KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS

KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS Pendahuluan latar belakang Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah dua sumber utama ajaran Islam. Oleh karena itu, keduanya selalu dijadikan landasan keyakinan, ritual, adat istiadat, etika, ekonomi, politik, peradaban dan seluruh aspek kehidupan umat Islam, baik yang sakral maupun duniawi, pada tataran ¥ abl minallah (vertikal) dan ¥ abl min al. -n ± s (horizontal).

DINASTI MAMALIK



A.  Sejarah Terbentuknya, Kemajuan yang Dicapai Dinasti Fatimiah di Mesir
1.    Sejarah Terbentuknya
Apabila dikaji secara mendalam tentang aliran-aliran dalam Islam, maka akan dikemukakan aliran Syi’ah. Aliran ini timbul akibat gejolak politik antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah ibn Abu Sufyan. Dalam Syi’ah terdapat sekte Imamiyah yang menjadi embrio timbulnya sekte Imam 12 dan sekte Imam Sab’ah atau yang lebih dikenal dengan sekte Isma’iliyah. Kaum Syi’ah Isma’iliyah itu sendiri muncul karena berselisih paham dengan Syi’ah Imamiyah tentang imam yang ketujuh. Menurut kaum Imamiyah, imam yang ketujuh adalah Putra Ja’far yang bernama Musa al-Kazhim, 


