oleh: Zaharuddin
Selamat berjumpa lagi bang, kata Nabi selalu disebut-sebut dalam ungkapan sehari-sehari. apakah di suatu Negara ataupun negara lain, jika Indonesian maka itu Nabi, jika English maka itu Prophet atau Arab Nabiyyun. yang jelasnya adalah Nabi. Namun bang, mereka tahu ndak yach makna Nabi itu sendiri.
BAB
I
KONSEP
KENABIAN
A. Pengertian
Istilah Nabi
Kata nabi terulang dalamAl-Qur'an
sebanyak 76x
berasal dari bahasa arab naba’ yang berarti warta (al-khabar),
berita (tidings), informasi (information), laporan (report). Dalam bentuk
transitif (anba’a ‘an) ia berarti memberi informasi (to inform), meramal (to
predict), to foretell (menceritakan masa depan). Bentuk jamak dari istilah ini
adalah nabiyyun dan anbiya’, sedangkan nubuwwah adalah bentuk al-masdar (kata
benda, noun) dari na-ba-‘a yang berarti kenabian (prophecy, ramalan atau
prophethood, kenabian), sifat (hal) nabi, yang berkenaan dengan nabi.
Dalam bahasa Inggris, nabi biasa disebut
dengan prophet yang berarti seseorang yang mengajarkan agama dan mengklaim,
mendapatkan inspirasi dari Tuhan dan prophetess sebutan untuk nabi perempuan,
sedang dalam bahasa Yunani prophetes berarti orang yang mengkomunikasikan wahyu
Tuhan. “kata Prophetes diterjemahkan ke dalam bahasa Hebrew menjadi kata nabi.
Secara etimologis, kata ini berarti “memanggil”, “berbicara keras”. Ada juga
yang secara langsung mengartikan sebagai “orang yang dipanggil Tuhan untuk berbicara
atas nama-Nya”.
”Wujud fisik ini tidak mungkin ada tanpa
Nabi”, tandas Ulil menjelaskan pandangan kelompok kedua itu. Ibnu Sina,
misalnya, mensinyalir adanya tiga kelompok manusia di dunia ini. Pertama, orang
yang tidak punya kecakapan teoritis dan praktis. Kedua, orang yang punya
kecakapan teoritis dan praktis hanya pada dirinya sendiri dan tidak mampu
menyempurnakan orang lain. Ketiga, adalah orang yang punya kecakapan teoritis
dan praktis sekaligus, serta mampu mentransformasikannya kepada orang lain.
Inilah sesungguhnya yang disebut sebagai Nabi.
Ibnu Sina mengutip, Ulil menyatakan
bahwa Nabi intinya adalah seorang yang kekuatan kognitifnya mencapai akal
aktif, yakni malaikat Jibril. Hakikat akal aktif itu sesungguhnya adalah
batasan antara dimensi ketuhanan dan kemanusiaan. “Pendeknya, seorang Nabi
adalah orang yang mampu berkomunikasi bukan saja dengan Tuhan tetapi juga
kepada manusia. Sebab, bagi Ibnu Sina, tugas kenabian sesungguhnya juga
memerankan fungsi politik, dalam arti mampu menuntun manusia untuk mengetahui
hukum baik-buruk dan memberikan teladan kepada mereka untuk melaksanakannya,”
jelas Ulil.
Meski kenabian menjadi tema penting
dalam kajian Islam, tetapi itu tidak berarti terjadi pula pada agama lain.
Menurut penelitian Ulil, tema kenabian hanya menjadi tema serius pada agama
Islam dan Yahudi. Agama-agama timur, seperti Hindu, Buddha, Tao, dan lainya,
tidak menaruh perhatian serius pada tema kenabian. Bahkan agama Kristen yang
nota bene sesama agama samawi pun tidak seserius Islam dan Yahudi dalam
memperbincangkan soal kenabian.
