa faedah atau tanpa makna dianggap mengigau/berkata di luar
kesadaran. Ini termasuk kekurangan, sedangkan Allah telah memberi sifat bagi
al-Qur’an sebagai petunjuk (hudan), penyembuh (syifa>’) dan penjelasan (baya>n), dan kesemuanya
itu tidak mungkin terdapat dalam perkataan yang tidak bermakna. Pada bentuk ini
jelas tidak sesuai dengan sifat al-Qur’an sehingga tidak diperbolehkan sesuai
kesepakatan ulama.
2)
Sesuatu yang tidak merusak makna aslinya atau tidak
mengubah keaslian maknanya meskipun tambahan (ziya>dah) tersebut dihilangkan. Padahal diketahui bahwa ketika ada penambahan akan
menghasilkan makna yang bertambah pula.
Pada bentuk ini umumnya ulama memperbolehkan penggunaan istilah ini secara
mutlak, dengan pertimbangan bahwa al-Qur’an diturunkan dalam bahasa orang Arab
dan sesuai dengan kebiasaan mereka, dan bentuk ziya>dah banyak
ditemukan dalam perkataan mereka. Tetapi ada pula yang tidak memperbolehkan
penggunaan istilah ini pada al-Qur’an. Dengan alasan bahwa lafaz}-lafaz} yang
dianggap sebagai ziya>dah (penambahan) ini dihadirkan karena adanya
faedah-faedah khusus yang terkait dengannya, sehingga tidak dihukumi sebagai ziya>dah.
Di antara yang mengingkarinya adalah al-Ima>m Da>wud
al-Z}a>hiri>, al-Mubarrid,
Tha’lab dan Ibnu al-Sira>j.
Menurut
al-Zarkasyi>, perkataan ulama mengenai huruf-huruf ziya>dah (mis.زائدة "ما" زائدة و
"الباء"), maksudnya
adalah bahwa perkataan tersebut
tidak kacau/cacat artinya tanpa kehadiran huruf ziya>dah tersebut,
bukan berarti tidak memiliki faedah sama sekali. Karena yang demikian itu tidak
diperbolehkan dari segi perkataan/bahasa, terlebih lagi dalam perkataan Allah
swt. Karena adanya penambahan dalam perkataan tersebut karena ada unsur
kesengajaan atau ada maksud tertentu.
Kebanyakan ulama mengingkari penyebutan ungkapan/istilah al-ziya>dah
secara mutlak terhadap al-Qurán, tapi mereka menyebutnya al-ta’ki>d,
di antara mereka ada yang menyebutnya al-s}ilah dan al-muqh}am
(yang disisipkan). Menurut al-Zarkasyi sebaiknya menghindari pemutlakan
ungkapan al-ziya>dah dalam al-Qurán, tetapi harus disertai penjelasan
tentang maksud ungkapan tersebut.
Al-Zarkasyi juga beranggapan bahwa al-za>íd bukan
sesuatu yang muhmal (terlalaikan/yang ditinggalkan/tidak terpakai)
sebagaimana istilah yang digunakan oleh Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>,
karena maksud al-ziya>dah tidak seperti itu, karena wujud al-za>íd
bertujuan sebagai penguat (al-taqwiyah wa al-tauki>d). Maksudnya,
makna asli telah dihasilkan tanpa za>’id tersebut meskipun tanpa ada
unsur penguatan, tapi dengan kehadiran za>’id, maknanya menjadi lebih
kuat.Jadi,
dengan adanya penambahan ini maknanya pun bertambah melebihi makna jika tidak
ada ziya>dah di dalamnya.
Yang dimaksud oleh ahli Nahwu dengan kata ziya>dah/za>íd
adalah dari segi i’ra>b bukan dari segi makna. Seperti dalam firman Allah Q.S.
A<li ‘Imra>n/3: 159.
فبما رحمة من الله لنت لهم...(159)
Terjemahnya:
Maka disebabkan rahmat dari Allah lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka.
