KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS

KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS Pendahuluan latar belakang Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah dua sumber utama ajaran Islam. Oleh karena itu, keduanya selalu dijadikan landasan keyakinan, ritual, adat istiadat, etika, ekonomi, politik, peradaban dan seluruh aspek kehidupan umat Islam, baik yang sakral maupun duniawi, pada tataran ¥ abl minallah (vertikal) dan ¥ abl min al. -n ± s (horizontal).

ABU YAZID AL-BUSTAMI (TOKOH TASAWWUF)



ABU YAZID AL-BUSTAMI (TOKOH TASAWWUF) 
By :  Zaharuddin, S.Th.I
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan pemikiran Islam sangat erat kaitannya dengan ilmu tasawwuf. Secara sederhana dapat dikemukakan, bahwa tasawuf merupkan aspek esoteric atau aspek batin yang harus dibedakan dari aspek esoteric atau aspek lahir dalam Islam.[1] Tasawuf atau sufisme adalah istilah yang khusus dipakai untuk menggambarkan mistisesme dalam Islam, adapun tujuan tasawuf ialah memperoleh hubungan langsung dan dekat dengan Tuhan, sehingga dirasakan benar bahwa seseorang sedang berada di hadirat-Nya, yang intisarinya adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan dengan mangasingkan diri dan berkontemplasi.[2]
Dalam Islam kita mengenal dua aliran tasawuf, Pertama, aliran tasawuf falsafi, dimana para pengikutnya cederung pada ungkapan-ungkapan ganjil (syatahiyyat), serta bertolak dari keadaan fana menuju pernyataan tentang terjadinya penyatuan antara hamba dengan Tuhan. Kedua, aliran tasawuf ‘amali, dimana para penganutnya selalu memagari tasawuf dengan timbangan sayriat yang berlandaskan al-Quran dan as-Sunnah, serta mengaitkan keadaan dan tingkatan rohaniah mereka dengan keduanya.[3] Dan ada juga yang membaginya menjadi tiga yaitu: tasawuf akhlaqi, tasawuf irfani dan tasawuf falsafi.[4]
Diantara para sufi yang menganut aliran tasawuf irfani adalah sufi yang terkenal dengan konsep fana, baqa dan al-Ittihad yang kita kenal dengan nama Abu Yazid al-Bustami.

B. Rumusan Masalah
Pada makalah ini penulis dalam rumusan makalahnya mencoba untuk memaparkan Riwayat hidup Abu Yazid Al-Bustami dan konsep ajaran tasawufnya yang dibahas dalam sub-sub masalah berikut ini :

1.    Bagaimana Sejarah Singkat AbuYazid Al-Bustami ?
2.    Bagaimana pemikiran Abu Yazid Al-Bustami ?
3.    Bagaimana corak pemikiran Abu Yazid Al-Bustami ?
4.    Apa saja karya-karya Abu Yazid Al-Bustami ?

