ABU YAZID AL-BUSTAMI (TOKOH TASAWWUF)
By : Zaharuddin, S.Th.I
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan pemikiran Islam sangat
erat kaitannya dengan ilmu tasawwuf. Secara sederhana dapat dikemukakan, bahwa
tasawuf merupkan aspek esoteric atau aspek batin yang harus dibedakan
dari aspek esoteric atau aspek lahir dalam Islam.
Tasawuf atau sufisme adalah istilah yang khusus dipakai untuk menggambarkan mistisesme
dalam Islam, adapun tujuan tasawuf ialah memperoleh hubungan langsung dan dekat
dengan Tuhan, sehingga dirasakan benar bahwa seseorang sedang berada di hadirat-Nya,
yang intisarinya adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh
manusia dengan Tuhan dengan mangasingkan diri dan berkontemplasi.
Dalam Islam kita mengenal dua aliran
tasawuf, Pertama, aliran tasawuf falsafi, dimana para pengikutnya cederung pada
ungkapan-ungkapan ganjil (syatahiyyat), serta bertolak dari keadaan fana
menuju pernyataan tentang terjadinya penyatuan antara hamba dengan Tuhan.
Kedua, aliran tasawuf ‘amali, dimana para penganutnya selalu memagari tasawuf
dengan timbangan sayriat yang berlandaskan al-Quran dan as-Sunnah, serta
mengaitkan keadaan dan tingkatan rohaniah mereka dengan keduanya.
Dan ada juga yang membaginya menjadi tiga yaitu: tasawuf akhlaqi, tasawuf
irfani dan tasawuf falsafi.
Diantara para sufi yang menganut
aliran tasawuf irfani adalah sufi yang terkenal dengan konsep fana, baqa
dan al-Ittihad yang kita kenal dengan nama Abu Yazid al-Bustami.
B. Rumusan Masalah
Pada
makalah ini penulis dalam rumusan makalahnya mencoba untuk memaparkan Riwayat
hidup Abu Yazid Al-Bustami dan konsep ajaran tasawufnya yang dibahas dalam
sub-sub masalah berikut ini :
1.
Bagaimana
Sejarah Singkat AbuYazid Al-Bustami ?
2.
Bagaimana
pemikiran Abu Yazid Al-Bustami ?
3.
Bagaimana
corak pemikiran Abu Yazid Al-Bustami ?
4.
Apa
saja karya-karya Abu Yazid Al-Bustami ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Singkat Abu Yazid al-Bustami
Abu Yazid al-Bustami lahir di
Bustam, salah
satu desa di daerah Qumais, bagian Timur Laut Persia tahun: 188– 261 H/874 – 947 M. Nama lengkapnya adalah
Abu Yazid Thaifur bin Isa bin Adam bin Surusyan. Semasa kecilnya ia dipanggil
Thaifur, kakeknya bernama Surusyan yang menganut ajaran Zoroaster yang telah
memeluk Islam dan ayahnya salah seorang tokoh masyarakat di Bustam.
Kakeknya
seorang majusi namun telah masuk
islam. Ia merupakan salah satu dari tiga
bersaudara: Adam, Thayfur dan Ali. Mereka semua ahli zuhud dan ibadat.
Sedangkan yang agung budinya adalah Abu Yazid.
Ketika
masih kecil, Abu Yazid Al-Bustami sudah gemar belajar berbagai ilmu
pengetahuan. Sebelum mempelajari ilmu tasawuf, Abu Yazid Al-Bustami mempelajari
ilmu tasawuf, dia belajar agama islam terutama dalam bidang fiqh menurut mazhab
Hanafi. Kemudian dia memperoleh pelajaran tentang ilmu tauhid dan ilmu hakikat
dari Abu Ali Sindi.
Sewaktu menginjak usia remaja, Abu
Yazid terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti
perintah agama dan berbakti kepada orang tuanya, suatu kali gurunya menerangkan
suatu ayat dari surat Luqman yang berbunyi : “berterima kasihlah kepada Aku
dan kepada kedua orang tuamu” ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid.
Ia kemudian berhenti belajar dan pulang untuk menemui ibunya, sikapnya ini
menggambarkan bahwa ia selalu berusaha memenuhi setiap panggilan Allah.
