KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS

KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS Pendahuluan latar belakang Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah dua sumber utama ajaran Islam. Oleh karena itu, keduanya selalu dijadikan landasan keyakinan, ritual, adat istiadat, etika, ekonomi, politik, peradaban dan seluruh aspek kehidupan umat Islam, baik yang sakral maupun duniawi, pada tataran ¥ abl minallah (vertikal) dan ¥ abl min al. -n ± s (horizontal).

KAIDAH KEDHABITAN HADIS

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an, eksistensi hadis telah memberikan warna dalam masyarakat dalam setiap lini kehidupannya, dan telah menjadi bahasan kajian menarik yang tiada henti-hentinya, dan menjadi sesuatu yang urgent dalam kalangan peneliti hadis.
     Penelitian terhadap hadis ini sangatlah diperlukan, disebabkan dari segi wuru>dnya, hadis tidak seluruhnya diyakini berasal dari Nabi, melainkan ada dari selain Nabi. Hal ini disebabkan sifat dari lafadz-lafadz hadis tidak mengandung mukjizat seperti al-Qur’an, dan juga perhatian terhadap penulisan hadis di zaman Rasulullah agak berkurang, karena Rasulullah pernah melarang; dan juga karena sebab-sebab yang bersifat politis dan lainnya.[1]
     Terlepas dari mana asalnya hadis itu, dari Nabi atau selain Nabi, maka penelitian yang mendalam ada pada jalur-jalur yang biasa disebut sanad yang menghubungkan dari isi hadis atau matan. Demi kepentingan penelitian hadis ini, ulama menciptakan kaidah-kaidah yang berkaitan dengan hadis. Di antara kaidah itu ada yang disebut kaidah sanad hadis, yakni segala syarat atau kriteria yang berlaku pada sanad hadis yang berkualitas shahih.[2]
Kriteria yang dijadikan persyaratan dalam menentukan sebuah hadis shahih, yang di antaranya: bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang ‘a>dil dan d}a>bit} (gabungan antara kedua sifat ini biasa dinamakan dengan tsiqah)[3] tidak ada kejanggalan dan tidak terdapat cacat.[4] Sedangkan hadis hasan sendiri adalah hadis yang terwujud karena dirinya sendiri, yakni karena matan dan para rawinya memenuhi syarat-syarat hadis shahih, kecuali keadaan rawi (rawinya kurang d}a>bit}).[5]
Salah satu dari syarat atau kriteria yang telah disebutkan adalah d}a>bit. Kaidah kedhabitan terhadap para periwayat dalam suatu sanad hadis inilah yang akan menjadi fokus pembahasan makalah ini.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka yang menjadi pokok permasalahan adalah: “Bagaimana kaidah kedabitan dalam suatu sanad hadis?” . Untuk lebih membantu pembahasan ini, maka pemakalah membuat sub-sub permasalahan yaitu:
1.      Bagaimana pengertian d}a>bit}, baik secara bahasa maupun istilah?
2.      Bagaimana klasifikasi d}a>bit> ?
3.      Bagaimana kriteria kedhabitan (intelektualitas) seorang perawai?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian D{a>bit}
Kata d}a>bit} dalam bahasa arab  berasal dari kata d}abat}a, yang terdiri dari huruf d}ad, ba’ dan t}a’, menurut Ibn Faris dalam kitabnya Mu’jam Maqa>yi>s al-Lu>gah kata ini bermakna d}abat}a al-syai’ d}abt}an[6] yang berarti menguatkan sesuatu atau memeliharanya,[7]  bahkan lebih dari sekedar memelihara.[8] Sedangkan A.W>. Munawwir menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia dengan banyak makna diantaranya memaksa, mengerjakan dengan teliti, mengoreksi, menguasai, menerbitkan dan menyita.[9] Adapun kata d}abt} sendiri dalam kitab al-Munjid berarti yang kokoh, yang kuat, yang hafal dengan sempurna.