 
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Singkat Abu Yazid al-Bustami
Abu Yazid al-Bustami lahir di Bustam, salah satu desa di daerah Qumais, bagian Timur Laut Persia tahun: 188– 261 H/874 – 947 M. Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin Isa bin Adam bin Surusyan. Semasa kecilnya ia dipanggil Thaifur, kakeknya bernama Surusyan yang menganut ajaran Zoroaster yang telah memeluk Islam dan ayahnya salah seorang tokoh masyarakat di Bustam.[5]
Kakeknya seorang  majusi namun telah masuk islam.  Ia merupakan salah satu dari tiga bersaudara: Adam, Thayfur dan Ali. Mereka semua ahli zuhud dan ibadat. Sedangkan yang agung budinya adalah Abu Yazid.[6] 
Ketika masih kecil, Abu Yazid Al-Bustami sudah gemar belajar berbagai ilmu pengetahuan. Sebelum mempelajari ilmu tasawuf, Abu Yazid Al-Bustami mempelajari ilmu tasawuf, dia belajar agama islam terutama dalam bidang fiqh menurut mazhab Hanafi. Kemudian dia memperoleh pelajaran tentang ilmu tauhid dan ilmu hakikat dari Abu Ali Sindi.[8]
Sewaktu menginjak usia remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada orang tuanya, suatu kali gurunya menerangkan suatu ayat dari surat Luqman yang berbunyi : “berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu” ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang untuk menemui ibunya, sikapnya ini menggambarkan bahwa ia selalu berusaha memenuhi setiap panggilan Allah.
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memakan waktu puluhan tahun, sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu telah menjadi seorang fakih dari madzhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi, ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya saja ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam bentuk buku.
Dalam perjalanan kehidupan Zuhud, selama 13 tahun, Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, hanya dengan tidur, makan, dan minum yang sedikit sekali.
Abu Yazid hidup dalam keluarga yang taat beragama, ibunya seorang yang taat dan zahidah, dua saudaranya Ali dan Adam termasuk sufi meskipun tidak terkenal sebagaimana Abu Yazid.
Abu Yazid dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama, sejak kecil kehidupannya sudah dikenal saleh. Ibunya secara teratur mengirimnya ke masjid untuk belajar ilmu-ilmu agama. Setelah besar ia melanjutkan pendidikannya ke berbagai daerah. Ia belajar agama menurut mazhab Hanafi.
Setelah itu, ia memperoleh pelajaran ilmu tauhid. Namun pada akhirnya kehidupannya berubah dan memasuki dunia tasawuf.
Abu Yazid adalah orang yang pertama yang mempopulerkan sebutan al-Fana dan al-Baqa dalam tasawuf. Ia adalah syaikh yang paling tinggi maqam dan kemuliannya, ia sangat istimewa di kalangan kaum sufi. Ia diakui salah satu sufi terbesar. Karena ia menggabungkan penolakan kesenangan dunia yang ketat dan kepada Tuhan pada agama dengan gaya intelektual yang luar biasa.
Abu Yazid pernah berkata: “Kalau kamu lihat seseorang sanggup melakukan pekerjaan keramat yang besar-besar, walaupun ia sanggup terbang ke udara, maka janganlah kamu tertipu sebelum kamu lihat bagaimana ia mengikuti suruhan dan menghentikan dan menjaga batas-batas syari`at.[9]
Dalam perkataan ini jelaslah bahwa tasawuf beliau tidak keluar dari pada garis-garis syara` tetapi selain dari perkataan yang jelas dan terang itu, terdapat pula kata-kata beliau yang ganjil-ganjil dan mempunyai pengertian yang dalam. Dari mulut beliau seringkali memberikan ucapan-ucapan yang berisikan kepercayaan bahwa hamba dan Tuhan sewaktu-waktu dapat berpadu dan bersatu. Inilah yang dinamakan Mazhab hulul atau perpaduan.[10]
Abu Yazid meninggal dunia pada tahun 261 H/947 M, jadi beliau meninggal dunia di usia 73 tahun dan dimakamkan di Bustam, dan makamnya masih ada sampai sekarang.

