RUANG LINGKUP ILMU AL-JARH DAN AL-TA’DIL
Di dalam ilmu al-Jarh dan Al-Ta'dil, akan kita temukan
beberapa poin-poin pokok pembahasan yang insya Allah akan kami sebutkan
sebagian ruang lingkup dari pembahasannya sebagai gambaran umum terhadap pembahasan ilmu
Al-Jarh dan Al-ta’dil tersebut.
Pembahasan ilmu al-Jarh dan Al-Ta'dil mencakup sebagai berikut :
A. PENGERTIAN ILMU AL-JARH DAN
AL-TA'DIL
Jarh ada dua
macam: jarh material dan jarh inmaterial.
a. Jarh material, yaitu suatu bentuk jarh (luka)
menimbulkan bekas cedera atau luka pada fisik manusia yang disebabkan oleh
benda taja dan sebagainya. Bentuk jarh semacam ini tidak termasuk dalam
pembahasan buku ini.
b. Jarh inmaterial, yaitu suatu bentuk jarh (luka)
nonfisik, seperti menyebutkan sifat-sifat kejelekan seseorang dengan
menggunakan ucapan atau bentuk tulisan. Bentuk jarh semacam ini menjadi topik
(masalah) pembahasan buku ini.
Sebagaimana yang telah kita bahas pada pertemuan yang
lalu tentang pengertian ilmu al-Jarh dan Al-Ta'dil adalah :
1. Al-Jarh
Al-Jarh menurut bahasa adalah berasal
dari akar kata jaraha-yajrihu yang berarti luka atau menolak (mis:
kesaksian seseorang), sedangkan secara terminologi al-jarh berarti
terlihatnya karakter perawi yang bisa menghilangkan sifat adil dan bisa
melemahkan kekuatan hafalan yang ia miliki, yang mana akan berimplikasi cacat atau
lemahnya hadits yang ia riwayatkan.
2. Al-Ta’dil
Ta’dil
(adil) dalam etimologi bermakna suatu karakter yang konsisten, tidak
sewenang-wenang, atau lalim yang berada dalam diri seseorang, sedangkan al-‘adl
secara terminology adalah suatu karakter yang tidak nampak akan merusak
citra agama ataupun harga diri seseorang. Lalu makna dari istilah al-ta’dil sendiri
adalah pensifatan seorang rawi dengan sifat-sifat yang mengharumkan namanya,
sehingga nampak sifat adilnya dan hadits yang ia riwayatkan dapat diterima.
B. PERTUMBUHAN ILMU AL-JARH DAN
AL-TA'DIL
Ilmu ini tumbuh bersama-sama dengan tumbuh periwayatan dalam islam,
karena untuk mengetahui hadits-hadits yang shahih perlu mengetahui keadaan
perawi-perawinya, secara yang memungkinkan ahli-ilmu menetapkan kebenaran
perawi, atau kedustaannya hingga dapatlah mereka membedakan antara yang
diterima dengan yang ditolak.
Karena itu para ulama menanyakan tentang keadaan perawi, meneliti
kehidupan ilmiah mereka, mengetahui segala keadaan mereka, hingga mengetahui
siapa yang lebih hafal, lebih kuat ingatan, lebih lama menyertai guru.
C. HUKUM JARH MENCELA PERAWI
Al Imam An Nawawi dalam muqaddimah Syarah Muslim mengatakan bahwa telah
sepakat para ulama membolehkan kita mencecat para perawi lantaran hal itu
diperlukan untuk memelihara agama. Hal ini tidak dipandang upat, bahkan bahkan
dipandang suatu nasehat yang harus kita lakukan demi kepentingan agama.
Ulama-ulama dan tokoh-tokoh utama membuat yang demikian.
Begitupula apa yang diucapkan oleh Al Gazzali dalam Ihyaul Ulum dan An Nawawi
dalam Riyadlusshalihin dan lain-lain.
