KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS

KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS Pendahuluan latar belakang Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah dua sumber utama ajaran Islam. Oleh karena itu, keduanya selalu dijadikan landasan keyakinan, ritual, adat istiadat, etika, ekonomi, politik, peradaban dan seluruh aspek kehidupan umat Islam, baik yang sakral maupun duniawi, pada tataran ¥ abl minallah (vertikal) dan ¥ abl min al. -n ± s (horizontal).

KONSEP KENABIAN


oleh: Zaharuddin

Selamat berjumpa lagi bang, kata Nabi selalu disebut-sebut dalam ungkapan sehari-sehari. apakah di suatu Negara ataupun negara lain, jika Indonesian maka itu Nabi, jika English maka itu Prophet atau Arab Nabiyyun. yang jelasnya adalah Nabi. Namun bang, mereka tahu ndak yach makna Nabi itu sendiri.



BAB I
KONSEP KENABIAN

A.  Pengertian Istilah Nabi
Kata nabi terulang dalamAl-Qur'an sebanyak 76x[1] berasal dari bahasa arab naba’ yang berarti warta (al-khabar),[2] berita (tidings), informasi (information), laporan (report). Dalam bentuk transitif (anba’a ‘an) ia berarti memberi informasi (to inform), meramal (to predict), to foretell (menceritakan masa depan). Bentuk jamak dari istilah ini adalah nabiyyun dan anbiya’, sedangkan nubuwwah adalah bentuk al-masdar (kata benda, noun) dari na-ba-‘a yang berarti kenabian (prophecy, ramalan atau prophethood, kenabian), sifat (hal) nabi, yang berkenaan dengan nabi.[3]
Dalam bahasa Inggris, nabi biasa disebut dengan prophet yang berarti seseorang yang mengajarkan agama dan mengklaim, mendapatkan inspirasi dari Tuhan dan prophetess sebutan untuk nabi perempuan, sedang dalam bahasa Yunani prophetes berarti orang yang mengkomunikasikan wahyu Tuhan. “kata Prophetes diterjemahkan ke dalam bahasa Hebrew menjadi kata nabi. Secara etimologis, kata ini berarti “memanggil”, “berbicara keras”. Ada juga yang secara langsung mengartikan sebagai “orang yang dipanggil Tuhan untuk berbicara atas nama-Nya”. [4]
”Wujud fisik ini tidak mungkin ada tanpa Nabi”, tandas Ulil menjelaskan pandangan kelompok kedua itu. Ibnu Sina, misalnya, mensinyalir adanya tiga kelompok manusia di dunia ini. Pertama, orang yang tidak punya kecakapan teoritis dan praktis. Kedua, orang yang punya kecakapan teoritis dan praktis hanya pada dirinya sendiri dan tidak mampu menyempurnakan orang lain. Ketiga, adalah orang yang punya kecakapan teoritis dan praktis sekaligus, serta mampu mentransformasikannya kepada orang lain. Inilah sesungguhnya yang disebut sebagai Nabi.
Ibnu Sina mengutip, Ulil menyatakan bahwa Nabi intinya adalah seorang yang kekuatan kognitifnya mencapai akal aktif, yakni malaikat Jibril. Hakikat akal aktif itu sesungguhnya adalah batasan antara dimensi ketuhanan dan kemanusiaan. “Pendeknya, seorang Nabi adalah orang yang mampu berkomunikasi bukan saja dengan Tuhan tetapi juga kepada manusia. Sebab, bagi Ibnu Sina, tugas kenabian sesungguhnya juga memerankan fungsi politik, dalam arti mampu menuntun manusia untuk mengetahui hukum baik-buruk dan memberikan teladan kepada mereka untuk melaksanakannya,” jelas Ulil.
Meski kenabian menjadi tema penting dalam kajian Islam, tetapi itu tidak berarti terjadi pula pada agama lain. Menurut penelitian Ulil, tema kenabian hanya menjadi tema serius pada agama Islam dan Yahudi. Agama-agama timur, seperti Hindu, Buddha, Tao, dan lainya, tidak menaruh perhatian serius pada tema kenabian. Bahkan agama Kristen yang nota bene sesama agama samawi pun tidak seserius Islam dan Yahudi dalam memperbincangkan soal kenabian.
