PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai sumber ajaran Islam setelah
al-Qur’an, eksistensi hadis telah memberikan warna dalam masyarakat dalam
setiap lini kehidupannya, dan telah menjadi bahasan kajian menarik yang tiada
henti-hentinya, dan menjadi sesuatu yang urgent dalam kalangan peneliti hadis.
Penelitian
terhadap hadis ini sangatlah diperlukan, disebabkan dari segi
wuru>dnya,
hadis tidak seluruhnya diyakini berasal dari Nabi, melainkan ada dari selain
Nabi. Hal ini disebabkan sifat dari lafadz-lafadz hadis tidak mengandung
mukjizat seperti al-Qur’an, dan juga perhatian terhadap penulisan hadis di
zaman Rasulullah agak berkurang, karena Rasulullah pernah melarang; dan juga
karena sebab-sebab yang bersifat politis dan lainnya.
Terlepas
dari mana asalnya hadis itu, dari Nabi atau selain Nabi, maka penelitian yang
mendalam ada pada jalur-jalur yang biasa disebut sanad yang menghubungkan dari
isi hadis atau matan. Demi kepentingan penelitian hadis ini, ulama menciptakan
kaidah-kaidah yang berkaitan dengan hadis. Di antara kaidah itu ada yang
disebut kaidah sanad hadis, yakni segala syarat atau kriteria yang berlaku pada
sanad hadis yang berkualitas shahih.
Kriteria yang dijadikan persyaratan dalam
menentukan sebuah hadis shahih, yang di antaranya: bersambung sanadnya,
diriwayatkan oleh rawi yang ‘a>dil dan d}a>bit} (gabungan
antara kedua sifat ini biasa dinamakan dengan tsiqah) tidak ada
kejanggalan dan tidak terdapat cacat. Sedangkan hadis
hasan sendiri adalah hadis yang terwujud karena dirinya sendiri, yakni karena
matan dan para rawinya memenuhi syarat-syarat hadis shahih, kecuali keadaan
rawi (rawinya kurang d}a>bit}).
Salah satu dari syarat atau kriteria
yang telah disebutkan adalah d}a>bit. Kaidah
kedhabitan terhadap para
periwayat dalam suatu sanad hadis inilah yang akan menjadi fokus pembahasan
makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang
telah dikemukakan, maka yang menjadi pokok permasalahan adalah: “Bagaimana
kaidah kedabitan dalam suatu sanad hadis?” . Untuk lebih membantu pembahasan
ini, maka pemakalah membuat sub-sub permasalahan yaitu:
1. Bagaimana pengertian d}a>bit}, baik secara bahasa
maupun istilah?
2. Bagaimana klasifikasi d}a>bit> ?
3. Bagaimana kriteria
kedhabitan (intelektualitas) seorang perawai?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian D{a>bit}
Kata
d}a>bit} dalam bahasa arab berasal dari
kata
d}abat}a, yang terdiri dari huruf
d}ad, ba’ dan
t}a’, menurut Ibn Faris dalam kitabnya
Mu’jam Maqa>yi>s al-Lu>gah
kata ini bermakna
d}abat}a al-syai’ d}abt}an
yang berarti menguatkan sesuatu atau memeliharanya,
bahkan lebih dari sekedar memelihara.
Sedangkan A.W>. Munawwir menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia dengan
banyak makna diantaranya memaksa, mengerjakan dengan teliti, mengoreksi,
menguasai, menerbitkan dan menyita.
Adapun kata
d}abt} sendiri dalam kitab
al-Munjid berarti yang
kokoh, yang kuat, yang hafal dengan sempurna.
Dalam kitab lisanul ‘Arab, Ibnu Mandzur
menjelaskan
:
الضبط : لزوم شيئ لا يفرقه في كل شي وضبط الشيئ حفظه باالحزم والرجل
الضابط اي حا زم , شديد البطش
Sedangkan menurut
Ibnu
Hajar al-Asqalaniy, Al-Asqalaniy,
d{a>bit} dapat dimaknai dengan
sesuainya sesuatu dan tidak bertentangan dengan lainnya, mengingat sesuatu
secara sempurna, kuat pegangannya.