Para ahli Nahwu mengatakan bahwa "ما"
dalam ayat di atas adalah za>’idah (tambahan) dari segi i’ra>b,
kebanyakan orang yang tidak mengetahui menganggap bahwa itu adalah tambahan
dari segi konstruksi lafaz}, padahal ziya>dah ini merupakan satu
bentuk penggambaran yang jika dihilangkan/dihapus maka akan mengurangi
unsur-unsur keindahannya. Maksud dari ayat tersebut di atas adalah merupakan
deskripsi dari kelemah lembutan nabi Muhammad saw terhadap kaumnya. Dan ini
merupakan rahmat dari Allah, kemudian dihadirkan huruf "ما"
sebagai bentuk pensifatan secara lafaz} yang menguatkan dan memberi tekanan
pada makna al-li>n (lemah lembut), lebih dari itu, langgam
pengucapannya juga menimbulkan rasa simpati dan rasa terlindungi. Kemudian
pemisahan antar huruf ba’ sebagai huruf jar dengan majru>rnya
(yaitu lafaz} rahmah) di antara yang menarik jiwa kita untuk melakukan
perenungan makna dan memalingkan pikiran kita pada besarnya nilai rahmat dan
kasih sayang yang terkandung di dalamnya. Ini merupakan bukti kefasihan bahasa
al-Qur’an.
Contoh dari penerapan
kaidah ini, sebagaimana dalam firman Allah Q.S. Al-Baqarah/2: 259.
أو كالذي مر على قرية...(259)
Terjemahnya:
Atau apakah (kamu tidak
memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri...
Menurut Ibnu Jari>r,
ayat di atas adalah ‘at}f (sambungan) dari ayat sebelumnya, meskipun
berbeda lafaz} keduanya tetapi memiliki kemiripan makna, yaitu Q.S.
Al-Baqarah/2: 258
ألم
تر إلى الذي حاجّ إبراهيم...(258)
Terjemahnya:
Apakah kamu tidak memperhatikan orang
yang mendebat Ibrahim...
Sebahagian ahli Nahwu dari Bas}rah beranggapan bahwa “al-ka>f”
di dalam ayat tersebut di atas merupakan penambahan (za>idah), dan
artinya:
ألم
تر إلى الذي حاجّ إبراهيم , أو الذي مر على قرية.
Terjemahnya:
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim, atau apakah
(kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri.
Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa tidak boleh ada di dalam al-Qur’an
sesuatu yang tidak memiliki makna.
Menurut jumhur
mufassirin bahwa ayat “aw kalladhi> marra ‘ala> qaryah…” adalah
ma’t}u>f ‘ala> “alam tara ila>
al-ladhi> ha>jja…” dari segi makna. Makna “ألم تر إلى “الذي؟
adalah “ أرأيت كالذي حاجّ؟”. Maka ayat “ " أو كالذي مر
di’at}f kan atas makna ini.
Menurut Zamakhsyari> “ " أو كالذي artinya أورأيت
مثل الذي مرّ ؟
maka
digugurkan penyebutannya karena ada petunjuk atasnya dengan menggunakan “ألم تر ” pada ayat sebelumnya,
dan keduanya merupakan kata yang menggambarkan ketakjuban.
Merupakan kemungkinan pula bahwa huruf ka>f
di sini adalah merupakan isim sebagaimana menurut pandangan Abu>
al-Hasan. Maka ka>f ini menempati kedudukan jarr yang di’at}fkan
kepada “al-ladhi> ”, maksudnya menjadi “{ ألم تر إلى
الذي حاجّ إبراهيم } أو إلى مثل { الذي مرّ على قرية } ؟. Menurut Abu>
H{ayya>n yang benar adalah pendapat Abu> al-Hasan.
2. atau إذا زيدت فى الألفاظ وجب زيادة المعاني ضرورة.
زيادة المبنى تدل على زيادة المعنى (قوة
اللفظ لقوة المعنى)
Artinya:
Jika ada penambahan
pada lafazh maka dengan sendirinya wajib adanya penambahan makna. Atau
penambahan konstruksi lafazh menunjukkan adanya penambahan makna (kekuatan
lafazh karena adanya kekuatan makna).