B. Konsep Tasawuf Abu Yazid al-Bustami
Dalam perkembangan tasawuf, yang dipandang sebagai tokoh sufi pertama yang memunculkan persoalan fana dan baqa adalah Abu Yazid Al-Bustami.[11] Sebagaimana konsepnya sebagai berikut.
1.  Al-Fana  dan al-Baqa
Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah al-Fana dan al-Baqa. Secara harfiah fana berarti meninggal dan musnah, dalam kaitan dengan sufi, maka sebutan tersebut biasanya digunakan dengan proposisi: fanaan yang artinya kosong dari segala sesuatu, melupakan atau tidak menyadari sesuatu.[12]
Sedangkan  dari segi bahasa kata fana berasal dari kata bahasa Arab yakni faniya-yafna yang berarti musnah, lenyap, hilang atau hancur[13]. Dalam istilah tasawuf, Fana adakalanya diartikan sebagai keadaaan moral yang luhur. Dalam hal ini, Abu Bakar al-Kalabadzi (W.378 H/988 M) mendefinisikannya “hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tikdak ada pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu”.[14]
Dalam proses al-fana’, ada empat situasi yang dialami oleh seseorang yaitu al-sakar, al-satahat, al-zawal al-Hijab dan Ghalab al-Syuhud. Sakar adalah situasi yang terpusat pada satu titik sehingga ia melihat dengan perasaannya. Syatahat secara bahasa berarti gerakan sedangkan dalam istilah tasawuf dipahami sebagai ucapan yang terlontar di luar kesadaran, kata-kata yang terlontar dalam keadaan sakar. Al-Zawal al-Hijab diartikan dengan bebas dimensi sehingga ia keluar dari alam materi dan telah berada di alam ilahiyat dan ghalab al-Syuhud merupakan tingkat kesempurnaan musyahadah.[16]
Sedangkan dalam sufisme dan syariah kata fana` berarti to die and disappear (mati dan menghilang). Al-Fana` juga berarti memutuskan hubungan selain Allah, dan mengkhususkan untuk Allah dan bersatu dengannya.
Adapun arti fana` menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Pendapat lain, fana` berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat keTuhanan, dapat pula berarti hilangnnya sifat-sifat yang tercela. Selain itu Mustafa Zuhri mengatakan bahwa yang dimaksud dengan fana` adalah lenyapnya indrawi atau ke-basyariahan, yakni sifat manusia yang suka pada syahwat dan hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat keTuhanan, sehingga tiada lagi melihat dari pada alam wujud ini, maka dikatakan ia telah fana dari alam cipta atau dari alam makhluk.
Sedangkan Abdurrauf Singkel mengungkapkan tentang fana` dan ini menurut istilah para sufi adalah berarti hilang dan lenyap, sedangkan lawan katanya adalah baqa`, dan lebih jelasnya sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Jawahir, fana` adalah kemampuan seorang hamba memandang bahwa Allah ta`ala berada pada segala sesuatu.[17]
Dalam  menjelaskan  pengertian  fana’,  al-Qusyairi menulis, “Fananya  seseorang  dari  dirinya  dan  dari  makhluk  lain terjadi  dengan  hilangnya  kesadaran  tentang  dirinya  dan makhluk lain. Sebenarnya dirinya tetap  ada,  demikian  pula makhluk  lain, tetapi ia tak sadar lagi pada diri mereka dan pada dirinya. Kesadaran sufi  tentang  dirinya  dan  makhluk lain  lenyap  dan  pergi  ke dalam diri Tuhan dan terjadilah ittihad.”
Dengan demikian fana` bagi seorang sufi adalah mengharapkan kematian itera, maksudnya adalah mematikan diri dari pengaruh dunia. Sehingga yang tersisa hidup didalam dirinya hanyalah Tuhan semesta.
Jadi seorang sufi dapat bersatu dengan Tuhan, bila terlebih dahulu ia harus menghancurkan dirinya, selama ia masih sadar akan dirinya, ia tidak akan bersatu dengan Tuhan. Penghancuran diri tersebut senantiasa diiringi dengan baqa`, yang berarti to live and survive (hidup dan terus hidup). Adapun baqa`, berasal dari kata baqiya. Artinya dari segi bahasa adalah tetap, sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Dalam kaitan dengan Sufi, maka sebutan Baq biasanya digunakan dengan proposisi: baqa bi, yang berarti diisi dengan sesuatu, hidup atau bersama sesuatu.[18]
Dalam kamus al-Kautsar, baqa` berarti tetap, tinggal, kekal.[19] Bisa juga berarti memaafkan segala kesalahan, sehingga yang tersisa adalah kecintaan kepadanya. Dalam tasawuf, fana dan Baqa itera beriringan, sebagaiamana dinyatakan oleh para ahli tasawuf: “Apabila nampaklah nur kebaqaan, maka fanalah yang tiada, dan baqalah yang kekal. Tasawuf itu ialah fana` dari dirinya dan baqa` dengan Tuhannya, karena hati mereka bersama Allah”.
Sebagai akibat dari fana` adalah baqa. Baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Karena lenyapnya (fana`) sifat-sifat basyariah, maka yang kekal adalah sifat-sifat ilahiah.
Pencapaian Abu Yazid ke tahap fana dicapai setelah meniggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah, seperti tampak dalam ceritanya.
“Setelah Allah menyaksikan kesucian hatiku yang terdalam, aku mendengar puas dari-Nya. Maka, diriku dicap dengan keridaan-Nya. “Engkaulah yang aku inginkan,” jawabku, “karena Engkau lebih utama daripada anugrah lebih besar daripada kemurahan, dan melalui engkau aku mendapat kepuasan dalam diri-Mu…”

