KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS

KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS Pendahuluan latar belakang Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah dua sumber utama ajaran Islam. Oleh karena itu, keduanya selalu dijadikan landasan keyakinan, ritual, adat istiadat, etika, ekonomi, politik, peradaban dan seluruh aspek kehidupan umat Islam, baik yang sakral maupun duniawi, pada tataran ¥ abl minallah (vertikal) dan ¥ abl min al. -n ± s (horizontal).

BIL MA'TSUR ( TAFSIR AYAT DENGAN AYAT )


CAT :
MATERI INI TIDAK DI LENGKAPI REFERENSI FOOT NOTE DAN DAFTAR PUSTAKA

SILAHKAN DOWNLOAD MATERI LENGKAPNYA DI SITUS BARU KAMI




A. Pengertian dan Tinjauan umum
Menurut  bahasa tafsir berasal dari bahasa arab dari kataتفسيرا  فسّر- يفسّر- yang artinya penjelasan atau keterangan.[6] secara etimologis berarti menyebutkan atau mengutip (naqala) dan memuliakan atau menghormati (akrama).[7] Al-as\a>r juga bisa berarti sunnah, hadis\, jejak, bekas, pengaruh, dan kesan. Jadi, kata-kata al-ma’s\u>r, al-naql, al-manqu>l, dan al-riwa>yah. Dan secara istilah tafsir berarti ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW., menerangkan makna-maknanya serta menerangkan hukum dan hikmah-hikmahnya.[8]
Kata tafsir secara etimologi diambil dari kata فسر- يفسر- تفسرا  berarti الايضاح  [9]والبيان yang berarti penjelasan dan keterangan, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat QS Al-Furqan/25 : 33:
وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيراً

“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya”
Sementara itu dari segi terminologi menurut Al-Zarqani :
عِاٌمٌ يُبًحَثٌ فِيهِ عَنِ اِحْوَالِ القٌرْاَنِ الكَرِيْمِ مِنْ حَيْثُ دِلَا لَتِهِ علَىَ مُرَاِد اللهِ تَعَالىَ بِقَدْرِ الطَاقَةِ الْبَشَرِيَه[10]

