A. Sejarah Terbentuknya, Kemajuan yang Dicapai Dinasti Fatimiah di Mesir
1.
Sejarah
Terbentuknya
Apabila dikaji secara mendalam tentang aliran-aliran dalam Islam,
maka akan dikemukakan aliran Syi’ah. Aliran ini timbul akibat gejolak politik antara
Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah ibn Abu Sufyan. Dalam Syi’ah terdapat sekte Imamiyah yang menjadi embrio timbulnya sekte Imam 12 dan sekte Imam
Sab’ah atau yang lebih dikenal dengan sekte
Isma’iliyah. Kaum Syi’ah Isma’iliyah itu sendiri muncul karena berselisih
paham dengan Syi’ah Imamiyah tentang imam yang ketujuh. Menurut kaum Imamiyah,
imam yang ketujuh adalah Putra Ja’far yang bernama Musa al-Kazhim,
sedangkan
menurut Isma’iliyah imam yang ketujuh adalah Putra Ja’far yang bernama Ismail.
Sehingga meskipun Ismail sudah meninggal, kaum Isma’iliyah tidak mau mengakui
penobatan Musa al-Kazhim sebagai imam. Menurut mereka hak atas Ismail sebagai
imam tidak dapat dipindahkan kepada yang lain walaupun sudah meninggal. Bisa
dilihat silsilah hubungan antara kedua belas imam:
Dalam
perkembangan sejarahnya, aliran Syi’ah selalu menjadi golongan marginal, baik
pada masa Dinasti Umayyah maupun Dinasti Abbasiyah, walaupun tatkala Dinasti Abbasiyah
berjuang dan berhasil mengambil alih kekuasaan dari Dinasti Umayyah yang pada saat itu mempunyai
andil besar. Tahun 172 H/789M berdiri Dinasti Idrisiyah yang didirikan oleh
Muhammad ibn Idris ibn Abdillah di Maroko. Dinasti Idrisiyah berkuasa sampai
tahun 314H/926M.
Kondisi
marginalistik ini membangkitkan aliran Syi’ah dari sekte Isma’iliyah. Gerakan Isma’iliyah
ini dipelopori oleh Abdullah ibn Ismail yang bersifat gerakan bawah tanah
(rahasia). Hal ini disebabkan antara lain sikap Khalifah Harun al-Rasyid yang
ingin menangkapnya karena dituduh ingin merebut kekuasaannya. Konon, setelah
menerima kabar akan penangkapan dirinya, Abdullah meloloskan diri dari Madinah
ke wilayah Iran Utara. Dari
sinilah Abdullah mulai melancarkan gerakan bawah tanah yang terkenal dengan
gerakan Isma’iliyah. Gerakan ini dimulai dengan gerakan dakwah (propoganda).
Doktrin yang didakwakan antara lain, bahwa Abdullah yang berhak mendapat gelar
al-Mahdi (juru selamat), mengangkat seorang khalifah (imam) untuk gerakan itu,
menuntut berlangsungnya suatu revolusi sosial, membangun sistem filsafat yang
berdasarkan pada sebuah agama baru. Penyebaran doktrin ini dilaksanakan oleh
da’i dengan jaringan yang terorganisir secara rapi, sehingga gerakan Isma’iliyah
ini merasa aman dan dirasakan cukup efektif, yang pada waktu singkat (sekitar 6
tahun) sudah meliputi Yaman, Bahrain, India, Mesir dan Afrika Utara.
Sebenarnya
sasaran dakwah gerakan Isma’iliyah telah ada pada kekuasaan Dinasti Abbasiyah
yang ketika itu, posisi khalifah tidak lebih hanya sebagai simbol pemerintahan.