Jalan menuju fana menurut Abu Yazid dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan, ia bertanya, “Bagaimana caranya agar aku sampai pada-Mu?” Tuhan menjawab, “Tinggalkan diri (Nafsu)mu dan kemarilah.” Abu Yazid sendiri pernah melontarkan kata fana pada salah satu ucapannya:
أَعْرِفُهُ حَتىَّ فَنَيْتُ ثُمَّ عَرَفْتُهُ بِهِ فَحَيَيْتُ
Artinya:
“Aku tahu pada Tuhan melalui diriku hingga aku fana, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya maka aku pun hidup.” [20]
Paham baqa tidak dapat dipisahkan dengan paham fana karena keduanya merupakan paham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana, ketika itu juga ia sedang menjalani baqa. Dalam menerangkan kaitan antara fana dan baqa al-Qusyairi menyatakan, “Barangsiapa meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela, maka ia sedang fana dari syahwatnya. Tatkala fana dari syahwatnya, ia baqa dalam niat dan keikhlasan ibadah;… Barangsiapa yang hatinya zuhud dari khidupan maka ia sedang fana dari keinginannya, berarti pula sedang baqa dalam ketulusan inabahnya…”
Tetapi fana dan baqa yang sangat esensial dan penting bagi sufisme sebenarnya bukan yang satu atau yan lain, tetapi ia adalah pengalaman afektif. Dalam rangka memahami pengalaman ini, maka para sufi harus mengikuti prosedur. Dalam Qaul al-Jamil, seorang sufi India terkemuka, Syah Wali Allah (wafat  1176/1762) merinci prosedur dari tiga organisasi Sufi Utama, yaitu: Qadariyyah, Chistiyyah dan Naqsyabandiyyah. Mereka tegak dalam prinsip yang sama, walau berbeda dalam rinci. Berikut akan diringkaskan prosedur yang diikuti oleh thariqat Qadariyyah.[21]
Seorang calon sufi pertama kali harus mengikuti tahap persiapan. Ia harus mempunyai iman yang besar, menjauhi perbuatan munkar, menjauhi dosa-dosa besar (kaba>ir) dan menjauhi dosa-dosa kecil (s{aga>ir) sebanyak mungkin. Ia harus shalat wajib dan berbagai kewajiban (fara>id) yang diwajibkan syariah atasmya dan menjalankan sunnah Rasul yang terpuji.[22]
Dengan demikian, sesuatu di dalam diri sufi akan fana>’ atau  hancur  dan  sesuatu  yang lain   akan  baqa>’  atau  tinggal.  Dalam  iterature  tasawuf disebutkan,  orang  yang  fana>’  dari  kejahatan  akan   baqa>’ (tinggal)  ilmu  dalam dirinya; orang yang fana>’ dari maksiat akan baqa>’ (tinggal) takwa dalam  dirinya.  Dengan  demikian, yang  tinggal  dalam  dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu hilang dari diri sufi dan  sesuatu  yang  lain  akan  timbul sebagai  gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu. Hilang sifat buruk akan timbul  sifat  baik.  Hilang  maksiat  akan timbul takwa.
2.  Al-Ittih{a>d
Ittih{a>d secara secara bahasa berasal dari kata ittah{ada-yattah{idu yang artinya (dua benda) menjadi satu[23], yang dalam istilah para sufi adalah satu tingkatan dalam tasawuf, yaitu bila seorang sufi merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Yang mana ini adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia melalui tahapan fana>’ dan baqa>’. Dalam tahapan ittih{a>d, seorang sufi bersatu dengan Tuhan. Antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik subtansi maupaun perbuatannya.[24]
Harun Nasution memaparkan bahwa ittih{a>d adalah satu tingkatan ketika seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, satu tingkatan yang menunjukkkan bahwa yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehinggga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata, “Hai aku…”.[25]
Dengan mengutip A.R. al-Baidawi, Harun menjelaskan bahwa dalam ittih{a>d yang dilihat hanya satu wujud sunggguhpun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittih{a>d telah hilang atau tegasnya antara sufi dan Tuhan.[26] Dalam ittih{a>d, identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu. Sufi yang bersangkutan, karena fana>’-nya tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.