Karena itu, dalam menulis tema kenabian ini, Ulil pun melakukan perbandingan antara konsep kenabian dalam Islam dan dalam agama Yahudi. Salah satu tokoh Yahudi yang menarik perhatian Ulil adalah Maimonedes atau Musa bin Maimun. Seorang filosof Yahudi yang hidup sejaman dengan Ibn Rusyd ini berpendapat bahwa puncak kenabian sesungguhnya adalah Musa. Setelah itu tidak ada lagi Nabi, kecuali kenabian-kenabian minor. Kenabian minor, menurut penjelasan Ulil adalah kenabian yang muncul sebagai repetisi atau paling jauh penyempurna terhadap sebelumnya. Ia tidak sepenuhnya hadir dengan ajaran baru. Jadi Isa, Muhammad, serta Nabi-Nabi setelah Musa, dalam perspektif Maimonides hanya mengulang atau menegaskan ajaran yang telah dibawa Musa. Dan kenabian minor dalam pandangan Maimonedes ini bisa dicapai oleh siapa saja. Artinya, fenomena kenabian itu masih terus berlanjut dan siapapun bisa menjadi Nabi.
Para urafa Muslim, seperti Ibnu Arabi dan para komentator kitab-kitabnya seperti, Jindi, Qaisari, Ibnu Turkah, Kasyani, dan lainnya, memandang bahwa kenabian itu dari sisi Tuhan. Tantang hal ini Ibnu Arabi menuliskan: Oleh karena itu, kenabian para nabi merupakan perkara pemberian (mauhûbi); karena itu kenabian bukanlah perkara usaha manusia (kasbi). Jadi seluruh syariat-syariat dari sudut pandang kaum muslimin, merupakan perkara mauhûbi.[19][5]
Sebagian cendekiawan, tentang topik wahyu Nabi Muhammad Saw, mengatakan seperti berikut: Aspek transendental dan keilahian wahyu (nabi Muhammad Saw),[6] dari sisi bahwa; kita menyaksikan kenyataannya setelah melewati abad-abad yang panjang atas akal pemikiran manusia, dan dalam rentang zaman yang panjang serta tempat yang luas, ia semakin menunjukkan kebenaran dan kehakikian.[7]
Keridaan Individu atau Hidayah Sosial
Manusia, bergerak melakukan pencarian dalam rangka untuk mendapatkan hakikat, dan dalam jalan ini ia juga memperoleh penyingkapan dan penyaksian. Ia tidak bergerak tanpa tujuan, ia bergerak untuk meraih pengetahuan. Dari sisi lain, Tuhan yang Maha Agung memilih seseorang dan mengirim wahyu kepadanya, juga dalam tindakan-Nya ini tidaklah tanpa tujuan. Tujuan Tuhan adalah memberi hidayah kepada manusia dan tujuan para nabi As (sebelum kenabian mereka) adalah menemukan hakikat, dan kedua tujuan ini satu sama lain tidaklah bertentangan.         
Tujuan Manusia dan Tujuan Tuhan
Dengan demikian, tujuan dapat berbentuk tujuan manusia dan juga tujuan Tuhan. Dengan menimbang keberadaan dua tujuan maka tidak ada problem dan isykal salah satu di antaranya disandarkan kepada manusia dan yang lainnya kepada Tuhan. Bahkan jika terdapat hanya satu tujuan, maka tidak ada problem penyandarannya kepada Tuhan dan kepada manusia. Sebab dua person dapat saja melakukan dua pekerjaan dan memiliki satu tujuan.
Tujuan Duniawi atau Ukhrawi
Dalam agama asli dan murni, tujuan dari kenabian secara prinsipil adalah ukhrawi. Adapun masalah duniawi, ia hanyalah merupakan tujuan kedua dan far’i (ramifikasi). Akan tetapi berdasarkan sebuah penafsiran dapat dikatakan bahwa dunia dan akhirat satu sama lain tidaklah terpisah. Akhirat adalah batin dari dunia.[8]
Secara istilah, kata nabi memiliki banyak definisi. Nabi adalah seseorang yang menerima wahyu dari Allah melalui perantaraan malaikat atau ilham maupun mimpi yang benar. Mereka juga adalah mubasyir (pembawa berita baik, yakni tentang ridha Allah dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat bagi orang-orang yang mengikutinya dan munzir (pemberi peringatan, yakni balasan mereka dan kesengsaraan bagi mereka yang ingkar (Qs: al-Baqarah (2): 213) :
كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ
