CAT :
MATERI INI TIDAK DI LENGKAPI REFERENSI FOOT NOTE DAN DAFTAR PUSTAKA
SILAHKAN DOWNLOAD MATERI LENGKAPNYA DI SITUS BARU KAMI
A. Pengertian dan
Tinjauan umum
Menurut bahasa tafsir
berasal dari bahasa arab dari kataتفسيرا
فسّر-
يفسّر- yang artinya penjelasan atau keterangan.
secara etimologis berarti menyebutkan atau mengutip (naqala) dan
memuliakan atau menghormati (akrama).
Al-as\a>r juga bisa berarti sunnah, hadis\, jejak, bekas,
pengaruh, dan kesan. Jadi, kata-kata al-ma’s\u>r, al-naql, al-manqu>l,
dan al-riwa>yah. Dan secara istilah tafsir berarti ilmu untuk memahami
kitabullah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW., menerangkan
makna-maknanya serta menerangkan hukum dan hikmah-hikmahnya.
Kata tafsir secara etimologi diambil dari kata فسر-
يفسر- تفسرا berarti الايضاح
والبيان yang berarti
penjelasan dan keterangan, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat QS
Al-Furqan/25 : 33:
وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ
وَأَحْسَنَ تَفْسِيراً
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa)
sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan
yang paling baik penjelasannya”
Sementara itu dari segi terminologi menurut Al-Zarqani :
عِاٌمٌ يُبًحَثٌ فِيهِ عَنِ اِحْوَالِ القٌرْاَنِ الكَرِيْمِ
مِنْ حَيْثُ دِلَا لَتِهِ علَىَ مُرَاِد اللهِ تَعَالىَ بِقَدْرِ الطَاقَةِ الْبَشَرِيَه
“ Ilmu yang di
dalamnya membahas tentang Al-Qur’an Al-Karim dari segi petunjuk (dalalah)nya
kepada yang dikehendaki Allah dari sekedar yang kemampuan manusia”.
Menurut Az-Zarkasyi :
عِلْمُ يُفْهَمُ بِهِ كِتَابِ اللهِ المُنَزَلُ عَلىَ نَبِيِهِ
مُحَمدٍ صلعم وَبَيَانِ مَعَاِنيْهِ وِاسْتِحْزَاِج اِحْكَامِهِ وَحُكْمِهِ
“Tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk
memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad SAW dan menjelaskan
makna-maknanya, serta mengeluarkan kandungan-kandungan hukum dan hikmahnya.
Dari segi pendefenisian menurut al-z{ahabi tafsi>r bi
al-ma’s\ur adalah:
مَا جَاءَ فِى القُرَانِ نَفْسِهِ مِنْ البَيَاِن وَالتَفْصِيْلِ
لِبَعْضِ آيَاتِهِ, وَمَا نَقلَ عَنْ الرَسُوْلِ
صلعم وَمَا نَقَلَ عَنْ الصَحَابَةِ رِضْوَانِ اللهِ عَلَيْهِمْ, وَمَا نَقلَ
عَنْ التَابِعِينَ, مِنْ كُلِ مَا هُوَ بَيَانٌ وَتَوْضِيْحٌ لِمُرَاِد اللهِ تَعَالىَ
مِنْ نُصُوْصِ كِتَابِهِ الكِريْمِ
“Apa yang datang pada al-Qur’an dengan sendirinya dari
penjelasan dan uraian dengan sebahagian ayatnya, dan apa yang dinukilkan dari
Rasul SAW dan apa yang dinukilkan dari para shahabat keridhaan Allah SWT
terhadap mereka, dan apa yang dinukilkan dari ta>bi’in, dari
tiap-tiap sesuatu yang dianya merupakan penerangan dan penjelasan kepada maksud
Allah SWT dari nash-nash kitab-Nya yang mulia.