sedangkan menurut Isma’iliyah imam yang ketujuh adalah Putra Ja’far yang bernama Ismail. Sehingga meskipun Ismail sudah meninggal, kaum Isma’iliyah tidak mau mengakui penobatan Musa al-Kazhim sebagai imam. Menurut mereka hak atas Ismail sebagai imam tidak dapat dipindahkan kepada yang lain walaupun sudah meninggal. Bisa dilihat silsilah hubungan antara kedua belas imam:
Dalam perkembangan sejarahnya, aliran Syi’ah selalu menjadi golongan marginal, baik pada masa Dinasti Umayyah maupun Dinasti Abbasiyah, walaupun tatkala Dinasti Abbasiyah berjuang dan berhasil mengambil alih kekuasaan dari  Dinasti Umayyah yang pada saat itu mempunyai andil besar. Tahun 172 H/789M berdiri Dinasti Idrisiyah yang didirikan oleh Muhammad ibn Idris ibn Abdillah di Maroko. Dinasti Idrisiyah berkuasa sampai tahun 314H/926M.[1]
Kondisi marginalistik ini membangkitkan aliran Syi’ah dari sekte Isma’iliyah. Gerakan Isma’iliyah ini dipelopori oleh Abdullah ibn Ismail yang bersifat gerakan bawah tanah (rahasia). Hal ini disebabkan antara lain sikap Khalifah Harun al-Rasyid yang ingin menangkapnya karena dituduh ingin merebut kekuasaannya. Konon, setelah menerima kabar akan penangkapan dirinya, Abdullah meloloskan diri dari Madinah ke wilayah Iran Utara. Dari sinilah Abdullah mulai melancarkan gerakan bawah tanah yang terkenal dengan gerakan Isma’iliyah. Gerakan ini dimulai dengan gerakan dakwah (propoganda). Doktrin yang didakwakan antara lain, bahwa Abdullah yang berhak mendapat gelar al-Mahdi (juru selamat), mengangkat seorang khalifah (imam) untuk gerakan itu, menuntut berlangsungnya suatu revolusi sosial, membangun sistem filsafat yang berdasarkan pada sebuah agama baru. Penyebaran doktrin ini dilaksanakan oleh da’i dengan jaringan yang terorganisir secara rapi, sehingga gerakan Isma’iliyah ini merasa aman dan dirasakan cukup efektif, yang pada waktu singkat (sekitar 6 tahun) sudah meliputi Yaman, Bahrain, India, Mesir dan Afrika Utara.
Sebenarnya sasaran dakwah gerakan Isma’iliyah telah ada pada kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang ketika itu, posisi khalifah tidak lebih hanya sebagai simbol pemerintahan. Hal-hal yang demikian itu dimanfaatkan oleh Abdullah, terutama untuk menarik simpatik masyarakat di Afrika Utara. Dengan menjunjung tinggi akhlak al-karimah dan sifat keramahtamahan, Abdullah segera mendapat dukungan dikalangan masyarakat luas, termasuk para pembesar kerajaan tidak kurang dari sepuluh orang sudah menganut paham Syi’ah. Pada saat itu Afrika Utara dikuasai oleh Dinasti Aghlabiyah. Pada tahun 296H/909M Dinasti Aghlabiyah diperintah oleh Amir Abu Mudhari Ziadatullah yang bersifat glamor dan berfoya-foya. Sifatnya itu sangat tidak disukai oleh rakyatnya, sehingga kesempatan ini dipergunakan oleh Abdullah untuk menyerangnya. Dalam serangan ini amir merasa terdesak dan melarikan diri ke Pulau Sicilia. Dengan dikuasainya Afrika Utara ini, kemudian diumumkan terbentuknya Dinasti Fatimiah dan Abdullah sebagai khalifah pertama dengan gelar Abdullah al-Mahdi. Dan pusat kekuasaannya bertempat di Raqpodah daerah Al-Qayrawan.[2]
Setelah menjadi khalifah Abdullah al-Mahdi mengadakan reformasi ke dalam yaitu mengubah sistem perpajakan dan reformasi ke luar yakni memperkuat angkatan laut untuk mengembangkan ekspedisi militer. Dari basis mereka di Ifrikiyah, mereka segera mengumpulkan berbagai perlengkapan dan kekayaan untuk memperluas kekuasaannya dan perbatasan Mesir sampai provinsi Fez di Maroko. Kemudian mereka bergerak ke arah timur dan berhasil menaklukkan Alexandria, menguasai Syiria, Malta, Sardinia, Cosrica, Pulau Betrix dan pulau lainnya. Selanjutnya pada tahun 920 M ia mendirikan Kota Baru di Pantai Tunisia yang kemudian diberi nama al-Mahadiyah.[3]
Pada tahun 934 M, al-Mahdi wafat dan digantikan oleh anaknya yang bernama Abu al-Qasim dengan gelar al-Qaim (934 M/323 H-949 M/335 H). Pada tahun 934 M, al-Qaim mampu menaklukkan Genoa dan wilayah sepanjang Calabria.[4] Pada waktu yang sama ia mengirim pasukan ke Mesir tetapi tidak berhasil karena selalu dicegah oleh Abu Yazid Makad, seorang Khawarij di Mesir. Al-Qaim meninggal dan digantikan oleh anaknya al-Mansur yang berhasil menumpas pemberontakan Abu Yazid Makad, al-Mansur kemudian digantikan oleh Abu Tamim Ma’ad dengan gelar al-Muiz. Pada masa awal pemerintahannya, al-Muiz berhasil menaklukkan Maroko, Sicilia dan Mesir dengan memasuki kota Kairo lama (Fusthath) dan menyingkirkan Dinasti Iksyidiah yang telah berkuasa di Mesir sampai tahun 358 H/969 M.
Setelah memerintah di Mesir, Fatimiah membangun kota Kairo Baru (al-Qahiroh).[5] Pembangunan kota ini tidak lepas dari jasa panglima perang Dinasti Fatimiah yang beraliran Syi’ah yakni Jawhar al-Siqili.
Tiga tahun kemudian al-Muiz meninggal dan digantikan oleh al-Aziz. Ia dikenal sebagai orang yang pemberani dan bijaksana. Dibawa pemerintahannya dia mencapai puncak kejayaannya. Pada masa pemerintahan al-Aziz, seluruh Syria dan Mesopotamia bisa ditaklukkan. Sehingga pada masa kekuasaannya, Dinasti Fatimiah di Mesir menjadi saingan berat bagi Baghdad yang kekuasaannya makin melemah dibawa penguasa Bani Buwaihi.
Di masa pemerintahannya, al-Aziz dikenal sebagai penguasa yang liberal dan memberikan toleransi yang tidak terbatas kepada umat Kristen. Bahkan dia mengangkat Isa ibn Nasthur sebagai wazirnya.[6] Pada masa pemerintahan al-Aziz ini kedamaian antarumat beragama terjalin sangat baik dan berlangsung cukup lama.  
Dinasti Fatimiah berturut-turut dipimpin oleh khalifah : al-Mahdi, al-Qaim, al-Manshur, al-Muiz, al-Aziz, al-Hakim, al-Zhahir, al-Mustanshir, al-Musta’li, al-Amir, al-Hafizh, al-Zhafir, al-Faiz, dan al-Adhid.[7]
                              