Karena itu, dalam menulis tema kenabian
ini, Ulil pun melakukan perbandingan antara konsep kenabian dalam Islam dan
dalam agama Yahudi. Salah satu tokoh Yahudi yang menarik perhatian Ulil adalah
Maimonedes atau Musa bin Maimun. Seorang filosof Yahudi yang hidup sejaman dengan
Ibn Rusyd ini berpendapat bahwa puncak kenabian sesungguhnya adalah Musa.
Setelah itu tidak ada lagi Nabi, kecuali kenabian-kenabian minor. Kenabian
minor, menurut penjelasan Ulil adalah kenabian yang muncul sebagai repetisi
atau paling jauh penyempurna terhadap sebelumnya. Ia tidak sepenuhnya hadir
dengan ajaran baru. Jadi Isa, Muhammad, serta Nabi-Nabi setelah Musa, dalam
perspektif Maimonides hanya mengulang atau menegaskan ajaran yang telah dibawa
Musa. Dan kenabian minor dalam pandangan Maimonedes ini bisa dicapai oleh siapa
saja. Artinya, fenomena kenabian itu masih terus berlanjut dan siapapun bisa
menjadi Nabi.
Para urafa Muslim, seperti Ibnu Arabi
dan para komentator kitab-kitabnya seperti, Jindi, Qaisari, Ibnu Turkah,
Kasyani, dan lainnya, memandang bahwa kenabian itu dari sisi Tuhan. Tantang hal
ini Ibnu Arabi menuliskan: Oleh karena itu, kenabian para nabi merupakan
perkara pemberian (mauhûbi); karena itu kenabian bukanlah perkara usaha
manusia (kasbi). Jadi seluruh syariat-syariat dari sudut pandang kaum
muslimin, merupakan perkara mauhûbi.[19]
Sebagian cendekiawan, tentang topik
wahyu Nabi Muhammad Saw, mengatakan seperti berikut: Aspek transendental dan
keilahian wahyu (nabi Muhammad Saw),
dari sisi bahwa; kita menyaksikan kenyataannya setelah melewati abad-abad yang
panjang atas akal pemikiran manusia, dan dalam rentang zaman yang panjang serta
tempat yang luas, ia semakin menunjukkan kebenaran dan kehakikian.
Keridaan
Individu atau Hidayah Sosial
Manusia, bergerak melakukan pencarian
dalam rangka untuk mendapatkan hakikat, dan dalam jalan ini ia juga memperoleh
penyingkapan dan penyaksian. Ia tidak bergerak tanpa tujuan, ia bergerak untuk
meraih pengetahuan. Dari sisi lain, Tuhan yang Maha Agung memilih seseorang dan
mengirim wahyu kepadanya, juga dalam tindakan-Nya ini tidaklah tanpa tujuan.
Tujuan Tuhan adalah memberi hidayah kepada manusia dan tujuan para nabi As
(sebelum kenabian mereka) adalah menemukan hakikat, dan kedua tujuan ini satu
sama lain tidaklah bertentangan.
Tujuan
Manusia dan Tujuan Tuhan
Dengan demikian, tujuan dapat berbentuk
tujuan manusia dan juga tujuan Tuhan. Dengan menimbang keberadaan dua tujuan
maka tidak ada problem dan isykal salah satu di antaranya disandarkan
kepada manusia dan yang lainnya kepada Tuhan. Bahkan jika terdapat hanya satu
tujuan, maka tidak ada problem penyandarannya kepada Tuhan dan kepada manusia.
Sebab dua person dapat saja melakukan dua pekerjaan dan memiliki satu tujuan.
Tujuan
Duniawi atau Ukhrawi
Dalam agama asli dan murni, tujuan dari
kenabian secara prinsipil adalah ukhrawi. Adapun masalah duniawi, ia hanyalah
merupakan tujuan kedua dan far’i (ramifikasi). Akan tetapi berdasarkan
sebuah penafsiran dapat dikatakan bahwa dunia dan akhirat satu sama lain
tidaklah terpisah. Akhirat adalah batin dari dunia.