Secara harfiah, d}a>bit juga mempunyai beberapa arti, diantaranya: yang
kokoh, yang kuat, yang ketat, yang hafal dengan sempurna. Pengertian
tersebut diserap dalam pengertian istilah dengan dihubungkan dengan kapasitas
intelektual.
Adapun pengertian d{a>bit} menurut istilah, telah
dikemukakan oleh ulama dalam berbagai format bahasa, antara lain sebagai
berikut :
- Menurut Ibnu Hajar al-Asqalaniy dan al-Sahawiy yang
disebut orang d{a>bit} adalah orang yang kuat hafalannya tentang
apa-apa yang didengarnya dan mampu menyampaikan hafalanya itu kapan saja
dia menghendakinya.
- D{a>bit} adalah orang yang
mendengarkan pembicaraan sebagaimana seharusnya, dia memahami pembicaraan
itu secara benar, kemudian dia menghafalnya dengan sungguh-sungguh dan dia
berhasil hafal dengan sempurna, sehingga dia mampu menyampaikan hafalannya
itu kepada orang lain dengan baik.
- D{a>bit} ialah orang yang
mendengarkan riwayat sebagaimana seharusnya, dia memahaminya dengan
pemahaman yang mendetail kemudian dia menghafalnya dengan sempurna, dan
dia meyakini kemampuan yang demikian itu, sedikitnya mulai dari saat mendengar riwayat itu sampai dia
menyampaikan riwayat tersebut kepada orang lain.
Dari definisi di atas, kelihatannya memiliki versi dan
format bahasa yang berbeda, namun makna dan prinsip-prinsip pemahaman yang
terkandung di dalamnya memiliki kesamaan. Intinya adalah kuatnya hafalan
periwayat dalam meriwayatkan hadis (mulai dari ia mendengarnya sampai ia
menyampaikan kepada orang lain dan ia memahami betul apa yang disampaikannya
itu).
Ulama
hadis umumnya tidak menerangkan argumen mendasar unsur kaidah periwayat
bersifat
d{a>bit}. Mereka umumnya hanya mengemukakan berkenaan dengan
pengertian
d{a>bit} sebagai salah satu unsur kaidah
kesahihan
sanad hadis.
B. Klasifikasi D{a>bit}
Klasifikasi atau pengelompokan d}a>bit} ini
diperlukan, sebagaimana pernah diutarakan Syuhudi walaupun tidak
mengklasifikasikan langsung secara sistematis. Beliau menjelaskan bahwa bentuk
kedhabitan periwayat memiliki sifat
d{a>bit} yang tidak sama,
olehnya klasifikasi ini berguna dalam pembahasan seperti ke-syadz-an dan
ke-‘illat-an sanad.
Melihat dari perbedaan sifat d}a>bit} terhadap kedhabitan
periwayat, maka d}a>bit} secara sistematis dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
1.
D}a>bit} al-S}adr (akurat dalam dada);
D}a>bit} s}adr adalah
kemampuan
perawi dalam menetapkan apa yang telah
didengarnya di dalam hati, maksudnya
ia menghafal
kannya dengan sempurna,
kemudian
menyampaikan kembali sebagaimana yang telah didengar dari gurunya.
Antonim dari kedhabitan adalah
sayyi’u al-h}ifz (
memiliki
hafalan yang buruk)
, perawi yang tidak dapat dikuatkan
hafalannya atas keburukan hafalannya.
Su>’ al-h}ifz terbagi dua macam:
1)
Su>’ al-h}ifz, muncul sejak lahir dan masih
ada padanya, dan menjadikan
riwayatnya ditolak. Menurut pendapat sebagian ahli hadis, khabar yang dibawanya
dinamakan “
sya>z\”.
