KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS

KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS


Pendahuluan

latar belakang

Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah dua sumber utama ajaran Islam. Oleh karena itu, keduanya selalu dijadikan landasan keyakinan, ritual, adat istiadat, etika, ekonomi, politik, peradaban dan seluruh aspek kehidupan umat Islam, baik yang sakral maupun duniawi, pada tataran ¥ abl minallah (vertikal) dan ¥ abl min al. -n ± s (horizontal).


Namun, satu-satunya hal yang harus diperhatikan ketika menerima, memahami, dan menanggapi hadits, terutama hadits yang tidak terkait dengan penerapan Mah’ibadah, adalah kehadiran Nabi Muhammad. Dia harus menganalisis dirinya sendiri ketika menyampaikan pidatonya secara akurat. Selain sebagai Utusan Allah, beliau juga disebut sebagai manusia biasa dalam Al-Qur'an. [1] Dari biografinya terlihat jelas bahwa ia menjalani berbagai pekerjaan, termasuk kepala negara, [2] tokoh masyarakat, panglima perang, hakim, dan prajurit. Dengan demikian, hadits yang bersumber dari Nabi mengandung petunjuk yang pemahamannya harus dikaitkan dengan peran Nabi ketika hadits tersebut,[3] yaitu situasi yang terjadi pada masa Nabi dan para sahabatnya.


Suasana kehidupan pada masa Nabi akan berbeda dengan suasana kehidupan umat Islam setelah beliau wafat, sebagaimana kondisi yang dialami masyarakat Arab pada masa Nabi akan berbeda dengan kondisi masyarakat Arab setelah beliau wafat. dari Utusan. Di sisi lain, kehidupan umat Islam dari waktu ke waktu menyaksikan perubahan dan perkembangan yang cenderung meningkat menuju kesempurnaan, termasuk nilai-nilai yang dijadikan patokan dan patokan. Akibat perubahan ini, beberapa aspek kehidupan dan agama selalu dievaluasi dengan melihat nasab, yang pada gilirannya tidak dapat diterima sebagai syarat dari beberapa syarat oleh banyak aturan dan aturan hadits, karena dianggap tidak ada. atau tidak ada. Menurut pertimbangan akal sehat, termasuk yang berkaitan dengan keimamatan. Memiliki Nabi Muhammad yang selain sebagai Utusan Allah juga pemimpin umat adalah dirinya sendiri penguasa.


Maka, begitu beliau wafat, masalah besar yang langsung muncul di kalangan umat Islam adalah masalah politik, yaitu Imamah, yang harus mengatur dan mengendalikan umat Islam[4]. Hal ini sangat penting karena kedatangan Islam dengan sendirinya menghapus tradisi jahiliyah yang bertentangan atau bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, termasuk pengangkatan panglima. Hadits yang menjelaskan bahwa pemimpin harus dari suku Quraisy yang dianggap primitif dan justru bertentangan dengan semangat Islam yang mengajarkan dan menanamkan prinsip kesetaraan. Salah menafsirkan hadits ini akan mengarah pada kebangkitan dan pelestarian status quo gaya kepemimpinan pra-Islam.


Berangkat dari ketentuan adanya kepala negara dalam hadits bahwa ia harus berasal dari suku Quraisy, maka hadits tentang suku Quraisy harus dipelajari dan dikaji untuk melihat tafsir yang muncul.


B. metode yang digunakan

Untuk memperoleh data yang digunakan dalam pembahasan makalah ini, penulis menggunakan teknik penelusuran kepustakaan, yaitu mengumpulkan bahan-bahan informasi yang diperlukan melalui penelusuran kepustakaan dengan membaca buku-buku yang berkaitan dengan topik yang dibahas.


Untuk menganalisis data yang terkumpul, digunakan metode deskriptif-induktif.


 


 

Kedua

Hadits tentang kepemimpinan kaum Quraisy


Setidaknya, ada tiga hadis yang diperkenalkan dan menjadi dasar legitimasi kepemimpinan Quraisy sebagai kepala negara. Dan hadits-hadits ini didasarkan pada buku "Takhreej al-Hadith dengan Seribu" dengan mencari di buku "The Indexed Lexicon for the Alphas of the Prophet's Testament and the Key to the Treasures of the Sunnah", dan dapat disebutkan sebagai berikut:


1. Hadits pertama [5].


Amin, semoga Tuhan memberkati Anda, Amin Kasihanilah, jika mereka membuat perjanjian dan memenuhinya, dan jika mereka menilai dengan adil, maka siapa pun yang tidak melakukannya, Amin.


2. Hadits kedua [7].

3. Hadits ketiga [9]

Atas otoritas Abu Hurairah, semoga Tuhan meridhoi dia, bahwa Nabi, semoga doa dan damai Allah besertanya, berkata, “Orang-orang mengikuti, Tuhan memberkatimu, ya Tuhan. Maafkan dia. [10]

penelitian terhadap sanad dan matan yang penulis lakukan dalam tesis magister yang berjudul Hadis tentang Kepemimpinan Quraisy: Kritik Hadis dengan Pendekatan Historis-Antropologis, maka ketiga hadis tersebut berstatus Sahih lizatihi.[11]


Demikian pula analisa terhadap periwayat yang menerima dan atau mendengar langsung hadis tersebut dari Rasulullah ternyata bahwa pada tingkat sahabat hadis diriwayatkan oleh sepuluh orang; 7 (tujuh) orang dari kalangan muhajirin yang terdiri atas enam orang dari suku Quraisy (Ali bin Abi T±lib, Abdullah bin Umar, Ab Barzah, 'Amr bin al-As, Abu Sufy±n, dan Mu'±wiyah), satu orang bukan (Ab Msa al-Asy'±ri); tiga orang dari kalangan Anshar (Ab Hurairah, Anas bin M±lik, dan J±bir bin Abdillah) yang otomatis bukan dari kalangan Quraisy.[12] Dari keterangan ini tampak jelas bahwa para sahabat selaku periwayat yang menerima dan menyampaikan hadis-hadis ini tidak terikat pada prinsip yang bersifat primordial.


QURAISY DALAM PENTAS SEJARAH

A. Asal usul suku Quraisy


Quraisy disebut-sebut berasal dari kata yang tersusun dari huruf-huruf q±f, r±’ dan sy³n, memiliki makna dasar “mengumpulkan dan perkumpulan.”[13] Kata qarasya juga diartikan sebagai jenis hewan laut (ikan hiu, atau anjing laut) yang memiliki kecerdikan dan ketajaman gigi dan menjadi penguasa lautan.[14] Disebut demikian karena ikan hiu menjadi simbol yang bisa dimasukkan sebagai nama totem, yang kemudian berubah menjadi simbol keberanian Quraisy,[15] walaupun hal ini merupakan bentuk kata yang mengandung peremehan terhadap al-Fihr, nenek moyang suku Quraisy, yang nama aslinya al-Na« r.[16] Orang Badui pengembara justru menyitir nama Quraisy alias ikan hiu sebagai ejekan atas kerakusan mereka mencari untung dalam berdagang.[17] Meskipun demikian, penaamaan dan simbol ikan hiu yang demikian juga sekaligus menerangkan salah satu karakter Quraisy, yaitu kemampuannya menguasai sekaligus memimpin manusia.[18]