Ada enam sebab yang membolehkan mencela perawi:
a. Karena teraniaya. Boleh bagi teraniaya mengatakan
kepada hakim bahwa dia telah dizalimkan
oleh sipolan.
b. Meminta pertolongan untuk membasmi kemungkaran. Maka
seseorang boleh mengatakan kepada penguasa atau kepada yang dapat menghilangkan
kemungkaran si anu membuat begini-begini, maka tegurlah dia.
c. Untuk meminta fatwa. Maka manusia mustafti boleh
mengatakan kepada mufti (umpamanya) telah brtindak zalim kepada dirinya dan
mengupayakan untuk melepaskan diri kepada kezaliman itu.
d. Untuk menghindarkan diri dari kejahatan. Masuk ke
dalam bidang ini, mencela diri saksi (menyebut cacatan-cacatan pada diri saksi)
di hadapan hakim dan mencela para perawi hadits yang memang harus dicela.
Tindakan ini, boleh hukumnya dengan ijma’ segala ulama, bahkan wajib.
e. Orang yang cacat itu, orang yang terang-terang berbuat
bid’ah. Maka boleh boleh disebut secara terang-terang bid’ah yang dianut dan
maksiat yang dilakukan.
f. Untuk memperkenalkan pribadi sebenarnya.
D. MANHAJ ULAMA DALAM DALAM
MENERANGKAN KEADAAN RAWI
Manhaj (jalan yang ditempuh) ulama dalam menerangkan tentang keadaan
rawi mempunyai beberapa segi keistimewaan dan mereka dalam hal ini mempunyai
beberapa kaedah. Yang terpenting diantaranya adalah :
1. Amanah dan nazahah dalam menetapkan suatu ketetapan
dalam menilai para perawi itu.
Sifat amanah merupakan suatu qaidah umum yang mereka terapkan dalam
menerangkan kebenaran walaupun terhadap diri mereka sendiri.
2. Sangat teliti dalam membahas dan menetapkan hukum.
3. Mereka memelihara benar-benar tata adab dalam mencecat
para perawi,.
4. Meringkaslkan ta’dil dan m,emberikan penjelasan dalam
tajrih.
E. SYARAT-SYARAT ULAMA AL-JARH
DAN AL-TA’DIL
Seorang ulama Al-jarh dan Al-ta’dil harus memenuhi kriteria-kriteria
yang menjadika obyektif dalam upaya menguak karakteristik para periwayat.
Syarat-syaratnya adalah :
1. Berilmu, bertaqwa, wara’ dan jujur. Karean bila ia
tidak memiliki sifat-sifat ini, maka bagaimana ia dapat menghukumi orang lain
dengan Al-jarh dan al-ta’dil yang senantiasa membutuhkan keadilannya. Al Hafizh
berkata “seyogyanya Al-jarh dan Al-ta’dil tidak diterima kecuali orang
yang adil dan kuat ingatannya, yakni orang yang mampu mengungkapkan hadis dan
kuat ingatannya sehingga menjadikannya berhati-hati dan ingat dengan tepat
terhadap hadis yang ia ucapkan.
2. Ia mengetahui sebab-sebab Al-jarh dan Al-ta’dil. Al-Hafizh
ibn Hajar menjelaskan dalam syrah An-Nukhbah, “Tazkiyah (pembersihan
terhadap diri orang alin) dapat diterimah bila dilakukan oleh orang yang
mengetahui sebab-sebabnya, bukan dari orang yang tidak mengetahuinya, agar ia
tidak memberikan tazkiyah hanya dengan apa yang kelihatan olehnya dengan
sepintas tanpa mendalami dan memeriksanya.”
3. Ia mengetahui penggunaan kalimat-kalimat bahasa Arab,
sehingga suatu lafazh yang digunakan tidak dipakai untuk selain maknanya, atau
men-jarh dengan lafazh yang tidak sesuai untuk men-jarh.
4. Tidak di Jarh oleh kritikus yang lain.
Barang siapa yang tidak menyempurnakan persyaratan di atas maka tidak
diterimah ungkapan pendapatnya terhadap rawi yang yang lain.
F.
KRITIK YANG DITERIMAH DAN YANG DITOLAK
Kritikmitu ada yang mutlak ada pula yang musabbab :
1. Kritik mutlak adalah bila seorang kritikus melontarkan jarh dan
ta’dil tanpa menyebutkan factor penyebab atau factor pertimbangan. Kritik
semacam itu dinamakan Al-jarh Al-mubham atau al-ta’dil Al-Mubham.