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi
seorang sufi memakan waktu puluhan tahun, sebelum membuktikan dirinya sebagai
seorang sufi, ia terlebih dahulu telah menjadi seorang fakih dari madzhab
Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi, ia
mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya
saja ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam bentuk buku.
Dalam perjalanan kehidupan Zuhud,
selama 13 tahun, Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, hanya
dengan tidur, makan, dan minum yang sedikit sekali.
Abu Yazid hidup dalam keluarga yang
taat beragama, ibunya seorang yang taat dan zahidah, dua saudaranya Ali dan
Adam termasuk sufi meskipun tidak terkenal sebagaimana Abu Yazid.
Abu Yazid dibesarkan dalam keluarga
yang taat beragama, sejak kecil kehidupannya sudah dikenal saleh. Ibunya secara
teratur mengirimnya ke masjid untuk belajar ilmu-ilmu agama. Setelah besar ia
melanjutkan pendidikannya ke berbagai daerah. Ia belajar agama menurut mazhab Hanafi.
Setelah itu, ia memperoleh pelajaran
ilmu tauhid. Namun pada akhirnya kehidupannya berubah dan memasuki dunia
tasawuf.
Abu Yazid adalah orang yang pertama
yang mempopulerkan sebutan al-Fana dan al-Baqa dalam tasawuf. Ia
adalah syaikh yang paling tinggi maqam dan kemuliannya, ia sangat istimewa di
kalangan kaum sufi. Ia diakui salah satu sufi terbesar. Karena ia menggabungkan
penolakan kesenangan dunia yang ketat dan kepada Tuhan pada agama dengan gaya
intelektual yang luar biasa.
Abu Yazid pernah berkata: “Kalau
kamu lihat seseorang sanggup melakukan pekerjaan keramat yang besar-besar,
walaupun ia sanggup terbang ke udara, maka janganlah kamu tertipu sebelum kamu
lihat bagaimana ia mengikuti suruhan dan menghentikan dan menjaga batas-batas
syari`at.
Dalam perkataan ini jelaslah bahwa
tasawuf beliau tidak keluar dari pada garis-garis syara` tetapi selain dari
perkataan yang jelas dan terang itu, terdapat pula kata-kata beliau yang
ganjil-ganjil dan mempunyai pengertian yang dalam. Dari mulut beliau seringkali
memberikan ucapan-ucapan yang berisikan kepercayaan bahwa hamba dan Tuhan
sewaktu-waktu dapat berpadu dan bersatu. Inilah yang dinamakan Mazhab hulul
atau perpaduan.
Abu Yazid meninggal dunia pada tahun
261 H/947 M, jadi beliau meninggal dunia di usia 73 tahun dan dimakamkan di
Bustam, dan makamnya masih ada sampai sekarang.
B. Konsep Tasawuf Abu
Yazid al-Bustami
Dalam perkembangan tasawuf, yang
dipandang sebagai tokoh sufi pertama yang memunculkan persoalan fana dan baqa
adalah Abu Yazid Al-Bustami.
Sebagaimana konsepnya sebagai berikut.
1. Al-Fana dan al-Baqa
Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah al-Fana
dan al-Baqa. Secara harfiah fana berarti meninggal dan musnah,
dalam kaitan dengan sufi, maka sebutan tersebut biasanya digunakan dengan
proposisi: fanaan yang artinya kosong dari segala sesuatu, melupakan
atau tidak menyadari sesuatu.
Sedangkan dari
segi bahasa kata fana berasal dari kata bahasa Arab yakni faniya-yafna
yang berarti musnah, lenyap, hilang atau hancur.
Dalam istilah tasawuf, Fana adakalanya diartikan sebagai keadaaan moral
yang luhur. Dalam hal ini, Abu Bakar al-Kalabadzi (W.378 H/988 M)
mendefinisikannya “hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tikdak
ada pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala
perasaaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah
menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu”.
Dalam proses
al-fana’, ada empat situasi yang dialami oleh seseorang yaitu al-sakar,
al-satahat, al-zawal al-Hijab dan Ghalab al-Syuhud. Sakar adalah situasi yang
terpusat pada satu titik sehingga ia melihat dengan perasaannya. Syatahat
secara bahasa berarti gerakan sedangkan dalam istilah tasawuf dipahami sebagai
ucapan yang terlontar di luar kesadaran, kata-kata yang terlontar dalam keadaan
sakar. Al-Zawal al-Hijab diartikan dengan bebas dimensi sehingga ia keluar dari
alam materi dan telah berada di alam ilahiyat dan ghalab al-Syuhud merupakan
tingkat kesempurnaan musyahadah.