Suatu lafaz} jika dia
berada dalam satu bentuk wazn (timbangan) tertentu kemudian berpindah ke
bentuk wazn yang lain yang lebih tinggi, maka pasti lah lafaz} tersebut
mengandung makna yang lebih banyak daripada makna yang terkandung pada lafaz}
sebelumnya, karena lafaz} adalah petunjuk atas makna. Atau, jika terdapat
penambahan susunan kata maka makna yang dikandungnya pun akan bertambah.
Misalnya dalam Q.S.
Al-Qamar/54: 42.
...فأخذناهم أخذ عزيز مقتدر. (42)
Terjemahnya:
Lalu Kami azab mereka sebagai azab dari Yang Maha Perkasa lagi Maha
Kuasa.
Lafaz} " مقتدر"lebih fasih daripada ."قادر"
Karena menunjukkan arti penguasa yang memiliki kekuasaan kokoh dan sempurna,
tidak ada sesuatu apa pun yang dapat mengubah tuntutan kekuasaannya. Ini
disebut kekuatan lafaz} karena kekuatan maknanya.
3. يحصل بمجموع
المترادفين معنى لا يوجد عند انفرادهما
Artinya:
Penggabungan antara dua kata yang memiliki arti serupa menghasilkan
makna yang tidak didapatkan ketika terpisah/disebutkan sendiri.
Kaidah ini menunjukkan bahwa dengan menggabungkan dua
lafaz} yang memiliki arti serupa, akan menghasilkan makna yang tidak didapatkan
ketika disebutkan sendiri (tanpa sinonimnya). Misalnya dalam Q.S. Yu>suf/12:
86, yang mengabarkan tentang nabi Ya‘qu>b a.s.
قال إنما أشكوا بثى و حزنى إلى الله... (86)
Terjemahnya:
Ya‘qu>b menjawab: “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan
kesusahan dan kesedihanku. Misalnya juga dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 171.
إلا دعاءً و نداءً ...(171)
Terjemahnya:
Selain panggilan dan seruan saja.
Dengan meletakkan sinonimnya setelah lafaz}
tersebut, akan memberi kesempurnaan makna yang lebih mendalam dibanding makna
ketika masing-masing lafaz} berdiri sendiri.
4. كل حرف زيد في كلام العرب (للتأكيد) فهو قائم مقام إعادة
الجملة مرة أخرى
Artinya:
Setiap huruf yang ditambahkan dalam perkataan Arab (sebagai penegasan)
maka sama dengan mengulang kalimat tersebut untuk kedua kalinya.
Di antara bentuk dari al-ta’ki>d (penegasan/penguatan)
adalah dengan al-takri>r (pengulangan). Pada dasarnya suatu bentuk al-ta’ki>d
tanpa menggunakan pengulangan maka bentuk penguatan tersebut kembali kepada
pengulangan. Al-ta’ki>d (al-ziya>dah) di sini mencakup
huruf-huruf dan kata kerja.
Jadi, jika ada huruf atau kata kerja yang dimasukkan atau ditambahkan (sebagai al-ta’ki>d)
ke dalam perkataan orang Arab, maka tambahan tersebut berperan mengulangi
kalimat sekali lagi. Misalnya dalam Q.S. Yu>suf/12: 5.
فيكيدوا لك كيدا... (5)
Terjemahnya:
Maka mereka membuat makar (untuk membinasakan)mu.
Lafaz}
kaida> berkedudukan mengulangi kalimat, menjadi: فيكيدوا لك فيكيدوا لك.
C.
Pengertian al-Taqdi>r dan al-Hadhf
Pengertian al-taqdi>r secara bahasa memiliki
banyak arti, yang paling sesuai dengan pembahasan ini adalah meniatkan sesuatu
dengan kemantapan dan keteguhan. Sebagaimana dalam kamus Lisa>n al-‘Arab makna al-taqdi>rأن تنوي الشئ بعقدك. تقول: قدرت أمر كذا و كذا, أي:
نويتُه و عقدت عليه.
Menurut terminologi, al-taqdi>r sesuai
pembahasan ini adalah lafaz} yang diniatkan atau diinginkan dengan ketetapan
hati si pembicara, yang tidak diutarakan secara terbuka (jelas). Jika apa yang diniatkan telah dijelaskan
(diutarakan) agar diketahui dan dipahami, berarti telah jelas apa yang
diinginkan atau yang dimaksudkan.