2)
Sesuatu yang menimpa perawi seiring perjalanan waktu, baik
karena lanjut usianya, atau karena hilang penglihatannya (buta), atau karena
kitab-kitabnya terbakar. Yang demikian ini dinamakan ‘al-Mukhtalit}’
(yang rusak akalnya, fikirannya atau hafalannya). Hukum periwayatannya adalah:
§
Jika terjadi sebelum rusak hafalannya dan masih dapat
dibedakan, maka riwayatnya diterima.
§
Jika terjadi setelah rusak hafalannya, maka ditolak
riwayatnya.
§
Adapun jika tidak bisa ditentukan apakah terjadi sebelum
rusak atau sesudahnya, maka hukum riwayat seperti ini adalah
tawaqquf ,
yakni tidak diterima dan tidak pula ditolak sampai ada ketentuan yang bisa
membedakannya.
2. D}a>bit} al-Kita>b (akurat dalam
kitab)
D}a>bit} al-Kita>b adalah
seorang periwayat yang terpelihara bukunya dari kesalahan, menjadi tempat mencatat hadis
atau
khabar yang telah didengarnya dari salah seorang atau beberapa
gurunya, dengan dikoreksikan
dengan kitab asli dari guru yang ia
dengarkan hadisnya, atau diperbandingkan dengan kitab-kitab yang terpercaya ke
shahihannya. Dan ia memelihara bukunya
dari tangan-tangan orang yang hendak merusak hadis-hadis di dalam kitab-kitab
lainnya.
Adapula yang berpendapat bahwa
d{a>bit} jenis ini dinamakan
al-d{abt
fi al-s}ut}u>r tapi maksud yang ditampilkan relevan maknanya dengan
pendapat yang lainnya yaitu tulisan hadisnya sejak mendengar dari gurunya
terpelihara dari perubahan, pergantian, dan kekurangan. Singkatnya tidak
terjadi kesalahan-kesalahan tulis kemudian diubah dan diganti. Karena hal
demikian akan mengundang keraguan atas k
edhabitan seseorang.
C.
Kriteria Kedhabitan
Kedhabitan sebagaimana yang disebutkan
oleh Umi Sumbulah merupakan aspek
intelektualitas (
kedhabitan)
perawi yang dikenal dalam ilmu hadis dipahami sebagai kapasitas kecerdasan
perawi hadis. Aspek tersebut merupakan salah satu dari sekian persyaratan asasi
yang harus ada pada seorang perawi hadis, untuk bisa diterima riwayat yang
disampaikan.
Seorang perawi
layak disebut d}a>bit} apabila memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
1. Periwayat itu memahami
dengan baik riwayat yang telah didengarnya (diterimanya);
2. Periwayat itu hafal
dengan baik riwayat yang telah didengarnya (di-terimanya)
3. Periwayat mampu
menyampaikan riwayat yang telah dihafalnya itu dengan baik:
(1)
kapan saja dia menghendakinya;
sampai saat dia menyampaikan riwayat itu
kepada orang lain.
Pada poin
pertama (a), tidak semua ulama yang menyebutkannya. Namun poin kedua (b), para
ulama sepakat dengan hal itu, adapun pada poin ketiga (c) ulama berbeda
pendapat dengan dua versi yang berbeda ada yang membatasi dengan waktu adapula
yang tidak membatasinya sama sekali.
Ulama yang
tidak menyatakan poin yang pertama, boleh jadi tidak mempertimbangkan bahwa:
Ø apabila seseorang
periwayat telah hafal dengan baik riwayat yang diterimanya, maka dengan
sendirinya dia telah memahami apa yang telah dihafalnya itu, atau;
Ø yang dipentingkan bagi
seorang periwayat adalah bukan pemahamannya tentang apa yang diriwayatkan
melainkan cukup hafalannya saja.