Sedangkan dalam sufisme dan syariah kata fana`
berarti to die and disappear (mati dan menghilang). Al-Fana`
juga berarti memutuskan hubungan selain Allah, dan mengkhususkan untuk Allah
dan bersatu dengannya.
Adapun arti fana` menurut kalangan sufi adalah
hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang
lazim digunakan pada diri. Pendapat lain, fana` berarti bergantinya
sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat keTuhanan, dapat pula berarti
hilangnnya sifat-sifat yang tercela. Selain itu Mustafa Zuhri mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan fana` adalah lenyapnya indrawi atau ke-basyariahan,
yakni sifat manusia yang suka pada syahwat dan hawa nafsu. Orang yang telah
diliputi hakikat keTuhanan, sehingga tiada lagi melihat dari pada alam wujud ini,
maka dikatakan ia telah fana dari alam cipta atau dari alam makhluk.
Sedangkan Abdurrauf Singkel mengungkapkan tentang fana`
dan ini menurut istilah para sufi adalah berarti hilang dan lenyap, sedangkan
lawan katanya adalah baqa`, dan lebih jelasnya sebagaimana disebutkan
dalam kitab al-Jawahir, fana` adalah kemampuan seorang hamba memandang
bahwa Allah ta`ala berada pada segala sesuatu.
Dalam menjelaskan pengertian fana’,
al-Qusyairi menulis, “Fananya seseorang dari
dirinya dan dari makhluk lain terjadi
dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan
makhluk lain. Sebenarnya dirinya tetap ada, demikian pula
makhluk lain, tetapi ia tak sadar lagi pada diri mereka dan pada dirinya.
Kesadaran sufi tentang dirinya dan makhluk lain
lenyap dan pergi ke dalam diri Tuhan dan terjadilah ittihad.”
Dengan demikian fana` bagi seorang sufi adalah
mengharapkan kematian itera, maksudnya adalah mematikan diri dari pengaruh
dunia. Sehingga yang tersisa hidup didalam dirinya hanyalah Tuhan semesta.
Jadi seorang sufi dapat bersatu dengan Tuhan, bila
terlebih dahulu ia harus menghancurkan dirinya, selama ia masih sadar akan
dirinya, ia tidak akan bersatu dengan Tuhan. Penghancuran diri tersebut
senantiasa diiringi dengan baqa`, yang berarti to live and survive
(hidup dan terus hidup). Adapun baqa`, berasal dari kata baqiya.
Artinya dari segi bahasa adalah tetap, sedangkan berdasarkan istilah tasawuf
berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Dalam kaitan dengan Sufi,
maka sebutan Baq biasanya digunakan dengan proposisi: baqa bi, yang
berarti diisi dengan sesuatu, hidup atau bersama sesuatu.
Dalam kamus al-Kautsar, baqa` berarti tetap,
tinggal, kekal.
Bisa juga berarti memaafkan segala kesalahan, sehingga yang tersisa adalah
kecintaan kepadanya. Dalam tasawuf, fana dan Baqa itera
beriringan, sebagaiamana dinyatakan oleh para ahli tasawuf: “Apabila nampaklah
nur kebaqaan, maka fanalah yang tiada, dan baqalah yang
kekal. Tasawuf itu ialah fana` dari dirinya dan baqa` dengan Tuhannya,
karena hati mereka bersama Allah”.
Sebagai akibat dari fana` adalah baqa. Baqa
adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia.
Karena lenyapnya (fana`) sifat-sifat basyariah, maka yang kekal adalah
sifat-sifat ilahiah.
Pencapaian Abu Yazid ke tahap fana dicapai setelah
meniggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah, seperti tampak
dalam ceritanya.
“Setelah
Allah menyaksikan kesucian hatiku yang terdalam, aku mendengar puas dari-Nya.