Adapun pengertian al-h}adhf secara etimologi
adalah penghapusan, pembuangan atau pengguguran. Sedangkan secara terminologi al-h}adhf
menurut para ahli Nahwu dan ahli Bala>gah adalah pengguguran harakat
(syakal) atau pun kata, baik jumlahnya banyak atau sedikit.
Sebahagian ada yang mengartikannya, menggugurkan sebagian dari kalimat atau
keseluruhannya karena adanya dalil tertentu.
D.
Kaidah-kaidah al-Taqdi>r dan
al-H}adhf
1.
العرب تحذف ما كفى منه الظاهر في الكلام إذا لم تَشُك في
معرفة السامع مكان الحذف.
Artinya:
Orang Arab menggugurkan/menghilangkan pada perkataan yang cukup hanya
dengan kata yang jelas/tampak, jika tidak ragu bahwa si pendengar mengetahui
kata yang dihilangkan tersebut.
Orang-orang Arab sebagaimana dikenal sebagai ahli bala>gah
dan fasih dalam hal
berkata-kata, di antara kefasihannya adalah mereka
membatasi/mencukupkan perkataannya dan
meringkasnya jika tidak dikhawatirkan bahwa hal itu akan menyebabkan adanya
makna yang samar/kabur bagi si pendengar karena si pendengar mengetahui letak kata yang
dihapus tersebut.
Misalnya dalam firman Allah Q.S. Al-Fa>tih}ah/1:
2-4.
الحمد لله رب العالمين(2) الرحمن الرحيم(3) ملك يوم الدين(4) إياك نعبد و إياك نستعين(5)
Terjemahnya:
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang. Yang menguasai hari pembalasan. Hanya kepada Engkaulah kami
menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.
Ibnu Jari>r dalam tafsirnya mengatakan bahwa:
“Jika ada seseorang bertanya kepada kita: “Apakah arti
dari " الحمد لله "
apakah Allah sendiri yang memuji diri-Nya kemudian Dia mengajarkan kita untuk
mengucapkannya juga sebagaimana Dia mengucapkan dan menyifati diri-Nya sendiri?
Jika demikian, jadi apa maksud/tujuan firman Allah: " إياك نعبد و إياك
نستعين" sedangkan Allah swt adalah sebagai
Yang disembah (ma’bu>d) bukan sebaliknya (‘a>bid)? Apakah
itu merupakan perkataan Jibril a.s, atau Muhammad saw? Karena salah jika itu
perkataan dari Allah swt. Dikatakan padanya: bahwa itu semua adalah perkataan
Allah swt, tetapi Allah swt memuji diri-Nya sendiri dengan apa yang memang Dia
pantas untuk itu, kemudian Dia mengajarkan itu kepada hamba-hamba-Nya, dan
mewajibkan mereka untuk membacanya sebagai ujian dan cobaan dari-Nya untuk
mereka. Jadi Allah swt berkata kepada mereka: katakanlah (wahai kamu
sekalian): " الحمد لله رب العالمين"
dan katakanlah (qu>lu)>: " إياك نعبد و إياك نستعين
" . Maka, firman Allah swt " إياك
نعبد" termasuk di antara apa yang
diajarkan oleh Allah swt kepada mereka agar mereka mengucapkannya dan meyakini
artinya, dan perkataan Allah ini maus}u>l (bersambung) dengan firman
Allah swt: " الحمد لله رب العالمين",
jadi seakan-akan Allah berkata: Qu>lu> ha>dha> wa ha>dha>.
Kemudian jika ada yang bertanya: di manakah letak perkataan Allah:" (قولوا)
" atau Qu>lu>
tersebut?maka jawabannya adalah:
telah dikemukakan sebelumnya bahwa sudah menjadi kebiasaan orang Arab –jika
mereka mengetahui letak kata tersebut, dan mereka tidak khawatir/ragu bahwa si
pendengarnya juga mengetahui kata atau apa yang disamarkan tersebut, maka
mereka menyamarkan/mengaburkan apa yang tidak perlu (cukup dapat dipahami) dari
yang nampak dari perkataannya. Terlebih lagi jika kata (yang disamarkan)
tersebut merupakan suatu perkataan atau penjelasan dari perkataan.”