2.         Kemajuan yang Dicapai
Sumbangan Dinasti Fatimiah terhadap peradaban Islam sangat besar, baik dalam sistem pemerintahan maupun dalam bidang keilmuan. Masa keemasan Dinasti Fatimiah dimulai pada periode al-Muiz dan memuncak pada masa al-Aziz. Kemajuan yang dapat dicapai dari kekhalifaan al-Aziz di antaranya:
a.    Bidang Pemerintahan
Bentuk pemerintahan pada masa Fatimiah merupakan suatu bentuk pemerintahan yang dianggap sebagai pola baru dalam sejarah Mesir. Pengangkatan dan pemecatan pejabat tinggi berada di bawah kekuasaan khalifah.
Menteri-menteri dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok militer dan kelompok sipil. Yang dibidangi oleh kelompok militer di antaranya: urusan tentara perang, pengawal rumah tangga khalifah dan semua permasalahan yang menyangkut keamanan dan yang termasuk kelompok sipil di antaranya:
1)   Qadi’ yang berfungsi sebagai hakim dan direktur percetakan uang
2)   Ketua dakwah, yang memimpin Darul Hikam (bidang keilmuan)
3)   Inspektur pasar, yang membidangi bazar, jalan dan pengawasan timbangan dan ukuran
4)   Bendaharawan negara, yaitu membidangi baitul mal
5)   Wakil kepala urusan rumah tangga khalifah
6)   Qori’ yang membacakan Al-Quran bagi khalifah kapan saja dibutuhkan[8]

Ketentaraan dibagi kedalam tiga kelompok. Pertama, amir-amir yang terdiri dari pejabat-pejabat tinggi dan pengawal khalifah. Kedua, para officer of the guard (pegawai biasa termasuk ilmuan). Ketiga, berbagai resimen yang bertugas sebagai hafidzah, sudaniyah dan sebagainya.[9]

b.    Filsafat
Dalam menyebarkan tentang ke-Syi’ah-annya, Dinasti Fatimiah banyak menggunakan filsafat Yunani yang mereka kembangkan dari pendapat-pendapat Plato, Aristoteles, dan ahli-ahli filsafat lainnya.[10]
Kelompok ahli filsafat yang paling terkenal pada masa Dinasti Fatimiah adalah Ikhwanu Sofa.  Di mana kelompok ini cenderung membela kelompok Syi’ah Isma’iliyah dan mengembangkan pemikiran-pemikiran yang berhubungan dengan ilmu agama, pengembangan syariah dan filsafat Yunani.
Tokoh filsuf yang muncul pada masa Dinasti Fatimiah di antaranya: Abu Hatim ar-Rozi, Abu Abdillah an-Nasafi, Abu Ya’kub as-Sajazi dan lain-lain.
c.    Keilmuan dan Kesusastraan
Seorang keilmuan yang paling terkenal pada masa Fatimiah adalah Yakub ibnu Killis. Ia berhasil membangun akademi-akademi keilmuan yang menghabiskan  ribuan dinar perbulannya. Pada masanya ia berhasil membesarkan seorang ahli fisika bernama Muhammad at-Tamimi, ahli sejarah bernama Muhammad ibnu Yusuf al-Kindi, seorang ahli sastra adalah al-Aziz yang berhasil membangun masjid al-Azhar yang nantinya berfungsi sebagai universitas, dan dari situ disebarkan pula para dai ke luar Mesir.[11]
Kemajuan keilmuan yang paling fundamenetal pada masa ini adalah keberhasilannya membangun sebuah lembaga keilmuan yang disebut Darul Hikam atau Darul Ilmi yang dibangun oleh al-Hakim pada 1005 M. Bangunan ini dibangun khusus untuk propoganda doktrin ke-Syi’ah-an. Pada masa ini al-Hakim mengeluarkan dana 257 dinar untuk menggandakan manuskrip dan perbaikan buku-buku. Kurikulum yang dikembangkan pada masa ini lebih banyak pada masalah keislaman, astronomi dan kedokteran.
Pada masa al-Mustansir, terdapat perpustakaan yang di dalamnya berisi 200.000 buku dan 2400 illuminated Al-Qur’an.
d.   Ekonomi dan Sosial
Pada masa Fatimiah, Mesir mengalami kemakmuran ekonomi yang mengungguli Irak dan daerah-daerah lainnya. Hubungan dagang dengan dunia non-Islam dibina dengan baik termasuk dengan India dan negeri-negeri Mediterania yang beragama Kristen.
Pada suatu festival, khalifah al-Mustanshir keliatan sangat cerah dan berpakaian indah. Istana khalifah yang dihuni 30.000 orang terdiri 12000 pelayan dan pengawal dan 10000 orang pengurus kuda.[12] Juga masjid-masjid, perguruan tinggi, rumah sakit dan pemondokan khalifah yang berukuran sangat besar yang menghiasi kota Kairo Baru. Pemandian umum yang dibangun dengan baik terlihat sangat banyak di setiap tempat di kota itu. Pasar yang mempunyai 20.000 toko luar biasa besarnya dan dipenuhi berbagai produk dari seluruh dunia. Keadaan ini menunjukkan sisi kemakmuran yang begitu berlimpah dan kemajuan ekonomi yang begitu hebat pada masa Dinasti Fatimiah.
Walaupun Dinasti Fatimiah ini bersungguh-sungguh dalam men-Syi’ah-kan orang Mesir, tapi mereka tidak melakukan pemaksaan kepada orang Sunni untuk mengikuti aliran Syi’ah, itulah salah satu kebijakan pemerintahan yang dilakukan Dinasti Fatimiah yang imbasnya sangat besar terhadap kemakmuran dan kehidupan sosial yang aman dan tentram.