Dalam kitab lisanul ‘Arab, Ibnu Mandzur menjelaskan[10] :
الضبط : لزوم شيئ لا يفرقه في كل شي وضبط الشيئ حفظه باالحزم والرجل الضابط اي حا زم , شديد البطش
Sedangkan menurut Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Al-Asqalaniy, d{a>bit} dapat dimaknai dengan sesuainya sesuatu dan tidak bertentangan dengan lainnya, mengingat sesuatu secara sempurna, kuat pegangannya.[11]
Secara harfiah, d}a>bit juga mempunyai beberapa arti, diantaranya: yang kokoh, yang kuat, yang ketat, yang hafal dengan sempurna. Pengertian tersebut diserap dalam pengertian istilah dengan dihubungkan dengan kapasitas intelektual.
Adapun pengertian d{a>bit} menurut istilah, telah dikemukakan oleh ulama dalam berbagai format bahasa, antara lain sebagai berikut :
  1. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalaniy dan al-Sahawiy yang disebut orang d{a>bit} adalah orang yang kuat hafalannya tentang apa-apa yang didengarnya dan mampu menyampaikan hafalanya itu kapan saja dia menghendakinya.
  2. D{a>bit} adalah orang yang mendengarkan pembicaraan sebagaimana seharusnya, dia memahami pembicaraan itu secara benar, kemudian dia menghafalnya dengan sungguh-sungguh dan dia berhasil hafal dengan sempurna, sehingga dia mampu menyampaikan hafalannya itu kepada orang lain dengan baik.[12]
  3. D{a>bit} ialah orang yang mendengarkan riwayat sebagaimana seharusnya, dia memahaminya dengan pemahaman yang mendetail kemudian dia menghafalnya dengan sempurna, dan dia meyakini kemampuan yang demikian itu, sedikitnya mulai dari saat  mendengar riwayat itu sampai dia menyampaikan riwayat tersebut kepada orang lain.[13]
Dari definisi di atas, kelihatannya memiliki versi dan format bahasa yang berbeda, namun makna dan prinsip-prinsip pemahaman yang terkandung di dalamnya memiliki kesamaan. Intinya adalah kuatnya hafalan periwayat dalam meriwayatkan hadis (mulai dari ia mendengarnya sampai ia menyampaikan kepada orang lain dan ia memahami betul apa yang disampaikannya itu).
Ulama hadis umumnya tidak menerangkan argumen mendasar unsur kaidah periwayat bersifat d{a>bit}. Mereka umumnya hanya mengemukakan berkenaan dengan pengertian d{a>bit} sebagai salah satu unsur kaidah kesahihan sanad hadis.
B.     Klasifikasi D{a>bit}
Klasifikasi atau pengelompokan d}a>bit} ini diperlukan, sebagaimana pernah diutarakan Syuhudi walaupun tidak mengklasifikasikan langsung secara sistematis. Beliau menjelaskan bahwa bentuk kedhabitan periwayat memiliki sifat d{a>bit} yang tidak sama, olehnya klasifikasi ini berguna dalam pembahasan seperti ke-syadz-an dan ke-‘illat-an sanad.[14]     
Melihat dari perbedaan sifat d}a>bit}  terhadap kedhabitan periwayat, maka d}a>bit}   secara sistematis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1.      D}a>bit} al-S}adr (akurat dalam dada);
D}a>bit} s}adr adalah kemampuan perawi dalam menetapkan apa yang telah didengarnya di dalam hati, maksudnya ia menghafalkannya dengan sempurna, kemudian menyampaikan kembali sebagaimana yang telah didengar dari gurunya.[15] Antonim dari kedhabitan adalah sayyi’u al-h}ifz (memiliki hafalan yang buruk), perawi yang tidak dapat dikuatkan hafalannya atas keburukan hafalannya.[16]