Secara istilah, kata nabi memiliki banyak
definisi. Nabi adalah seseorang yang menerima wahyu dari Allah melalui
perantaraan malaikat atau ilham maupun mimpi yang benar. Mereka juga adalah
mubasyir (pembawa berita baik, yakni tentang ridha Allah dan kebahagiaan hidup
di dunia dan di akhirat bagi orang-orang yang mengikutinya dan munzir (pemberi
peringatan, yakni balasan mereka dan kesengsaraan bagi mereka yang ingkar (Qs:
al-Baqarah (2): 213) :
كَانَ
النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ
وَمُنْذِرِينَ
Rasul (ar-Rasul, apostol) adalah istilah
yang melekat erat ketika kia mengkaji masalah kenabian. Dalam pemakaiannya,
banyak pemikir yang menyamakan dan banyak pula yang membedakannya. Para pemikir
Muslim yang tradisionalis melakukan pembedaan terhadap dua istilah ini (nabi
dan rasul) dilihat dari segi fungsinya. Nabi adalah utusan Allah yang tidak
membawa hukum (al-Syari’ah) dan mungkin juga kitab-Nya kepada umat manusia,
sedangkan ar-Rusul jama’ dari kata rasul secara bahasa adalah utusan Tuhan yang
membawakan hukum dan kitab-Nya. Dalam konteks yang lebih masyhur, nabi adalah
orang yang menerima wahyu dari Tuhan tanpa kewajiban menyampaikannya kepada
orang lain, dan rasul adalah orang yang menerima wahyu dengan kewajiban
menyampaikan risalahnya kepada orang lain.
Dalam pandangan Murtadha Muthahari
seorang nabi adalah manusia yang bertindak sebagai penerima dan kemudian
menyampaikan pesan-pesan Tuhan (baca: wahyu) kepada umat manusia. Nabi adalah
manusia pilihan yang memenuhi prasyarat untuk menerima pesan-pesan tersebut
dari alam ghaib. Pengiriman para nabi atau rasul oleh Tuhan merupakan
perwujudan adanya garis perbedaan Tuhan dan makhluk.
Hal yang layak dicatat mengenai
pemberian definisi yang dilakukan oleh kebanyakan pemikir muslim di atas, yang
telah mapan dan telah menjadi dogma, adalah sikap mereka yang sangat anti
feminis dimana nabi dan rasul bagi mereka adalah manusia laki-laki, bukan
manusia perempuan.
Sementara itu, dalam tradisi Kristen
ditinjau dari sudut etimologis arti kata “nabi” masih diperdebatkan. Namun,
pada umumnya orang berpendapat bahwa kata ini berasal dari kata akadis (nabu-m)
yang berarti ”mengangkat, menunjuk atau memanggil”. Dalam bahasa Akadia yang
berarti duta atau utusan, penyambung lidah. Adapun dalam bahasa inggris disebut
Prophet, yakni orang pilihan Allah, Pelihat dan Pewarta, dalam bahasa Yunani
disebut Propethes berarti seseorang yang berbicara terhadap yang lain atau
penerjemah, atau orang yang berbicara sebelumnya (sebelum suatu peristiwa
terjadi), yang berbicara atas nama seseorang. Dengan kata lain, nabi dapat
diartikan sebagai orang yang dipanggil untuk berbicara atas nama Tuhan.
Dalam Kamus Teologi dijelaskan bahwa
nabi adalah orang yang dipengaruhi oleh ruh Allah untuk berbicara atau
bertindak dengan cara-cara tertentu. Dalam menafsirkan peristiwa-peristiwa
lampau dan sedang terjadi dan dalam mewartakan peristiwa yang akan datang, para
nabi perjanjian lama berbicara dari kedalaman pengetahuan akan Allah. Mereka
mewartakan kesetiaan kepada Perjanjian dan menentang pelaksanaan hukum secara
lahiriyah saja.