2. الغالب في
القرآن و في كلام العرب أن الجواب المحذوف يذكر قبله ما يدل عليه.
Artinya:
Mayoritas yang
terdapat dalam al-Qur’an dan dalam perkataan orag-orang Arab bahwa jawaban yang
digugurkankan disebutkan sebelumnya apa yang menunjukan pada jawaban tersebut.
Umumnya dalam al-Qur’an dan perkataan orang Arab, jawaban
dari sesuatu yang dihilangkan (jawa>b mah}dhu>f), disebutkan
sebelumnya apa yang mengisyaratkan/menunjukkan kepada jawaban tersebut. Misalnya
dalam Q.S. Al-Qas}as}/28: 10.
إن كادت لتبدى به لولا أن رّبطنا على
قلبها لتكون من المؤمنين (10)
Terjemahnya:
Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa, seandainya
tidak Kami teguhkan hatinya, supaya ia termasuk orang-orang yang percaya
(kepada janji Allah).
Perkataan sebelum kata "لولا"
merupakan isyarat yang menunjukkan jawabannya lawla>, maksudnya
menjadi: لولا أن رّبطنا على قلبها لكادت لتبدى به.
3.
متى جاءت "بلى" أو "نعم" بعد كلام
يتعلق بها تعلق الجواب و ليس قبلها ما يصلح أن يكون جوابا له, فاعلم أن هناك سؤالا
مقدرا, لفظه لفظ الجواب.
Artinya:
Ketika ada kata “bala>” atau “na’am” setelah perkataan
yang berkaitan dengannya (“bala>” atau “na’am”) sebagai
jawaban dan sebelumnya tidak ditemui apa yang sesuai untuk menjadi jawaban
perkataan tersebut, maka ketahuilah bahwa di sana ada pertanyaan yang terkandung di
dalamnya/tersimpan dengan menggunakan lafazh jawaban.
Maksudnya bahwa sengaja diringkas dan penyebutannya
secara fleksibel saja karena telah diketahui maknanya. Misalnya dalam Q.S.
Al-Baqarah/2: 112.
بلى من أسلم وجهه لله وهو محسنٌ فله أجره عند ربه...(112)
Terjemahnya:
(Tidak demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah,
sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala dari sisi Tuhannya.
Di dalam ayat ini dilihat bahwa si penjawab berkata: "بلى",
pertanyaannya dikembalikan kepada jawabannya, jadi maksud adalah: أليس من أسلم وجهه لله وهو محسن له أجره عند ربه؟.
4.
إذا كان ثبوت شئ أو نفيه يدل على ثبوت آخر أو نفيه,
فالأولى الاقتصار على الدال منهما, فإن ذكرا فالأولى تأخير الدال.
Artinya:
Jika penetapan sesuatu atau penegasiannya menunjukkan pada penetapan
yang lain atau penegasian yang lain, maka yang lebih utama adalah mencukupkan/membatasi
penyebutannya hanya pada indikator yang menunjukkan dari keduanya, tetapi jika
disebutkan keduanya maka yang lebih utama adalah mengakhirkan (menempatkan di
akhir) hal yang menjadi indikator/petunjuk.
Misalnya jika sesuatu memiliki dua sifat, dan salah
satu sifatnya megindikasikan/menunjukkan sifat yang lainnya, maka lebih
diutamakan membatasi penyebutan pada sifat yang menunjukkan sifat yang lainnya,
untuk menghindari pengulangan yang membosankan. Tetapi jika disebutkan
keduanya, maka sebaiknya sifat yang menunjukkan sifat yang lainnya diletakkan
di akhir/diakhirkan. Misalnya dalam Q.S. A<li ‘Imra>n/3: 133.
و سارعوا إلى مغفرة من ربكم و جنة
عرضها السماوات والأرض...(133)
Terjemahnya:
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang
luasnya seluas langit dan bumi.