Su>’ al-h}ifz terbagi dua macam:
1)      Su>’ al-h}ifz, muncul sejak lahir dan masih ada padanya, dan menjadikan riwayatnya ditolak. Menurut pendapat sebagian ahli hadis, khabar yang dibawanya dinamakan “sya>z\”.[17]
2)      Sesuatu yang menimpa perawi seiring perjalanan waktu, baik karena lanjut usianya, atau karena hilang penglihatannya (buta), atau karena kitab-kitabnya terbakar. Yang demikian ini dinamakan ‘al-Mukhtalit}’ (yang rusak akalnya, fikirannya atau hafalannya). Hukum periwayatannya adalah:
§  Jika terjadi sebelum rusak hafalannya dan masih dapat dibedakan, maka riwayatnya diterima.
§  Jika terjadi setelah rusak hafalannya, maka ditolak riwayatnya.
§  Adapun jika tidak bisa ditentukan apakah terjadi sebelum rusak atau sesudahnya, maka hukum riwayat seperti ini adalah tawaqquf , yakni tidak diterima dan tidak pula ditolak sampai ada ketentuan yang bisa membedakannya.[18]

2.      D}a>bit} al-Kita>b (akurat dalam kitab)
D}a>bit} al-Kita>b adalah seorang periwayat yang terpelihara bukunya dari kesalahan, menjadi tempat mencatat hadis atau khabar yang telah didengarnya dari salah seorang atau beberapa gurunya, dengan dikoreksikan dengan kitab asli dari guru yang ia dengarkan hadisnya, atau diperbandingkan dengan kitab-kitab yang terpercaya keshahihannya. Dan ia memelihara bukunya dari tangan-tangan orang yang hendak merusak hadis-hadis di dalam kitab-kitab lainnya.[19] Adapula yang berpendapat bahwa d{a>bit} jenis ini dinamakan al-d{abt fi al-s}ut}u>r tapi maksud yang ditampilkan relevan maknanya dengan pendapat yang lainnya yaitu tulisan hadisnya sejak mendengar dari gurunya terpelihara dari perubahan, pergantian, dan kekurangan. Singkatnya tidak terjadi kesalahan-kesalahan tulis kemudian diubah dan diganti. Karena hal demikian akan mengundang keraguan atas kedhabitan seseorang.[20]
C.     Kriteria Kedhabitan    
Kedhabitan sebagaimana yang disebutkan oleh Umi Sumbulah merupakan aspek intelektualitas (kedhabitan) perawi yang dikenal dalam ilmu hadis dipahami sebagai kapasitas kecerdasan perawi hadis. Aspek tersebut merupakan salah satu dari sekian persyaratan asasi yang harus ada pada seorang perawi hadis, untuk bisa diterima riwayat yang disampaikan.[21]
Seorang perawi layak disebut d}a>bit} apabila memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
1.      Periwayat itu memahami dengan baik riwayat yang telah didengarnya (diterimanya);
2.      Periwayat itu hafal dengan baik riwayat yang telah didengarnya (di-terimanya)
3.      Periwayat mampu menyampaikan riwayat yang telah dihafalnya itu dengan baik:
(1)   kapan saja dia menghendakinya;
(2)       sampai saat dia menyampaikan riwayat itu kepada orang lain. [22]
Pada poin pertama (a), tidak semua ulama yang menyebutkannya. Namun poin kedua (b), para ulama sepakat dengan hal itu, adapun pada poin ketiga (c) ulama berbeda pendapat dengan dua versi yang berbeda ada yang membatasi dengan waktu adapula yang tidak membatasinya sama sekali.[23]
Ulama yang tidak menyatakan poin yang pertama, boleh jadi tidak mempertimbangkan bahwa:
Ø  apabila seseorang periwayat telah hafal dengan baik riwayat yang diterimanya, maka dengan sendirinya dia telah memahami apa yang telah dihafalnya itu, atau;
Ø  yang dipentingkan bagi seorang periwayat adalah bukan pemahamannya tentang apa yang diriwayatkan melainkan cukup hafalannya saja.[24]
Pertimbangan yang disebutkan pertama tidak cukup kuat. Karena orang yang hafal tidak dengan sendirinya paham akan apa yang dihafalnya. Jika demikian halnya, pertimbangan yang disebutkan kedua merupakan dasar kedhabitan periwayat menurut sebagian ulama di atas.[25]