“ Ilmu yang di dalamnya membahas tentang Al-Qur’an Al-Karim dari segi petunjuk (dalalah)nya kepada yang dikehendaki Allah dari sekedar yang kemampuan manusia”.
Menurut Az-Zarkasyi :
عِلْمُ يُفْهَمُ بِهِ كِتَابِ اللهِ المُنَزَلُ عَلىَ نَبِيِهِ مُحَمدٍ صلعم وَبَيَانِ مَعَاِنيْهِ وِاسْتِحْزَاِج اِحْكَامِهِ وَحُكْمِهِ[11]
 “Tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad SAW dan menjelaskan makna-maknanya, serta mengeluarkan kandungan-kandungan hukum dan hikmahnya.
Dari segi pendefenisian menurut al-z{ahabi tafsi>r bi al-ma’s\ur adalah:
مَا جَاءَ فِى القُرَانِ نَفْسِهِ مِنْ البَيَاِن وَالتَفْصِيْلِ لِبَعْضِ آيَاتِهِ, وَمَا نَقلَ عَنْ الرَسُوْلِ   صلعم وَمَا نَقَلَ عَنْ الصَحَابَةِ رِضْوَانِ اللهِ عَلَيْهِمْ, وَمَا نَقلَ عَنْ التَابِعِينَ, مِنْ كُلِ مَا هُوَ بَيَانٌ وَتَوْضِيْحٌ لِمُرَاِد اللهِ تَعَالىَ مِنْ نُصُوْصِ كِتَابِهِ الكِريْمِ[12]
“Apa yang datang pada al-Qur’an dengan sendirinya dari penjelasan dan uraian dengan sebahagian ayatnya, dan apa yang dinukilkan dari Rasul SAW dan apa yang dinukilkan dari para shahabat keridhaan Allah SWT terhadap mereka, dan apa yang dinukilkan dari ta>bi’in, dari tiap-tiap sesuatu yang dianya merupakan penerangan dan penjelasan kepada maksud Allah SWT dari nash-nash kitab-Nya yang mulia.
Menurut Ibnu Hayyan tafsir adalah:
علم يبحث عن كيفية النطق بألفاظ القرأن ومدلولا تها وأحكامها الافرادية والتركيبية ومعانيها التى تحمل عليها حالة التركيب[13]
 “Ilmu membahas mengenai cara pengucapan kata-kata al-Qur’an serta cara mengungkapkan petunjuk (dalil-dalilnya), kandungan-kandungan hukum yang tersendiri (terpisah) dan yang tersusun serta makna-maknanya yang terkandung atasnya secara tersusun baik.
Menurut ‘Ibn Hayyan, tafsir ialah suatu ilmu yang membahas cara menuturkan atau membunyikan lafadz-lafadz al-Qur’an, Madlul-Madlulnya baik mengenai kata tunggal maupun mengenai kata tarkib dan makna-maknanya yang digantungkan oleh keadaan susunan dan beberapa kesempurnaan bagi yang demikian seperti, Na>sakh, Asba>b al-Nuzu>l, kisah yang mengatakan apa yang tidak terang di dalam al-Qur’an dan lain-lain yang mempunyai hubungan erat dengannya.[14]
Sedangkan ‘Ali Hasan al-‘Aridl menjelaskan bahwa tafsir  ialah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadz al-Qur’an, makna-makna yang ditunjukkannya dan hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri atau tersusun serta makna-makna yang dimungkinkan ketika dalam keadaan tersusun.[15]
Menurut al-Zarkasyi, istilah tafsi>r bi al-ma’s\u>r merupakan gabungan dari tiga kata; tafsi>r, bi, dan  al-ma’s\u>r. Secara leksikal tafsir berarti mengungkap atau menyingkap. Kata “bi”  berarti ‘dengan’ sedangkan al-ma’tsur berarti ungkapan yang dinukil oleh khalaf dari salah. Dengan demikian secara etimologis tafsi>r bi al-ma’s\u>r  berarti menyingkap isi kandungan al-Qur’an dengan penjelasan yang dinukil oleh khalaf dari salaf.[16]
Sedangkan secara terminologis pengertian tafsir bi al-ma’tsur yaitu:
هُوَالَّذِى يَعْتَمِدُ عَلَى صَحِيْحِ النُقُوْلِ بِالْمَرَاتِبِ الَّتِى ذُكِرَتْ سَابِقًافِيْ شُرُوْطِ الْمُفَسِرِ مِنَ تَفْسِرِالْقُرْاَنِ بِالْقُرْاَنِ, اَوْبِالسُّنَّةِ لأَنَّهَا جَاءَتْ مُبَيْنَةُ لِكِتَابِ اللهِ. اَوْبِمَا رُوِيَ عَنِ الصَّحَابِ لأَنَّهُمْ اَعْلَمُ النَّاسَ لِكِتَابِ اللهِ. اَوْبِمَاقَالَهُ كِبَارُ التَّابِعِيْنَ لأَنَّهُمْ تَلَقُّوْا ذَلِكَ غَالِبَا عَنِ الصَّحَابَةِ.
Artinya : “tafsi>r bi al-ma’s\u>r  ialah tafsir yang berpegang kepada riwayat yang Shahih, yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan al -Qur’an, atau dengan sunnah karena ia berfungsi menjelaskan kitabullah, atau dengan perkataan para Sahabat  karena merekalah yang paling mengetahui kitabullah atau dengan apa yang dikatakan oleh tokoh-tokoh besar tabi’in karena pada umumnya mereka menerima dari para Sahabat”.[17]
Definisi seperti ini, menurut catatan al-Suyuthi berasal dari Ibnu Taimiyah, dan dipopulerkan oleh al-Zarqani yang nota bene termasuk ulama’ kontemporer. Al-Zarqani adalah orang yang pertama menyebutkan bahwa tafsir bi al-ma’tsur adalah penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, atau hadits atau pendapat shahabat atau tabi’in.[18] tafsi>r bi al-ma’s\u>r, jika diartikan sebagai kompilasi penafsiran Nabi, shahabat dan tabi’in, maka riwayat menjalankan fungsi interpretatif. Riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi, shahabat dan tabi’in secara langsung menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an. Riwayat tersebut langsung menjelaskan bahwa maksud ayat “ini” adalah “begini”. Oleh karena itu, ruh dari tafsi>r bi al-ma’s\u>r yang semacam adalah naql (penukilan riwayat). Dengan demikian, maka penulis kitab tafsir (baca: penafsir) hanya menulis tafsir dengan menukil riwayat Nabi, Shahabat atau tabi’in dalam menafsirkan ayat al-Qur’an, bukan sebagai penafsir. Definisi semacam inilah yang dipegang oleh al-Suyuthi.[19]
Sedangkan sebelum al-Zarqani, yang dimaksud tafsir bi al-ma’tsur adalah kompilasi penafsiran nabi, sahabat dan tabi’in.[20] Ulama yang memahami bahwa tafsir bi al-ma’tsur bukan penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an atau hadits atau pendapat sahabat atau tabi’in adalah al-Suyuthi. Dalam muqaddimah tafsirnya, al-Suyuthi mengatakan bahwa isi dari kitab tafsirnya adalah kompilasi penafsiran-penafsiran Nabi saw.. dan para sahabat.[21]