Hal-hal yang demikian itu dimanfaatkan oleh Abdullah, terutama untuk menarik
simpatik masyarakat di Afrika Utara. Dengan menjunjung tinggi akhlak al-karimah
dan sifat keramahtamahan, Abdullah segera mendapat dukungan dikalangan
masyarakat luas, termasuk para pembesar kerajaan tidak kurang dari sepuluh
orang sudah menganut paham Syi’ah. Pada saat itu Afrika Utara dikuasai oleh Dinasti
Aghlabiyah. Pada tahun 296H/909M Dinasti Aghlabiyah diperintah oleh Amir Abu
Mudhari Ziadatullah yang bersifat glamor dan berfoya-foya. Sifatnya itu sangat
tidak disukai oleh rakyatnya, sehingga kesempatan ini dipergunakan oleh
Abdullah untuk menyerangnya. Dalam serangan ini amir merasa terdesak dan
melarikan diri ke Pulau Sicilia. Dengan dikuasainya Afrika Utara ini, kemudian
diumumkan terbentuknya Dinasti Fatimiah dan Abdullah sebagai khalifah pertama
dengan gelar Abdullah al-Mahdi. Dan pusat kekuasaannya bertempat di Raqpodah
daerah Al-Qayrawan.
Setelah
menjadi khalifah Abdullah al-Mahdi mengadakan reformasi ke dalam yaitu mengubah
sistem perpajakan dan reformasi ke luar yakni memperkuat angkatan laut untuk
mengembangkan ekspedisi militer. Dari basis mereka di Ifrikiyah, mereka segera
mengumpulkan berbagai perlengkapan dan kekayaan untuk memperluas kekuasaannya
dan perbatasan Mesir sampai provinsi Fez di Maroko. Kemudian mereka bergerak ke
arah timur dan berhasil menaklukkan Alexandria, menguasai Syiria, Malta,
Sardinia, Cosrica, Pulau Betrix dan pulau lainnya. Selanjutnya pada tahun 920 M
ia mendirikan Kota Baru di Pantai Tunisia yang kemudian diberi nama al-Mahadiyah.
Pada tahun 934 M, al-Mahdi wafat dan digantikan oleh anaknya yang
bernama Abu al-Qasim dengan gelar al-Qaim (934 M/323 H-949 M/335 H). Pada tahun
934 M, al-Qaim mampu menaklukkan Genoa dan wilayah sepanjang Calabria.
Pada waktu yang sama ia mengirim pasukan ke Mesir tetapi tidak berhasil karena
selalu dicegah oleh Abu Yazid Makad, seorang Khawarij di Mesir. Al-Qaim meninggal
dan digantikan oleh anaknya al-Mansur yang berhasil menumpas pemberontakan Abu
Yazid Makad, al-Mansur kemudian digantikan oleh Abu Tamim Ma’ad dengan gelar al-Muiz.
Pada masa awal pemerintahannya, al-Muiz berhasil menaklukkan Maroko, Sicilia
dan Mesir dengan memasuki kota Kairo lama (Fusthath) dan menyingkirkan Dinasti
Iksyidiah yang telah berkuasa di Mesir sampai tahun 358 H/969 M.
Setelah memerintah di Mesir, Fatimiah membangun kota Kairo Baru (al-Qahiroh). Pembangunan
kota ini tidak lepas dari jasa panglima perang Dinasti Fatimiah yang beraliran
Syi’ah yakni Jawhar al-Siqili.
Tiga tahun kemudian al-Muiz meninggal dan digantikan oleh al-Aziz.
Ia dikenal sebagai orang yang pemberani dan bijaksana. Dibawa pemerintahannya
dia mencapai puncak kejayaannya. Pada masa pemerintahan al-Aziz, seluruh Syria
dan Mesopotamia bisa ditaklukkan. Sehingga pada masa kekuasaannya, Dinasti Fatimiah
di Mesir menjadi saingan berat bagi Baghdad yang kekuasaannya makin melemah
dibawa penguasa Bani Buwaihi.
Di masa pemerintahannya, al-Aziz dikenal sebagai penguasa yang
liberal dan memberikan toleransi yang tidak terbatas kepada umat Kristen.
Bahkan dia mengangkat Isa ibn Nasthur sebagai wazirnya.