2. Kritik musabbab ialah bila seorang kritikus melontarkan jarh dan
ta’dil dengan menyebutkan factor penyebab atau factor pertimbangan. Kritik
semacam ini dinamakan Al-jarh Al-mufassar atau Al-ta’dil Al-mufassar(yang
dijelaskan). Para ulama telah sepakat menerima krirtik yang dijelaskan ini
jika factor penyebabnya itu kuat menurut ahli kritik, jika factor penyebabnya
itu tidak kuat menurut ahli kritik, maka tidak diterimah.
Sedangkan kritik yang tidak menjelaskan factor penyebab tajrih masih
dipersilisihkan oleh para ulama.
G. CARA UNTUK MENGETAHUI
KETERPUJIAN DAN KETERCELAAN SEORANG PERAWI
Seorang rawi diketahui keterpujiannya dengan salah satu dari 2 hal
berikut :
1.
Keadilannya dikenal dikalangan ulama ahlul ilmi, seperti malik bin anas,
sufyan ats-tsauriy, syu’bah bin Al-hajjaj iamam ahmad dan sebagainya. Maka
tidaklah sah jika masih dipertnyakan karena dengan keterkenalannya lebih di
atas dari kecerdasan seorang rawi atau 2 rawi.
Begitupula dengan ketercelaan
seorang rawi jika ia sudah dikenal karena kefasikannya, pembohong dan
sebagainya maka tidak usah lagi dipertanyakan.
H. PERTENTANGAN ANTARA JARH DAN
TA’DIL
Bila terjadi pertentangan antara jarh dan Ta’dil
terhadap seorang rawi, maka dalam hal ini terdapat beberapa pendapat ulama :
1.
Pendapat yang sahih adalah yang dikutif oleh Al-Khatib Al-Baghdadi dari
jumhur ulama dan dishahihkan oleh ibn Al Shalah dan muhaddis yang lain serta
sebagian ulama ushul. Mereka berkata bahwa Jarh didahulukan atas ta’dil
meskipun yang menta’dil itu lebih banyak. Ini karena orang yang menta’dil hanya
memberitakan karakteristik yang tampak baginya, sedangkan orang yang menjarh
memberitakan karakteristik yang tidak tampak dan samar bagi orang yang menta’dil.
2.
Didahulukan ta’dil atas jarh jika orang yang menta’dil lebih banyak dari
orang menjarah, karena banyaknya orang yang menta’dil memperkuat keadaan rawi,
Akan tetapi pendapat ini ditolak karena orang yang menta’dil walaupun mereka
banyak tapi tidak memberitakan apa yang diungkapkan oleh orang yang menjarah.
3.
Jika terjadi pertentangan antara jarh dan ta’dil maka keduanya tidak ada
yang dikuatkan kecuali ada seseorang yang menguatkan dalam hal ini
berhenti mengamalkan kedua pendapat
tersebut kecuali dating seseorang kritikus menguatkan salah satunya.
I.
MACAM-MACAM KAIDAH JARAH DAN TA’DIL
Kaidah kaidah jarah dan ta’dil ada dua macam:
a.
Pertama, bersandar kepada cara-cara periwayatan hadits, shah
periwayatan, keadaan perawi dan kadar kepercayaan kepada mereka.
Disebut pula Naqdun Kharijiyun = kritik yang dating dari luar hadits (kritik
yang tidak mengenal diri hadits).
b.
Kedua, berpautan dengan hadits sendiri, apakah maknanya shahih atau
tidak dan apa jalan keshahihannya dan keadaan keshahihannya.
Ibnu Hajar dalam muqaddimah Fathul
Bari berkata, “Tiadalah diterima pencacatan terhadapseeorang terkecuali
terdapat sesuatu yang terang mencacatkan, karena sebab-sebab mencecatkan
seseorang, bebeda-beda.Dan semuanya berkisar sekitar lima hal, yaitu: bid’ah,
menyalahi orang lain, kesilapan, tidak diketahui keadaan di perawi, ada tuduhan
bahwa sanadnya mungqathi’.
J.
TINGKATAN (MARTABAT) TAJRIH DAN TA’DIL
1.