Dengan demikian, hal ini dapat dipertemukan dengan memberi rumusan:
ü  periwayat bersifat d}a>bit}  adalah periwayat yang hafal dengan sempuna riwayat yang diterimanya dan mampu menyampaikan riwayat dengan baik kepada orang lain.
ü  Periwayat bersifat d}a>bit}  adalah periwayat yang mempunyai sifat-sifat pada poin sebelumnya dan ditambah dengan kemampuan dalam memahami dengan baik riwayat yang dihafalkannya.[26]
Rumusan tentang d{a>bit} yang disebutkan poin kedua lebih sempurna daripada rumusan pada poin pertama. Rumusan yang pertama merupakan sifat d}a>bit} dalam arti umum, sedangkan rumusan kedua merupakan sifat d{a>bit} yang lebih tinggi derajatnya dan lebih sempurna dibanding d{a>bit} pengertian umum, dan kedhabitan  yang sempurna ini dikenal dengan sebutan tamm al-d{abt}.[27] Pendapat ini sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Abu Zahrah bahwa periwayat yang paham dan hafal dinilai lebih kuat (rajih) daripada yang hanya sekedar hafal saja.[28]
Ulama yang lebih hati-hati adalah yang mendasarkan kedhabitan bukan hanya kepada kemampuan hafalan saja, melainkan juga pada kemampuan pemahaman. Masalahnya, bila pendapat yang lebih hati-hati itu harus diperpegangi, maka periwayat yang memiliki kemampuan hafalan saja dan tidak memiliki kecerdasan dalam memahami apa yang telah dihafalnya tidak lagi termasuk sebagai periwayat yang d}a>bit}. Padahal, sebagian ulama hadis menyatakan mereka sebagai periwayat yang d{a>bit} juga.[29] Sehingga tidak salah kiranya jika membagi kedhabitan dari segi kualitasnya dalam beberapa bagian di antaranya:
v  d{a>bit} (kedhabitan dalam arti umum = hafal + dapat menyampaikan hafalannya)
v  tamm al-d{abt} (kedhabitan yang sempurna = hafal + dapat menyampaikan hafalannya + pemahaman yang baik )
v  khafi>f al-d{abt} (istilah yang disebutkan ini disifatkan kepada periwayat yang kualitas hadisnya digolongkan kepada hasan)[30]
Adapun pada poin ketiga (c) pada pembahasan awal dari syarat kedhabitan di atas, walaupun terbagi dua pendapat, tetapi pada dasarnya kedua pendapat itu sama. Sebab kemampuan hafalan yang dituntut dari seorang periwayat, sehingga karenanya dia dapat dinyatakan sebagai seorang yang d}a>bit}, adalah tatkala periwayat itu menyampaikan riwayat kepada orang lain. Hanya saja, pendapat yang membatasi secara tegas dengan menunjuk “sampai saat dia menyampaikan riwayat itu kepada orang lain”, merupakan pendapat yang lebih rasional dan hati-hati. Karena bagaimana pun, kemampuan hafalan seseorang mempunyai batas, misalnya karena pikun atau karena sebab tertentu lainnya. Periwayat yang mengalami perubahan kemampuan hafalan, tetap dinyatakan sebagai seorang yang d}abit} sampai saat sebelum mengalami perubahan. Sedangkan sesudah mengalami perubahan , dia dinyatakan sebagai seorang yang tidak d}a>bit}.[31]
Dari penjelasan yang panjang lebar di atas dapat disimpulkan bahwa kriteria yang dimiliki seorang periwayat yang d{a>bit} adalah: (1) hafal dengan baik hadis yang diriwayatkannya; (2) mampu menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya kepada orang lain; (3) paham dengan riwayat yang dibawanya –khusus rawi yang tamm al-d{abt}; namun hal ini ditambahkan oleh Syuhudi Ismail dalam kaedah “Mayor Minor”nya dengan 2 kaedah lagi yaitu; (4) terhindar dari syuzu>z dan (5) terhindar dari ‘illat.[32] 
Kalau pada sifat adil ada perilaku atau keadaan yang bisa merusak berat, maka pada sifat d}a>bit} ada juga perilaku atau keadaan yang dapat merusak berat. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, perilaku atau keadaan yang dapat merusak berat kedhabitan periwayat ada 5 macam[33], yakni:
  1. Dalam meriwayatkan hadis, lebih banyak salahnya daripada benarnya (fah}usya galatuhu>).
  2. Lebih menonjol sifat lupanya daripada hafalnya (gafla ’anil itqa>n).
  3. Riwayat yang disampaikan diduga keras mengandung kekeliruan (wahm).
  4. Riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang disampaikan oleh orang-orang yang siqah (mukha>lafah ’anis siqa>h).
  5. Jelek hafalannya, walaupun ada sebagian riwayatnya itu yang benar, (su>’ul hifz).



BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan sebelumnya tentang kedhabitan seorang periwayat dalam suatu sanad hadis, maka dapat diambil kesimpulan:
1.      Pengertian d}a>bit} secara bahasa yang berarti sesuatu yang kokoh, kuat, dan ketat. Adapun secara istilah d}a>bit} adalah sesorang (perawi) yang memiliki kualitas hafalan yang tidak diragukan keakuratannya, karena syarat utama seorang yang d}a>bit} apabila dia mampu menyampaikannya kembali dengan benar sesuai dengan kebenarannya. Dengan kata lain ia benar menerima dan benar menyampaikannya.
2.      Klasifikasi d{a>bit} dpat dilihat dari penjelasan rumusan tentang d}a>bit} yaitu Rumusan pertama tentang kriteria sifat d}a>bit} dalam arti yang lebih luas, sedangkan rumusan kedua tentang sifat d}a>bit} khusus bagi periwayat d}a>bit}. Selain kedua hal di atas, dikenal juga istilah khafif al-d}abt}, istilah yang disebutkan terakhir itu bersifatkan kepada periwayat yang kualitas hadisnya digolongkan kepada hasan. Ketiga macam d}a>bit} inilah oleh ulama hadis digolongkan pada d}a>bit} al-s}adr (arti harfiahnya: dabt pada dada). Selain d}a>bit} al-s}adr dikenal juga istilah d}a>bit} al-kita>b, yakni sifat yang dimiliki oleh periwayat yang memahami dengan sangat baik tulisan hadis yang termuat dalam kitab yang ada padanya dan tulisan dalam kitab itu mengandung kesalahan.
3.      Kriteria intelektualitas (kedhabitan) perawi dalam ilmu hadis dipahami sebagai kapasitas kecerdasan perawi hadis. Dengan kata lain kelayaklan seorang perawi d}a>bit} apabila memiliki sifat-sifat sebagai berikut: pertama, perawi itu memahami dengan baik riwayat yang telah didengar dan diterimanya; kedua, perawi itu hafal dengan baik atau mencatat dengan baik riwayat yang telah didengarnya (diterimanya); ketiga, perawi itu mampu menyampaikan riwayat hadis yang telah didengarnya dengan baik, kapanpun diperlukan, terutama hingga saat perawi tersebut menyampaikan riwayat hadisnya kepada orang lain.