Pada masa pemerintahan al-Aziz ini kedamaian antarumat beragama terjalin sangat baik dan
berlangsung cukup lama.
Dinasti Fatimiah berturut-turut dipimpin oleh khalifah : al-Mahdi,
al-Qaim, al-Manshur, al-Muiz, al-Aziz, al-Hakim, al-Zhahir, al-Mustanshir,
al-Musta’li, al-Amir, al-Hafizh, al-Zhafir, al-Faiz, dan al-Adhid.
2.
Kemajuan yang
Dicapai
Sumbangan Dinasti Fatimiah terhadap peradaban Islam sangat besar,
baik dalam sistem pemerintahan maupun dalam bidang keilmuan. Masa keemasan Dinasti
Fatimiah dimulai pada periode al-Muiz dan memuncak pada masa al-Aziz. Kemajuan
yang dapat dicapai dari kekhalifaan al-Aziz di antaranya:
a.
Bidang
Pemerintahan
Bentuk pemerintahan pada masa Fatimiah merupakan suatu bentuk
pemerintahan yang dianggap sebagai pola baru dalam sejarah Mesir. Pengangkatan
dan pemecatan pejabat tinggi berada di bawah kekuasaan khalifah.
Menteri-menteri dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok militer
dan kelompok sipil. Yang dibidangi oleh kelompok militer di antaranya: urusan
tentara perang, pengawal rumah tangga khalifah dan semua permasalahan yang
menyangkut keamanan dan yang termasuk kelompok sipil di antaranya:
1)
Qadi’ yang
berfungsi sebagai hakim dan direktur percetakan uang
2)
Ketua dakwah,
yang memimpin Darul Hikam (bidang keilmuan)
3)
Inspektur
pasar, yang membidangi bazar, jalan dan pengawasan timbangan dan ukuran
4)
Bendaharawan
negara, yaitu membidangi baitul mal
5)
Wakil kepala
urusan rumah tangga khalifah
6)
Qori’ yang
membacakan Al-Quran bagi khalifah kapan saja dibutuhkan
Ketentaraan dibagi kedalam tiga kelompok. Pertama, amir-amir yang
terdiri dari pejabat-pejabat tinggi dan pengawal khalifah. Kedua, para officer
of the guard (pegawai biasa termasuk ilmuan). Ketiga, berbagai resimen yang
bertugas sebagai hafidzah,
sudaniyah dan sebagainya.
b.
Filsafat
Dalam menyebarkan tentang ke-Syi’ah-annya, Dinasti Fatimiah banyak
menggunakan
filsafat Yunani yang mereka kembangkan dari pendapat-pendapat Plato,
Aristoteles, dan ahli-ahli filsafat lainnya.
Kelompok ahli filsafat yang paling terkenal pada masa Dinasti Fatimiah
adalah Ikhwanu Sofa. Di mana
kelompok ini cenderung membela kelompok Syi’ah Isma’iliyah dan mengembangkan
pemikiran-pemikiran yang berhubungan dengan ilmu agama, pengembangan syariah
dan filsafat Yunani.
Tokoh filsuf yang muncul pada masa Dinasti Fatimiah di antaranya: Abu
Hatim ar-Rozi, Abu Abdillah an-Nasafi, Abu Ya’kub as-Sajazi dan lain-lain.
c.
Keilmuan dan
Kesusastraan
Seorang keilmuan yang paling terkenal pada masa Fatimiah adalah
Yakub ibnu Killis. Ia berhasil membangun akademi-akademi keilmuan yang
menghabiskan ribuan dinar perbulannya. Pada
masanya ia berhasil membesarkan seorang ahli fisika bernama Muhammad at-Tamimi,
ahli sejarah bernama Muhammad ibnu Yusuf al-Kindi, seorang ahli sastra adalah
al-Aziz yang berhasil membangun masjid al-Azhar yang nantinya berfungsi sebagai
universitas, dan dari situ disebarkan pula para dai ke luar Mesir.