Ibnu Kasir (w. 774 H./1373 M) dalam kitab al-Bid±yah wa al-Nih±yah, menyebutkan asal usul nama Quraisy sebagai berikut:


Dan konon Quraish diberi nama Al-Taqrish, yaitu mencari nafkah dan berdagang, diriwayatkan oleh Ibnu Hisham, semoga Tuhan mengasihani dia. Al-Jawahiri berkata, “Qirsh adalah penghasilan dan jamak, dan Qirsh adalah Qirsh.” Al-Far’a berkata, “Orang Quraisy dinamai menurut namanya, dan mereka adalah suku, dan ayah mereka adalah Al-Nadr bin Kinana. Dan dikatakan tentang Al-Tarqish, Hisyam bin Al-Kalbi mengatakan: Al-Nasr bin Kinanah disebut Quraisy karena dia meminjamkan bibi orang dan kebutuhan mereka, dan dia memenuhi mereka dengan apa yang dia miliki, dan Al-Qarish adalah inspeksi, dan anak laki-lakinya biasa memberikan kebutuhan orang-orang musim, dan mereka memberi mereka makan dengan apa yang negara mereka beri tahu.


Ada pendapat yang menyebutkan bahwa penaamaan Quraisy diambil dari kata al-taqarrisy, yaitu usaha perdagangan. Pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Hisy±m. Al-Jaw±hir³ mengatakan dari kata al-qirsy, yaitu usaha mengimpun. Al-Farra’ mengatakan bahwa mereka dinamakan Quraisy karena mereka mampu mengundang potensi suku-suku yang berada di bawah keturunan al-Na «r bin Kin±nah. Mereka yang bukan dari Keturunan al-Nair ini tidak dianggap sebagai Quraisy. Pendapat lain menyebutkan bahwa Quraisy mengambil dari kata al-taft³sy (mengecek), Hisy±m ​​bin al-Kalbi mengatakan bahwa al-Na«r bin Kin±nah disebut Quraisy karena ia mengusahakan memenuhi kebutuhan orang (dalam kapasitasnya sebagai pelayan Ka' bah); kata al-taqr³sy artinya mengusahakan untuk memenuhi keperluan orang-orang pada musim haji. Jadi mereka memilih Quraisy karena memenuhi kebutuhan para peziarah setiap musim haji.


Merujuk pada penaamaan Quraisy yang tekanan pada pendekatan linguistik, maka beberapa teori di antara teori-teori tersebut di atas tersebut sangat lekat dan identik dengan Quraisy. Quraisy dalam sejarahnya dikenal sebagai simbol pemersatu kabilah Arab, barang dagangan mereka umumnya yang karena pengaruh letak geografisnya di lintas perdagangan, sehingga mayoritas mereka adalah pedagang. Demikian pula, secara politis, Quraisy adalah penguasa Makkah dan sekitarnya.


Secara silsilah, asal usul Quraisy bisa diperoleh hingga Ismail bin Ibrahim as. Yang kemudian menurunkan suku adnan. Suku Adn±n dibagi menjadi dua suku besar yang masing-masing cabang masih memiliki sub, yaitu Rabi'ah (Asad, menempati Sebelah Utara Lembah Rimmah, Wail, yang kemudian melahirkan suku Bakr dan Taghl±b) di Mu«ar. Muar memiliki empat sub etnik, yaitu (1) Qais ‘Ailan. Dari suku ini lahir marga Haw±zin dan Sulayman (Nejd Barat), marga Gaafan yang kemudian pecah menjadi Abs dan Zubj±n; (2) Tam³m (Basrah); (3) Hu©ayl, menempati pegunungan dekat Madinah; (4) Kin±nah (Bahasa Selatan Hijaz). Dari suku Kin±nah in lahir Quraisy yang paling berpengaruh di antara semua keturunan Kin±nah kelak di kemudian hari[20] Adn±n yang merupakan keturunan dari Nabi Ism±il melahirkan generasi bercabang-cabang hingga suku Quraisy. Menurut sejarawan, antara Ismail dan Adn±n diperkirakan telah berada diantara tujuh generasi, (sedangkan Ibn Ka£ir menyebut 10 generasi[21]). Antara Adn±n dan Nabi Muhammad diselingi sebanyak 21 generasi dalam interval waktu 122 sM-571 M.[22]


B. Quraisy pra Islam


Rupakan satu dari sekian banyak suku yang pernah hidup dan mendiami Jazirah Arab yang sangat terkenal sejak abad keempat Masehi, yaitu sejak mereka berhasil mengalahkan suku Khuz±’ah dari Yaman. Suku Quraisy yang populer tidak bisa dilepaskan dari letak geografisnya yang sangat strategis, sebab Kota Makkah menjadi pusat lalu perdagangan yang menghubungkan Syam dan Yaman.[23] Di samping itu, Quraisy mendapat kehormatan sebagai pemelihara Ka'bah yang diagungkan dan dianggap suci oleh bangsa Arab, apapun agamanya. Dari peziarah yang datang menjadi sumber penghasil devisa tersendiri bagi Quraisy.[24]


Dengan demikian, popularitas Quraisy pra-Islam lebih disebabkan oleh penguasaan mereka atas Makkah yang di dalamnya terdapat Ka’bah yang menjadi tujuan peziarah setiap tahun. Mereka mampu memelihara Ka'bah dengan baik, merawat dan melayani peziarah, dan kepemimpinan Quraisy yang bersifat kharismatik.


C. Quraisy pada Masa Islam


Perkembangan Islam sejak masa awal Islam tidak dipisahkan dari peran suku Quraisy. Walaupun dalam sejarah awal Islam justru orang-orang Quraisy adalah musuh utama dan pertama ¡±¥ib al-ris±lah. Peran Quraisy secara institusional yang mengatasnamakan Quraisy hampir tidak ditemukan dalam sejarah Islam. Namun secara pribadi, ternyata Islam tumbuh dan berkembang di bawah kemudi dan mengendalikan orang yang secara geneaologis berasal dari keturunan Quraisy. Untuk melihat peran mereka berikut akan dikemukakan fakta-fakta sebagai berikut:


1)Nabi Muhammad saw.


Beliau adalah keturunan Quraisy, Dari Bani Hasyim. Bani Hasyim merupakan salah satu marga yang terpandang di kalangan Quraisy. Hal in dipertegas dalam salah satu sabdanya yang menyatakan:


Rasulullah SAW bersabda: Tuhan memilih Kinana dari bani Ismail, dan memilih Quraisy dari Kinana, dan memilih Dari Quraisy, Bani Hasyim, dan mereka memilihku dari Bani Hasyim.[25]


Sesungguhnya Allah telah memilih Kin±nah di antara semua keturunan Ism±’il. Dan memilih Quraisy di antara keturunan Kinnanah. Dalam pemilihannya Bani H± Syim antara sekian banyak marga Quraisy, serta memilihku dari kalangan Bani Hasyim. Hadis riwayat Muslim dari W±£ilah bin al-Asq±’.