Dari uraian di atas, tampak terdapat
kesamaan konseptual antara nabi dalam Islam dan Kristen sebagai orang yang
mendapat wahyu, inspirasi dalam berbagai bentuknya, untuk disampaikan kepada
umatnya, dan terdapat beragam term rasul. Dalam konteks Islam, rasul memiliki
kedudukan yang penting seperti nabi; dalam Kristen, rasul adalah penerus Yesus
dalam meneruskan misinya yang berjumlah 12.
Menurut
pandangan kami, unsur-unsur kedua kelompok pandangan tersebut bukanlah hal dan
perkara yang saling bertentangan secara mutlak sehingga keduanya tidak mungkin
diletakkan secara berdampingan. Akan tetapi perlu diingat bahwa keduanya dapat
didekatkan setelah dilakukan penyederhanaan dan penyeimbangan masing-masing
sebagian unsur dari keduanya.
Selanjutnya, setelah kita membahas
masalah kemandirian dan kecukupan akal dan tinjauan kedua teori tersebut
tentang masalah ini, kita simpulkan pilihan yang benar adalah pandangan
kelompok kedua (yang memandang para nabi As orang-orang pilihan Tuhan, dan
menurutnya, akal tidak mandiri dan cukup dengan sendirinya menggapai seluruh
pengetahuan yang dibutuhkan manusia secara benar dan komprehensip), saatnya
kita membahas unsur dan poin yang lain yang ada dalam kedua kelompok teori
tersebut:
B. Fungsi
Kenabian dalam Islam
Dalam tradisi kenabian Perjanjian Lama,
tugas dan peranan pokok panggilan kenabian adalah mengingatkan bangsanya
(Israel) yang lupa akan perjanjian cinta dengan Tuhan, sekaligus menyerukan
pertaubatan. Selain itu, nabi juga bertugas menyampaikan ancaman hukuman atau
bencana yang akan etrjadi jika Israel tidak bertaubat atau mendapat berkat jika
mereka bertaubat.
Melihat fakta sejarah yang ada, dalam
Kristen terdapat upaya untuk memahami kenabian sebagai fenomena keagamaan yang
cukup kompleks. Maka, guna mendapatkan pengertian yang jelas tentang kenabian
dan fungsinya secara keseluruhan, kita perlu menempatkan setiap angkatan para
nabi dalam konteks sosio budayanya masing-masing. Dalam PL, sebagaimana
diketahui, para nabi di Israel datang secara bergelombang kurang lebih 8 abad.
Sebagai saksi-saksi dari masa-masa yang sangat beragam dalam sejarah bangsanya,
para nabi mengembangkan teologi yang berbeda-beda, dengan menitikberatkan pada
hal yang berbeda bahkan pada hal-hal yang saling berlawanan. Secara garis
besar, kenabian Israel dapat dibagi ke dalam lima periode, yakni:
pertama, nabi-nabi pertama; Teologi
Janji, atau dalam istilah lain Nabi-nabi Perintis, yaitu nabi asli dari zaman
para raja atau akhir zaman pada hakim (abad 10 SM) sampai permlaan abad 8 SM.
Yang dimaksud nabi periode ini adalah nabi-nabi yang muncul sebelum Amos yang
pewatan serta karyanya tidak dibukukan secara terpisah dan diberi judul dengan namanya.
Perutusan mereka diketahui hanya dari karya sejarah Deuteronomist. Mereka
adalah nabi Samuel dan nabi Natan yang melaksanakan karunia kenabiannya
diistana Kerajaan nabi Daud (1010-970 SM) dan Raja Solomo (970-971 SM) masa
yang palingv agung dalam sejarah Israel, di mana Yahweh berjanji akan
mengangkat seorang keturunan Adam dan Hawa yang akan mengalahkan ular (Kej
3.15).