DAFTAR PUSTAKA
Ah{mad, Abu> al-H{usain. Mu’jam Maqa>yi>s al-Lu>gah. Beirut: Da>r al-Fikr, 1399 H.
Ahmad, Arifuddin. Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi; Refleksi Pemikiran Pembaruan Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail. Jakarta: Renaisan, 2005.
Ahmad, H. Muhammad dan M. Mudzakir. Ulumul Hadis. Bandung: CV Pustaka Setia, 1998.
al-Asqalani, Ibnu Hajar. Nuskhah al-Nazar Syarh al-Nukhbah al-Fikr. Kairo: Maktabah al-Munawwar, tth.
Ilyas, Abustani dan La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis. Surakarta: Zadahaniva Publishing, 2011.
Ismail, Syuhudi. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 2005.
--------------------. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
‘Itr, Nuruddin. Manhaj Al-Naqd fi> ‘Ulu>m al-H}adi>s\. Terj. Drs. Mujiyo, ‘Ulumul Hadis. Bandung: Remaja  Rosdakarya, 2012.
Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah, 2010.
Mandzur, Ibnu. Lisan al-‘Arab. Beirut: Dar al-Shadar, 1863.
al-Mulyaba>ri>, H}amzah. al-Mawa>zinat baina al-Muqaddimi>n wa al-Muta’akhkhiri>n fi Tas}h}i>h} al-Aha>di>s\ wa ta’li>liha.> t.t.: Multaqa>’ Alh al-H}adi>s\, 1422 H.
Munawwir, A.W. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Grafindo, 1999.
al-Qa>simi>, Muh}ammad Jama>l al-Di>n. Qawa>’id al-Tah{di>s\ min Funu>ni Mus}t}alah} al-H{adi>s\ . t.t.:t.p., 1353 H.
al-Qat}t}a>n, Manna>’.  Maba>his\ fi ‘Ulu>m al-H}adi>s\. Terj. Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadis. Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2009.
Rahman, Fatchur. Ikhtishar Mushthalahul hadits.  Bandung: PT Alma’arif, 1974.
Sali>m, ‘Amru ‘Abd al-Mu’in. Taisi>r ‘Ulu>m al-H}adi>s\ li al-Mubtadii>n. Kairo: Maktabah Ibn Taimiyah, 1417 H.
al-S{abbag, Muh}ammad. al-H}adi>s\ al-Nabawi>. t.t.: al-Maktab al-Isla>mi>, 1392 H.
as-Sakhawiy. al-Mutakallimu>n fi> al-Rija>l. Kairo: Maktabah al-Mat}ba’ah al-Islamiyah, 1980.
Shaleh, Shubhi. ‘Ulu>m al-H{adi>ts wa Mus}t}alah}u>hu. Beirut: Dar al-‘Ilmiy al-Malayin, 1977.
Soetari, Endang. Ilmu Hadits: Kajian Riwayah dan Dirayah Bandung: Mimbar Pustaka, 2005.
Solahudin, M. Agus. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia, 2009.Sumbulah, Umi. Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis. Malang: UIN Malang Press, 2008.
al-Suyuti. Tad{ri>b al-Ra>wi fi> Syarh} Taqri>b al-Nawawi. Beirut: Dar Ihya’ al-Sunnah al-Nabawiyyah, 1975.
al-Syahraziwari>, Abu> Amr ‘Us\ma>n bin ‘Abd al-Rah}ma>n. ‘Ulu>m al-H}adi>s\: Muqaddimat Ibn S}ala>h}. t.t.: Maktabat al-Fa>ra>bi>, 1984 H.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung, 1989.