Al-Ghazali menjelaskan kebersatuan mutlak ini sebagai berikut: Apabila Makrifat mencapai pengalaman yang lebih tinggi, maka mereka akan bersaksi akan tiadanya sesuatu yang terlihat kecuali satu Zat yang Maha Ada (al-h{aqq). Bagi sebagian orang, ini adalah perwujudan intelektual. Tetapi bagi yang lain, ia merupakan pengalaman afektif (hala>n wa dzauqa>n); pluralitas menghilang darinya secara bersama-sama. Mereka merasa terserap ke dalam kesatuan murni (al-Fardaniyyat al-Mahdhah), kehilangan intelektunya secara utuh, pingsan dan bingung. Mereka tidak lebih sadar akan sesuatu kecuali selain Tuhan, bahakan terhadap dirinya sendiri sekaipun baginya, tiada sesuatu yang ada kecuali Tuhan; sebagi akibatnya mereka dalam keadaan kehinlangn fikiran sadar (sukr) yang telah meniadakan kemampunanya untuk mengendalikan nalar. Salah satu dari mereka berkata: “Aku adalah Tuhan”, sedang yang lain menyatakan: “Sucikanlah aku, (lihatlah) betapa agungnya aku”; sedang yang ketiga berkata: “ Tiada sesuatu di balik jubah ini kecuali Tuhan”. Apabila pengalaman mistik ini menera, biasnya disebut ketiadaan (fana`) atau bahkan ketiadaan dari ketiadaan (fana` al-fana`). Baginya ia menjadi tidak sadar akan dirniya dan tidak sadar akan ketidaksadarannya (fana`), karena ia tidak sadar akan dirinya dalam keadan demikian atau kelupaannya akan diri. Apabila ia sadar akan kelupaannya, berarti ia mulai menyadari diri-nya sendiri. Keadaan ini disebut sebagai penyatuan (ittihad) tetapi tentu saja dalam bahasa kiasan (majaz) dan dalam bahasa kenyataan (al-haqiqah) berarti pengakuan akan keesaan (tauhid).[27]
Dengan fana-Nya Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi ke hadirat Tuhan. Bahwa ia telah berada dekat pada Tuhan dapat dilihat dari Syathahat[28] yang diucapkannya. Ucapan-ucapan yang demikian belum pernah didengar dari sufi sebelum Abu Yazid, umpamanya:[29]
لَسْتُ أَتَعَجَّبَ مِنْ حُبِّيْ لَكَ فَأَنَا عَبْدٌ فَقِيْرٌ
وَلَكِنِّيْ أَتَعَجَّبُ مِنْ حُبِّكَ لِيْ وَأَنْتَ مَلِكٌ قَدِيْرٌ
Artinya:
“Aku tidak heran terhadap cintaku pada-mu karena aku hanyalah hamba yang hina, tetapi aku heran terhadap cinta-Mu padaku. Karena engkau adalah Raja Mahakuasa”
Tatkala berada dalam tahapan ittihad, Abu Yazid berkata:
قَالَ : يَا أَبَا يَزِيْدَ إِنَّهُمْ كُلَّهُمْ خَلْقِيْ غَيْرَكَ فَقُلْتُ: فَأَنْتَ أَنَا وَأَنَا أَنْتَ
Artinya:
“Tuhan berkata, ”Semua mereka –kecuali engkau- adalah makhluk.” Aku pun berkata, “Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau.”
Selanjutnya Abu Yazid berkata lagi:
فَانْقَطَعَ المُنَاجَةُ فَصَارَ الكَلِمَةُ وَاحِدَةً وَصَارَ الكُلُّ بِالكُلِّ وَاحِدًا. فَقَالَ لِي: يَا أَنْتَ، فَقُلْتُ بِهِ: يَا أَنَا، فَقَالَ لِي: أَنْتَ الفَرْدُ. قُلْتُ : أَنَا الفَرْدُ قَالَ لِي: أَنْتَ أَنْتَ: أَنَا أَنَا
Artinya:
“Konversasi pun terpututs, kata menjadi stu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Ia pun berkata, “Hai engkau, “Aku pun- dengan perantaraan-Nya enjawab, “Hai Aku, “Ia berkata, “Engkaulah yang satu. “engakau adalah Engkau.” Aku balik menjawab, “Aku adalah Aku.”
إِنِّيْ أَنَا اللهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدْنِي
Artinya:
“Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku.”
Suatu ketika seseorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu, Abu Yazid bertanya, “Siapa yang engkau cari?” Orang itu menjawab, “Abu Yazid”, Abu Yazid berkata. ”Pergilah, di rumah ini tidak ada, kecuali Allah yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi.
Dialog antara Abu Yazid dengan Tuhan ini menggambarkan bahwa ia dekat sekali dengan Tuhan. Godaan Tuhan untuk mengalihkan perhatian Abu Yazid ke makhluk-Nya  ditolak  Abu  Yazid.  Ia tetap  meminta  bersatu  dengan  Tuhan.  Ini  kelihatan dari kata-katanya, “Hiasilah aku dengan  keesaan-Mu.”  Permintaan Abu   Yazid   dikabulkan  Tuhan  dan  terjadilah  persatuan, sebagaimana  terungkap  dari  kata-kata  berikut  ini,  “Abu Yazid,  semuanya  kecuali  engkau adalah makhluk-Ku.” Akupun berkata, aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau.”
Ucapan-ucapan Abu Yazid diatas kalau diperhatikan secara sepintas memberikan kesan bahwa ia syirik kepada Allah. Karena itu di dalam sejarah ada sufi yang ditangkap dan dipenjarakan karena ucapannya membingungkan golongan awam.[30]
Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Abu Yazid. Menurut penulis bukan berarti bahwa Abu Yazid sebagai Tuhan, akan tetapi kata-kata itu adalah suara Tuhan yang disalurkan melalui lidah Abu Yazid yang sedang dalam keadaan fana>’ an nafs.
Abu Yazid tidak mengakui dirinya sebagai Tuhan seperti Firaun. Proses ittihad di sisis Abu yazid adalah naiknya jiwa manusia ke hadirat Allah, bukan melalui reinkarnasi, sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya yang disadari dan dilihat hanya hakikat yang satu yakni Allah. Bahkan dia tidak melihat dan menyadari dirnya sendiri, karena dirinya terlebur dalam dia yang dilihat.