Dari hadis ini dipahami bahwa secara deduktif, Nabi mempertegas eksistensinya sebagai manusia pilihan Allah dari keturunan Ismail as., yang silsilah keturunanannya dinisbahkan kepada Quraisy. Demikian pula Quraisy dengan potensi yang ada padanya merupakan suku pilihan Tuhan


2) Khulaf ± al-r ± syidn (11-13 H./632 – 661 ​​M)


Khulafa' al-rasyidn iala kepemimpinan empat khalifah secara berturut-turut, yaitu Ab Bakr al-¢idd³q (11-13 H./632-634 M), 'Umar bin al-Kha¯¯±b (13-24 H. / 634-644 M.), 'U£m±n bin 'Aff±n (24-36 H. / 644-656 M) dan 'Ali bin Ab °±lib (35-41 H./656-661 M . .). Keempat khalifah tersebut dari keturunan Quraisy. Ab Bakr al-¢idd³q silsilah keturunannya bertemu dengan silsilah Nabi pada Murrah bin Ka’ab. 'Umar bin al-Kha¯¯±b silsilah keturunnnya bertemu dengan silsilah Nabi pada Ka'ab bin Luway. 'U£m±n bin 'Aff±n silsilah keturunannya bertemu dengan silsilah Nabi pada 'Abdu Man±f bin Qu¡ay. Sedangkan 'Ali bin Ab³ °alib Masih merupakan kerabat dekat Nabi, sebab Ab °alib bin 'Abd al-Mu¯alib Masih Saudara dengan 'Abdullah bin 'Abd al-Mualib.


3) Khil±fah Bani Umaiyah di Damaskus (41 – 132 H / 661 – 750 M)


Khilafah ini didirikan oleh Mu’awiyah bin Ab³ Sufy±n yang pada masa khilafah ‘Usman bin ‘Aff±n perpanjangan Gubernur Sy±m. Muawiyah mengakhiri bentuk pemerintahan yang demokratis menjadi pemerintahan yang monarki hereditas ala Persia di Byzantium,[26] sekaligus mengembalikan dan menerapkan kembali tradisi jahiliyah dalam sistem pemerintahan Islam.[27] Masa pemerintahannya yang berlangsung selama lebih dari sembilan dasa warsa telah memberi corak tersendiri dalam perkembangan Islam. Kejayaan Islam yang diperoleh pada zaman khilafah Bani Umaiyah dengan sendirinya merupakan kejayaan Quraisy, karena secara gineologis pendirinya Muawiyah bin Ab³ Sufy±n Masih keturunan Quraisy. Silsilah keturunannya bertemu dengan silsilah keturunan Nabi pada ‘Abdu Man±f bin Qu¡ay.


4) Khil-fah Bani ‘Abbasiyah di Bagd-d (132 – 656 H / 749 – 1258 M)


Setelah terbunuhnya Marwan II bin Muhammad (khalifah terakhir Bani Umaiyah, 127-132 H./744-750 M) kekuasaan pemerintahan Islam beralih ke tangan Bani Abbasiyah.[28] Pendirinya al-¢aff±h bin Muhammad bin 'Ali bin 'Abdullah bin 'Abb±s bin 'Abd al-Mualib. Dalam periode panjang pemerintahannya Islam mencapai puncak kejayaan peradaban. Islam pada masa ini adala pusat peradaban dunia. Assalamualaikum disiplin ilmu keislaman tumbuh dan berkembang, demikian pula aspek peradaban lainnya yang berupa fisik.[29] Perkembangan yang cukup penting pada zaman Abbasiyah ini ialah perkembangan sistem politik, khususnya di kalangan Sunni. Pemikiran politik dan sistem kenegaraan Islam Sunni klasik, sampai tingkatan tertentu, mencapai bentuknya yang sempurna pada masa 'Abbasiyah.[30] Kejayaan Islam pada masa khilafah Bani

'Abbasiyah tidak berlebihan ababila dikemukakan sebagai kaum Quraisy yang sukses. Penguasa 'Abbasiyah adalah keturunan Quraisy; pendirinya merupakan keturunan dari al-‘Abb±s bin ‘Abd al-Mualib, paman Nabi.


5) Khil-fah Bani Umaiyah di Kordoba


Kejayaan Islam Eropa sejak masuknya Islam abad kedua Hijriyah berhasil membentuk satu dinasti, yaitu Dinasti Bani Umaiyah II di Spanyol yang merupakan kelanjutan dari Dinasti Umaiyah yang sebelumnya berkuasa dari Damaskus yang kemudian ditumbangkan oleh Dinasti Abbas. Dalam perkembangannya mereka mampu membangun lembaga-lembaga pendidikan sehingga Kordoba yang merupakan wilayah kekuasaan Islam menjadi pusat pendidikan europa di masanya.[31] Kejayaan Bani Umaiyah dari Spanyol merupakan potret kejayaan Islam dari masa lalu, yang secara implisit juga menjadi kejayaan Quraisy. Sebab penguasa Umaiyah di Spaniol ini adalah kelanjutan Dinasti Umaiyah sebelumnya, yang masih merupakan keturunan Quraisy.


6) Khil ± fah beberapa kerajaan kecil


Selain khilafah yang disebutkan di atas, masih terdapat beberapa kerajaan yang apabila dimaksud silsilahnya ternyata masih merupakan keturunan Quraisy. Di antaranya adalah Dinati Fatimiyah, satu dinasti yang beraliansi Syi'ah. didirikan oleh Sa'id bin Husay dari keturunan Abi bin Abi Thalib. Dinasti ini hingga bertahan dipimpin oleh 14 khalifah secara turun temurun dalam rentang waktu 279-567 H./909-1171 M, Wilayah kekuasaannya yang meliputi Fustat (Mesir), Hijaz dan Sy±m.[32] Khilafah ini walaupun di satu sisi merupakan saingan dari 'Abbasiyah di Bagdad, namun di sisi lain dapat dikatakan sebagai persaingan antar keturunan Quraisy. Dinasti Idrisiyah yang di Fez, Maroko (172-312 H./ 789-928 M), juga merupakan keturunan Quraisy. Khilafah in didirikan oleh Idris bin 'Abdullah, keturunan dari 'Ali bin Ab³ °±lib.


Di samping kejayaan Quraisy sebagai penguasa, ternyata mereka juga bisa menyebar ke berbagai pelosok negeri yang di tempat mereka masing-masing memegang jabatan strategis, khususnya di bidang spritual.[33] Bahkan Syar³f yang menjadi penguasa di Maroko menyebut diri mereka sebagai keturunan Quraisy sebagai legitimasi atas kekuasaannya.[34]


Di Indonesia, keturunan Arab Quraisy menjadi penentu perkembangan Islam. Di Jawa dikenal Wali Songo yang menjadi pilar penyiaran Islam, beberapa orang di antaranya, yakni Maulana Malik Ibrahim (w. 882 H./1419 M.), Maulana Ishaq, Sunan Ampel (w. 941 H./1478 M.), Sunan Giri [35] Pendiri Kerajaan Perlak (225-662 H./840-1263 M). yang merupakan Islam pertama di Indonesia masih dari keturunan Quraisy.[36]


Dengan demikian, sepanjang sejarah Islam hingga memasuki periode pertengahan mayoritas wilayah kekuasaan Islam berada dalam kendali khalifah yang berasal dari keturunan Quraisy. Dominasi kaum Quraisy terhadap kekuasaan Dunia Islam kemudian menurun seiring perjalanan sejarah umat Islam memasuki periode pertengahan.