Dinamai dengan bil ma’tsur (dari kata “atsar” yang berarti sunnah, hadits, jejak, peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran, seorang mufasir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya, hingga kepada Nabi saw..
Tafsi>r bi al-ma’s\u>r adalah tafsir berdasar pada kutipan-kutipan yang shahih, yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an; Al-Qur’an dengan sunnah, karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah; dengan perkataan sahabat, karena merekalah yang dianggap paling mengetahui Kitabullah; dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi’in, karena mereka pada umumnya menerimanya dari sahabat.[22]
Adapun alasan pendapat yang memasukkan pendapat sahabat sebagai tafsir bi al matsur karena di jumpai kitab-kitab tafsir bi al matsur, seperti tafsir al-thabary dan sebagainya tidak mencukupi dengan menyebutkan riwayat-riwayat dari Nabi atau sahabat saja, tetapi perlu memasukkan pendapat sahabat dalam tafsirnya . Di samping itu, para tabi’in banyak yang bergaul dengan sahabat. Mempelajari ilmu-ilmu mereka dan banyak mengetahui hal ihwal al-Qur’an  dari mereka di banding generasi berikutnya. Apalagi, jika penafsiran itu menyangkut persoalan-persoalan metafisika yang berada di luar kemampuan mereka.
Sebagian ulama juga memberikan definisi yang hamper sama. Ia adalah ilmu yang membahas redaksi-redaksi Al-qur’an, dengan memperhatikan pengertian-pengertiannya untuk mencapai pengetahuan tentang apa yang dikehendaki oleh Allah SWT, sesuai dengan keadaan manusia.[23]
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tafsir bi al-matsur bersumber pada al-Qur’an , penjelasan nabi, pendapat sahabat dan tabi’in.
Dari dua penjelasan di atas maka dapat dipertegas lagi, bahwa penafsiran bi al-ma’tsur ialah: Penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an  dengan ayat Al-Qur’an , penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an  dengan Hadits, dan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an  dengan Asar yang datang dari para sahabat.
Dr. Yusuf Qardhawi mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan tafsir bi-al-ma’tsur atau tafsir riwayat adalah tafsir yang terbatas pada riwayat dari Rasulullah saw... Dan dari para sahabat r.a atau murid-murid mereka dari kalangan tabiin, dan dapat juga dari tabi’ut-tabi’in.[24]
Sedangkan al-Farmawy mendefinisikan bahwa tafsir bi al-ma’tsur adalah penafsiran Al-Qur’an yang berdasarkan pada penjelasan al-Qur’an sendiri, penjelasan rasul, penjelasan sahabat melalui ijtihadnya, dan aqwal tabi’in.[25]
Tafsir bil ma’tsur adalah tafsir yang dapat diterapkan, bahwa Nabi sendiri atau sahabatnya yang bersentuhan langsung dalam wilayah pengajaran. Hal itu telah menjelaskannya dengan penjelasan makna-makna Al-qur’an.[26]
Dari sumber lain mendefinisikan bahwa tafsir bi al-ma’tsur ialah tafsir yang berdasarkan pada al-Qur’an  atau riwayat yang shahih sesuai syarat- syarat mufassir yaitu menafsirkan al-Qur’an  dengan al-Qur’an  (ayat dengan ayat), al-Qur’an  dengan sunah, perkataan sahabat karena merekalah yang paling mengetahui Kitabullah, atau dengan pendapat tokoh-tokoh besar tabi’in. Pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat.[27]
Dari definisi-definisi tersebut penulis dapat menyimpulkan bahwa tafsir bi al-ma’tsur adalah tafsir Al-Qur’an  yang secara riwayat bersifat terbatas yang hanya  boleh ditafsirkan oleh al-Qur’an , sunah Rasul, sahabat nabi, dan para tabiin yang telah di tentukan syarat dan ketentuannya.
Dapat diketahui juga bahwa tafsir bi al-ma’tsur mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.            Tafsir Al-Qur’an  yang dibatasi dengan menggunakan Al-Qur’an ,
2.            Tafsir Al-Qur’an  yang dibatasi dengan menggunakan sunah Rasul,
3.            Tafsir Al-Qur’an  yang dibatasi dengan menggunakan sahabat nabi,
4.            Tafsir Al-Qur’an  yang dibatasi dengan menggunakan para tabiin
Keistimewaan tafsir bi al-ma’tsur menurut Quraisy Shihab sebagai berikut:
1.      Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-Qur’an  
2.      Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya 
B. Perkembangan Tafsi>r bi al-Ma’s\u>r
Pada abad pertama Islam, para ulama sangat berhati-hati dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Bahkan sebagian para ulama bila ditanya mengenai satu ayat, mereka tidak memberikan jawaban apapun.[28]
Muhammad Husain al z{ahabi dalam Tafsi>r wa al-Mufassiru>n menyebutkan bahwa perkembangan tafsir bi al-ma’tsur dapat dikategorikan menjadi dua periode, Pertama, periode periwayatan (d{au>r al-riwa>yah) dan kedua, periode kodifikasi/pembukuan (d{au>r al-tadwi>n).
Periode pertama yaitu d{au>r al-riwa>yah dapat dibedakan dalam empat tahap, yaitu tahap pertama, masa Rasulullah., tahap kedua, pada masa sahabat., tahap ketiga, pada masa tabi’in., dan tahap keempat, pada masa sesudah tabi’in, yang masing masing memilki corak dan karakteristik sendiri sendiri.
Periode kedua adalah periode kodifikasi (d{au>r al-tadwi>n) pada periode ini mula-mula ditulis dan dibukukan adalah tafsir bi al-ma’tsur, yaitu segala yang diriwayatkan dari Rasulullah saw.. dan sahabat, baik yang terjadi pada permulaan tahun 100 atau 200 Hijriyah. Periode kedua ini dalam perkembangannya juga melalui beberapa tahap, yaitu :