Pertimbangan
yang disebutkan pertama tidak cukup kuat. Karena orang yang hafal tidak dengan
sendirinya paham akan apa yang dihafalnya. Jika demikian halnya, pertimbangan
yang disebutkan kedua merupakan dasar ke
dhabitan
periwayat menurut sebagian ulama di atas.
Dengan demikian,
hal ini dapat dipertemukan dengan memberi rumusan:
ü periwayat bersifat d}a>bit} adalah periwayat yang hafal
dengan sempuna riwayat yang diterimanya dan mampu menyampaikan riwayat dengan
baik kepada orang lain.
ü Periwayat bersifat
d}a>bit} adalah periwayat yang mempunyai
sifat-sifat pada poin sebelumnya dan ditambah dengan kemampuan dalam memahami
dengan baik riwayat yang dihafalkannya.
Rumusan
tentang
d{a>bit}
yang disebutkan poin kedua
lebih sempurna daripada rumusan pada poin pertama. Rumusan yang pertama
merupakan sifat
d}a>bit} dalam arti
umum, sedangkan rumusan kedua merupakan sifat
d{a>bit} yang lebih tinggi derajatnya dan lebih sempurna dibanding
d{a>bit} pengertian umum, dan k
edhabitan yang sempurna ini dikenal dengan sebutan
tamm
al-d{abt}. Pendapat ini sejalan dengan pernyataan yang
dikemukakan oleh Abu Zahrah bahwa periwayat yang paham dan hafal dinilai lebih
kuat (
rajih) daripada yang hanya sekedar hafal saja.
Ulama yang
lebih hati-hati adalah yang mendasarkan ke
dhabitan bukan hanya kepada kemampuan hafalan saja,
melainkan juga pada kemampuan pemahaman. Masalahnya, bila pendapat yang lebih
hati-hati itu harus diperpegangi, maka periwayat yang memiliki kemampuan
hafalan saja dan tidak memiliki kecerdasan dalam memahami apa yang telah
dihafalnya tidak lagi termasuk sebagai periwayat yang
d}a>bit}. Padahal, sebagian ulama hadis menyatakan mereka sebagai periwayat yang
d{a>bit} juga
.
Sehingga tidak salah kiranya jika membagi k
edhabitan dari segi kualitasnya dalam beberapa
bagian di antaranya:
v d{a>bit} (kedhabitan dalam arti umum =
hafal + dapat menyampaikan hafalannya)
v tamm al-d{abt} (kedhabitan
yang sempurna = hafal + dapat menyampaikan hafalannya + pemahaman yang baik )
v khafi>f al-d{abt} (istilah yang disebutkan ini disifatkan
kepada periwayat yang kualitas hadisnya digolongkan kepada hasan)
Adapun pada
poin ketiga (c) pada pembahasan awal dari syarat ke
dhabitan di atas, walaupun terbagi dua pendapat,
tetapi pada dasarnya kedua pendapat itu sama. Sebab kemampuan hafalan yang
dituntut dari seorang periwayat, sehingga karenanya dia dapat dinyatakan
sebagai seorang yang
d}a>bit}, adalah tatkala
periwayat itu menyampaikan riwayat kepada orang lain. Hanya saja, pendapat yang
membatasi secara tegas dengan menunjuk “sampai saat dia menyampaikan riwayat
itu kepada orang lain”, merupakan pendapat yang lebih rasional dan hati-hati.
Karena bagaimana pun, kemampuan hafalan seseorang mempunyai batas, misalnya
karena pikun atau karena sebab tertentu lainnya. Periwayat yang mengalami perubahan
kemampuan hafalan, tetap dinyatakan sebagai seorang yang
d}abit} sampai
saat sebelum mengalami perubahan. Sedangkan sesudah mengalami perubahan , dia
dinyatakan sebagai seorang yang tidak
d}a>bit}.