Menurut Ibnu Hayyan tafsir adalah:
علم يبحث عن كيفية النطق بألفاظ القرأن ومدلولا تها وأحكامها
الافرادية والتركيبية ومعانيها التى تحمل عليها حالة التركيب
“Ilmu membahas mengenai cara pengucapan kata-kata
al-Qur’an serta cara mengungkapkan petunjuk (dalil-dalilnya), kandungan-kandungan
hukum yang tersendiri (terpisah) dan yang
tersusun serta makna-maknanya yang terkandung atasnya secara tersusun baik.
Menurut ‘Ibn Hayyan, tafsir ialah suatu ilmu yang membahas
cara menuturkan atau membunyikan lafadz-lafadz al-Qur’an, Madlul-Madlulnya baik
mengenai kata tunggal maupun mengenai kata tarkib dan makna-maknanya yang
digantungkan oleh keadaan susunan dan beberapa kesempurnaan bagi yang demikian
seperti, Na>sakh, Asba>b al-Nuzu>l, kisah yang mengatakan apa
yang tidak terang di dalam al-Qur’an dan lain-lain yang mempunyai hubungan erat
dengannya.
Sedangkan ‘Ali Hasan al-‘Aridl menjelaskan bahwa
tafsir ialah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadz
al-Qur’an, makna-makna yang ditunjukkannya dan hukum-hukumnya, baik ketika
berdiri sendiri atau tersusun serta makna-makna yang dimungkinkan ketika dalam
keadaan tersusun.
Menurut al-Zarkasyi, istilah tafsi>r
bi al-ma’s\u>r merupakan gabungan dari tiga kata; tafsi>r, bi, dan al-ma’s\u>r. Secara leksikal tafsir
berarti mengungkap atau menyingkap. Kata “bi” berarti ‘dengan’ sedangkan al-ma’tsur berarti ungkapan yang dinukil oleh khalaf dari
salah. Dengan demikian secara etimologis tafsi>r bi al-ma’s\u>r berarti menyingkap isi
kandungan al-Qur’an dengan penjelasan yang dinukil oleh khalaf dari salaf.
Sedangkan secara terminologis pengertian tafsir bi
al-ma’tsur yaitu:
هُوَالَّذِى يَعْتَمِدُ عَلَى صَحِيْحِ النُقُوْلِ بِالْمَرَاتِبِ
الَّتِى ذُكِرَتْ سَابِقًافِيْ شُرُوْطِ الْمُفَسِرِ مِنَ تَفْسِرِالْقُرْاَنِ بِالْقُرْاَنِ,
اَوْبِالسُّنَّةِ لأَنَّهَا جَاءَتْ مُبَيْنَةُ لِكِتَابِ اللهِ. اَوْبِمَا رُوِيَ
عَنِ الصَّحَابِ لأَنَّهُمْ اَعْلَمُ النَّاسَ لِكِتَابِ اللهِ. اَوْبِمَاقَالَهُ كِبَارُ
التَّابِعِيْنَ لأَنَّهُمْ تَلَقُّوْا ذَلِكَ غَالِبَا عَنِ الصَّحَابَةِ.
Artinya : “tafsi>r bi al-ma’s\u>r
ialah tafsir yang berpegang kepada riwayat yang Shahih,
yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan al -Qur’an, atau dengan sunnah karena ia
berfungsi menjelaskan kitabullah, atau dengan perkataan para Sahabat
karena merekalah yang paling mengetahui kitabullah atau dengan apa yang
dikatakan oleh tokoh-tokoh besar tabi’in karena pada umumnya mereka menerima
dari para Sahabat”.
Definisi seperti ini, menurut catatan al-Suyuthi berasal
dari Ibnu Taimiyah, dan dipopulerkan oleh al-Zarqani yang nota bene termasuk
ulama’ kontemporer. Al-Zarqani adalah orang yang pertama menyebutkan bahwa
tafsir bi al-ma’tsur adalah penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, atau hadits
atau pendapat shahabat atau tabi’in.
tafsi>r bi al-ma’s\u>r,
jika diartikan sebagai kompilasi penafsiran Nabi, shahabat dan tabi’in,
maka riwayat menjalankan fungsi interpretatif. Riwayat-riwayat yang berasal dari
Nabi, shahabat dan tabi’in secara langsung menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an.