Rasul (ar-Rasul, apostol) adalah istilah yang melekat erat ketika kia mengkaji masalah kenabian. Dalam pemakaiannya, banyak pemikir yang menyamakan dan banyak pula yang membedakannya. Para pemikir Muslim yang tradisionalis melakukan pembedaan terhadap dua istilah ini (nabi dan rasul) dilihat dari segi fungsinya. Nabi adalah utusan Allah yang tidak membawa hukum (al-Syari’ah) dan mungkin juga kitab-Nya kepada umat manusia, sedangkan ar-Rusul jama’ dari kata rasul secara bahasa adalah utusan Tuhan yang membawakan hukum dan kitab-Nya. Dalam konteks yang lebih masyhur, nabi adalah orang yang menerima wahyu dari Tuhan tanpa kewajiban menyampaikannya kepada orang lain, dan rasul adalah orang yang menerima wahyu dengan kewajiban menyampaikan risalahnya kepada orang lain.
Dalam pandangan Murtadha Muthahari seorang nabi adalah manusia yang bertindak sebagai penerima dan kemudian menyampaikan pesan-pesan Tuhan (baca: wahyu) kepada umat manusia. Nabi adalah manusia pilihan yang memenuhi prasyarat untuk menerima pesan-pesan tersebut dari alam ghaib. Pengiriman para nabi atau rasul oleh Tuhan merupakan perwujudan adanya garis perbedaan Tuhan dan makhluk.
Hal yang layak dicatat mengenai pemberian definisi yang dilakukan oleh kebanyakan pemikir muslim di atas, yang telah mapan dan telah menjadi dogma, adalah sikap mereka yang sangat anti feminis dimana nabi dan rasul bagi mereka adalah manusia laki-laki, bukan manusia perempuan.
Sementara itu, dalam tradisi Kristen ditinjau dari sudut etimologis arti kata “nabi” masih diperdebatkan. Namun, pada umumnya orang berpendapat bahwa kata ini berasal dari kata akadis (nabu-m) yang berarti ”mengangkat, menunjuk atau memanggil”. Dalam bahasa Akadia yang berarti duta atau utusan, penyambung lidah. Adapun dalam bahasa inggris disebut Prophet, yakni orang pilihan Allah, Pelihat dan Pewarta, dalam bahasa Yunani disebut Propethes berarti seseorang yang berbicara terhadap yang lain atau penerjemah, atau orang yang berbicara sebelumnya (sebelum suatu peristiwa terjadi), yang berbicara atas nama seseorang. Dengan kata lain, nabi dapat diartikan sebagai orang yang dipanggil untuk berbicara atas nama Tuhan.
Dalam Kamus Teologi dijelaskan bahwa nabi adalah orang yang dipengaruhi oleh ruh Allah untuk berbicara atau bertindak dengan cara-cara tertentu. Dalam menafsirkan peristiwa-peristiwa lampau dan sedang terjadi dan dalam mewartakan peristiwa yang akan datang, para nabi perjanjian lama berbicara dari kedalaman pengetahuan akan Allah. Mereka mewartakan kesetiaan kepada Perjanjian dan menentang pelaksanaan hukum secara lahiriyah saja.[9]
Dari uraian di atas, tampak terdapat kesamaan konseptual antara nabi dalam Islam dan Kristen sebagai orang yang mendapat wahyu, inspirasi dalam berbagai bentuknya, untuk disampaikan kepada umatnya, dan terdapat beragam term rasul. Dalam konteks Islam, rasul memiliki kedudukan yang penting seperti nabi; dalam Kristen, rasul adalah penerus Yesus dalam meneruskan misinya yang berjumlah 12.
 Menurut pandangan kami, unsur-unsur kedua kelompok pandangan tersebut bukanlah hal dan perkara yang saling bertentangan secara mutlak sehingga keduanya tidak mungkin diletakkan secara berdampingan. Akan tetapi perlu diingat bahwa keduanya dapat didekatkan setelah dilakukan penyederhanaan dan penyeimbangan masing-masing sebagian unsur dari keduanya.
Selanjutnya, setelah kita membahas masalah kemandirian dan kecukupan akal dan tinjauan kedua teori tersebut tentang masalah ini, kita simpulkan pilihan yang benar adalah pandangan kelompok kedua (yang memandang para nabi As orang-orang pilihan Tuhan, dan menurutnya, akal tidak mandiri dan cukup dengan sendirinya menggapai seluruh pengetahuan yang dibutuhkan manusia secara benar dan komprehensip), saatnya kita membahas unsur dan poin yang lain yang ada dalam kedua kelompok teori tersebut:

B.  Fungsi Kenabian dalam Islam


Dalam tradisi kenabian Perjanjian Lama, tugas dan peranan pokok panggilan kenabian adalah mengingatkan bangsanya (Israel) yang lupa akan perjanjian cinta dengan Tuhan, sekaligus menyerukan pertaubatan. Selain itu, nabi juga bertugas menyampaikan ancaman hukuman atau bencana yang akan etrjadi jika Israel tidak bertaubat atau mendapat berkat jika mereka bertaubat.
Melihat fakta sejarah yang ada, dalam Kristen terdapat upaya untuk memahami kenabian sebagai fenomena keagamaan yang cukup kompleks. Maka, guna mendapatkan pengertian yang jelas tentang kenabian dan fungsinya secara keseluruhan, kita perlu menempatkan setiap angkatan para nabi dalam konteks sosio budayanya masing-masing. Dalam PL, sebagaimana diketahui, para nabi di Israel datang secara bergelombang kurang lebih 8 abad. Sebagai saksi-saksi dari masa-masa yang sangat beragam dalam sejarah bangsanya, para nabi mengembangkan teologi yang berbeda-beda, dengan menitikberatkan pada hal yang berbeda bahkan pada hal-hal yang saling berlawanan. Secara garis besar, kenabian Israel dapat dibagi ke dalam lima periode, yakni:
pertama, nabi-nabi pertama; Teologi Janji, atau dalam istilah lain Nabi-nabi Perintis, yaitu nabi asli dari zaman para raja atau akhir zaman pada hakim (abad 10 SM) sampai permlaan abad 8 SM. Yang dimaksud nabi periode ini adalah nabi-nabi yang muncul sebelum Amos yang pewatan serta karyanya tidak dibukukan secara terpisah dan diberi judul dengan namanya. Perutusan mereka diketahui hanya dari karya sejarah Deuteronomist. Mereka adalah nabi Samuel dan nabi Natan yang melaksanakan karunia kenabiannya diistana Kerajaan nabi Daud (1010-970 SM) dan Raja Solomo (970-971 SM) masa yang palingv agung dalam sejarah Israel, di mana Yahweh berjanji akan mengangkat seorang keturunan Adam dan Hawa yang akan mengalahkan ular (Kej 3.15).
Kedua, Nabi-nabi besar. Teologi Perjanjian (Nabi sebelum pembuangan pada pertengahan abad ke-8 SM hatta masa pembuangan 586 SM. Di antara nabi-nabi sebelum pembuangan adalah nabi Amos, Hoseya, Mikha dan Yesaya, dan nabi-nabi masa pembuangan yaitu Yeremia, Nahum, Habakuq, zevania, Yehezekil. Mereka ini biasa disebut nabi-nabi klasik, yakni nabi-nabi kelas satu atau pertama jika orang berbicara mengenai kenabian dan nabi-nabi yang paling berpengaruh dan memberikan arti yang sebenarnya apa yang disebut nabi. Mereka melakukan teriakan protes, kata peringatan kepada semua orang yang memanfaatkan kesetiaan Yahweh, dan sekaligus menjauhkan diri darinya.
Ketiga, kembali dari pembuangan; para nabi yang optimis (abad ke-6 SM) pada akhir pembuangan muncul angkatan nabi baru di Israel. Perkataan mereka sama sekali bertentangan dengan nubuwat malapetaka para nabi besar. Pelaksanaan kedaulatan Yahweh serta pengalaman yang kokoh akan kemuliannya tetap menyemangati mereka. Namun, mereka mengambil kesimpulan-kesimpulan yang sangat berbeda untuk zaman mereka. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pada sabda nabi-nabi ini janji lama yang telah bersemi diikrarkan kpd leluhur dihidupkan kembali. Zaman pembuangan hanya sebagai selingan saja dan Yahweh tetap setia.
Keempat, para nabi dari “Sisa” serta dari “kaum miskin Yahweh” (abad ke-5 SM dan ke-4 SM). Setelah berlalunya para nabi abad ke-6 SM muncullah kekecewaan-kekecewan baru. Sejumlah kecil orang yang pulang dari pembuangan merasa diri minoritas di tengah bangsa yang makin lama makin tidak setia kepada Yahweh. Mereka merasa ditinggalkan oleh Allah. Kondisi ini memunculkan dua aliran kenabian yang berbeda. Satu, teologi (sisa Israel), yang lebih menampakkan kelanjutan paham dari nabi besar klasik (teologi perjanjian).