[1]Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Grafindo, 1999), h. 190.
[2]Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 123.
[3]Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahul hadits (Cet. 10; Bandung: PT Alma’arif, 1974), h. 122. Lihat juga: Endang Soetari, Ilmu Hadits: Kajian Riwayah dan Dirayah (Bandung: Mimbar Pustaka, 2005), h. 140.
[4] Penjelasan lebih lanjut baca: Muh}ammad Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Qawa>’id al-Tah{di>s\ min Funu>ni Mus}t}alah} al-H{adi>s\ (t.t.:t.p., 1353 H), h. 80.
[5] H. Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadis (Cet. 10; Bandung: CV Pustaka Setia, 1998), h. 115.
[6] Abu> al-H{usain Ah{mad bin Fa>ris bin Zakariya>, Mu’jam Maqa>yi>s al-Lu>gah, Juz 3 (Beirut: Da>r al-Fikr, 1399 H), h. 386.
[7] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), h. 225.
[8] Hila>l al-‘Askari>, Mu’jam al-Furu>q al-Lugawiyyah (t.td.), h. 225.
[9] A.W. Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia  (Cet. 14; Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 810.
[10]Ibnu Mandzur, Lisan al-‘Arab (Beirut: Dar al-Shadar, 1863), h.79.
[11]Al-Asqalani, Nuskhah al-Nazar Syarh al-Nukhbah al-Fikr, (Kairo: Maktabah al-Munawwar, tth. ), h. 82.
[12]As-Sakhawiy, al-Mutakallimu>n fi> al-Rija>l (Kairo: Maktabah al-Mat}ba’ah al-Islamiyah, 1980), h. 132.
[13]Shubhi Shaleh, ‘Ulu>m al-H{adi>ts wa Mus}t}alah}uhu (Beirut: Dar al-‘Ilmiy al-Malayin, 1977), h. 201.
[14]Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, h. 143.
[15]‘Amru ‘Abd al-Mu’in Sali>m, Taisi>r ‘Ulu>m al-H}adi>s\ li al-Mubtadii>n (Kairo: Maktabah Ibn Taimiyah, 1417 H), h. 15. Lihat juga: Abu> Amr ‘Us\ma>n bin ‘Abd al-Rah}ma>n al-Syahraziwari>, ‘Ulu>m al-H}adi>s\: Muqaddimat Ibn S}ala>h} (t.t.: Maktabat al-Fa>ra>bi>, 1984 H), h. 103. D{abit{ macam inilah yang paling banyak dijelaskan dan yang dimaksudkan pada pembahasan makalah ini.
[16] Manna>’ al-Qat}t}a>n, Maba>his\ fi ‘Ulu>m al-H}adi>s\. Terj. Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadis (Cet. 4; Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2009), h. 170.
[17]Syaz\ adalah kejanggalan yang didapatkan karena bertentangan riwayatnya dengan riwayat yang dibawa oleh orang yang lebih d{abit} dan lebih s\i>qah , penjelasan lebih lanjut baca: H}amzah al-Mulyaba>ri>, al-Mawa>zinat baina al-Muqaddimi>n wa al-Muta’akhkhiri>n fi Tas}h}i>h} al-Aha>di>s\ wa ta’li>liha> (Cet. 2; t.t.: Multaqa>’ Alh al-H}adi>s\, 1422 H), h. 63.
[18] Manna>’ al-Qat}t}a>n, Maba>his\ fi ‘Ulu>m al-H}adi>s\, h. 170-171.
[19]‘Amru ‘Abd al-Mu’in Sali>m, Taisi>r ‘Ulu>m al-H}adi>s\ li al-Mubtadii>n, h. 15.
[20]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Cet. 4; Jakarta: Amzah, 2010), h. 152. Lihat juga: M. Agus Solahudin, Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 142-143.
[21]Umi Sumbulah, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 80.
[22]Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, h. 135.
[23]Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, h. 136.
[24]Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, h. 136.
[25]Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, h. 136.
[26]Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 70.
[27]Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi: Refleksi Pembaruan Pemikiran Prof. Dr. M. Syuhudi Ismail (Cet. I; Jakarta: Renaisan, 2005), h. 83.
[28]Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, h. 84-85.
[29]Syuhudi, Kaedah., h. 136.
[30]Syuhudi, Metodologi., h. 70-71. Batas periwayat yang digolongkan hadis yang dibawanya hasan adalah yang rendah daya tingkat hafalnya, lebih lanjut lihat: Nuruddin ‘Itr, Manhaj Al-Naqd fi> ‘Ulu>m al-H}adi>s\. Terj. Drs. Mujiyo, ‘Ulumul Hadis (Cet. 2; Bandung: Remaja  Rosdakarya, 2012), h. 266. Penjelasan ini juga bisa didapatkan pada: Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis (Surakarta: Zadahaniva Publishing, 2011), h. 23-24. Lihat juga: Muh}ammad al-S{abbag, al-H}adi>s\ al-Nabawi> (t.t.: al-Maktab al-Isla>mi>, 1392 H), h. 168.
[31]Syuhudi, Kaedah, h. 136-137.
[32] Penjelasan yang lebih mendetail bisa didapat pada: Syuhudi, Kaedah, h. 150-152.
[33]Al-Asqalani, Nuskhah al-Nazar Syarh al-Nukhbah al-Fikr, h. 46.

Comments

BERITA TERBARU !!

Popular posts from this blog

BIL MA'TSUR ( TAFSIR AYAT DENGAN AYAT )

CARA MELAKUKAN TAKHRIJ HADIS

download TAFSIR AL-NASAFIY

cara atau Kaedah al-Jarh Wa al-Ta’dil Serta Aplikasinya

HADIS TARBAWIY DAN AKHLAK (BERKURANGNYA IMAN KARENA MAKSIAT)

kaedah 'ATAF - AL-'ATFU DALAM AL-QUR'AN

cara TAMBAHAN - kaedah ZIYADAH DALAM AL-QUR'AN

cara melakukan MUNASABAH AYAT

MANHAJ THABATHABAI DALAM al mizan

KAEDAH 'AM DAN KHAS