IV

PANDANGAN ULAMA TENTANG HADIS KEPEMIMPINAN QURAISY

 


A.Pandangan Tekstual


Im±mah atau khil±fah yang dipandang sebagai bentuk pemerintahan dalam Islam merupakan satu agenda pemikiran dalam khazanah intelektual Islam, yang rentan sikap pro konra. Sikap pro kontra ini timbul seputar bentuk pemerintahan Islam yang seharusnya, dan syarat-syarat orang yang berhak menjadi pemimpin.


Dalam pembahasan tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk menjadi khal³fah telah dibahasa oleh ulama-ulama klasik. Dalam kitab al-Fiqh ‘ala Ma©±hib al-Arba’ah, dikemukakan sepuluh syarat bagi seseorang untuk memangku jabatan khalifah, yaitu 1) Muslim; 2) mukallaf; 3) Merdeka; 4) laki-laki; 5) keturunan Quraisy; 6) ‘adil; 7) memiliki ilmu pengetahuan; 8) beerani dan tegas; 9) memiliki aksepbilitas publik; 10) Ini bersifat jasmani dan rohani. [37]


Im±m al-M±wardi (w. 450 H./1059 M) dalam al-A¥k±m al-Sul¯±niyah wa Wil±yat al-Diniyah menyebutkan tujuh syarat dan kriteria yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk menjadi khal³fah. Tujuh syarat yang dimaksud: 1) adil; 2) memiliki kapasitas intelektual yang baik; 3) sehat pendengaran, dan indra lainnya; 4) sehat anggota tubuh, tidak cacat fisik; 5) memiliki aksepbilitas publik, memiliki kemampuan memimpin; 6) Berani dan mambu mempertahankan negara; 7) keturunan Quraisy.[38] Menurutnya, syarat 'Quraisy' telah disepakati dan menjadi konteks sahabat. Hal yang terbukti ketika penyelesaian di Saq³fah Ban³ S±’idah, Ab Bakar dapat meredam ambisi kelompok An¡±r untuk menjadi pemimpin dengan menyampaikan hadis Nabi “al’aimmah min quraisy”. Dengan keterangan dari Ab Bakr ini, kemudian para sahabat baik dari kalangan muh±jir³n maupun An¡±r menyetujui dan membai’at beliau sebagai khalifah.[39] Pendapat dan argumen serupa diperpegangi jumhr ulama.[40]

ah. Namun demikian, pendapat al-Syaf³'³ kemudian disanggah oleh Qa«i 'Iy±«. Menurutnya Im±m Syai’³ cenderung primordialis, sebab beliau juga adalah keturunan Quraisy.[41]


Pendapat yang serupa dikemukakan oleh Wahbah al-Zu¥ayli.[42] Syarat dan kriteria Quraisy ini telah menjadi konteks sahabat hingga beberapa masa sesudahnya. Syarat Quraisy dalam merupakan suatu hal logis dan wajar, hal ini melihat eksistensi Quraisy sejak zaman jahiliyah hingga, di mana mereka merupakan kabilah yang terpandang dan terhormat, serta mampu mewujudkan kabilah-kabilah Arab plainnya.[43] Kriteria Quraisy harus dilihat dari kapasitas Quraisy ketika Nabi hidup; Quraisy merupakan suku yang menjadi pemuka di antara suku-suku Arab polosnya. Selain itu, mereka juga berhasil menjadi pengayom bagi suku-suku lain yang lebih kecil dan mengumpulkan potensi suku-suku yang kecil itu menjadi suatu kekuatan yang sinergis. Pemuka Quraisy pada masa itu adalah pemimpin yang kharismatik, segala ucapannya selalu menjadi acuan bagi suku-suku polos. Mereka juga menguasai percaturan politik di Jazirah Arab khususnya di Hijaz.[44] Bahkan sepanjang sejarah Islam hanya kalangan Khaw±rij dan Mu’tazilah yang mengingkari syarat ini. Bagi kedua kelompok ini, kepemimpinan dapat dipegang oleh siapa saja sepanjang mendapat dukungan mayoritas umat, integritas pribadi dan kapasitas intelektualnya memungkinkan serta memiliki aksepbilitas publik.[45] Bahkan Rasyid Ri«a (w. 1353 H./1935 M), walaupun dikenal sebagai seorang rasionalis pengikut Muhammad Abduh (w. 1323 H./1905), beliau mengakui bahwa keturunan Quraisy sebagai syarat mutlak untuk menduduki jabatan khalifah.[46]


Pendapat yang cenderung moderat dikemukakan oleh Ibn Hazm. Menurutnya, pada matan hadis lafaz 'al-aimmat min quraaisy' lebih bersifat khabariyah (informatif), sehingga syarat ini hanya salah satu alternatif terbaik. Ababila lafaz tersebut dilihat sebagai lafaz yang mengandung perintah, maka hal tersebut wajib dan otoritas kepemimpinan berada di tangan mereka selamanya. [47] Lebih Jelasnya, Ibnu Hazm Mengemukakan:


. . . Dan dua berita ini. Dan jika mereka ada dalam kata-kata berita, maka itu adalah hal yang benar dan dikonfirmasi, karena jika hal itu boleh ada di selain Quraisy, itu adalah pengingkaran terhadap berita Nabi, semoga doa Allah. dan damai besertanya, dan ini adalah penghujatan bagi mereka yang mengizinkannya.


  Jadi benar bahwa siapa pun yang disebut kekhalifahan dan kekhalifahan tanpa Quraisy bukanlah khalifah, atau imam, atau salah satu yang pertama, dan dia tidak memiliki perintah -: dia adalah orang berdosa yang tidak menaati Tuhan Yang Maha Esa, dia dan semua mereka yang membantunya atau menerima perintahnya, karena mereka melanggar batas-batas Tuhan Yang Maha Esa di lidah Rasulullah, semoga doa dan damai Allah besertanya [48]


. . . kedua hal ini bersifat khabariyah -informatif. Ababila dilihat dari bentuknya sebagai lafaz khabariyah maka keduanya hal yang sahih. Dengan demikian mungkin saja ditemukan suatu bentuk pemerintahan (Islam) yang dipimpin oleh selain keturunan Quraisy, namun hal tersebut merupakan pengingkaran terhadap berita dari Nabi saw. Dan hal in diingkari oleh orang yang membolehkannya. Pendapat yang benar suatu bentuk pemerintahan tidak disebut sebagai khil±fah apabila tidak diperintah oleh keturunan Quraisy. Sebab menyalahi ketentuan Nabi) dan dosa kepada Allah, sebab menyalahi hukum-hukum Allah yang ditetapkan melalui lisan Rasulullah saw.


Dari pernyataan ini, tampak adanya indikasi bahwa Ibn Hazm membolehkan jabatan kepala negara dipegang oleh selain dari keturunan Quraisy. Hanya saja, menurutnya, pemangku jabatan yang bersangkutan tidak berhak digelarkan sebagai khalifah atau im±m. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Muhammad Ab Zahrah. Menurutnya hadis-hadis tentang pemimpin yang berasal dari suku Quraisy lebih bersifat informatif, atau termasuk ke dalam pengertian keutamaan, bukan tentang keabsahannya.[49] Karena bersifat informatif, maka bukan dan tidak bisa diterima sebagai legalisasi terhadap otoritas Quraisy.