Kemajuan keilmuan yang paling fundamenetal pada masa ini adalah
keberhasilannya membangun sebuah lembaga keilmuan yang disebut Darul Hikam atau
Darul Ilmi yang dibangun oleh al-Hakim pada 1005 M. Bangunan ini dibangun
khusus untuk propoganda doktrin ke-Syi’ah-an. Pada masa ini al-Hakim mengeluarkan
dana 257 dinar untuk menggandakan manuskrip dan perbaikan buku-buku. Kurikulum
yang dikembangkan pada masa ini lebih banyak pada masalah keislaman, astronomi
dan kedokteran.
Pada masa al-Mustansir, terdapat perpustakaan yang di dalamnya
berisi 200.000 buku dan 2400 illuminated Al-Qur’an.
d.
Ekonomi dan
Sosial
Pada masa Fatimiah, Mesir mengalami kemakmuran ekonomi yang
mengungguli Irak dan daerah-daerah lainnya. Hubungan dagang dengan dunia non-Islam
dibina dengan baik termasuk dengan India dan negeri-negeri Mediterania yang
beragama Kristen.
Pada suatu festival, khalifah al-Mustanshir keliatan sangat cerah
dan berpakaian indah. Istana khalifah yang dihuni 30.000 orang terdiri 12000
pelayan dan pengawal dan 10000 orang pengurus kuda.
Juga masjid-masjid, perguruan tinggi, rumah sakit dan pemondokan khalifah yang
berukuran sangat besar yang menghiasi kota Kairo Baru. Pemandian umum yang
dibangun dengan baik terlihat sangat banyak di setiap tempat di kota itu. Pasar
yang mempunyai 20.000 toko luar biasa besarnya dan dipenuhi berbagai produk
dari seluruh dunia. Keadaan ini menunjukkan sisi kemakmuran yang begitu
berlimpah dan kemajuan ekonomi yang begitu hebat pada masa Dinasti Fatimiah.
Walaupun Dinasti Fatimiah ini bersungguh-sungguh dalam men-Syi’ah-kan
orang Mesir, tapi mereka tidak melakukan pemaksaan kepada orang Sunni untuk
mengikuti aliran Syi’ah, itulah salah satu kebijakan pemerintahan yang
dilakukan Dinasti Fatimiah yang imbasnya sangat besar terhadap kemakmuran dan
kehidupan sosial yang aman dan tentram.
B.
Proses Kemunduran dan Kehancuran
Kemunduran Khilafah Fatimiah dengan cepat terjadi setelah
berakhirnya masa pemerintahan al-Aziz. Keruntuhan itu diawali dengan munculnya
kebijakan untuk mengimpor tentara-tentara dari Turki dan Negro sebagaimana yang
dilakukan Dinasti Abbasiyah. Ketidakpatuhan dan perselisihan yang terjadi di antara
mereka, serta pertikaian dengan pasukan dari suku Barbar menjadi salah satu
sebab utama keruntuhan dinasti ini.
Khalifah al-Azis meninggal pada tahun 386 H/ 996 M, lalu digantikan
oleh putranya Abu Ali Manshur al-Hakim yang baru berusia 11 tahun.
Pemerintahannya ditandai dengan tindakan-tindakan kejam yang menakutkan. Ia
membunuh beberapa orang wazirnya, menghancurkan beberapa gereja Kristen,
termasuk di dalamnya kuburan suci umat Kristen (1009 M).
Dia memaksa umat Kristen dan Yahudi untuk memakai jubah hitam, menunggangi
kedelai dan menunjukkan tanda salib bagi orang kristen serta menaiki lembu
dengan memakai bel bagi orang Yahudi.
Al-Hakim adalah khalifah ke-3 dalam Islam, setelah al-Mutawakkil dan Umar II yang menetapkan
aturan-aturan ketat kepada kalangan non-muslim. Jika tidak, tentu saja kekuasaan
Fatimiah akan sangat nyaman bagi kalangan Dzimmi. Maklumat untuk menghancurkan
kuburan suci ditandatangani oleh sekretarisnya yang beragama Kristen, Ibnu
Abdun dan tindakan itu merupakan sebab utama terjadinya Perang Salib.