Tingkatan Ta’dil
a)
Tingkatan pertama (Tertinggi) : penyipatan rawi yang menunjukkan bentuk
keta’dilan dan kedhabitan tertinggi (bentuk mubalaghah), seperti : “Ilaihi
Al-Muntaha Fi Al-Dhabti Wa Al-Tasabut” Maksudnya : ia sangat tinggi dalam
segi ketelitian dan kecermatan,,
Autsaqu An-Nas, Adh-Bath An-Nas dan Laisa Lahu Nadzir.dan
lain-lain.
b)
Tingkatan kedua : penyipatan rawi yang menunjukkan kemasyhuran dalam
keta’dilan dan kecermatan (Al tatsabut),
seperti “fulan la tusalu ‘anhu” maksudnya seorang rawi yang tak
dipertanyakan lagi.
c)
Tingkatan ketiga : penyipatan rawi yang menunjukkan mkecermatan
(tasabut) dan memperkukuh sifat rawi denhgan pengulangan sifat yang sama atau
yang sepadan seperti “Hujjah Hujjah”.
d)
Dan masih ada lagi yang lain.
2.
Tingkatan Jarh
a)
Tingkatan tertinggi : Penyifatan rawi yang menunjukkan hanya sekedar Dha’if
atau tidak bias dijadikan pegangan
seperti lafal-lafal “Layyin Al-Hadis” Maksudnya hadis yang lemah.
b)
Tingkatan kedua : penyifatan rawi dengan tingkat kedha’ifannya yang
lebih besar dari pensifatan yang sebelumnya atau yang menunjukkkan sesuatu yang
harus ditinggalkan seperti, “Dha’if” maksudnya hadis munkar.
c)
Tingkatan ketiga : penyifatan rawi yang menggugurkan hadis, seperti
“mardudul hadis” maksudnya hadisnya ditolak.
d)
Dan masih ada lagi yang lainnya.
K. ULAMA-ULAMA YANTERKENAL
DALAM JARH DAN TA’DIL.
1. Tokoh-tokoh kritikus abad
pertama
Pada zaman itu telah dikenal kritikus dari kalangan sahabat ialah
‘Ubadah bin Al-Shamit yang wafat tahun 93 H. Dari kalangan tabi’in ialah ‘ Amir
bin syarahi yang dikenal denganAs-Sya’bi yang wafat tahun 109 H dan Muhammad
bin Sirin yang wafat tahun 110 H.
2. Tokoh-tokoh kritikus abad
kedua
Telah diketahui bahwa banyak kalangan tabi’in kecil (yunior) dan tabiit
tabiin yang memiliki kelamahan daya daya hafal dan kurangnya kecermatannya.
Kebanyakan mereka adalah mursal (tidak bersambung) atau raf’ul mursal (memarfu’kan
hadits yang lepas.
Orang yang pertama melakukan pengkajian perawi ialah sulaiman bin Mahran
yang dikenal dengan Al-A’masy yang wafat tahun 148 H dan Syu’bah bin Al-Hajjaj
yang wafat tahun 160 H. Mereka adalah orang-orang yang penuh perhatian terhadap
periwayatan sehingga mereka hanya mau meriwayatkan dari rawi tsiqat saja, dan
tokoh kritikus hadits pada zaman itu ;
1. Hisyam bin Abi Abdillah yang dikenal dengan Hisyam
Al-Dastawaai, wafat tahun 152 H.
2. Ma’mur bin Rasyid Al-Azdiy yang dikenal dengan Abi
Urwah Al-Bashri yang wafat tahun 153 H.
3. Abdurrahman bin Amr, imam (tokoh) penduduk syam yang
dikenal dengan Abi Amr Al-Auza’I, seorang faqih mujtahid, muhaddits kritikus
yang wafat tahun 157 H.
4. Sufyan bin Sa’id binMasruq yang dikenal dengan Sufyan
Ats-Tsauri yang dinisbatkan kepada Tsaur ‘bin Abd Manaf bukan kepada Al Taurah.
5. Dan lain-lain.
L. KITAB-KITAB YANG TERKENAL DALAM
BIDANG JARAH DAN TA’DIL
Kesungguhan para ulama dalam menyusun ilmu jarhi
watTa;dil berpangkal pada akhir abad kedua hijrah, yaitu di ketika pembukuan
hadits berkembang disegenap kota-kota islam lahir mereka macam kitab dalam
berbagai bidang.