Riwayat tersebut langsung menjelaskan bahwa maksud ayat “ini” adalah “begini”.
Oleh karena itu, ruh dari tafsi>r
bi al-ma’s\u>r yang
semacam adalah naql (penukilan riwayat). Dengan demikian, maka penulis
kitab tafsir (baca: penafsir) hanya menulis tafsir dengan menukil riwayat Nabi,
Shahabat atau tabi’in dalam menafsirkan ayat al-Qur’an, bukan sebagai penafsir.
Definisi semacam inilah yang dipegang oleh al-Suyuthi.
Sedangkan sebelum al-Zarqani, yang dimaksud tafsir bi
al-ma’tsur adalah kompilasi penafsiran nabi, sahabat dan tabi’in.
Ulama yang memahami bahwa tafsir bi al-ma’tsur bukan penafsiran al-Qur’an
dengan al-Qur’an atau hadits atau pendapat sahabat atau tabi’in adalah
al-Suyuthi. Dalam muqaddimah tafsirnya, al-Suyuthi mengatakan bahwa isi dari
kitab tafsirnya adalah kompilasi penafsiran-penafsiran Nabi saw.. dan para sahabat.
Dinamai dengan bil ma’tsur (dari kata “atsar” yang berarti
sunnah, hadits, jejak, peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran, seorang
mufasir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya,
hingga kepada Nabi saw..
Tafsi>r bi al-ma’s\u>r adalah tafsir berdasar pada
kutipan-kutipan yang shahih, yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an;
Al-Qur’an dengan sunnah, karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah;
dengan perkataan sahabat, karena merekalah yang dianggap paling mengetahui
Kitabullah; dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi’in, karena mereka pada
umumnya menerimanya dari sahabat.
Adapun alasan pendapat yang memasukkan pendapat sahabat
sebagai tafsir bi al matsur karena di jumpai kitab-kitab tafsir bi al matsur,
seperti tafsir al-thabary dan sebagainya tidak mencukupi dengan menyebutkan
riwayat-riwayat dari Nabi atau sahabat saja, tetapi perlu memasukkan pendapat
sahabat dalam tafsirnya . Di samping itu, para tabi’in banyak yang bergaul
dengan sahabat. Mempelajari ilmu-ilmu mereka dan banyak mengetahui hal ihwal al-Qur’an
dari mereka di banding generasi
berikutnya. Apalagi, jika penafsiran itu menyangkut persoalan-persoalan
metafisika yang berada di luar kemampuan mereka.
Sebagian ulama juga memberikan definisi yang hamper sama. Ia
adalah ilmu yang membahas redaksi-redaksi Al-qur’an, dengan memperhatikan
pengertian-pengertiannya untuk mencapai pengetahuan tentang apa yang
dikehendaki oleh Allah SWT, sesuai dengan keadaan manusia.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
tafsir bi al-matsur bersumber pada al-Qur’an , penjelasan nabi, pendapat
sahabat dan tabi’in.
Dari dua penjelasan di atas maka dapat dipertegas lagi, bahwa penafsiran bi
al-ma’tsur ialah: Penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an , penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an
dengan Hadits, dan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an
dengan Asar yang datang dari para
sahabat.
Dr. Yusuf Qardhawi mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan
tafsir bi-al-ma’tsur atau tafsir riwayat adalah tafsir yang terbatas pada
riwayat dari Rasulullah saw... Dan dari para sahabat r.a atau murid-murid
mereka dari kalangan tabiin, dan dapat juga dari tabi’ut-tabi’in.
Sedangkan al-Farmawy mendefinisikan bahwa tafsir bi
al-ma’tsur adalah penafsiran Al-Qur’an yang berdasarkan pada penjelasan al-Qur’an
sendiri, penjelasan rasul, penjelasan sahabat melalui ijtihadnya, dan aqwal
tabi’in.