Maka, diriku dicap dengan keridaan-Nya. “Engkaulah yang aku inginkan,” jawabku,
“karena Engkau lebih utama daripada anugrah lebih besar daripada kemurahan, dan
melalui engkau aku mendapat kepuasan dalam diri-Mu…”
Jalan menuju fana menurut Abu Yazid dikisahkan
dalam mimpinya menatap Tuhan, ia bertanya, “Bagaimana caranya agar aku
sampai pada-Mu?” Tuhan menjawab, “Tinggalkan diri (Nafsu)mu dan
kemarilah.” Abu Yazid sendiri pernah melontarkan kata fana pada
salah satu ucapannya:
أَعْرِفُهُ حَتىَّ
فَنَيْتُ ثُمَّ عَرَفْتُهُ بِهِ فَحَيَيْتُ
Artinya:
“Aku tahu pada Tuhan melalui diriku hingga aku fana, kemudian aku
tahu pada-Nya melalui diri-Nya maka aku pun hidup.”
Paham baqa tidak dapat dipisahkan dengan paham fana
karena keduanya merupakan paham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang
mengalami fana, ketika itu juga ia sedang menjalani baqa. Dalam
menerangkan kaitan antara fana dan baqa al-Qusyairi menyatakan, “Barangsiapa
meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela, maka ia sedang fana dari syahwatnya.
Tatkala fana dari syahwatnya, ia baqa dalam niat dan keikhlasan ibadah;…
Barangsiapa yang hatinya zuhud dari khidupan maka ia sedang fana dari keinginannya,
berarti pula sedang baqa dalam ketulusan inabahnya…”
Tetapi fana dan baqa yang sangat esensial
dan penting bagi sufisme sebenarnya bukan yang satu atau yan lain, tetapi ia
adalah pengalaman afektif. Dalam rangka memahami pengalaman ini, maka para sufi
harus mengikuti prosedur. Dalam Qaul al-Jamil, seorang sufi India terkemuka,
Syah Wali Allah (wafat 1176/1762) merinci prosedur dari tiga organisasi
Sufi Utama, yaitu: Qadariyyah, Chistiyyah dan Naqsyabandiyyah. Mereka tegak
dalam prinsip yang sama, walau berbeda dalam rinci. Berikut akan diringkaskan
prosedur yang diikuti oleh thariqat Qadariyyah.
Seorang calon sufi pertama kali harus mengikuti tahap
persiapan. Ia harus mempunyai iman yang besar, menjauhi perbuatan munkar,
menjauhi dosa-dosa besar (kaba>ir) dan menjauhi dosa-dosa kecil (s{aga>ir)
sebanyak mungkin. Ia harus shalat wajib dan berbagai kewajiban (fara>id)
yang diwajibkan syariah atasmya dan menjalankan sunnah Rasul yang terpuji.
Dengan demikian, sesuatu di dalam diri sufi akan fana>’
atau hancur dan sesuatu yang lain
akan baqa>’ atau tinggal. Dalam
iterature tasawuf disebutkan, orang yang fana>’
dari kejahatan akan baqa>’ (tinggal)
ilmu dalam dirinya; orang yang fana>’ dari maksiat akan baqa>’
(tinggal) takwa dalam dirinya. Dengan demikian, yang
tinggal dalam dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu hilang dari
diri sufi dan sesuatu yang lain akan timbul
sebagai gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu. Hilang sifat buruk
akan timbul sifat baik. Hilang maksiat akan
timbul takwa.
2. Al-Ittih{a>d
Ittih{a>d
secara secara bahasa berasal dari kata ittah{ada-yattah{idu yang artinya
(dua benda) menjadi satu,
yang dalam istilah para sufi adalah satu tingkatan dalam tasawuf, yaitu bila
seorang sufi merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Yang mana ini adalah tahapan
selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia melalui tahapan fana>’
dan baqa>’. Dalam tahapan ittih{a>d, seorang sufi bersatu
dengan Tuhan. Antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik subtansi
maupaun perbuatannya.
Harun Nasution memaparkan bahwa ittih{a>d
adalah satu tingkatan ketika seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan,
satu tingkatan yang menunjukkkan bahwa yang mencintai dan yang dicintai telah
menjadi satu, sehinggga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi
dengan kata-kata, “Hai aku…”.