Dari
penjelasan yang panjang lebar di atas dapat disimpulkan bahwa kriteria yang
dimiliki seorang periwayat yang
d{a>bit} adalah: (1) hafal dengan baik hadis yang diriwayatkannya; (2) mampu
menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya kepada orang lain; (3) paham
dengan riwayat yang dibawanya –khusus rawi yang
tamm al-d{abt}; namun hal ini ditambahkan oleh Syuhudi Ismail dalam kaedah “Mayor
Minor”nya dengan 2 kaedah lagi yaitu; (4) terhindar dari
syuzu>z dan
(5) terhindar dari
‘illat.
Kalau pada sifat adil ada perilaku atau keadaan yang bisa
merusak berat, maka pada sifat d}a>bit} ada juga perilaku atau
keadaan yang dapat merusak berat. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani,
perilaku atau keadaan yang dapat merusak berat kedhabitan periwayat ada 5 macam
,
yakni:
- Dalam meriwayatkan hadis, lebih banyak salahnya
daripada benarnya (fah}usya galatuhu>).
- Lebih menonjol sifat lupanya daripada hafalnya (gafla
’anil itqa>n).
- Riwayat yang disampaikan diduga keras mengandung
kekeliruan (wahm).
- Riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang disampaikan
oleh orang-orang yang siqah (mukha>lafah ’anis siqa>h).
- Jelek hafalannya, walaupun ada sebagian riwayatnya itu
yang benar, (su>’ul hifz).
Berdasarkan
pembahasan sebelumnya tentang kedhabitan seorang periwayat dalam suatu sanad
hadis, maka dapat diambil kesimpulan:
1.
Pengertian d}a>bit}
secara bahasa yang berarti sesuatu yang kokoh, kuat, dan ketat. Adapun secara
istilah d}a>bit} adalah sesorang (perawi) yang memiliki kualitas
hafalan yang tidak diragukan keakuratannya, karena syarat utama seorang yang d}a>bit}
apabila dia mampu menyampaikannya kembali dengan benar sesuai dengan
kebenarannya. Dengan kata lain ia benar menerima dan benar menyampaikannya.
2.
Klasifikasi d{a>bit}
dpat dilihat dari penjelasan rumusan tentang d}a>bit} yaitu Rumusan
pertama tentang kriteria sifat d}a>bit} dalam arti yang lebih luas,
sedangkan rumusan kedua tentang sifat d}a>bit} khusus bagi periwayat d}a>bit}.
Selain kedua hal di atas, dikenal juga istilah khafif al-d}abt}, istilah
yang disebutkan terakhir itu bersifatkan kepada periwayat yang kualitas
hadisnya digolongkan kepada hasan. Ketiga macam d}a>bit} inilah oleh
ulama hadis digolongkan pada d}a>bit} al-s}adr (arti
harfiahnya: dabt pada dada). Selain d}a>bit} al-s}adr dikenal
juga istilah d}a>bit} al-kita>b, yakni sifat yang dimiliki oleh
periwayat yang memahami dengan sangat baik tulisan hadis yang termuat dalam
kitab yang ada padanya dan tulisan dalam kitab itu mengandung kesalahan.
3.
Kriteria intelektualitas (kedhabitan) perawi
dalam ilmu hadis dipahami sebagai kapasitas kecerdasan perawi hadis. Dengan
kata lain kelayaklan seorang perawi d}a>bit} apabila memiliki
sifat-sifat sebagai berikut: pertama, perawi itu memahami dengan baik riwayat
yang telah didengar dan diterimanya; kedua, perawi itu hafal dengan baik atau
mencatat dengan baik riwayat yang telah didengarnya (diterimanya); ketiga,
perawi itu mampu menyampaikan riwayat hadis yang telah didengarnya dengan baik,
kapanpun diperlukan, terutama hingga saat perawi tersebut menyampaikan riwayat
hadisnya kepada orang lain.
Ismail, Syuhudi. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta: Bulan
Bintang, 2005.
Comments
Post a Comment