Tafsir bil ma’tsur adalah tafsir yang dapat diterapkan,
bahwa Nabi sendiri atau sahabatnya yang bersentuhan langsung dalam wilayah
pengajaran. Hal itu telah menjelaskannya dengan penjelasan makna-makna Al-qur’an.
Dari sumber lain mendefinisikan bahwa tafsir bi al-ma’tsur
ialah tafsir yang berdasarkan pada al-Qur’an atau riwayat yang shahih sesuai syarat- syarat
mufassir yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an (ayat dengan ayat), al-Qur’an dengan sunah, perkataan sahabat karena
merekalah yang paling mengetahui Kitabullah, atau dengan pendapat tokoh-tokoh
besar tabi’in. Pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat.
Dari definisi-definisi tersebut penulis dapat menyimpulkan
bahwa tafsir bi al-ma’tsur adalah tafsir Al-Qur’an yang secara riwayat bersifat terbatas yang
hanya boleh ditafsirkan oleh al-Qur’an ,
sunah Rasul, sahabat nabi, dan para tabiin yang telah di tentukan syarat dan
ketentuannya.
Dapat diketahui juga bahwa tafsir bi al-ma’tsur mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Tafsir
Al-Qur’an yang dibatasi dengan
menggunakan Al-Qur’an ,
2.
Tafsir
Al-Qur’an yang dibatasi dengan
menggunakan sunah Rasul,
3.
Tafsir
Al-Qur’an yang dibatasi dengan
menggunakan sahabat nabi,
4.
Tafsir
Al-Qur’an yang dibatasi dengan
menggunakan para tabiin
Keistimewaan tafsir bi al-ma’tsur menurut Quraisy Shihab
sebagai berikut:
1.
Menekankan pentingnya bahasa dalam
memahami al-Qur’an
2.
Memaparkan ketelitian redaksi ayat
ketika menyampaikan pesan-pesannya
B. Perkembangan Tafsi>r bi al-Ma’s\u>r
Pada abad pertama Islam, para ulama sangat berhati-hati
dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Bahkan sebagian para ulama bila ditanya
mengenai satu ayat, mereka tidak memberikan jawaban apapun.
Muhammad Husain al z{ahabi dalam Tafsi>r wa al-Mufassiru>n
menyebutkan bahwa perkembangan tafsir bi al-ma’tsur dapat dikategorikan menjadi
dua periode, Pertama, periode
periwayatan (d{au>r al-riwa>yah) dan kedua, periode kodifikasi/pembukuan (d{au>r al-tadwi>n).
Periode pertama yaitu d{au>r al-riwa>yah dapat
dibedakan dalam empat tahap, yaitu tahap pertama, masa Rasulullah., tahap
kedua, pada masa sahabat., tahap ketiga, pada masa tabi’in., dan tahap keempat,
pada masa sesudah tabi’in, yang masing masing memilki corak dan karakteristik
sendiri sendiri.
Periode kedua adalah periode kodifikasi (d{au>r
al-tadwi>n) pada periode ini mula-mula ditulis dan dibukukan adalah
tafsir bi al-ma’tsur, yaitu segala yang diriwayatkan dari Rasulullah saw.. dan
sahabat, baik yang terjadi pada permulaan tahun 100 atau 200 Hijriyah. Periode
kedua ini dalam perkembangannya juga melalui beberapa tahap, yaitu :
Tahap pembukuan tafsir bi al-ma’tsur, belum mengambil bentuknya
yang sempurna dan belum berdiri sendiri, yaitu tafsir ditulis dalam kitab kitab
hadits, dan didalamnya banyak didapati berbagai macam bab hadits yang berbeda
beda , juga masih berupa kumpulan riwayat yang berasal dari Nabi, para sahabat,
dan juga tabi’in sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Malik bin Anas.