Tahap pembukuan tafsir bi al-ma’tsur, belum mengambil bentuknya yang sempurna dan belum berdiri sendiri, yaitu tafsir ditulis dalam kitab kitab hadits, dan didalamnya banyak didapati berbagai macam bab hadits yang berbeda beda , juga masih berupa kumpulan riwayat yang berasal dari Nabi, para sahabat, dan juga tabi’in sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Malik bin Anas.
Tahap kedua mulai dilakukan pemisahan antar tafsir bi al-ma’tsur dengan kumpulan kumpulan tulisan hadits, sehingga tafsir menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri. Dan orang yang pertama kalinya mempelopori adalah Ali bin Abi al-Talhah berdasarkan riwayat ibn Abbas.
Tahap ketiga, tafsi>r bi al-ma’s\u>r mulai dibukukan dalam bebrapa juz secara khusus, seperti yang dilakukan oleh Abi Rauq yang menulis satu juz saja dari tiga juz lainnya oleh Muhammad ibn Tsaur dari Ibn Juraij.
Tahap keempat, pengkodifikasian tafsir yang secara khusus memuat tafsir bi al-ma’tsur lengkap dengan jalur sanad sempai kepada Rasulullah saw. kepada para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in, seperti yang dilakukan oleh Ibn Jarir Al-Thabariy.
Priode kelima, yaitu pengkodifikasian tafsir bi al-ma’tsur tanpa mengemukakan sanad periwatannya; dan kebanyakan para mufassir menggunakan pendapat pendapat tertentu didalam tafsir mereka tanpa membedakan hadits yang sahih dan hadits yang keliru, sehingga mengakibatkan para peneliti tidak tertarik pada isi kitab tafsir tersebut, karena ada kekhawatiran adanya unsur pemalsuan. Adapun mengenai Perbedaan yang terjadi di dalam tafsir bi al-Ma`tsur dapat dibagi menjadi 3 klasifikasi:
Pertama, berbeda lafazh, bukan makna. Hal seperti ini tidak memiliki pengaruh terhadap makna ayat. Contohnya adalah firman Allah Ta’ala:
“Wa Qadla Rabbuka Alla Ta’buduu Illa Iyyaah [Dan Tuhanmnu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia].” (QS al-Isra/ 17 : 23) Ibn ‘Abbas berkata, “Makna Qadla adalah Amara (memerintahkan).” Mujahid berkata, “Maknanya adalah Washsha (berwasiat).” Al-Rabi’ bin Anas berkata, “Maknanya adalah Awjaba (mewajibkan).” Penafsiran-penafsiran seperti ini maknanya sama atau mirip sehingga tidak ada pengaruhnya perbedaan tersebut terhadap makna ayat.
Kedua, berbeda lafazh dan makna. Dalam hal ini, ayat (yang ditafsirkan) dapat menerima (mencakupi) kedua makna tersebut karena tidak bertentangan (kontradiksi). Artinya, ayat tersebut dapat diarahkan kepada kedua makna tersebut dan ditafsirkan dengan keduanya sehingga sinkronisasi terhadap perbedaan ini adalah bahwa masing-masing dari kedua pendapat tersebut hanya diketengahkan sebagai contoh/permisalan terhadap apa yang dimaksud ayat tersebut atau dalam rangka variasi saja.
Contohnya adalah firman Allah Ta’ala, “Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaithan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat, Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah…” (QS al-A’raf /  :175-176) Ibn Mas’ud berkata, “Ia [orang yang telah Kami berikan kepadanya] adalah seorang yang berasal dari kalangan Bani Israil.” Dari Ibn ‘Abbas, ia mengatakan, “[Ia adalah] seorang laki-laki dari penduduk Yaman.” Menurut riwayat lain darinya, “[Ia adalah] seorang laki-laki dari penduduk Balqa`.
Sinkronisasi terhadap pendapat-pendapat ini adalah dengan mengarahkan ayat kepada seluruh pendapat tersebut sebab ia bisa menerimanya (mencakupinya) tanpa menimbulkan pertentangan (kontradiksi) sehingga seakan masing-masing pendapat itu hanya diketengahkan sebagai contoh/permisalan. Contoh lainya, firman-Nya, “Dan gelas-gelas yang penuh (berisi minuman)” (QS an-Naba / 78 :34) Ibn ‘Abbas berkata, “Makna Dihaaqa adalah penuh.” Mujahid berkata, “Maknanya adalah berurutan (teratur).” ‘Ikrimah berkata, “Maknanya adalah bening.”
Pada hakikatnya, antara pendapat-pendapat ini tidak terdapat pertentangan sebab ayat tersebut mencakupi semuanya sehingga diarahkan kepada semuanya dan masing-masing pendapat merupakan jenis dari makna tersebut.
Ketiga, berbeda lafazh dan makna. Dalam hal ini, ayat tidak dapat mencakupi kedua makna tersebut secara bersama-sama karena terjadi kontradisi di antara keduanya. Karena itu, maknanya harus diarahkan kepada pendapat yang paling kuat dari keduanya, baik melalui petunjuk redaksinya atau lainnya.
Contohnya adalah firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS an-Nahl / 16 :115) Ibn ‘Abbas berkata, “Makna Baaghin [dengan tidak menganiaya] terhadap bangkai dan ‘Aadin [tidak pula melampaui batas] di dalam memakannya.“ Menurut riwayat yang lain, “Tidak membangkang (angkat senjata) terhadap Imam (pemimpin, penguasa) dan tidak berbuat maksiat di dalam perjalanannya.”
Pendapat yang paling kuat adalah pendapat pertama sebab dalil tidak mengarah kepada makna kedua dalam ayat tersebut sedangkan yang dimaksud dengan kehalalan hal-hal yang disebutkan disitu adalah melawan kondisi darurat[29] (sehingga tidak diharamkan karena khawatir jiwa binasa-red.,) sedangkan di dalam kondisi membangkang terhadap imam (Pemimpin), dalam kondisi bepergian yang diharamkan dan sebagainya; tetap berlaku (diharamkan).
Contoh lainnya adalah firman-Nya, “Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang memegang ikatan nikah…” (QS al-Baqarah/2 :237) ‘Ali bin Abi Thalib RA mengatakan bahwa makna “orang memegang ikatan nikah” adalah suami. Ibn ‘Abbas ra. berkata, “Maknanya adalah Wali.” Pendapat yang kuat adalah pendapat pertama (suami) sebab maknanya menunjukkan ke arah itu, juga karena telah diriwayatkan sebuah hadits dari Nabi mengenainya.