B.  Proses Kemunduran dan Kehancuran
Kemunduran Khilafah Fatimiah dengan cepat terjadi setelah berakhirnya masa pemerintahan al-Aziz. Keruntuhan itu diawali dengan munculnya kebijakan untuk mengimpor tentara-tentara dari Turki dan Negro sebagaimana yang dilakukan Dinasti Abbasiyah. Ketidakpatuhan dan perselisihan yang terjadi di antara mereka, serta pertikaian dengan pasukan dari suku Barbar menjadi salah satu sebab utama keruntuhan dinasti ini.
Khalifah al-Azis meninggal pada tahun 386 H/ 996 M, lalu digantikan oleh putranya Abu Ali Manshur al-Hakim yang baru berusia 11 tahun. Pemerintahannya ditandai dengan tindakan-tindakan kejam yang menakutkan. Ia membunuh beberapa orang wazirnya, menghancurkan beberapa gereja Kristen, termasuk di dalamnya kuburan suci umat Kristen (1009 M).[13] Dia memaksa umat Kristen dan Yahudi untuk memakai jubah hitam, menunggangi kedelai dan menunjukkan tanda salib bagi orang kristen serta menaiki lembu dengan memakai bel bagi orang Yahudi.
Al-Hakim adalah khalifah ke-3 dalam Islam, setelah al-Mutawakkil dan Umar II yang menetapkan aturan-aturan ketat kepada kalangan non-muslim. Jika tidak, tentu saja kekuasaan Fatimiah akan sangat nyaman bagi kalangan Dzimmi. Maklumat untuk menghancurkan kuburan suci ditandatangani oleh sekretarisnya yang beragama Kristen, Ibnu Abdun dan tindakan itu merupakan sebab utama terjadinya Perang Salib.
Kesalahan yang paling fatal ialah pernyataannya yang menyatakan diri sebagai inkarnasi Tuhan, yang kemudian diterima dengan baik oleh sekte Syiah baru yang bernama Druz sesuai dengan nama pemimpinnya al-Daradzi yang berasal dari Turki. Pada tahun 1021 M, al-Hakim dibunuh di Muqattam oleh suatu konspirasi yang dipimpin oleh saudaranya sendiri yang bernama Sita al-Muluk.[14]
Kebijakan politik al-Hakim telah menimbulkan rasa benci kaum Dzimmi dan muslim non-Syi’ah. Anaknya Abu al-Hasan Ali al-Zhahir (1021-1035 M) naik tahta ketika masih berumur enam belas tahun. Sebagai orang yang cukup piawai ia berhasil kembali menarik simpati kaum Dzimmi. Namun tidak lama kemudian ia jatuh sakit karena paceklik dan meninggal dunia pada tahun 1035 M. Sepeninggalnya, tahta digantikan oleh Abu Tamim Ma’ad al-Mustanshir (1035-1049 M).
Pada tahun 1083 M kekuasaan Fatimiah di Syria mulai goyah. Palestina selalu berontak dan kekuasaan Seljuk dari timur pun menguasai Asia Barat. Pada tahun 446-454 H, Mesir dilanda wabah penyakit, kemarau panjang dan sungai Nil mengering.
Setelah al-Mustanshir meninggal, kekhalifaan diganti oleh puteranya yang kedua bernama Abu al-Qasim Ahmad al-Musta’li. Anak pertamanya yang bernama Nizar yang melarikan diri ke Iskandariyah tetapi berhasil ditangkap dan dipenjarakan sampai meninggal.
Pada masa pemerintahan al-Musta’li ini Tentara Salib mulai bergerak menuju pantai negeri Syam dan menguasai Antokia sampai Bait al-Maqdish. Setelah al-Musta’li wafat, ia digantikan oleh anaknya Abu Ali al-Mansur al-Amir yang masih berusia lima tahun (1101 M/495H-1130 M/524 H). Kemudian al- Amir dibunuh oleh kelompok Batinia. Al-Amir digantikan oleh Abu Al-Maemun Abdul al-Majid al-Hafiz (524-544 M). Al-Hafiz meninggal dunia dan digantikan oleh Abu Mansur Ismail, yang merupakan anaknya yang berusia tujuh belas tahun dengan gelar az-Zhafir. Ia seorang pemuda yang tampan dan lebih senang memikirkan para gadis dan nyanyian daripada urusan militer dan politik. Pada tahun 1054 M, az-Zhafir dibunuh oleh anaknya Abbas, kemudian digantikan oleh anak laki-lakinya yang masih bayi bernama Abul Qasim Isa yang bergelar al-Faiz. Al-Faiz meninggal dunia sebelum dewasa dan digantikan oleh sepupunya yang berusia sembilan tahun yang bernama Abu Muhammad al-Adhib. Belum lagi al-Adhid memantapkan dirinya ke tahta kerajaan, Raja Yerusalem menyerbu Mesir sampai ke pintu gerbang Kairo. Perebutan kekuasaan terus terjadi sampai munculnya Salah al-Din yang menggantikan pamannya sebagai wazir. Salah al-Din adalah orang yang sangat ramah sehingga dengan cepat mendapatkan simpati rakyat dan bahkan mengalahkan pengaruh khalifah.
Al-Adhid adalah khalifah Fatimiah yang paling akhir meninggal dunia pada 10 Muharram 576 H/1171 M. Pada saat itulah Dinasti Fatimiah hancur setelah berkuasa sekitar dua setengah abad (909H/1171 M).[15]