Dengan mengutip A.R. al-Baidawi, Harun menjelaskan bahwa
dalam ittih{a>d yang dilihat hanya satu wujud sunggguhpun sebenarnya
ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Karena yang dilihat dan
dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittih{a>d telah hilang atau
tegasnya antara sufi dan Tuhan.
Dalam ittih{a>d, identitas telah hilang, identitas telah menjadi
satu. Sufi yang bersangkutan, karena fana>’-nya tak mempunyai
kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.
Al-Ghazali menjelaskan kebersatuan mutlak ini sebagai
berikut: Apabila Makrifat mencapai pengalaman yang lebih tinggi, maka mereka
akan bersaksi akan tiadanya sesuatu yang terlihat kecuali satu Zat yang Maha Ada
(al-h{aqq). Bagi sebagian orang, ini adalah perwujudan intelektual. Tetapi bagi
yang lain, ia merupakan pengalaman afektif (hala>n wa dzauqa>n);
pluralitas menghilang darinya secara bersama-sama. Mereka merasa terserap ke
dalam kesatuan murni (al-Fardaniyyat al-Mahdhah), kehilangan intelektunya
secara utuh, pingsan dan bingung. Mereka tidak lebih sadar akan sesuatu kecuali
selain Tuhan, bahakan terhadap dirinya sendiri sekaipun baginya, tiada sesuatu
yang ada kecuali Tuhan; sebagi akibatnya mereka dalam keadaan kehinlangn
fikiran sadar (sukr) yang telah meniadakan kemampunanya untuk mengendalikan
nalar. Salah satu dari mereka berkata: “Aku adalah Tuhan”, sedang yang lain
menyatakan: “Sucikanlah aku, (lihatlah) betapa agungnya aku”; sedang yang
ketiga berkata: “ Tiada sesuatu di balik jubah ini kecuali Tuhan”. Apabila
pengalaman mistik ini menera, biasnya disebut ketiadaan (fana`) atau bahkan
ketiadaan dari ketiadaan (fana` al-fana`). Baginya ia menjadi tidak sadar akan
dirniya dan tidak sadar akan ketidaksadarannya (fana`), karena ia tidak sadar
akan dirinya dalam keadan demikian atau kelupaannya akan diri. Apabila ia sadar
akan kelupaannya, berarti ia mulai menyadari diri-nya sendiri. Keadaan ini
disebut sebagai penyatuan (ittihad) tetapi tentu saja dalam bahasa kiasan
(majaz) dan dalam bahasa kenyataan (al-haqiqah) berarti pengakuan akan keesaan
(tauhid).
Dengan fana-Nya Abu Yazid meninggalkan dirinya dan
pergi ke hadirat Tuhan. Bahwa ia telah berada dekat pada Tuhan dapat dilihat
dari Syathahat
yang diucapkannya. Ucapan-ucapan yang demikian belum pernah didengar dari sufi
sebelum Abu Yazid, umpamanya:
لَسْتُ أَتَعَجَّبَ مِنْ حُبِّيْ لَكَ فَأَنَا
عَبْدٌ فَقِيْرٌ
وَلَكِنِّيْ أَتَعَجَّبُ مِنْ حُبِّكَ لِيْ
وَأَنْتَ مَلِكٌ قَدِيْرٌ
Artinya:
“Aku tidak heran terhadap cintaku pada-mu karena aku hanyalah
hamba yang hina, tetapi aku heran terhadap cinta-Mu padaku. Karena engkau
adalah Raja Mahakuasa”
Tatkala berada dalam tahapan ittihad, Abu Yazid berkata:
قَالَ : يَا أَبَا يَزِيْدَ
إِنَّهُمْ كُلَّهُمْ خَلْقِيْ غَيْرَكَ فَقُلْتُ: فَأَنْتَ أَنَا وَأَنَا أَنْتَ
Artinya:
“Tuhan berkata, ”Semua mereka –kecuali engkau- adalah makhluk.”
Aku pun berkata, “Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau.”