Kedua, Nabi-nabi besar. Teologi
Perjanjian (Nabi sebelum pembuangan pada pertengahan abad ke-8 SM hatta masa
pembuangan 586 SM. Di antara nabi-nabi sebelum pembuangan adalah nabi Amos,
Hoseya, Mikha dan Yesaya, dan nabi-nabi masa pembuangan yaitu Yeremia, Nahum,
Habakuq, zevania, Yehezekil. Mereka ini biasa disebut nabi-nabi klasik, yakni
nabi-nabi kelas satu atau pertama jika orang berbicara mengenai kenabian dan
nabi-nabi yang paling berpengaruh dan memberikan arti yang sebenarnya apa yang
disebut nabi. Mereka melakukan teriakan protes, kata peringatan kepada semua
orang yang memanfaatkan kesetiaan Yahweh, dan sekaligus menjauhkan diri
darinya.
Ketiga, kembali dari pembuangan; para
nabi yang optimis (abad ke-6 SM) pada akhir pembuangan muncul angkatan nabi
baru di Israel. Perkataan mereka sama sekali bertentangan dengan nubuwat
malapetaka para nabi besar. Pelaksanaan kedaulatan Yahweh serta pengalaman yang
kokoh akan kemuliannya tetap menyemangati mereka. Namun, mereka mengambil
kesimpulan-kesimpulan yang sangat berbeda untuk zaman mereka. Secara singkat
dapat dikatakan bahwa pada sabda nabi-nabi ini janji lama yang telah bersemi diikrarkan
kpd leluhur dihidupkan kembali. Zaman pembuangan hanya sebagai selingan saja
dan Yahweh tetap setia.
Keempat, para nabi dari “Sisa” serta
dari “kaum miskin Yahweh” (abad ke-5 SM dan ke-4 SM). Setelah berlalunya para
nabi abad ke-6 SM muncullah kekecewaan-kekecewan baru. Sejumlah kecil orang
yang pulang dari pembuangan merasa diri minoritas di tengah bangsa yang makin
lama makin tidak setia kepada Yahweh. Mereka merasa ditinggalkan oleh Allah.
Kondisi ini memunculkan dua aliran kenabian yang berbeda. Satu, teologi (sisa
Israel), yang lebih menampakkan kelanjutan paham dari nabi besar klasik
(teologi perjanjian).
Kelima, para nabi Apokalips/akhir zaman
(abad ke-2 Sebelum Kristus). Nabi-nabi terkahir PL bangkit didesak oleh suatu
kondisi dimana umat yang tetap setia kepada Yahweh menghadapi godaan baru.
Ketika Yahweh tetap berdiam saja, sedangkan pengawasan bangsa-bangsa besar
semakin ketat, maka mereka mulai berinkulturasi serta mengambil alih
adat-istiadat bangsa Yunani di sekitar mereka.disebut nabi Apokalips dalam
istilah sejarah tiba-tiba mereka dipindahklan ke akhir zaman. Mereka mewahyukan
apa yang akan terjadi pada akhir zaman. Pada waktu itu, Yahweh akan
memperbaharui semuanya dan memulihkan umatnya. Yahweh akan bertindak sebagai
raja serta kerajaannya tidak akan berakhir.
Dari uraian di atas, tampak wacana
kenabian dalam tradisi Kristen kelihatan lebih rumit, sekaligus dinamis dan
progresif dibanding dalam tradisi Islam. Dalam Kristen, citra seorang nabi
lebih kompleks. Para nabi dalam PL mendapatkan berbagai nama yang berbeda:
orang Pilihan Allah, dan Pewarta. Istilah yang beragam ini menunjukkan citra
yang berlainan secara dasariah, baik dari jati diri maupun dari segi peranan
yang mereka jalankan.
Selain itu, nabi juga digambarkan
sebagai reformator sosial, yang tampil membawa reformasi sosial, bahkan
revolusi, seperti tokoh Natan yang menghadapi Daud dengan keberanian, yakni
dengan menunjukan kesalahan Daud merebut Batsyeba isteri Uria dengan cara yang
tidak semestinya ( 2 Sam 12), Elia yang digambarkan sebagai kritkus raja Ahab
yang menyerobot tanah milik Nabot hanya untuk mendapatkan kebun Anggur (1 Raj
21), dan juga Amos dan Mikha yang berjuang untuk membela keadilan.