Kelima, para nabi Apokalips/akhir zaman (abad ke-2 Sebelum Kristus). Nabi-nabi terkahir PL bangkit didesak oleh suatu kondisi dimana umat yang tetap setia kepada Yahweh menghadapi godaan baru. Ketika Yahweh tetap berdiam saja, sedangkan pengawasan bangsa-bangsa besar semakin ketat, maka mereka mulai berinkulturasi serta mengambil alih adat-istiadat bangsa Yunani di sekitar mereka.disebut nabi Apokalips dalam istilah sejarah tiba-tiba mereka dipindahklan ke akhir zaman. Mereka mewahyukan apa yang akan terjadi pada akhir zaman. Pada waktu itu, Yahweh akan memperbaharui semuanya dan memulihkan umatnya. Yahweh akan bertindak sebagai raja serta kerajaannya tidak akan berakhir.
Dari uraian di atas, tampak wacana kenabian dalam tradisi Kristen kelihatan lebih rumit, sekaligus dinamis dan progresif dibanding dalam tradisi Islam. Dalam Kristen, citra seorang nabi lebih kompleks. Para nabi dalam PL mendapatkan berbagai nama yang berbeda: orang Pilihan Allah, dan Pewarta. Istilah yang beragam ini menunjukkan citra yang berlainan secara dasariah, baik dari jati diri maupun dari segi peranan yang mereka jalankan.
Selain itu, nabi juga digambarkan sebagai reformator sosial, yang tampil membawa reformasi sosial, bahkan revolusi, seperti tokoh Natan yang menghadapi Daud dengan keberanian, yakni dengan menunjukan kesalahan Daud merebut Batsyeba isteri Uria dengan cara yang tidak semestinya ( 2 Sam 12), Elia yang digambarkan sebagai kritkus raja Ahab yang menyerobot tanah milik Nabot hanya untuk mendapatkan kebun Anggur (1 Raj 21), dan juga Amos dan Mikha yang berjuang untuk membela keadilan.
Sejarah mencatat bahwa Makkah pada zaman Nabi lahir, adalah salah satu pusat perdagangan dan transaksi komersial internasional. Keadaan ini melahirkan Makkah menjadi pusat kapitalisme, yakni terbentuk karena proses korporasi antar klan, yang menguasai dan memonopoli perdagangan kawasan Bizantium. Watak kapitalisme yang mengakumulasikan kapital dan memutarnya demi keuntungan yang lebih besar ini, berjalan melawan norma suku-suku di Semenanjung Arab pada saat itu. Akibat dari budaya kapitalisme tersebut, lahirlah ketimpangan dan kesenjangan sosial di Makkah, yakni semakin melebarnya jurang antara si kaya dan si miskin.
Dalam konteks inilah sesungguhnya Muhammad lahir, yang oleh Ziaul Haque disebut sebagai pahlawan revolusioner pertama dari zaman modern, karena Muhammad melihat dengan jelas bahwa pertentangan abadi antara kebaikan dan kejahatan, dalam bentuk sosial dan ekonominya, sesungguhnya adalah sebuah perjuangan kelas, sebuah pertentangan antara orang-orang yang dieksploitasi dan yang mengeksploitasi, hamba dengan tuan-tuan, dan antara kaum lemah dan yang kuat, membela kaum miskin, para budak dan para tukang. Dengan demikian jelaslah kiranya bahwa perlawanan terhadap Muhammad oleh kaum kapitalis Makkah, sebenarnya lebih karena ketakutan terhadap doktrin egalitarian yang dibawakan oleh Muhammad. Oleh karena itu persoalan yang timbul antara kelompok elite Makkah dan Muhammad sebenarnya, bukan seperti yang banyak diduga umat Islam, yakni hanya persoalan "keyakinan agama", namun lebih, yakni bersumber pada ketakutan terhadap konsekuensi sosial ekonomi, dari doktrin Muhammad yang melawan segala bentuk dominasi ekonomi, pemusatan dan monopoli harta, penimbunan dan pemborosan. Hal ini tampak dalam sunnahnya, yakni:

من احتكر طعاما أربعين يوما يريد به الغلاء فقد برئ من الله وبرئ الله منه.
Siapa yang menimbun makanan selama empat puluh hari, dengan maksud untuk menaikkan harga, maka ia telah berlepas dari Allah, dan Allah juga berlepas darinya.
Larangan Muhammad terhadap penimbunan barang untuk menaikkan harga tersebut kemudian diserukan oleh sahabatnya Abu Zar (seorang pencetus pemikiran sosialistik Islam periode Muhammad) sebagai berikut:
Hari demi hari, aristokrasi, eksploitasi, kemubaziran, kemiskinan, jarak serta perpecahan masyarakat dan golongan, keretakan, menjadi semakin besar, dan propaganda Abu Zar tumbuh makin lama makin luas, yang menyebabkan rakyat jelata dan golongan yang tertimpa eksploitasi menjadi lebih tergoncang. Orang-orang yang lapar, mendengar dari Abu Zar bahwa kemiskinan mereka bukanlah takdir Tuhan yang tertera di dahi dan merupakan ketetapan nasib serta takdir di langit: penyebabnya adalah Kinz, penimbunan modal.
Dengan demikian, Muhammad hadir di tengah masyarakat bukan sekedar mengajarkan kepatuhan kepada Tuhan atas wahyu yang dibawakannya. Namun, Muhammad juga memobilisasi dan memimpin masyarakat untuk melawan ketimpangan sosial.


DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI, 2005. Al Qur'an dan Terjemahannya. Bandung ; PT Syamil Cipta Media.

Mandsur, Ibnu. 1995. Lisān Al-Arabiy. Kairo : dar al-Ma'ārif.
Departemen Agama RI. ENSIKLOPEDI ISLAM INDONESIA, Jakarta : depag., 1987-1988.

kerr. David A., prophetood dalam John L. Esposito (ed). Oxpord Encyclopedia of the Modern Islamic World, New York : oxpord university press, 1995

Suyuthi. As-, Al-Jāmi' al-Shāghir, Ahādis al-Basyir an-Nadzir. (Indonesia: Maktabah Dar Ihya' al-Kutūb al-Arabiyyah, t.t.