Tahap kedua mulai dilakukan pemisahan antar tafsir bi
al-ma’tsur dengan kumpulan kumpulan tulisan hadits, sehingga tafsir menjadi
suatu disiplin ilmu tersendiri. Dan orang yang pertama kalinya mempelopori
adalah Ali bin Abi al-Talhah berdasarkan riwayat ibn Abbas.
Tahap ketiga, tafsi>r
bi al-ma’s\u>r mulai dibukukan dalam bebrapa juz secara khusus, seperti
yang dilakukan oleh Abi Rauq yang menulis satu juz saja dari tiga juz lainnya
oleh Muhammad ibn Tsaur dari Ibn Juraij.
Tahap keempat,
pengkodifikasian tafsir yang secara khusus memuat tafsir bi al-ma’tsur lengkap
dengan jalur sanad sempai kepada Rasulullah saw. kepada para sahabat, tabi’in,
dan tabi’ut tabi’in, seperti yang dilakukan oleh Ibn Jarir Al-Thabariy.
Priode kelima, yaitu pengkodifikasian tafsir bi
al-ma’tsur tanpa mengemukakan sanad periwatannya; dan kebanyakan para mufassir
menggunakan pendapat pendapat tertentu didalam tafsir mereka tanpa membedakan
hadits yang sahih dan hadits yang keliru, sehingga mengakibatkan para peneliti
tidak tertarik pada isi kitab tafsir tersebut, karena ada kekhawatiran adanya
unsur pemalsuan. Adapun mengenai Perbedaan yang terjadi di dalam tafsir bi al-Ma`tsur
dapat dibagi menjadi 3 klasifikasi:
Pertama, berbeda lafazh, bukan makna. Hal
seperti ini tidak memiliki pengaruh terhadap makna ayat. Contohnya adalah
firman Allah Ta’ala:
“Wa Qadla Rabbuka Alla Ta’buduu Illa
Iyyaah [Dan Tuhanmnu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain
Dia].” (QS al-Isra/ 17 : 23) Ibn ‘Abbas berkata, “Makna Qadla adalah Amara
(memerintahkan).” Mujahid berkata, “Maknanya adalah Washsha (berwasiat).” Al-Rabi’
bin Anas berkata, “Maknanya adalah Awjaba (mewajibkan).” Penafsiran-penafsiran
seperti ini maknanya sama atau mirip sehingga tidak ada pengaruhnya perbedaan tersebut
terhadap makna ayat.
Kedua, berbeda lafazh dan makna. Dalam hal
ini, ayat (yang ditafsirkan) dapat menerima (mencakupi) kedua makna tersebut
karena tidak bertentangan (kontradiksi). Artinya, ayat tersebut dapat diarahkan
kepada kedua makna tersebut dan ditafsirkan dengan keduanya sehingga sinkronisasi
terhadap perbedaan ini adalah bahwa masing-masing dari kedua pendapat tersebut
hanya diketengahkan sebagai contoh/permisalan terhadap apa yang dimaksud ayat
tersebut atau dalam rangka variasi saja.
Contohnya adalah firman Allah Ta’ala, “Dan bacakanlah kepada
mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami
(pengetahuan tentang isi al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada
ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaithan (sampai dia tergoda), maka
jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat, Dan kalau Kami menghendaki,
sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia
cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah…” (QS al-A’raf
/ :175-176) Ibn Mas’ud berkata, “Ia
[orang yang telah Kami berikan kepadanya] adalah seorang yang berasal dari
kalangan Bani Israil.” Dari Ibn ‘Abbas, ia mengatakan, “[Ia adalah] seorang
laki-laki dari penduduk Yaman.” Menurut riwayat lain darinya, “[Ia adalah]
seorang laki-laki dari penduduk Balqa`.
Sinkronisasi terhadap pendapat-pendapat ini adalah dengan
mengarahkan ayat kepada seluruh pendapat tersebut sebab ia bisa menerimanya
(mencakupinya) tanpa menimbulkan pertentangan (kontradiksi) sehingga seakan
masing-masing pendapat itu hanya diketengahkan sebagai contoh/permisalan. Contoh
lainya, firman-Nya, “Dan gelas-gelas yang penuh (berisi minuman)” (QS an-Naba /
78 :34) Ibn ‘Abbas berkata, “Makna Dihaaqa adalah penuh.” Mujahid berkata,
“Maknanya adalah berurutan (teratur).” ‘Ikrimah berkata, “Maknanya adalah
bening.”