Kitab-kitab yang lahir pada masa itu, merupakan titik
tolak bagi karya-karya besar yang lahirkemudian. Permulaan kitab yang disusun
dalam bidang ini ialah : hasil karya yahya ibn Ma’in (158-233 H), hasil karya
Ali ibnul madini (161-234 H), hasil karya Ahmad ibn Hambal (164-241 H). Sesudah
itu barulah lahir kitab-kitab yang besar yang mengumpulkam pendapat-pendapat
imam-imam jarah dan ta’dil. Kitab-kitab tersebut ini ada yang sederhana isinya
dan ada yang sangat luas isinya. Yang paling kecil diantara kitab-kitab itu,
ialah : kitab yang terdiri hanya satu jilid yang menerangkan keadaan beberapa
ratus perawi. Yang paling luas, terdiri
atas beberapa jilid menerangkan keadaan puuhan ribu perawi.
Kitab yang paling tua yang sampai ke tangan kita
ialah: kitab Ma’rifatul RIijal, karangan Ibn Ma’in, Ad Dlu’afa karya Bukhari
(194-236 H), dan kitab Adl Dlu’afa wal Matrukin, karya An Nasa-I (215-303 H). Diantara
kitab-kitab yang terkenal ialah: kitab Ats Tsiqat, karangan Abu Hatim ibnu
Hibban Al Busti, wafat pada tahun 354 H. Dan Al Kamil, karya Al Hafidh Abdullah
ibn Muhammad ibn Adiy Al Jurjani
(277-365 H).
M.
HAL-HAL LAIN YANG BERKAITAN DENGAN AL-JARH DAN
AL-TA’DIL
1.
Faktor yang mendorong kritik perawi
Penyebab dan dorongan untuk mengeritik perawi berbeda-beda berdasarkan
perbedaan pandangan ulama yang mengeritik. Mereka sepakat mengeritik seorang
perawi. Terkadang terjadi perbedaan, yaitu sebagian ulama menjarh dan sebagian
ulama menta’dil.
Permasalahan jarh dan Ta’dil ini sangat penting, Sehingga imam ibn hajar
mencoba mengkaji factor-faktor yang mendorong tajrih ini dalam beberapa factor,
diantaranya :
a) Tajrih (kritik) karena penganut bid’ah(Al-Tajrih bi
Al Ibtida’)
b) Tajrih karena menyalahi perawi terpercaya (al-Tajrih
bi mukhlafah al-Tsiqat)
c) Tajrih karena kekeliruan (Al-Tajrih bi Al-Ghlath)
d) Tajrih karena tidak diketahui identitasnya (Tajrih
bijahalah Al-hal)
e) Tajrih karena terputus sanad (Tajrih li Inqitha
As-sanad)
2.
Jenis laki-laki, yang Merdeka dan anak kecil.
Pena’dilan itu seperti halnya sifat Amanah tidak dibedakan
berdasarkan jenis kelaminnya, baik itu laki-laki atau perempuan, merdeka atau
tidak merdeka. Sehingga jelas bahwa sifat adil itu satu dalam nama, dalil dan
fenomenanya. Laki-laki dan perempuan itu sama. Hamba sahaya dan merdeka juga
sama. Mereka dinilai sama dalam Al Jarh dan Al-ta’dil, Oleh karena itu,
pembicaraan mereka itu diterimah
hanyalah dari pendapat yang adil atau terpercaya darimana pun sumbernya.Akan
tetapi menurut muh. Hasbiy As-Siddiqiy dalam bukunya pokok-pokok ilmu dirayah
hadis, beliau menyebutkan bahwa kebanyakan ulama fuqaha madinah tidak
menrimanya, sedangkan menurut pendapat Al-Qadly Abu Bakar Ta’dil wanita itu
diterimah.
Sedangkan ta’dil terhadap anak kecil para ulama sependapat menetapkan,
bahwa ta’dil terhadap anak kecil itu tidak diterimah, dan mereka sepakat untuk
menerima ta’dil dari budak belian.
3.