C. Corak Pemikiran Abu Yazid Al-Bustami
Berkembangnya tasawuf sebagai jalan dan latihan untuk merealisir kesucian batin dalam perjalanan menuju kedekatan dengan Allah, menarik perhatian para pemikir muslim yang berlatar belakang teologi dan filsafat. Dari kelompok inilah tampil sejumlah sufi yang filosofis atau filosof dan sufis. Konsep-konsep tasawuf mereka disebut tasawuf filsafati yakni tasawuf yang kaya akan pemikiran-pemikiran filsafat.[31] Salah satu dari tokoh sufi yang memiliki corak pemikiran filsafati atau teosofi yaitu Abu Yazid Al-Bustami. Selain beliau, tokoh sufi lain yang juga dikenal sebagai perintis yaitu Ibn Musarrah dari Andalusia.[32]



D. Karya-karya Abu Yazid Al-Bustami
Abu Yazid tidak meninggalkan karya tulis, tetapi ia mewariskan sejumlah ucapan dan ungkapan mengenai pemahaman tasawwufnya yang disampaikan oleh murid-muridnya dan tercatat dalam beberapa kitab tasawwuf klasik, seperti ar-Risalah al-Qusyairiyyah, Tabaqat as-Sufiyyah, Kasyf al-Mahjub, Tazkirah al-Auliya, dan al-Luma. 
Suatu ketika seseorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu, Abu Yazid bertanya, “Siapa yang engkau cari?” Orang itu menjawab, “Abu Yazid”, Abu Yazid berkata. ”Pergilah, di rumah ini tidak ada, kecuali Allah yang maha kuasa dan Mahatinggi.[34] Secara harfiah, ungkapan-ungkapan Abu Yazid atau yang juga dikenal Bayazid itu adalah pengakuan dirinya sebagai Tuhan dan atau sama dengan Tuhan. Akan tetapi sebenarnya bukan demikian maksudnya. Dengan ucapannya Aku adalah Engkau bukan ia maksudkan akunya Bayazid pribadi. Dialog yang terjadi sebenarnya adalah monolog. Kata-kata itu adalah firman Tuhan yang disalurkan melalui lidah Bayazid yang sedang dalam keadaan fana’an nafs.[35]

