By; Zaharuddin
MANUSIA SEBAGAI CERMIN
TUHAN
Sahabat-sahabatku yang baik hatinya. Saat kita bercermin, apakah terlihat jelas bahwa itu adalah wajah anda ? maka anda dapat menggambarkan bahwa seperti itulah sosok rupa anda.
Yang mengesankan lagi, jikalau teman-teman bercermin justru bukan wajah teman yang terlihat di balik cermin itu. hehehhe, semoga saja tidak terjadi.
Manusia
terlahir ke dunia ini dalam keadaan suci dan tak memiliki apa-apa karena kita
diciptakan hanya untuk beribadah kepada-Nya, dan ayah dalam hal ini orang tua
kitalah yang memulai mengenal sesuatu, apakah membawa kita dalam kebaikan, membuat
kita menjadi seorang yang Majusi, Nasrani ataukah Yahudi. Kita diciptakan hanya
untuk beribadah kepada Allah dan lahir dalam keadaan suci olehnya itu Ibnu
Arabiy mengelurkan suatu pendapat yang berlandaskan pada hadits nabi yang
berbunyi :
إن الله خلق ادم علي صورته
"Sesunggunya
Allah menciptkan Adam (manusia) sesuai dengan citranya".
Alkitab menjelaskan bahwa manusia
diciptakan sebagai citra Allah. Manusia diciptakan serupa dan segambar
dengan Allah (Kejadian 1:26). Hal Ini adalah kenyataan yang ditulis dalam
Alkitab, bukan hasil gagasan manusia. Apa artinya apabila dikatakan
manusia sebagai citra Allah? Artinya adalah:
1.
Keserupaan itu
bukan secara jasmani.
Allah adalah Roh sehingga tidak
memiliki anggota-anggota tubuh seperti manusia. Apabila Alkitab menggunakan
gaya bahasa personifikasi untuk Allah, hal ini disebabkan karena
keterbatasan akal manusia untuk bisa memahami Allah secara sempurna. Gaya
bahasa itu digunakan untuk mempermudah pemahaman manusia terhadap sifat-sifat
Allah yang sempurna. Contoh beberapa
penggunaan gaya bahasa personifikasi untuk Allah, antara lain: Mazmur 17:15 -
menjadi puas dengan rupa-Mu; Yesaya 59:1-2 - tangan TUHAN dan pendengaran-Nya;
Mazmur 8:7 - buatan tangan-Mu.
2.
Keserupaan itu
secara mental
Allah adalah Roh, jiwa
manusia adalah roh juga. Sifat-sifat hakiki dari roh ialah akal budi,
hati nurani, dan kehendak. Roh adalah unsur yang mampu bernalar, bersifat
moral dan oleh karena itu juga berkehendak bebas. Ketika menciptakan
manusia sebagai citra-Nya Allah menganugerahkan kepadanya sifat-sifat yang
dimiliki-Nya sendiri sebagai Roh. Dengan demikian manusia berbeda dengan
semua makhluk lain yang mendiami bumi ini, serta berkedudukan jauh lebih tinggi
dari pada mereka (Mazmur 8).
Manusia
diberi kemampuan intelektual yang tinggi tersirat dalam perintah untuk
mengusahakan Taman Eden serta memeliharanya (Kejadian 2:15), juga perintah
untuk menguasai bumi beserta isinya (Kejadian 1:26, 28) dan dalam pernyataan
bahwa manusia memberi nama kepada segala binatang di bumi (Kejadian
2:19-20). Kesamaan dengan Allah ini tidak dapat dihapuskan dan karena
kesamaan tersebut memungkinkan manusia memperoleh penebusan, maka kehidupan
manusia yang belum dilahirkan baru juga berharga (Kejadian 9:6; I Korintus
11:7; Yakobus 3:9).
3.
Keserupaan itu
secara moral
Ketika Allah melakukan
pembaharuan dalam hidup manusia maka manusia baru itu "diciptakan menurut
kehendak Allah dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya" (Efesus
4:24). Jadi pada mulanya manusia memiliki baik kebenaran maupun
kekudusan. Atas dasar kebenaran dan kekudusan inilah manusia dapat
bersekutu dengan Allah (Kejadian 1 dan 2) yang tidak dapat memandang kedlaliman
(Habakuk 1:13).
Keserupaan secara moral
ini menyebabkan manusia dapat membedakan yang baik dengan yang buruk. Sehebat
apapun kejahatan manusia, ia masih mempunyai kemampuan untuk membedakan yang
baik dan buruk.
4.
Keserupaan itu
secara sosial.
Allah memiliki sifat
sosial, maka Ia menganugerahkan kepada manusia sifat sosial. Akibatnya
manusia selalu mencari sahabat untuk bersekutu dengannya. Pertama-tama manusia
menemukan persahabatan ini dengan Allah sendiri. Kejadian 3:8 menjelaskan bahwa
manusia berkomunikasi dengan Penciptanya. Allah telah menciptakan manusia
untuk dirinya sendiri dan manusia menemukan kepuasan tertinggi dalam persekutuan
dengan Tuhannya. Allah juga menganugerahkan persahabatan manusiawi. Tuhan
menciptakan wanita untuk menjadi sahabat pria. Agar persekutuan ini menjadi
sangat mesra maka perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki laki.