Tata tertib ulama Al-jarh dan Al-Ta’dil
Ada
beberapa point tata tertib yang perlu diperhtikan oleh ulama Al-jarh dal
al-ta’dil, di antaranya yang terpenting adalah :
a) Bersikaf obyektif dalam Tazkiyah, sehingga ia
tidak meninggikan seorang rawi dari martabat yang sebenarnya dan
merendahkannya, sebagaimana yang terjadi bagi kebanyakan manusia dewasa
sekarang ini.
b) Tidak boleh jarah melebihi kebutuhan, karena jarh itu
disyariatkan lantaran darurat; sementara darurat itu ada batasnya.
c) Tidak boleh hanya mengutif jarh saja sehubungan dengan
orang yang dinilai jarh oleh sebagian kritikus, tapi dinilai adil oleh sebagian
lainnya, karena sikaf yang demikian berarti telah merampas hak rawi yang
bersangkutan dan para muhadditsin mencela sikaf yang demikian.
d) Tidak boleh jarh terhadap rawi yang tidak perlu
dijarh, karena hukuimnya disyariatkan lantasan darurat.
4.
Perawi-perawi yang tak dikenal
Al-Khatib
Al-Bagdadi dalm itab Al-Kifayah berkata, “orang yang majhul menurut Ahli hadis,
ialah orang yang tidak dikenal mencar hadis dan tidak pula dikenalnya oleh para
ulama dan orang yang hanya diterimah dari seorang perawi saja, seperti amar
darinur, jabbar at tha-I, Abdullah ibn A’waj Al hamdani dan sa’is ibn Haddan. Semua
mereka ini hanya diriwayatkan haditsnya oleh abu ishaq As sabi’ie. MAka apabila
ada dua orang yang meriwayatkan dari seorang muhaddis, hilanglah nama jahalah
yakni jahalatul ‘ain dari seorang muhaddits itu, karenanya tidaklah diterimah
perkataan orang bahwa musa ibn hilal Al-‘Abdi seorang majhul, karena ada
beberapa orang kepercayaan yang meriwayatkan hadits darinya. Dengan demikian
hlanglah sifat kemajhulan darinya.
5.
Keharusan
berhati-hati dalam menjarahkan para perawi
Tidaklah boleh
kita terlalu cepat menghukum kemajruhan seorang perawi lantaran ada yang
menjarahkannya. Tetapi ita harus menelitri lebih jauh, karena mencela seseorang
bukanlah soal yang mudah. Kerapkali pencelaan yang dihadapkan oleh seseorang,
kita ketemukan sebab-sebab yang menolak celaan itu. Terkadang para pencela
adalah orang yang dirinya cacat. Maka karenanya kita tidak boleh menerima
perkataannya selama belum ada yang menyetujuinya. Ada pula orang yang sangat
ketat yang mencela para perawi dengan sebab yang paling kecil, maka kita tidak
boleh menerima celaannya, kecuali disetujui oleh tokh-tokoh hadits yang lain.
Demikianlah gambaran umum tentang
ruang lingkup pembahasan ilmu Al-jarh dan Al-Ta’dil sebagaimana yang telah kami
sebutkan di atas, semoga setelah membaca dan menelaahnya bias bermamfaat bagi
kita. Kalau ada salahnya, itu datangnya dari kami dan benarnya dating dari
Allah swt. Lebih dan kurangnya mohon dimaafkan.
WASSALAM
DAFTAR
PUSTAKA
Dr.muhammad
‘Ajjaj Al-Khatib, 1989. Usuhk Al-Hadis Ulumuhu wa Mustalahuh, Dar
Al-Fikri : Bairut.
teungku,
m. hasbi ash shiddieqy, 1997, sejarah dan pengantar Ilmu Hadis cetakan
I Edisi II, Semarang ; PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA.
Lihat,
m. hasbi ash shiddieqy, 1958. pokok-pokok ilmu dirayah hadits, cet
keenam. PT. Bulan Bintang ; Jakarta.
Tafsir
hadits fakultas ushuluddin IAIN Sunan Ampel (jurnal ilmiah Al afkar)
Lihat,
Dr,Nuruddin ITR, 1995. Ulum Al-Hadis,. Cet. II. : Bandung
; Dar Al-Fikri Damaskus.
Lihat, Dr.mahmud Ali Fayyad, 1998. METODOLOGI
PENETAPAN KESHAHIHAN HADIS. Cet. I. Bandung ; CV PUSTAKA SETIA.
Comments
Post a Comment