Penolakan otoritas kepemimpinan Quraisy juga dikemukakan oleh Taqy al-D³n al-Nabh±n³, dengan dua pertimbangan, yaitu Quraisy hanya sebagai syarat af«aliyah dan bentuk Quraisy sebagai isim (laqab). Seorang khalifah tidak diisyaratkan harus dari keturunan Quraisy. Hadis-hadis yang menjelaskan tentang kepemimpinan Quraisy adalah hadis-hadis yang berbentuk akhb±r (informatif) dan tidak ada yang berbentuk alab (perintah). Bentuk akhb±r walaupun mengandung unsur ¯alab tetapi tidak ada tuntutan secara pasti selama tidak dibarengi dengan suatu qarinah yang menunjukkan penegasan. Sedangkan dalam hadis-hadis tersebut tidak disertai qarinah apapun. Jadi 'quraisy' sebagai syarat af«aliyah, bukan syarat dalam iqadiyah.[50] Dilihat dari aspek bahasa, Quraisy adalah isim (dalam terminologi U¡ul Fiqh, laqab) dan bukan sifat. Mafhm isim atau mafhm laqab sama sekali tidak bisa dijadikan dasar suatu perbuatan, Karena isim atau laqab tidak memiliki mafhm mukh±lafah.[51]

Selalu, walaupun dengan sudut pandang dan paradigma yang berbeda.


B. Kontekstualisasi Kandungan Hadis


Kontekstual adalah pemaknaan dengan melihat keterkaitan antara zaman dan situasi ketika hadis ini terjadi dengan melihat keterkaitannya dengan masa sekarang.[52] Makna hadis ini akan dilihat secara historik, makna fungsional sekarang, serta prediksi aplikatif-prepentif di masa yang akan datang, sehingga keadilan sebagai pesan moral hadis ini berlaku universal-abadi.


Hingga akhir abad kesembilan Hijriyah, pemahaman terhadap hadis tentang kepemimpinan Quraisy ini lebih bersifat tekstual. Ulama dan umat Islam memahami bahwa Quraisy merupakan syarat dan kriteria yang bersifat conditio sine quo non untuk memilih dan mengangkat pemimpin. Pemahaman tekstualis ini baru berubah menjadi pemahaman kontekstualis setelah memasuki abad kesembilan hijriyah. Adalah 'Abd al-Rahman bin Khaldun (w. 808 H./1406 M.) yang mempelopori pemahaman kontekstual terhadap hadis ini. Dalam uraiannya tentang khilafah dan im±mah, dia tetap mengakui adanya kriteria Quraisy. Hanya Saja ia berusaha merasionalkan pemahamannya dengan menyatakan bahwa kriteria Quraisy yang disebutkan oleh Nabi dalam hadis tersebut lebih bersifat simbolik. Keturunan Quraisy yang oleh Nabi dinyatakan sebagai pemegang otoritas kepemimpinan dalam Islam yang dilandasi pada kenyataan yang membuktikan bahwa orang Quraisylah pada saat itu yang merupakan suku Arab yang terkemuka, kuat dan tangguh. Bahkan ia dipandang sebagai pemersatu suku-suku lainnya di sekitar Hijaz. Mereka memiliki solidaritas kelompok yang kokoh dan membuatnya paling berwibawa untuk memelihara keutuhan dan persatuan umat Islam. Oleh karena itu, pemimpin negara yang demikian mampu mengurus negara secara efektif. [53] Pendapat Ibnu Khaldun di kemudian diikuti oleh ulama-ulama di masanya dan masa-masa sesudahnya, termasuk Yusuf al-Qar «awi.[54]


Berangkat dari pola pikir yang melihat dan memahami hadis Nabi kemudian membedakan antara hadis-hadis yang bersifat temporal lokal dan ajaran Islam yang bersifat universal yang dikaitkan dengan fungsi Nabi, M. Syuhudi Ismail (w. 1995) bependapat bahwa hadis kepemimpinan Quraisy dinyatakan oleh Nabi dalam kapasitasnya sebagai kepala negara atau pemimpin masyarakat. Qarinah-nya adalah ketetapan Nabi yang bersiafat primordial yang sangat mengutamakan suku Quraisy. Menurutnya, prioritas bagi Quraisy berupa pemberian otoritas dalam kepemimpinan bukan ajaran dasar dari agama Islam yang dibawa oleh Nabi, melainkan ajaran non dasar yang bersifat temporal.[55]


Pemahaman “temporal” kandungan hadis in juga dianaut oleh Ibn Taimiyah (w. 728 H./1328 M.), yang menolak syarat Quraisy ini, sebagai bertentangan dengan semangat egaliter yang diajarkan oleh Islam. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa doktrin ini hanya berlaku pada fase khulafa’ al-rasyidn.[56] Namun pendapat yang dikemukakan Ibnu Taimiyah ini lemah, sebab dalam matan hadis tidak ditemukan adanya qarinah yang menyebutkan temporalnya hadis ini hanya sampai pada fase khulafa’ al-r±syidn. Demikian pula pemaknaan tekstual terhadap hadis tidak hanya terbatas pada fase khulafa' al-r±syidn, bahkan hingga hancurnya Bagdad oleh Hulagu Khan (1258), Dinasti Mamalik dan beberapa dinasti kecil lainnya masih mengakui otoritas Quraisy, terbukti dalam hubungan antara kerajaan Abbasiyah dan Beberapa kerajaan kecil yang ada di masanya mendudukkan khil±fah 'Abbasiyah sebagai kekuatan spritual (justifikasi syar'³) yang bertumpu pada keyakinan terhadap makna tekstual hadis tentang otoritas kepemimpinan Quraisy.


Pemahaman lain terhadap hadis ini ialah mengkalisifikasi hadis antara hadis tasyri'iyah dabn gayru tasyri'iyyah. Abd al-Wahhab Khall ± f mengatakan bahwa tidak semua hadis yang diriwayatkan dari Nabi saw. memiliki implisit tasyr³’ yang wajib diikuti. Ada beberapa syarat dan keahlian khusus yang disampaikan maupun yang dipraktekkan oleh beliau tidak berimplikasi tasyri’, sebab hal tersebut diucapkan atau dilakukan dalam kapasitas beliau bukan sebagai rasulullah.[57] Implikasinya bahwa hadis yang tidak mengandung konsekwensi tasyr³’ yang wajib diikuti maka hadis tersebut diperlakukan terbatas irsy±d, sehingga pengalaman dan pemahamannya tidak bersifat mengikat.

V. PENUTUP

            Hadis tentang kepemimpinan Quraisy diakui meskipun validitas internal dan eksternalnya, namun karena perbedaan zaman ketika hadis ini disampaikan oleh Nabi saw. dengan kondisi umat dan Dunia Islam dewasa, demikian pula karena perbedaan budaya, dan karena kecenderuangan sistem politik dan pemerintahan umat Islam yang meninggalkan sistem kepemimpinan menuju sistem pemerintahan kolektif, maka pemahaman tunggal terhadap hadis ini melibatkan pemahaman yang bersifat kontekstual.


            Kandungan hadis ini telah menjadi pembahasan ulama yang bersifat polemik, seputar kriteria khusus yang harus diisi dalam rekrutmen politik. Hadis secara tekstual mensyaratkan suku Quraisy sebagai salah satu kriteria yang harus dipenuhi seorang calon kepala negara. Pemahaman secara kontekstual terhadap hadis ini kemudian melonggarkan kriteria Quraisy.