Kesalahan yang paling fatal ialah pernyataannya yang menyatakan
diri sebagai inkarnasi Tuhan, yang kemudian diterima dengan baik oleh sekte Syiah
baru yang bernama Druz sesuai dengan nama pemimpinnya al-Daradzi yang berasal
dari Turki. Pada tahun 1021 M, al-Hakim dibunuh di Muqattam oleh suatu
konspirasi yang dipimpin oleh saudaranya sendiri yang bernama Sita al-Muluk.
Kebijakan politik al-Hakim telah menimbulkan rasa benci kaum Dzimmi
dan muslim non-Syi’ah. Anaknya Abu al-Hasan Ali al-Zhahir (1021-1035 M) naik
tahta ketika masih berumur enam belas tahun. Sebagai orang yang cukup piawai ia
berhasil kembali menarik simpati kaum Dzimmi. Namun tidak lama kemudian ia
jatuh sakit karena paceklik dan meninggal dunia pada tahun 1035 M.
Sepeninggalnya, tahta digantikan oleh Abu Tamim Ma’ad al-Mustanshir (1035-1049
M).
Pada tahun 1083 M kekuasaan Fatimiah di Syria mulai goyah.
Palestina selalu berontak dan kekuasaan Seljuk dari timur pun menguasai Asia
Barat. Pada tahun 446-454 H, Mesir dilanda wabah penyakit, kemarau panjang dan
sungai Nil mengering.
Setelah al-Mustanshir meninggal, kekhalifaan diganti oleh puteranya
yang kedua bernama Abu al-Qasim Ahmad al-Musta’li. Anak pertamanya yang bernama
Nizar yang melarikan diri ke Iskandariyah tetapi berhasil ditangkap dan
dipenjarakan sampai meninggal.
Pada masa pemerintahan al-Musta’li ini Tentara Salib mulai bergerak
menuju pantai negeri Syam dan menguasai Antokia sampai Bait al-Maqdish. Setelah
al-Musta’li wafat, ia digantikan oleh anaknya Abu Ali al-Mansur al-Amir yang
masih berusia lima tahun (1101 M/495H-1130 M/524 H). Kemudian al- Amir dibunuh
oleh kelompok Batinia. Al-Amir digantikan oleh Abu Al-Maemun Abdul al-Majid al-Hafiz
(524-544 M). Al-Hafiz meninggal dunia dan digantikan oleh Abu Mansur Ismail, yang
merupakan anaknya yang berusia tujuh belas tahun dengan gelar az-Zhafir. Ia
seorang pemuda yang tampan dan lebih senang memikirkan para gadis dan nyanyian
daripada urusan militer dan politik. Pada tahun 1054 M, az-Zhafir dibunuh oleh
anaknya Abbas, kemudian digantikan oleh anak laki-lakinya yang masih bayi
bernama Abul Qasim Isa yang bergelar al-Faiz. Al-Faiz meninggal dunia sebelum dewasa
dan digantikan oleh sepupunya yang berusia sembilan tahun yang bernama Abu
Muhammad al-Adhib. Belum lagi al-Adhid memantapkan dirinya ke tahta kerajaan, Raja Yerusalem
menyerbu Mesir sampai ke pintu gerbang Kairo. Perebutan kekuasaan terus terjadi
sampai munculnya Salah al-Din yang menggantikan pamannya sebagai wazir. Salah
al-Din adalah orang yang sangat ramah sehingga dengan cepat mendapatkan simpati
rakyat dan bahkan mengalahkan pengaruh khalifah.
Al-Adhid adalah khalifah Fatimiah yang paling akhir meninggal dunia
pada 10 Muharram 576 H/1171 M. Pada saat itulah Dinasti Fatimiah hancur setelah
berkuasa sekitar dua setengah abad (909H/1171 M).
Nice blog and article posting keep it up, thanks for sharing, please consider to visit my blog for more info about this.
ReplyDeleteCheers!
Code Flare