C. Macam  dan Bentuk Penafsiran Ayat dengan Ayat
Tafsir bi al-Ma’tsur merupakan penafsiran dengan menggunakan riwayat sebagai sumber pokoknya. Karena itu, tafsir ini dinamakan juga dengan tafsir bi al-riwayah (tafsir dengan riwayat) atau tafsir bi al-manqal (tafsir dengan menggunakan pengutipan riwayat). Salah satu penafsiran dengan corak bi al – matsur di sini adalah ayat al-Qur’an ditafsirkan dengan ayat lain.
Penafsiran ayat al-Qur’an dengan ayat yang lain. Ayat-ayat al-Qur’an, menurut para ahli tafsir, saling menafsirkan antara sesamanya. Penafsiran satu ayat dengan ayat lainnya juga bermacam-macam, yaitu:
Pertama, ayat atau ayat-ayat lain menyebarkan apa yang diungkapkan pada ayat tertentu. Misalnya, kata-kata al-Muttaqin (orang-orang yang bertaqwa) dalam ayat 2 surat al-Baqarah, dijabarkan ayat-ayat sesudahnya (ayat-ayat 3, 4, 5) yang menyatakan :
Terjemahnya :
 “Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang gaib, mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada kitab (al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelumnya, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka orang-orang yang beruntung”. (QS al- Baqarah/2 : 3,4,5).