Sejarah mencatat bahwa Makkah pada zaman
Nabi lahir, adalah salah satu pusat perdagangan dan transaksi komersial
internasional. Keadaan ini melahirkan Makkah menjadi pusat kapitalisme, yakni
terbentuk karena proses korporasi antar klan, yang menguasai dan memonopoli
perdagangan kawasan Bizantium. Watak kapitalisme yang mengakumulasikan kapital
dan memutarnya demi keuntungan yang lebih besar ini, berjalan melawan norma
suku-suku di Semenanjung Arab pada saat itu. Akibat dari budaya kapitalisme
tersebut, lahirlah ketimpangan dan kesenjangan sosial di Makkah, yakni semakin
melebarnya jurang antara si kaya dan si miskin.
Dalam konteks inilah sesungguhnya
Muhammad lahir, yang oleh Ziaul Haque disebut sebagai pahlawan revolusioner
pertama dari zaman modern, karena Muhammad melihat dengan jelas bahwa
pertentangan abadi antara kebaikan dan kejahatan, dalam bentuk sosial dan
ekonominya, sesungguhnya adalah sebuah perjuangan kelas, sebuah pertentangan
antara orang-orang yang dieksploitasi dan yang mengeksploitasi, hamba dengan
tuan-tuan, dan antara kaum lemah dan yang kuat, membela kaum miskin, para budak
dan para tukang. Dengan demikian jelaslah kiranya bahwa perlawanan terhadap
Muhammad oleh kaum kapitalis Makkah, sebenarnya lebih karena ketakutan terhadap
doktrin egalitarian yang dibawakan oleh Muhammad. Oleh karena itu persoalan
yang timbul antara kelompok elite Makkah dan Muhammad sebenarnya, bukan seperti
yang banyak diduga umat Islam, yakni hanya persoalan "keyakinan
agama", namun lebih, yakni bersumber pada ketakutan terhadap konsekuensi
sosial ekonomi, dari doktrin Muhammad yang melawan segala bentuk dominasi
ekonomi, pemusatan dan monopoli harta, penimbunan dan pemborosan. Hal ini
tampak dalam sunnahnya, yakni:
من احتكر طعاما أربعين يوما يريد به
الغلاء فقد برئ من الله وبرئ الله منه.
Siapa
yang menimbun makanan selama empat puluh hari, dengan maksud untuk menaikkan
harga, maka ia telah berlepas dari Allah, dan Allah juga berlepas darinya.
Larangan Muhammad terhadap penimbunan
barang untuk menaikkan harga tersebut kemudian diserukan oleh sahabatnya Abu
Zar (seorang pencetus pemikiran sosialistik Islam periode Muhammad) sebagai
berikut:
Hari demi hari, aristokrasi, eksploitasi, kemubaziran, kemiskinan, jarak serta
perpecahan masyarakat dan golongan, keretakan, menjadi semakin besar, dan
propaganda Abu Zar tumbuh makin lama makin luas, yang menyebabkan rakyat jelata
dan golongan yang tertimpa eksploitasi menjadi lebih tergoncang. Orang-orang
yang lapar, mendengar dari Abu Zar bahwa kemiskinan mereka bukanlah takdir
Tuhan yang tertera di dahi dan merupakan ketetapan nasib serta takdir di
langit: penyebabnya adalah Kinz, penimbunan modal.
Dengan demikian, Muhammad hadir di
tengah masyarakat bukan sekedar mengajarkan kepatuhan kepada Tuhan atas wahyu
yang dibawakannya. Namun, Muhammad juga memobilisasi dan memimpin masyarakat
untuk melawan ketimpangan sosial.
DAFTAR
PUSTAKA
Comments
Post a Comment