Abdullah. Taufik (ed.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Van Houve, 2000.

Asyqar. Umar Sulaiman al-, Ar-Rusul wa ar-Risalah, Kuwait: Maktabah al-Falah, 1985.

Aune David. E., “Prophet, Prophecy”, dalam Everett Ferguson (ed.), Encyclopedia of Early Christianity, New York: Garland Publishing, Inc, 1997.

___________, Prophecy in Early Christianity and the Ancient Mediterranean World, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, t.t.

Bacq. P., Seri Pastoral 233: Kenabian dalam Gereja Sekarang, Yogyakarta: Pusat pastoral Yogyakarta, 1994.

Bahgdady. Abu Mansur Abdul Qahir ibn Thair al-Tamimy al-, Kitab al-Ushul al-Din, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1981.

Bazdawy. Abu al-Yusr Muhammad bin Muhammad bin Abdul Karim al-, Kitab Ushul al-Din, Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1963.

Berthold Anton Pareira, Nabi-nabi Perintis Pengantar Kitab-kitab Kenabian, Yogyakarta: Kanisius, 1985.
Mahmud. Syaikh Abdullah bin Zaid Ali, Al-Ittikhaf Ahfiya’ bi Risalah al-‘Anbiya’, Qatar: Ri’asah al-Mahakim asy-Syar’iyyah wa as-Syu’un ad-diniyyah, 1991.

Shabuny. ‘Ali as-, An-Nubuwwah wa al-Anbiya’, Beirut: ‘Alim al-Kutub, 1985.
Shihab. Alwi, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung: Mizan, 1997.

Soedarmo. R., Kamus Istilah Teologi, Jakarta: Gunung Mulia, 2001.

Syari’ati. Ali, Abu Zar, Suara Parau Menentang Penindasan, terj. Afif Muhammad, Bandung: Muthahari Paperbacks, 2001.


[1] Penelusuran melalui maktabah syamilah
[2] Lihat lisanul Arabiy, oleh ibnu Mansur, tahun 1995, h. 162
[3] Lihat, kerr. David A., prophetood dalam John L. Esposito (ed). Oxpord Encyclopedia of the Modern Islamic World, New York : oxpord university press, 1995
[4] Abdullah. Taufiq (ed), ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta : PT. Ichtiar Van Houve, 2000.
[5] Ibnu Arabi, Futuhat al-Makkiyyah, Dâru Shâdr, Beirut, Jld. 1, Hal. 254
[6] Kesaksian-kesaksian ini biasanya dikumpulkan dan dijelaskan dalam kitab-kitab teologi dalam pembahasan pembuktian kenabian jalan khusus. Salah satu dari kesaksian ini adalah mukjizat, yang membuktikan kebenaran dan kehakikian klaim para nabi As. Kesaksian-kesaksian historis juga terkadang mengiringi penjelasan pembuktian tersebut.
[7] Syenâkht-e wahyu, Hal. 112
[8] Al-marhum Allamah Thaba-thabai dalam kitab Risâlatul Wilâyah memperkenalkan jika akhirat itu adalah batin dari dunia
[9] Soedarno, R., kamus Istilah teologi, Jakarta : Gunung Mulia, 2001

Comments

BERITA TERBARU !!

Popular posts from this blog

BIL MA'TSUR ( TAFSIR AYAT DENGAN AYAT )

CARA MELAKUKAN TAKHRIJ HADIS

download TAFSIR AL-NASAFIY

cara atau Kaedah al-Jarh Wa al-Ta’dil Serta Aplikasinya

HADIS TARBAWIY DAN AKHLAK (BERKURANGNYA IMAN KARENA MAKSIAT)

kaedah 'ATAF - AL-'ATFU DALAM AL-QUR'AN

cara TAMBAHAN - kaedah ZIYADAH DALAM AL-QUR'AN

cara melakukan MUNASABAH AYAT

MANHAJ THABATHABAI DALAM al mizan

KAEDAH 'AM DAN KHAS