Selanjutnya Abu Yazid berkata lagi:
فَانْقَطَعَ المُنَاجَةُ
فَصَارَ الكَلِمَةُ وَاحِدَةً وَصَارَ الكُلُّ بِالكُلِّ وَاحِدًا. فَقَالَ لِي:
يَا أَنْتَ، فَقُلْتُ بِهِ: يَا أَنَا، فَقَالَ لِي: أَنْتَ الفَرْدُ. قُلْتُ :
أَنَا الفَرْدُ قَالَ لِي: أَنْتَ أَنْتَ: أَنَا أَنَا
Artinya:
“Konversasi pun terpututs, kata menjadi stu, bahkan seluruhnya
menjadi satu. Ia pun berkata, “Hai engkau, “Aku pun- dengan perantaraan-Nya
enjawab, “Hai Aku, “Ia berkata, “Engkaulah yang satu. “engakau adalah Engkau.”
Aku balik menjawab, “Aku adalah Aku.”
إِنِّيْ أَنَا اللهُ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدْنِي
Artinya:
“Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku.”
Suatu ketika seseorang melewati rumah Abu Yazid dan
mengetuk pintu, Abu Yazid bertanya, “Siapa yang engkau cari?” Orang itu
menjawab, “Abu Yazid”, Abu Yazid berkata. ”Pergilah, di rumah ini tidak ada,
kecuali Allah yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi.
Dialog antara Abu Yazid dengan Tuhan ini menggambarkan
bahwa ia dekat sekali dengan Tuhan. Godaan Tuhan untuk mengalihkan perhatian
Abu Yazid ke makhluk-Nya ditolak Abu Yazid. Ia
tetap meminta bersatu dengan Tuhan. Ini
kelihatan dari kata-katanya, “Hiasilah aku dengan keesaan-Mu.”
Permintaan Abu Yazid dikabulkan Tuhan
dan terjadilah persatuan, sebagaimana terungkap
dari kata-kata berikut ini, “Abu Yazid,
semuanya kecuali engkau adalah makhluk-Ku.” Akupun berkata, aku
adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau.”
Ucapan-ucapan Abu Yazid diatas kalau diperhatikan secara
sepintas memberikan kesan bahwa ia syirik kepada Allah. Karena itu di dalam
sejarah ada sufi yang ditangkap dan dipenjarakan karena ucapannya membingungkan
golongan awam.
Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Abu Yazid. Menurut
penulis bukan berarti bahwa Abu Yazid sebagai Tuhan, akan tetapi kata-kata itu
adalah suara Tuhan yang disalurkan melalui lidah Abu Yazid yang sedang dalam
keadaan fana>’ an nafs.
Abu Yazid tidak mengakui dirinya sebagai Tuhan seperti
Firaun. Proses ittihad di sisis Abu yazid adalah naiknya jiwa manusia ke
hadirat Allah, bukan melalui reinkarnasi, sirnanya segala sesuatu dari
kesadaran dan pandangannya yang disadari dan dilihat hanya hakikat yang satu
yakni Allah. Bahkan dia tidak melihat dan menyadari dirnya sendiri, karena
dirinya terlebur dalam dia yang dilihat.
C. Corak Pemikiran Abu Yazid Al-Bustami
Berkembangnya
tasawuf sebagai jalan dan latihan untuk merealisir kesucian batin dalam
perjalanan menuju kedekatan dengan Allah, menarik perhatian para pemikir muslim
yang berlatar belakang teologi dan filsafat. Dari kelompok inilah tampil
sejumlah sufi yang filosofis atau filosof dan sufis. Konsep-konsep tasawuf
mereka disebut tasawuf filsafati yakni tasawuf yang kaya akan
pemikiran-pemikiran filsafat.
Salah satu dari tokoh sufi yang memiliki corak pemikiran filsafati atau teosofi
yaitu Abu Yazid Al-Bustami. Selain beliau, tokoh sufi lain yang juga dikenal
sebagai perintis yaitu Ibn Musarrah dari Andalusia.
D. Karya-karya Abu Yazid Al-Bustami
Abu
Yazid tidak meninggalkan karya tulis, tetapi ia mewariskan sejumlah ucapan dan
ungkapan mengenai pemahaman tasawwufnya yang disampaikan oleh murid-muridnya
dan tercatat dalam beberapa kitab tasawwuf klasik, seperti ar-Risalah al-Qusyairiyyah, Tabaqat as-Sufiyyah, Kasyf al-Mahjub,
Tazkirah al-Auliya, dan al-Luma.