Pada hakikatnya, antara pendapat-pendapat ini tidak terdapat
pertentangan sebab ayat tersebut mencakupi semuanya sehingga diarahkan kepada
semuanya dan masing-masing pendapat merupakan jenis dari makna tersebut.
Ketiga, berbeda lafazh dan makna. Dalam hal
ini, ayat tidak dapat mencakupi kedua makna tersebut secara bersama-sama karena
terjadi kontradisi di antara keduanya. Karena itu, maknanya harus diarahkan
kepada pendapat yang paling kuat dari keduanya, baik melalui petunjuk redaksinya
atau lainnya.
Contohnya adalah firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah
hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang
disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barangsiapa yang terpaksa
memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS an-Nahl / 16 :115)
Ibn ‘Abbas berkata, “Makna Baaghin [dengan tidak menganiaya] terhadap bangkai
dan ‘Aadin [tidak pula melampaui batas] di dalam memakannya.“ Menurut riwayat
yang lain, “Tidak membangkang (angkat senjata) terhadap Imam (pemimpin,
penguasa) dan tidak berbuat maksiat di dalam perjalanannya.”
Pendapat yang paling kuat adalah pendapat pertama sebab
dalil tidak mengarah kepada makna kedua dalam ayat tersebut sedangkan yang
dimaksud dengan kehalalan hal-hal yang disebutkan disitu adalah melawan kondisi
darurat
(sehingga tidak diharamkan karena khawatir jiwa binasa-red.,) sedangkan di
dalam kondisi membangkang terhadap imam (Pemimpin), dalam kondisi bepergian
yang diharamkan dan sebagainya; tetap berlaku (diharamkan).
Contoh lainnya adalah firman-Nya, “Jika kamu menceraikan
isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu
sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu
tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh
orang memegang ikatan nikah…” (QS al-Baqarah/2 :237) ‘Ali bin Abi Thalib RA
mengatakan bahwa makna “orang memegang ikatan nikah” adalah suami. Ibn ‘Abbas
ra. berkata, “Maknanya adalah Wali.” Pendapat yang kuat adalah pendapat pertama
(suami) sebab maknanya menunjukkan ke arah itu, juga karena telah diriwayatkan
sebuah hadits dari Nabi mengenainya.
C. Macam dan Bentuk Penafsiran Ayat dengan Ayat
Tafsir bi al-Ma’tsur merupakan penafsiran dengan menggunakan
riwayat sebagai sumber pokoknya. Karena itu, tafsir ini dinamakan juga dengan
tafsir bi al-riwayah (tafsir dengan riwayat) atau tafsir bi al-manqal (tafsir
dengan menggunakan pengutipan riwayat). Salah satu penafsiran dengan corak bi
al – matsur di sini adalah ayat al-Qur’an ditafsirkan dengan ayat lain.
Penafsiran ayat al-Qur’an dengan
ayat yang lain. Ayat-ayat al-Qur’an, menurut para ahli tafsir, saling
menafsirkan antara sesamanya. Penafsiran satu ayat dengan ayat lainnya juga
bermacam-macam, yaitu:
Pertama, ayat atau ayat-ayat lain menyebarkan
apa yang diungkapkan pada ayat tertentu. Misalnya, kata-kata al-Muttaqin
(orang-orang yang bertaqwa) dalam ayat 2 surat al-Baqarah, dijabarkan ayat-ayat
sesudahnya (ayat-ayat 3, 4, 5) yang menyatakan :
Terjemahnya :
“Yaitu orang-orang
yang beriman kepada yang gaib, mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian
rezeki yang kami berikan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada kitab
(al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah
diturunkan sebelumnya, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.
Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka
orang-orang yang beruntung”. (QS al- Baqarah/2 : 3,4,5).
Kedua, ada informasi tertentu, misalnya
tentang kisah Nabi Musa pada surah tertentu diungkapkan secara singkat,
sementara pada surah lain secara panjang lebar. Dalam hal ini ayat-ayat yang
panjang lebar menafsirkan ayat-ayat yang mengandung informasi yang lebih
singkat.
Ketiga, ayat-ayat yang mujmal ditafsirkan oleh
ayat-ayat yang mubayyan, ayat-ayat yang muthlaq ditafsirkan oleh ayat-ayat yang
khas. Ringkasnya, ayat-ayat yang mengandung pengertian umum dan global
ditafsirkan oleh ayat-ayat yang mengandung pengertian khusus dan rinci.
Keempat, informasi yang terkandung dalam satu
ayat kadang-kadang terlihat berbeda dengan informasi yang terdapat pada
ayat-ayat lain. Penafsiran ayat-ayat itu dilakukan dengan mengkompromikan
pengertian-pengertian tersebut.
D. Contoh-contoh Penafsiran al-Qur’an
dengan al-Qur’an
Sebagaimana diketahui bahwa Al-Qur’an itu, sebagian ayatnya
merupakan penjelas terhadap sebagian ayat yang lain hanya Allah saja yang Maha
Mengetahui apa yang dikehendaki dengan firmanNya. Di antara contoh-contohnya
sebagai berikut:
فَتَلَقَّى
آَدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
(37(
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka
Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha
Penyayang.” (QS Al-Baqarah / 2 : 37).
Kata “‘Kalimaatin” (beberapa kalimat) tersebut dijelaskan
oleh ayat yang lain di surat yang lain, yaitu:
قَالَا
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ
مِنَ الْخَاسِرِينَ (23(
“Adam dan Hawa berkata : Rabbana wahai Tuhan kami, kami
telah berbuat aniaya terhadap diri kami. Dan kalau Engkau tidak mengampuni kami
dan tidak memberikan kasih sayang kepada kami, pasti kami akan menjadi orang-orang
merugi”. (QS Al-A’raf / 7 : 23)
Demikian juga QS Al-Maidah /5 : 1:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ
إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ إِنَّ
اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ (1(
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.
Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang
demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan
haji.
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang
dikehendaki-Nya.” Penggalan ayat Illa Maa Yutlaa ‘alaikum dijelaskan oleh Allah
dalam firman QS Al-Maidah / 5 : 3:
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ
بِهِ…..
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,
(daging hewan) dan yang disembelih atas nama selain Allah…”
Demkian juga FirmanNya:
“Tunjukkanlah kami pada jalan yang lurus, yaitu jalan
orang-orang yang telah Engkau karuniai nikmat, bukan jalan orang-orang yang
Engkau murkai dan bukan jalan orang-orang yang sesat” (QS Al-Fatihah / 1 :
6-7).
Kalimat “orang-orang yang Engkau karuniai nikmat” pada ayat di atas, dijelaskan
oleh Allah dalam firmanNya:
وَمَنْ
يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ
مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ
رَفِيقًا (69(
“Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan RasulNya maka
mereka adalah bersama orang-orang yang mendapatkan nikmat dart Allah, yaitu
para Nabi, orang-orang yang selalu membenarkan apa-apa yang benar, orang-orang
mati syahid dan orang-orang saleh. Mereka itulah sebaik-baik teman/sahabat” (QS
An-Nisa / 4 : 69).
Demikian juga FirmanNya:
إِنَّا
أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ (3(
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang
diberkahi dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan” (QS Ad-Dukhan / 44
: 3).