            Quraisy yang dimaksudkan dalam hadis lebih bersifat simbolik. Artinya Quraisy merupakan simbol dan prototipe suku yang memiliki kharisma yang kuat, dan disegani oleh kabilah lain di Jazirah Arab di masanya, sehingga apabila ternyata ada suku lain yang telah memenuhi kualifikasi sebagaimana yang dimiliki oleh Quraisy, maka dengan sendirinya ya berhak atas jabatan kepala negara; kepala negara harus memiliki sifat dan karakter sebagaimana yang dimiliki Quraisy, yaitu lain memiliki kredibilitas dan integritas yang tinggi, aksepbilitas publik, serta kemampuan mengayomi, menghimpun dan mengarahkan potensi rakyatnya.


            Hadis Nabi yang disampaikan dalam kedudukan beliau sebagai rasulullah mengandung konsekwensi hukum yang wajib ditaati. Had Kontras yang disampaikan beliau selain fungsinya sebagai rasulullah, lebih bersifat khabariyah (informatif), yaitu mengandung irsy±d yang sebaiknya dilaksanakan oleh umat Islam. Meskipun demikian hadis yang tergolong dalam kategori irsy±d tidak bersifat mengikat.

 Dari pemaknaan kontekstual terhadap hadis kepemimpinan Quraisy, maka sebaiknya pemimpin kelompok, masyarakat atau negara adalah pribadi yang memiliki keunggulan dan mendapat pengakuan di dalam dan di luar komunitasnya. 'Quraisy' menjadi simbol pemimpin, artinya paling tidak setiap calon pemimpin bisa menjadi 'Quraisy' bagi komunitas di mana ia berada.



 


KEPUSTAKAAN

 

Ab­ Zahrah, Muhammad. “Tar³kh al-Maz±hib al-Isl±miyah” diterjemahkan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib dengan judul Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam, Cet. I; Jakarta: Logos, 1996.

Anis, Ibr±him. al-Mu’jam al-W±si¯, Cet. II; Kairo: t.p., 1972.

Al-‘Aqqad, Abbas Mahm­d. Abqariyah Muhammad, t.t; D±r al-Hil±l, 1969.

Al-‘Ayn³, Badr al-D³n Ab­ Muhammad Mahm­d bin Ahmad. Umdat al_Qari Syarh Sahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.

al-Bandari Abd al-Gaff±r Sulaymandan Sayyid Kirdi Hasan, Maws­’ah Rij±l al-Kutub al-Tis’ah,  juz IV, Beirut: D±r al-Kutub al-Ilmiyah,  t.th.

Al-Bayhaqi, Ab­ Bakr Ahmad bin Husayn. al-Sunan al-Kubr± Li al-Bayhaqi, juz VIII, Cet. I; India: Majelis D±irat al-Ma’±rif al-U¡m±niyah, 1352 H.

Al-Bukh±ri, Muhammad bin Ism±il bin Ibr±him bin al-Mug³rah bin al-Bardizb±h. al-J±mi' al-Sah³h, juz IV, Beirut: D±r al-Kutub al-Ilmiyah,  1992.

Bosworth, C. E. The Islamic Dinasties, diterjemahkan oleh Ilyas Hasan dengan judul Dinasti-Dinasti Islam, Cet. I; Bandung: Mizan,  1993.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Vol II, Cet. II; Jakarta: Ichtiar Baru – Van Hoeve, 1994.

Al-Farr±’, Al-¥k±m al-Si¯±niyah, Beirut: D±r al-Fikr,  1986.

Al-Gadri,  Hamid. Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan  Melawan Belanda, Ed. III. Cet. I; Bandung: Mizan,  1996.

Glasse, Cryll. The Concise Encyclopaedia of Islam, Loncon: Stacey International, 1988.

Hashem, Fuad. S³rah Muhammad Rasulullah Suatu Penafsiran Baru, Cet. V; Bandung: Mizan,  1996.

Hasjmy, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam di Indonesia, Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang,  1990.

Haykal, Muhammad Husayn. Hay±t Muhammad, diterjemahkan oleh Ali Audah dengan judul Sejarah Hidup Muhammad, Cet. III; Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1979.

Hughes, Tomas Patrick. A Dictionary of Islam, USA: KAZI Publications, Inc. t.th.

Ibn ¦azm al-Andal­s³, Ab­ Muhammad ‘Ali bin Ahmad bin Sa’³d. al-Mu¥al± bi al-A£±r, juz VIII, Beirut: D±r al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.

Ibn Ab³ Syaibah, Abdullah bin Muhammad bin Ab³ Syaibah Ibr±him bin ‘U£m±n bin Ab³ Bakr. Mu¡annaf Ibnu Ab³ Syaibah, juz VII, Cet. I; Beirut: D±r al-Fikr,  1989.

Ibn F±ris, Zakariya. Mu’jam Maqayis al-Lugah, jilid V, Beirut, Dar al-Fikr, t.th.

Ibn Hanbal, Ahmad. Musnad Ahmad, juz III, Beirut: al-Maktabat al-Isl±mi, 1978,

Ibn Khaldun, Abd al-Rahman, Muqaddimah, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.

Ibnu Ka£³r, Abu al-Fida. al-Bidayah wa al-Nihayah, jilid I, juz II, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1992.

Ismail, M. Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma'ani al-Hadis tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal dan Lokal, Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1994.

Al-Jaz³r³, Abd al-Rahman. al-Fiqh ‘Ala Ma©±hub al-‘Arba’ah, Beirut: D±r al-Kutub al-Ilmiyah,  1990.

Al-Mawardi, Ali bin Muhammad bin ¦ab³b al-Ba¡r³ al-Bagd±d³. al-A¥k±m al-Sul¯±niyah wa al-Wil±yat al-Diniyah, Beirut: D±r al-Fikr,  t.th.

Al-Mab±rkaf­r³, Muhammad ‘Abd al-Rahman bin ‘Abd al-Rah³m. Tu¥fat al-A¥w±©³, Bisyar¥ J±mi’ al-Tirm©i, juz VI, Beirut: D±r al-Fikr,  t.th.

Muhajir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi III. Cet. VIII; Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998.

Al-Nabh±ni, Taqy al-D³n. “Ni§±m al-¦ukm f³ al-Isl±m” diterjemahkan oleh Mohamad Maghfur Wachid dengan judul Sistim Pemerintahan Islam, Cet. I; Bangil: al-Izzah, 1996.

Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I, Cet. VI; Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986.

Al-Nawaw³, Ab­ Zakariy± Yahya bin Syaraf. ¢a¥³¥ Muslim Bi Syar¥ al-Naw±w³ Beirut: D±r al-Fikr,  1983.

Al-Naysab­ri, Ab­ ‘Abdullah Muhammad bin ‘Abdillah al-H±kim. al-Mustadrak ‘Ala al-¢a¥³¥ayhn, juz III, Beirut: D±r al-Fikr,  1978.

Al-Naysab­ri, Ab­ al-Husayn Muslim bin al-Hajj±j bin Muslim bin Kausy±z al-Qusyairi. al-J±mi' al-Sah³h,  juz II, Beirut: D±r al-Kutub al-Ilmiyah,  1992.