Suatu
ketika seseorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu, Abu Yazid
bertanya, “Siapa yang engkau cari?” Orang itu menjawab, “Abu Yazid”, Abu Yazid
berkata. ”Pergilah, di rumah ini tidak ada, kecuali Allah yang maha kuasa dan
Mahatinggi. Secara
harfiah, ungkapan-ungkapan Abu Yazid atau yang juga dikenal Bayazid itu adalah
pengakuan dirinya sebagai Tuhan dan atau sama dengan Tuhan. Akan tetapi
sebenarnya bukan demikian maksudnya. Dengan ucapannya Aku adalah Engkau bukan
ia maksudkan akunya Bayazid pribadi. Dialog yang terjadi sebenarnya adalah
monolog. Kata-kata itu adalah firman Tuhan yang disalurkan melalui lidah
Bayazid yang sedang dalam keadaan fana’an nafs.
BAB
III
KESIMPULAN
1.
Abu
Yazid Al-Bustami dilahirkan dari keluarga yang
taat beragama, tetapi diantara
saudara-saudaranya yang lain Abu Yazid Al-Bustamilah yang paling agung budinya.
2.
Pada
masa hidupnya Abu Yazid Al-Bustami dikenal sebagai tokoh sufi kontroversial dan
sering masuk penjara karena pemikirannya yang tidak bisa dinalar atau disalah
artikan oleh manusia pada umumnya.
3.
Abu
Yazid Al-Bustami merupakan tokoh sufi pertama yang memunculkan pemikiran Fana’
dan baqa’.
4.
Corak
pemikiran Abu Yazid Al-Bustami yaitu filsafati karena konsep-konsep tasawufnya
kaya akan pemikiran-pemikiran filsafat.
5.
Karya-karya
Abu Yazid Al Bustami tidak berupa suatu karya tulis atau buku melainkan
kata-kata yang disebut satahat.
DAFTAR PUSTAKA
Oman fathurrahman, Tanbih
al-Masyi; menyoal wahdatul wujud kasus Abdurrauf singkel di Aceh Abad 17, (Cet.
I, Jakarta: Mizan, 1999)
Harun Nasution, Islam ditinjau
dari berbagai Aspek, Jilid II, (Cet. I; Jakarta; UI Press, 2002)
Rosihan Anwar, dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Cet. II; Bandung,
Pustaka Setia, 2004)
H.
M. Ruddin Emang, Akhlaq Tasawuf, (Ujungpandang: Identitas, 1994)
Muhammad Abd. Haq Ansari, Merajut
Tradisi Syari`ah dengan Sufisme, (Cet. I, PT.Rajagrafindo Persada; Jakarta;
1997)
Husin al-Habsyi, Kamus al-Kautsar
(Arab – Indonesia), (Darussagaf P.P. Alawy; Surabaya, 1997)
Oman fathurrahman, Tanbih
al-Masyi; menyoal wahdatul wujud kasus Abdurrauf singkel di Aceh Abad 17, (Cet.
I, Mizan; Jakarta, 1999)
Wardana, Abu Yazid Al-Bustami,
(Makalah PPS Alauddin; Makassar; 2001)
An-Naisabury,
Abdul Qasim Al-Qusyairy.1999. Risalatul Qusyairiyah,Induk Ilmu Tasawuf.
Surabaya : Risalah Gusti
Isa,
Ahmadi.2000. Tokoh-tokoh
Sufi. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada
Mustafa,Ahmad.1997.
Akhlak –Tasawuf . Bandung : CV.Pustaka Setia
Siregar,H.A.Rivay.1999.
Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neosufismr. Jakarta : PT.Raja Grafindo
Persada
Oman fathurrahman, Tanbih
al-Masyi; menyoal wahdatul wujud kasus Abdurrauf singkel di Aceh Abad 17, (Cet.
I, Mizan; Jakarta, 1999), h. 20
Harun Nasution, Islam ditinjau
dari berbagai Aspek, Jilid II, (Cet. I; Jakarta; UI Press, 2002) h. 68
M Ruddin Emang, Akhlaq Tasawuf,
(Ujungpandang: Identitas, 1994) h. 51
Rosihan Anwar, dan Mukhtar Solihin,
Loc. Cit. h. 130
Rosihan Anwar, dan Mukhtar Solihin,
M.Ag, Loc. Cit. h. 133
Comments
Post a Comment