BAB III
KESIMPULAN

1.    Abu Yazid Al-Bustami dilahirkan dari keluarga yang  taat  beragama, tetapi diantara saudara-saudaranya yang lain Abu Yazid Al-Bustamilah yang paling agung budinya.
2.    Pada masa hidupnya Abu Yazid Al-Bustami dikenal sebagai tokoh sufi kontroversial dan sering masuk penjara karena pemikirannya yang tidak bisa dinalar atau disalah artikan oleh manusia pada umumnya.
3.    Abu Yazid Al-Bustami merupakan tokoh sufi pertama yang memunculkan pemikiran Fana’ dan baqa’.
4.    Corak pemikiran Abu Yazid Al-Bustami yaitu filsafati karena konsep-konsep tasawufnya kaya akan pemikiran-pemikiran filsafat.
5.    Karya-karya Abu Yazid Al Bustami tidak berupa suatu karya tulis atau buku melainkan kata-kata yang disebut satahat.
 
DAFTAR PUSTAKA

Oman fathurrahman, Tanbih al-Masyi; menyoal wahdatul wujud kasus Abdurrauf singkel di Aceh Abad 17, (Cet. I, Jakarta: Mizan, 1999)

Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai Aspek, Jilid II, (Cet. I; Jakarta; UI Press, 2002)

Rosihan Anwar, dan Mukhtar Solihin,  Ilmu Tasawuf, (Cet. II; Bandung, Pustaka Setia, 2004)

H. M. Ruddin Emang, Akhlaq Tasawuf, (Ujungpandang: Identitas, 1994)

Muhammad Abd. Haq Ansari, Merajut Tradisi Syari`ah dengan Sufisme, (Cet. I, PT.Rajagrafindo Persada; Jakarta; 1997)

Husin al-Habsyi, Kamus al-Kautsar (Arab – Indonesia), (Darussagaf P.P. Alawy; Surabaya, 1997)

Oman fathurrahman, Tanbih al-Masyi; menyoal wahdatul wujud kasus Abdurrauf singkel di Aceh Abad 17, (Cet. I, Mizan; Jakarta, 1999)

Wardana, Abu Yazid Al-Bustami, (Makalah PPS Alauddin; Makassar; 2001)

An-Naisabury, Abdul Qasim Al-Qusyairy.1999. Risalatul Qusyairiyah,Induk Ilmu Tasawuf. Surabaya : Risalah Gusti

Isa, Ahmadi.2000. Tokoh-tokoh Sufi. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada

Mustafa,Ahmad.1997. Akhlak –Tasawuf . Bandung : CV.Pustaka Setia

Siregar,H.A.Rivay.1999. Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neosufismr. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada



[1]Oman fathurrahman, Tanbih al-Masyi; menyoal wahdatul wujud kasus Abdurrauf singkel di Aceh Abad 17, (Cet. I, Mizan; Jakarta, 1999), h. 20
[2]Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai Aspek, Jilid II, (Cet. I; Jakarta; UI Press, 2002) h. 68
[3]Oman fathurrahman, Loc. Cit
[4]Rosihan Anwar, dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Cet. II; Bandung: Pustaka Setia, 2004) h. 8.
[5] Rosihan Anwar, dan Mukhtar Solihin, Op. Cit. h. 130
[6]Abdul Qasim Al-Qusyairy an Naisabury, Risalatul Qusyairiy, (Surabaya : Risalah Gusti,1999), Hal. 493
[8] Ahmadi Isa, Tokoh-tokoh Sufi,(Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada,2000), Hal.139
[9]M Ruddin Emang, Akhlaq Tasawuf, (Ujungpandang: Identitas, 1994) h. 51
[10]Ibid
[11] Ahmad Mustafa, Akhlak –Tasawuf ,( Bandung : CV.Pustaka Setia,1997), Hal.261
[12]Muhammad Abd. Haq Ansari, Merajut Tradisi Syari`ah dengan Sufisme, (Cet. I, Jakarta: PT.Rajagrafindo Persada, 1997) h. 47
[13]Husin al-Habsyi, Kamus al-Kautsar (Arab – Indonesia), (Surabaya: Darussagaf P.P. Alawy, 1997) h. 362
[14] Rosihan Anwar, dan Mukhtar Solihin, Loc. Cit. h. 130
[16] Darul Fikri,Konsep Abu Yazid Al-Bustami. (Online). 
[17]Oman fathurrahman, Tanbih al-Masyi; menyoal wahdatul wujud kasus Abdurrauf singkel di Aceh Abad 17, (Cet. I, Jakarta: Mizan, 1999) h. 74-75.
[18]Muhammad Abd. Haq Ansari, Loc. Cit. h. 47
[19]Husin al-Habsyi, Loc. Cit. h. 26
[20]Muhammad Abd. Haq Ansari, Loc. Cit. h. 48
[21]Muhammad Abd. Haq Ansari, Loc. Cit. h. 48
[22]Ibid
[23]Husin al-Habsyi, Loc. Cit. h. 581
[24]Rosihan Anwar, dan Mukhtar Solihin, M.Ag, Loc. Cit. h. 133
[25]Ibid
[26]Ibid
[27]Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari, Loc. Cit. h. 53
[28] Syathahat adalah ucapan-ucapan yang dikeluarkan seorang sufi ketika ia mulai berada di pintu gerbang ittihad.
[29] DR. Rosihan Anwar, M.Ag dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag, Loc. Cit. h. 132 – 133
[30] Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari, Op. Cit. h. 135
[31] Rivay.Siregar.Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neosufismr. (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada,1999). Hal.143
[32] Ibid.
[34] Ibid
[35] Rivay.Siregar.Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neosufismr. (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada,1999). Hal.154

Comments

BERITA TERBARU !!

Popular posts from this blog

BIL MA'TSUR ( TAFSIR AYAT DENGAN AYAT )

CARA MELAKUKAN TAKHRIJ HADIS

download TAFSIR AL-NASAFIY

cara atau Kaedah al-Jarh Wa al-Ta’dil Serta Aplikasinya

HADIS TARBAWIY DAN AKHLAK (BERKURANGNYA IMAN KARENA MAKSIAT)

kaedah 'ATAF - AL-'ATFU DALAM AL-QUR'AN

cara TAMBAHAN - kaedah ZIYADAH DALAM AL-QUR'AN

cara melakukan MUNASABAH AYAT

MANHAJ THABATHABAI DALAM al mizan

KAEDAH 'AM DAN KHAS