Kata “malam yang diberkahi” dijelaskan oleh Allah dalam firmanNya:
Dapat
dilihat dalam penjelasan ayat di bawah ini :
إِنَّا
أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (1(
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada kemuliaan
(Qadar)” (QS Al-Qadr / 97 : 1)
Tipe penafsiran yang disebutkan pertama dan kedua-penafsiran
ayat Al-Qur’an dengan ayat Al quran dan penafsiran ayat Al quran dengan sunnah
Rasulullah SAW.-tidak ada keraguan bagi kita untuk menerimanya, karena beberapa
alasan, Pertama, karena Allah SWT lebih mengetahui terhadap apa yang
dikehendaki-Nya, kedua, sebaik baik perkataan adalah kitab Allah, ketiga, bahwa
sebaik baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad saw.
E. Kontroversi Ulama’ tentang Tafsi>r
bi al-ma’s\u>r
Mengenai tafsir ini, terdapat suatu kesenjangan dan
perbedaan pandangan dari beberapa pengkaji tafsir, baik dalam mendefinisikan
tafsir al-ma’tsur ataupun mencontohkan beberapa kitab tafsir yang masuk dalam
klasifikasi tafsir al-ma’tsur. Menurut al-Dzahabi, yang dimaksud dengan tafsir
al-ma’tsur adalah tafsir yang berasal dari riwayat-riwayat Nabi SAW (hadis),
sahabat dan tabi’in. Mengenai alasan al-Dzahabi memasukkan tafsir dari golongan
tabi’in ke dalam kategori al-ma’tsur adalah hanya semata-mata melihat tafsir
sekelas al-Thabari yang mencantumkan riwayat-riwayat dari tabi’in (meskipun
para tabi’in tidak menerima tafsir (hadis) secara langsung dari Nabi SAW. ).
Sedangkan al-Zarqani mendefinisikannya dengan menambahkan
tafsir yang berasal dari al-Quran itu sendiri (tafsir antar ayat) dan tidak
mengikut sertakan tafsir-tafsir yang berasal dari tabi’in ke dalam kategori
al-ma’tsur . Alasan al-Zarqani tidak memasukkan riwayat-riwayat dari tabi’in
adalah ke tidak bersamaan mereka dengan Nabi SAW, langkahnya sanad yang shahih
dari tafsir yang diriwayatkan tabi’in, dan cerita-cerita isra’iliyat yang
mendominasi riwayat mereka. Manna’ al-Qathan hampir senada dengan al-zarqani,
bedanya al-Qathan memasukkan riwayat dari pembesar tabi’in sebagai sumber
tafsir al-ma’tsur. Al-Qathan memandang bahwa penafsiran atau riwayat yang
berasal dari tabi’in layak masuk dalam kategori dari sumber tafsir al-ma’tsur
karena mereka mayoritas bertemu dan berguru langsung pada sahabat.
Terlepas dari setuju atau tidak terhadap kedua pendapat itu,
yang menjadi dalam kajian al-ma’tsur
ialah :
1.
Apakah
yang dimaksud dengan al-ma’tsur tersebut penafsiran yang telah diberikan Nabi
dan para sahabat ? atau
2.
Penafsiran
al-Quran berdasarkan bahan-bahan yang diwarisi dari Nabi berupa al-Quran dan
sunnah, serta pendapat sahabat , yang menurut al-Hakim sama nilainya dengan
hadis marfu’.
Keistimewaan tafsir bi al-ma’tsur ini menurut Quraisy Syihab
menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Al-Qur’an, kemudian memaparkan
ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya, dan mengikat
mufassir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam
subjektivitas yang berlebihan.
Selain itu juga menurut Rasyid Ridha dalam tafsirnya
mengatakan bahwa metode dengan tafsir bi al-ma’tsur ini apabila ditinjau dari
sudut informasi kesejarahannya yang luas, serta objektivitas mereka dalam
menguraikan riwayat itu, sampai-sampai ada di antara yang menyampaikan
riwayat-riwayat tanpa melakukan penyeleksian yang ketat. Imam Ahmad menilai
tafsir ini, seperti periwayatan tentang peperangan dan kepahlawanan, kesemuanya
tidak mempunyai dasar yang kokoh.
Comments
Post a Comment