Kedua, ada informasi tertentu, misalnya tentang kisah Nabi Musa pada surah tertentu diungkapkan secara singkat, sementara pada surah lain secara panjang lebar. Dalam hal ini ayat-ayat yang panjang lebar menafsirkan ayat-ayat yang mengandung informasi yang lebih singkat.[30]
Ketiga, ayat-ayat yang mujmal ditafsirkan oleh ayat-ayat yang mubayyan, ayat-ayat yang muthlaq ditafsirkan oleh ayat-ayat yang khas. Ringkasnya, ayat-ayat yang mengandung pengertian umum dan global ditafsirkan oleh ayat-ayat yang mengandung pengertian khusus dan rinci.
Keempat, informasi yang terkandung dalam satu ayat kadang-kadang terlihat berbeda dengan informasi yang terdapat pada ayat-ayat lain. Penafsiran ayat-ayat itu dilakukan dengan mengkompromikan pengertian-pengertian tersebut.[31]

D. Contoh-contoh Penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an
Sebagaimana diketahui bahwa Al-Qur’an itu, sebagian ayatnya merupakan penjelas terhadap sebagian ayat yang lain hanya Allah saja yang Maha Mengetahui apa yang dikehendaki dengan firmanNya. Di antara contoh-contohnya sebagai berikut:
فَتَلَقَّى آَدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ (37(
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Baqarah / 2 : 37).