Al-Qar«awi, Yusuf. “Kayfa Nata’±malu Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah” diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dengan judul Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw, Cet. III; Bandung: Kharizma,  1994.

Ri«a, Muhammad Rasyid. al-Khil±fah, Mesir; al-Zahra Li al’A’lam al-‘Arabi, 1922.

Salim, Abd. Muin. Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an, Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada,  1995.

Simon, Reeva S. Philip Mattar dan Richard W. Bulliet, (Eds), Encyclopedia  of the Modern Middle East, Vol. 3, 10th Edition: New York: Simon & Scuster MacMillan, 1996.

Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1990.

Syalabi, Ahmad. Maws­’ah Tar³kh Isl±m³, Cet. VI; Kairo: Nah«ah al-Na¡ r, 1978.

Al-Tirmizi, Ab­ Isa Muhammad bin Isa bin Sawrat bin al-Dahh±k al-Sulami. Sunan al-Tirmizi, juz III, Beirut: D±r al-Kutub al-Ilmiyah,  t.th.

Wajdi, Far³d. D±irat al-Ma’±rif al-Qarn al-‘Isyr³n, jilid VII, Beirut: D±r al-Fikr, 1989.

Watt William Montgomery. dan Pierre Cachia, A History of Islamic Spain, Edinburg: The Edinburg Unicersity Press, 1996.

Watt, William Montgomery. Muhammad Prophet and Statesmen, London Oxford University Press, 1969.

Wensijck, Arnold J. “A Handbook of Early Muhammadan Tradition” diterjemahkan oleh Muhammad Fu’ad ‘Abd al-B±qi dengan judul Mifta±h Kunuz al-Sunnah, Lahore-Pakistan: Suhayl Akademi, 1971.

Wensijck, Arnold J. “Concordance Et Indices de la Tradition Musulmane” diterjemahkan oleh Muh Fuad Abd al-B±qi dengan judul  Al-Mu’jam al-Mufahras Li Alf±§ al-Had³s al-Nabawi, juz I, Leiden: E. J. Brill, 1936.

Zaky, Mu¡¯afa. Tar³kh Dawlah Isl±miyah, Kairo: Maktabah al-Azh±r, 1995.

Zaydan, Jurji. Tar³kh al-Tamaddun al-Isl±m, Kairo: D±r al-¦il±l, t.th.

Al-Zu¥ayli, Wahbah. al-Fiqh al-Isl±m³ wa Adillatuhu, Cet. III; Beirut: D±r al-Fikr,  1989.

Zuhri, Saifuddin. Sejarah Kebangkitan Islam, Bandung: al-Maarif, 1980.


* Didiskusikan dalam Seminar antar Dosen STAIN Palopo tanggal 16 Februari 2002.

** Tenaga Pengajar STAIN Palopo.

[1] QS. al-Kahfi (18): 110, Abd. Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada,  1995), h. 86.

[2] William Montgomery Watt, Muhammad Prophet and Statesmen, (London Oxford University Press, 1969), passim.

[3] ‘Abbas Mahm­d al-‘Aqqad, Abqariyah Muhammad (t.t; D±r al-Hil±l, 1969), h. 90-151, M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma'ani al-Hadis tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal dan Lokal (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h.4.

[4] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I (Cet. VI; Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), h. 92-93.

[5] Arnold J. Wensijck, “Concordance Et Indices de la Tradition Musulmane” diterjemahkan oleh Muhammad Fuad Abd al-B±qi dengan judul  Al-Mu’jam al-Mufahras Li Alf±§ al-Had³s al-Nabawi, juz I (Leiden: E. J. Brill, 1936),  h. 92, Abd al-Gaff±r Sulayman al-Bandari bin. dan Sayyid Kirdi Hasan, Maws­’ah Rij±l al-Kutub al-Tis’ah,  juz IV (Beirut: D±r al-Kutub al-Ilmiyah,  t.th.), h. 202,

[6] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, juz III (Beirut: al-Maktabat al-Isl±mi, 1978), h. 129, 183, juz IV, h. 396,  ‘Abdullah bin Muhammad bin Ab³ Syaibah Ibr±him bin ‘U£m±n bin Ab³ Bakr bin Ab³ Syaibah, Mu¡annaf Ibnu Ab³ Syaibah, juz VII (Cet. I; Beirut: D±r al-Fikr,  1989), h. 545, Ab­ Bakr Ahmad bin Husayn al-Bayhaqi, al-Sunan al-Kubr± Li al-Bayhaqi, juz VIII (Cet. I; India: Majelis D±irat al-Ma’±rif al-U¡m±niyah, 1352 H),  h. 143, 144, Ab­ ‘Abdullah Muhammad bin ‘Abdillah al-H±kim al-Naysab­ri, al-Mustadrak ‘Ala al-¢a¥³¥ayhn, juz III (Beirut: D±r al-Fikr,  1978), h. 121, 76.

[7] Arnold J. Wensijck, op. cit., juz II, h. 207.

[8] Muhammad bin Ism±il bin Ibr±him bin al-Mug³rah bin al-Bardizb±h al-Bukh±ri, al-J±mi' al-Sah³h, juz IV (Beirut: D±r al-Kutub al-Ilmiyah,  1992),  h. 512, 445, Ab­ al-Husayn Muslim bin al-Hajj±j bin Muslim bin Kausy±z al-Qusyairi al-Naysab­ri, al-J±mi' al-Sah³h,  juz II (Beirut: D±r al-Kutub al-Ilmiyah,  1992),  h. 1352, Ahmad bin Hanbal, op. cit,  juz II, h. 29, 93, 127, Ibn Ab³ Syaibah, op. cit h. 546, Al-Bayhaqi, op. cit, juz VIII, h. 141,

[9] Arnold John Wensijck, op. cit, juz I, h. 264, Arnold J. Wensijck, “A Handbook of Early Muhammadan Tradition” diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad Fu’ad ‘Abd al-B±qi dengan judul Mifta±h Kunuz al-Sunnah (Lahore-Pakistan: Suhayl Akademi, 1971), h. 406.

[10] Al-Bukh±ri, loc. cit., Ab­ al-Husayn Muslim bin al-Hajj±j al-Qusyairi al-Naysab­ri, op. cit, juz III, h. 1451, Ab­ Isa Muhammad bin Isa bin Sawrat bin al-Dahh±k al-Sulami al-Tirmizi, al-J±mi' al-Sah³h Wa Huwa Sunan al-Tirmizi, juz III (Beirut: D±r al-Kutub al-Ilmiyah,  t.th.), h. 436-437, Ab­ ‘Abdullah Ahmad bin Hanbal, op. cit, II:261, 395, 433, III:331, 378, 379, 383, Ibn Abi Syaibah, op. cit, h. 545.

[11] Abbas Langaji, Hadis tentang Kepemimpinan Quraisy: Kritik Hadis dengan Pendekatan Historis-Antropologis, Tesis, Makassar: IAIN Alauddin, 2000, h. 70.

[12] Ibid, h. 85.

[13] Ibn F±ris, Mu’jam Maqayis al-Lugah, jilid V, h.  70, Ibr±him Anis, al-Mu’jam al-W±si¯ (Cet. II; Kairo: t.p., 1972), h. 726.