Kita ketahui, bahwa setiap yang mempunyai luas
mempunyai panjang, maka ketika al’ard} (luas)
menunjukkan/mengindikasikan al-t}u>l (panjang), maka membatasi
penyebutan sifatnya dengan al’ard} saja menjadi lebih utama.
5.
حذف جواب الشرط يدل على تعظيم الأمر و شدته فى مقامات
الوعيد.
Artinya:
Penghapusan/pengguguran jawa>b al-syart} menunjukkan
pentingnya dan dahsyatnya hal tersebut dalam konteks ancaman.
Jawa>b al-syart} yang tidak disebutkan dalam suatu ayat menunjukkan
pentingnya atau dahsyatnya hal yang dibicarakan.
Ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung fi’l al-syart}
(kata kerja bersyarat), tetapi jawa>b al-syart} (jawaban dari kata
bersyarat)nya tidak disebutkan menunjukkan pentingnya masalah yang dibicarakan,
atau-jika yang dibicarakan adalah masalah siksa dan ancaman- menunjukkan
dahsyatnya keadaan yang disebutkan.
Misalnya dalam Q.S. Al-Sajdah/32: 12.
ولو ترى إذالمجرمون ناكسوا رُؤُوسِهم
عند ربهم...(12)
Terjemahnya:
Dan (alangkah ngerinya), jika
sekiranya kamu melihat ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan
kepalanya di hadapan Tuhannya.
Jawa>b al-syart} kata law tara>
memang tidak disebutkan, dan yang disebutkan hanya reaksi orang-orang yang
melihat siksaan neraka.
6.
قد يقتضي الكلام ذكر شيئين فيقتصر على أحدهمالأنه
المقصود.
Artinya:
Sebuah perkataan terkadang perlu untuk menyebutkan dua hal tetapi
dicukupkan penyebutannya pada satu hal saja karena hal tersebut lah yang
dimaksudkan.
Terkadang di dalam suatu perkataan yang disebutkan
hanya satu dari dua yang harus disebutkan dikarenakan hal yang dimaksudkan
terbatas pada yang disebutkan saja. Misalnya dalm Q.S. T}a>ha>/20: 49.
قال فمن ربكما يا موسى (49)
Terjemahnya:
Berkata Fir’aun: “Maka siapakah Tuhanmu berdua, hai
Musa?
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa setelah nabi Musa a.s.
dan nabi Harun a.s. mendapat perintah Allah swt, pergilah mereka kepada Fir‘aun
dan terjadilah soal jawab seperti yang disebutkan pada ayat ini dan ayat
berikutnya.
Dalam ayat ini tidak disebutkan "و هارون"
padahal yang digunakan adalah bentuk mutsanna> (dua orang),
dikarenakan Musa lah yang dimaksud kan
(lebih penting) karena dialah yang mengemban tanggungjawab misi kenabian.
7.
قد يقتضي المقام ذكر شيئين بينهما تلازم وارتباط فيكتفى
بأحدهما عن الآخر.
Artinya:
Terkadang dalam suatu konteks perkataan menyebutkan dua hal yang di
antara keduanya memiliki keterikatan antara satu dengan yang lain (inherensi),
maka cukup menyebutkan salah satunya saja.
Yang dimaksud di sini adalah membatasi penyebutan pada
salah satu dari dua hal yang tidak bisa dipisahkan dan memiliki ketergantungan
antara satu dengan yang lain (inherensi), karena jika salah satunya disebut
akan mengingatkan yang lainnya. Dan pembatasan di sini dikarenakan adanya
maksud tertentu yang menuntut agar dibatasi pada salah satunya saja. Misalnya
dalam Q.S. Al-Nah}l/16: 81.
و جعل لكم سرابيل تقيكم الحرّ...(81)
Terjemahnya:
Dan Dia jadikan bagimu pakaian yang memeliharamu dari panas.
Maksud ayat ini adalah pakaian yang memeliharamu dari
panas atau pun dingin. Tetapi dibatasi hanya pada penyebutan alh}arr karena
yang diajak bicara adalah kaum Arab yang mana negeri mereka beriklim panas,
sehingga berlindung dari panas lebih penting bagi mereka, karena panas lebih
menyiksa bagi mereka daripada dingin.
8.