Kata “‘Kalimaatin” (beberapa kalimat) tersebut dijelaskan oleh ayat yang lain di surat yang lain, yaitu:
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ (23(
“Adam dan Hawa berkata : Rabbana wahai Tuhan kami, kami telah berbuat aniaya terhadap diri kami. Dan kalau Engkau tidak mengampuni kami dan tidak memberikan kasih sayang kepada kami, pasti kami akan menjadi orang-orang merugi”. (QS Al-A’raf / 7 : 23)

Demikian juga QS Al-Maidah /5 : 1:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ (1(
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.

Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.” Penggalan ayat Illa Maa Yutlaa ‘alaikum dijelaskan oleh Allah dalam firman QS Al-Maidah / 5 : 3:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ…..

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) dan yang disembelih atas nama selain Allah…”
Demkian juga FirmanNya:
“Tunjukkanlah kami pada jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau karuniai nikmat, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan jalan orang-orang yang sesat” (QS Al-Fatihah / 1 : 6-7).
Kalimat “orang-orang yang Engkau karuniai nikmat” pada ayat di atas, dijelaskan oleh Allah dalam firmanNya:
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا (69(
“Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan RasulNya maka mereka adalah bersama orang-orang yang mendapatkan nikmat dart Allah, yaitu para Nabi, orang-orang yang selalu membenarkan apa-apa yang benar, orang-orang mati syahid dan orang-orang saleh. Mereka itulah sebaik-baik teman/sahabat” (QS An-Nisa / 4 : 69).

Demikian juga FirmanNya:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ (3(
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan” (QS Ad-Dukhan / 44 : 3).
Kata “malam yang diberkahi” dijelaskan oleh Allah dalam firmanNya:

Dapat dilihat dalam penjelasan ayat di bawah ini :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (1(
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada kemuliaan (Qadar)” (QS Al-Qadr / 97 : 1)

Tipe penafsiran yang disebutkan pertama dan kedua-penafsiran ayat Al-Qur’an dengan ayat Al quran dan penafsiran ayat Al quran dengan sunnah Rasulullah SAW.-tidak ada keraguan bagi kita untuk menerimanya, karena beberapa alasan, Pertama, karena Allah SWT lebih mengetahui terhadap apa yang dikehendaki-Nya, kedua, sebaik baik perkataan adalah kitab Allah, ketiga, bahwa sebaik baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad saw.