                [1] A. Latif Usman, Ringkasan Sejarah Islam (Jakarta: Wijaya, 1976), h. 119.
                [2] J.J. Saunders, A History of Medieval Islam (London: Routledge and Kegan Paul Ltd,1965), h. 129.
                [3] De Lacy O’leary, A Short History of The Fatimid Khalifate (London: Kegan Paul, Trench, Trubner and Co., Ltd, 1923), h. 77.
                [4]Ibid., h. 88.
                [5] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik (Cet. IV; Jakarta: Kencana, 2011), h. 144.
                [6] Philip K. Hitti, History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, History of The Arabs (Cet. II; Jakarta: Serambi, 2010), h. 791.
                [7] Ibid., h. 795.
                [8]Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik dan Budaya Umat Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 115.
                [9]Zainal Arifin, Dinasti Fatimiah di Mesir (Studi tentang Perkembangan, Kemajuan dan Kemundurannya), no. 20 (Juli, 2008), h. 11-12.
                [10]Ahmad Amin, Dhuha al-Islam (Kairo: Lajnah Ta’lif wa al-Nasyr, t.th.), h. 188; dikutip dalam Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik dan Budaya Umat Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 116.
                [11]Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab (Cet. I; Jakarta: Logos, 1997), h. 117.
                [12] Philip K. Hitti, op. cit., h. 798.
                [13] Ajid Thohir, op. cit., h. 119.
                [14] Philip K. Hitti, op. cit., h. 792-793.
                [15] Ibid., h. 796.

Comments

  1. Nice blog and article posting keep it up, thanks for sharing, please consider to visit my blog for more info about this.

    Cheers!
    Code Flare

    ReplyDelete

Post a Comment

BERITA TERBARU !!

Popular posts from this blog

BIL MA'TSUR ( TAFSIR AYAT DENGAN AYAT )

CARA MELAKUKAN TAKHRIJ HADIS

download TAFSIR AL-NASAFIY

HADIS TARBAWIY DAN AKHLAK (BERKURANGNYA IMAN KARENA MAKSIAT)

cara atau Kaedah al-Jarh Wa al-Ta’dil Serta Aplikasinya

apa contoh MUKJIZAT AL-QUR'AN (Pengertian dan Pembagiannya)

cara TAMBAHAN - kaedah ZIYADAH DALAM AL-QUR'AN

cara melakukan MUNASABAH AYAT

QAWAIDH AL-TAHDIS (Pengertian , Ruang Lingkup dan Urgensinya )

kaedah 'ATAF - AL-'ATFU DALAM AL-QUR'AN