[14] Ibn Faris, op. cit, h. 71,

[15] Fuad Hashem, S³rah Muhammad Rasulullah Suatu Penafsiran Baru (Cet. V; Bandung: Mizan,  1996), h. 44.

[16] Cryll Glasse, The Concise Encyclopaedia of Islam (Loncon: Stacey International, 1988), h. 326.

[17] Fuad Hashem, loc. cit.

[18] Far³d Wajdi, D±irat al-Ma’±rif al-Qarn al-‘Isyr³n, jilid VII (Beirut: D±r al-Fikr, 1989), h. 743.

[19] Ibnu Ka£³r, al-Bidayah wa al-Nihayah, jilid I, juz II, h. 187, Badr al-D³n Ab­ Muhammad Mahm­d bin Ahmad al-‘Ayn³, op. cit, h. 73.

[20] Ibid, (Ahmad Amin), h. 7.

[21] Ab­ al-Fid±’ Ism±’il bin Ka£³r, op. cit, h. jilid II, juz IV, 228.

[22] Tomas Patrick Hughes, A Dictionary of Islam (USA: KAZI Publications, Inc. t.th), h. 19.

[23] Fuad Hashem, op. cit, h. 56.

[24] Cryll Glasse, loc. cit.

[25] Ab­ al-Husayn Muslim bin al-Hajj±j bin Muslim bin Kausy±z al-Qusyairi al-Naysab­ri, al-J±mi' al-Sah³h, juz IV (Beirut: D±r al-Kutub al-Ilmiyah,  1992), h. 1782.

[26] Hassan Ibrahim Hassan, op. cit, h. 66.

[27] Abd. Muin Salim, Konsepsi, op. cit, h. 1-2.

[28] Ahmad Syalabi, Maws­’ah Tar³kh Isl±m³ (Cet. VI; Kairo: Nah«ah al-Na¡ r, 1978), h. 19 dst, Mu¡¯afa Zaky, Tar³kh Dawlah Isl±miyah (Kairo: Maktabah al-Azh±r, 1995), h. 277.

[29] Ibid,

[30] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1990), h. 1-40.

[31] Ahmad Syalabi, op. cit, jilid IV h. 41-50, William Montgomery Watt dan Pierre Cachia, A History of Islamic Spain (Edinburg: The Edinburg Unicersity Press, 1996), h. 61-80.

[32] C. E. Bosworth, The Islamic Dinasties, diterjemahkan oleh Ilyas Hasan dengan judul Dinasti-Dinasti Islam (Cet. I; Bandung: Mizan,  1993), h. 70-dst.

[33] Cryll Glasse, op. cit, h. 471.

[34] Reeva S. Simon, Philip Mattar dan Richard W. Bulliet, (Eds), Encyclopedia  of the Modern Middle East, Vol. 3 (10th Ed: New York: Simon & Scuster MacMillaan, 1996), h. 1506.

[35] Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1980), h. 267, Hamid al-Gadri,  Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan  Melawan Belanda (Ed. III. Cet. I; Bandung: Mizan,  1996), h. 69.

[36] A. Hasjmy, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Indonesia (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang,  1990), h. 7, 25.

[37] Abd al-Rahman al-Jaz³r³, al-Fiqh ‘Ala Ma©±hub al-‘Arba’ah (Beirut: D±r al-Kutub al-Ilmiyah,  1990), h. 366-367.

[38] Ab­ al-Husayn ‘Ali bin Muhammad bin ¦ab³b al-Ba¡r³ al-Bagd±d³ al-M±wardi, al-A¥k±m al-Sul¯±niyah wa al-Wil±yat al-Diniyah (Beirut: D±r al-Fikr,  t.th), h. 6, al-Farr±’, al-¥k±m al-Si¯±niyah, (Beirut: D±r al-Fikr,  1986), h. 20.

[39] Ibid.

[40] Ab­ Zakariy± Yahya bin Syaraf al-Nawaw³, ¢a¥³¥ Muslim Bi Syar¥ al-Naw±w³ (Beirut: D±r al-Fikr,  1983), juz XII, h. 200.

[41] Ibid, h. 201.

[42] Wahbah al-Zu¥ayli, al-Fiqh al-Isl±m³ wa Adillatuhu (Cet. III; Beirut: D±r al-Fikr,  1989), h. 693-697.

[43] Ibid, h. 297.

[44] Wahbah al-Zu¥ayli, op. cit, h. 698.

[45] Al-‘Asqal±ni, Fat¥ al-B±ri, h 11-12.

[46] Muhammad Rasyid Ri«a, al-Khil±fah (Mesir; al-Zahra Li al’A’lam al-‘Arabi, 1922), h. 26.

[47] Ab­ al-‘Ul± Muhammad ‘Abd al-Rahman bin ‘Abd al-Rah³m al-Mab±rkaf­r³, Tu¥fat al-A¥w±©³, Bisyar¥ J±mi’ al-Tirm©i, juz VI (Beirut: D±r al-Fikr,  t.th.), h. 407.

[48] Ab­ Muhammad ‘Ali bin Ahmad bin Sa’³d bin ¦azm al-Andal­s³, al-Mu¥al± bi al-A£±r, juz VIII (Beirut: D±r al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), h. 421.

[49] Muhammad Ab­ Zahrah, “Tar³kh al-Maz±hib al-Isl±miyah” diterjemahkan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib dengan judul Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam (Cet. I; Jakarta: Logos, 1996), h. 90

[50] Taqy al-D³n al-Nabh±ni, “Ni§±m al-¦ukm f³ al-Isl±m” diterjemahkan oleh Mohamad Maghfur Wachid dengan judul Sistim Pemerintahan Islam (Cet. I; Bangil: al-Izzah, 1996), h. 70-71.

[51] Ibid, h. 71.

[52] Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi III. Cet. VIII; Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998), h. 178.

[53] Ibn Khaldun, Muqaddimah, h. 194,  Tar³kh Ibn Khaldun, juz I, h. 163.

[54] Yusuf al-Qar«awi, “Kayfa Nata’±malu Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah” diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dengan judul Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw (Cet. III; Bandung: Kharizma,  1994), h. 138.

[55] M. Syuhudi Ismail, op. cit., h. 40-41.

[56] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Vol II (Cet. II; Jakarta: Ichtiar Baru – Van Hoeve, 1994), h. 205.

[57] ‘Abd al-Wahh±b Khall±f, op. cit, h. 43-44.

[58] Abd. Muin Salim, Konsepsi, h. 189-190.

Comments

BERITA TERBARU !!

Popular posts from this blog

BIL MA'TSUR ( TAFSIR AYAT DENGAN AYAT )

download TAFSIR AL-NASAFIY

CARA MELAKUKAN TAKHRIJ HADIS

cara atau Kaedah al-Jarh Wa al-Ta’dil Serta Aplikasinya

cara TAMBAHAN - kaedah ZIYADAH DALAM AL-QUR'AN

HADIS TARBAWIY DAN AKHLAK (BERKURANGNYA IMAN KARENA MAKSIAT)

kaedah 'ATAF - AL-'ATFU DALAM AL-QUR'AN

apa contoh MUKJIZAT AL-QUR'AN (Pengertian dan Pembagiannya)

cara melakukan MUNASABAH AYAT

QAWAIDH AL-TAHDIS (Pengertian , Ruang Lingkup dan Urgensinya )