لا يقدَّر من المحذوفات إلاّ أفصحها و أشدها موافقة
للغرض.
Artinya:
Sesuatu yang digugurkan/dihapuskan tidak dikembalikan pemahamannya
kecuali dengan sesuatu yang paling fasih dan yang paling sesuai dengan tujuan
yang dimaksud.
Di antara kebiasaan berbahasa orang Arab, mereka tidak
menilai/memperkirakan maksud dari sesuatu yang mah}dhu>f (yang tidak disebutkan) kecuali dengan
penilaian yang paling sesuai dan paling tepat dengan maksud yang diinginkan.
Misalnya dalam Q.S. Al-Ma>’idah/5: 97.
جعل الله الكعبة البيت الحرام قياما
للناس...(97)
Terjemahnya:
Allah telah menjadikan Ka’bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan
dan urusan dunia) bagi manusia.
Ayat " جعل الله الكعبة"
terdapat taqdi>r di dalamnya, ada yang mengatakan taqdi>rnya
adalah nus}b/nas}b al-ka’bah (sesuatu yang ditegakkan /dipasang) pada
Ka’bah, sebagian yang lain mengatakan yang dimaksud adalah h}urmah al-ka‘bah
(kesucian Ka’bah), dan yang paling utama adalah yang kedua, karena taqdi>r
alhurmah} (kesucian) dalam hal yang berkaitan dengan al-hadya,
al-qala>’id dan
al-syahr alh}ara>m tidak diragukan lagi kefasihannya. Sedangkan taqdi>r
nas}b/nus}b jauh dari sifat kefasihan al-Qur’an.
9.
ينبغي تقليل المقدر مهما أمكن لتقل مخالفة الأصل.
Artinya:
Harus meminimalisir al-muqaddar (sesuatu yang dikandung/tersimpan)
sebisa mungkin untuk meminimalisir perbedaan dengan aslinya.
Maksud kaidah ini adalah, pada dasarnya tidak ada taqdi>r, jadi sebisa mungkin
meminimkan sesuatu yang disamarkan (yang tersirat) untuk meminimalisir
perbedaan dari aslinya/pokok pegangannya. Misalnya
dalam Q.S. Al-T}ala>q/65: 4.
والَّئ يئسن من المحيض من نسائكم إن
ارتبتم فعدتهن ثلاثة أشهر و الّئ لم يحضن...(65)
Terjemahnya:
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah
mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak
haid.
Sebahagian ulama mengatakan bahwa iddah
perempuan-perempuan yang tidak haid adalah tiga bulan, dan memang sebaiknya ditaqdi>rkan
(yang dimaksud) seperti itu, karena selain lebih ringkas juga ada
petunjuk/indikasi atas makna tersebut sebelumnya.
10. إذا كان للكلام وجه مفهوم على اتساقه
على كلام واحد, فلا وجه لصرفه إلى كلامين.
Artinya:
Jika suatu perkataan telah dapat dimengerti dengan menggunakan satu
bentuk perkataan yang teratur (konsisten), maka tidak perlu untuk mengubahnya
ke dalam bentuk perkataan yang lain.
Misalnya dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 83.
وإذ أخذنا ميثاق بنى إسراءيلَ لا
تعبدون إلاّ اللهَ و بالوالدين إحساناً...(83)
Terjemahnya:
Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu):
Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak.
Di dalam tafsir Ibnu Jari>r dikatakan bahwa al’ihsa>n
bentuknya mans}u>b dikarenakan oleh fi’l mud}mar (kata kerja
yang tersembunyi) yang mana kata kerja tersebut digantikan tugasnya oleh kata wabilwa>lidaini,
sehingga maknanya dapat dipahami. Ada
pun makna perkataan tersebut jika diperjelas menjadi:
وإذ أخذنا ميثاق بنى إسراءيلَ, بأن لا تعبدوا إلاّ اللهَ, و بأن تحسنوا إلى
الوالدين إحساناً.
Maka
cukup mengatakan و
بالوالدين " "daripada: و بأن تحسنوا إلى الوالدين إحساناً, karena dari kalimat yang diucapkan sudah tampak jelas maknanya.
Comments
Post a Comment