E. Kontroversi Ulama’ tentang Tafsi>r bi al-ma’s\u>r
Mengenai tafsir ini, terdapat suatu kesenjangan dan perbedaan pandangan dari beberapa pengkaji tafsir, baik dalam mendefinisikan tafsir al-ma’tsur ataupun mencontohkan beberapa kitab tafsir yang masuk dalam klasifikasi tafsir al-ma’tsur. Menurut al-Dzahabi, yang dimaksud dengan tafsir al-ma’tsur adalah tafsir yang berasal dari riwayat-riwayat Nabi SAW (hadis), sahabat dan tabi’in. Mengenai alasan al-Dzahabi memasukkan tafsir dari golongan tabi’in ke dalam kategori al-ma’tsur adalah hanya semata-mata melihat tafsir sekelas al-Thabari yang mencantumkan riwayat-riwayat dari tabi’in (meskipun para tabi’in tidak menerima tafsir (hadis) secara langsung dari Nabi SAW. ).
Sedangkan al-Zarqani mendefinisikannya dengan menambahkan tafsir yang berasal dari al-Quran itu sendiri (tafsir antar ayat) dan tidak mengikut sertakan tafsir-tafsir yang berasal dari tabi’in ke dalam kategori al-ma’tsur . Alasan al-Zarqani tidak memasukkan riwayat-riwayat dari tabi’in adalah ke tidak bersamaan mereka dengan Nabi SAW, langkahnya sanad yang shahih dari tafsir yang diriwayatkan tabi’in, dan cerita-cerita isra’iliyat yang mendominasi riwayat mereka. Manna’ al-Qathan hampir senada dengan al-zarqani, bedanya al-Qathan memasukkan riwayat dari pembesar tabi’in sebagai sumber tafsir al-ma’tsur. Al-Qathan memandang bahwa penafsiran atau riwayat yang berasal dari tabi’in layak masuk dalam kategori dari sumber tafsir al-ma’tsur karena mereka mayoritas bertemu dan berguru langsung pada sahabat. 
Terlepas dari setuju atau tidak terhadap kedua pendapat itu, yang menjadi dalam kajian  al-ma’tsur ialah :
1.      Apakah yang dimaksud dengan al-ma’tsur tersebut penafsiran yang telah diberikan Nabi dan para sahabat ? atau
2.      Penafsiran al-Quran berdasarkan bahan-bahan yang diwarisi dari Nabi berupa al-Quran dan sunnah, serta pendapat sahabat , yang menurut al-Hakim sama nilainya dengan hadis marfu’.
Keistimewaan tafsir bi al-ma’tsur ini menurut Quraisy Syihab menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Al-Qur’an, kemudian memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya, dan mengikat mufassir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam subjektivitas yang berlebihan.[32]
Selain itu juga menurut Rasyid Ridha dalam tafsirnya mengatakan bahwa metode dengan tafsir bi al-ma’tsur ini apabila ditinjau dari sudut informasi kesejarahannya yang luas, serta objektivitas mereka dalam menguraikan riwayat itu, sampai-sampai ada di antara yang menyampaikan riwayat-riwayat tanpa melakukan penyeleksian yang ketat. Imam Ahmad menilai tafsir ini, seperti periwayatan tentang peperangan dan kepahlawanan, kesemuanya tidak mempunyai dasar yang kokoh.[33]

Comments

BERITA TERBARU !!

Popular posts from this blog

download TAFSIR AL-NASAFIY

cara atau Kaedah al-Jarh Wa al-Ta’dil Serta Aplikasinya

CARA MELAKUKAN TAKHRIJ HADIS

HADIS TARBAWIY DAN AKHLAK (BERKURANGNYA IMAN KARENA MAKSIAT)

kaedah 'ATAF - AL-'ATFU DALAM AL-QUR'AN

cara TAMBAHAN - kaedah ZIYADAH DALAM AL-QUR'AN

apa contoh MUKJIZAT AL-QUR'AN (Pengertian dan Pembagiannya)

cara melakukan MUNASABAH AYAT

QAWAIDH AL-TAHDIS (Pengertian , Ruang Lingkup dan Urgensinya )