Ibnu
Arabiy mengungkapkan kehendak Allah ingin dikenal oleh hambanya, sehingga
ketika menciptkannya, Allah menyalurkan citranya kepada manusia karena ketika
manusia keluar dari citra Allah maka ia akan susah beriman dan menyembah kepada
Allah swt. Dan salah seorang yang mampu mewujudkan citra Tuhan secara sempurna
yaitu Rasulullah Muhammad Saw dan menjadi contoh tauladan bagi seluruh umat
manusia.
Di dalam ilmu tasawwuf
diajarkan seseorang untuk bertakhalliy yaitu berusaha mengeluarkan dan
membuang seluruh sifat-sifat yang dapat menimbulkan dosa dalam diri seseorang
yang kemudian dilanjutkan dengan bertahalliy yaitu ketika kita sudah
mampu membuang sifat-sifat yang jelek dalam diri kita maka kita ganti dengan
perbuatan atau akhlak yang baik seperti bertawaqqal kepada Allah, berdzikir
kepada Allah dan sebagainya. Setelah melalui kedua langkah tersebut maka dengan
izin Allah Sangatlah mudah bagi seseorang mencapai tajalliy yaitu
ketersingkapan seseorang mampu mengenal Tuhan yang sebenarnya dan bahkan ia
dapat melihat Tuhan. Ketiga konsep ini dapat kita pahami dari ayat Al-Qur'an
yang berbunyi :
...فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا
صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا (110)
".Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan
seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya". (Al-Kahfi
: 110)
Ketika
seseorang sudah mencapai tajalliy
kepada Tuhannya, sehingga dengan inilah seseorang bisa mencerminkan sifat-sifat
Allah di dalam dirinya sehingga muncullah suatu konsep di dalam ilmu tasawwuf
yakni manusia itu laksana cermin Tuhan yaitu ketika seseorang mampu mencapai langkah
tajalliy sebagaimana disebut di atas. Dan
hal ini biasa di sebut dengan Insan kamil.
Dalam
Filsafat cermin, rohani manusia itu diibaratkan cermin dan jasmani,
pancaindera, pikiran, dianggap sebagai debu kotoran atau bahkan tutup cermin.
Agar cermin bersih, atau tidak tertutup, maka pancaindeera, pikiran dan jasmani
harus disingkapkan. Kalau cermin sudah bersih, maka cermin akan memantulkan
sinar. Kalau rohani bersih dari kotoran pancaindera, pikiran serta tidak
diselimuti yang sebangsa jasmani, maka manusia akan mampu menangkap sinar
Tuhan, maka manusia akan menerima kebiijaksanaan Tuhan, yang di antaranya
memang dikejar atau dicari oleh orang-orang sufi.
Dikatakan
oleh ibn Arabiy bahwa sebab terjadinya tajalliy
Allah pada alam ialah karena ia ingin dikenal dan ingin melihat citra
dirinya melalui alam tersebut. Untuk itu, ia memanifestasikan nama-nama dan
sifat-sifatnya pada alam. Dengan demikian, alam phenomena ini merupakan
perwujudan dari nama-nama dan sifat-sifat Allah yang abadi. Tanpa adanya alam
ini, nama-nama dan sifat-sifat itu akan kehilangan makna dan akan senantiasa
berada dalam bentuk potensialitasnya pada zat Tuhan. Demikian pula, zat yang
mutlak itu sendiri akan tetap di dalam kesendiriannya, tanpa dapat dikenal oleh
siapa pun . Di sinilah letak urgensi wujud alam sebagai wadah tajalliy Ilahi,
yang padanya Tuhan melihat citra dirinya dalam wujud yang terbatas.
Akan
tetapi, alam empiris yang serba ganda ini berada dalam wujud yang
terpecah-pecah sehingga tidak dapat menampung citra tuhan secara sempurna dan
utuh; bagian-bagian alam ini merupakan wadah tajalliy dari bagian tertentu pada
nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Jadi, alam ini masih merupakan bentuk tanpa
ruh, atau laksana cermin buram, yang belun dapat memantulkan gambaran Tuhan
secara paripurna. Tuhan baru dapat melihta citra dirinya secara sempuran dan
utuh pada Adam (manusia) sebagai cermin yang terang, atau sebagai ruh dalam
jasad. Akan tetapi, tidak semua manusia termasuk dalam kategori ini. Yang
dimaksud dengan manusia di sini ialah insan kamil yang pada dirinya tercermin nama-nama dan
sifat Tuhan secara sempurna. Ia dijadikan Tuhan sebagai ruh alam. Segenap alam
ini tunduk kepadanya karena kesempurnaan-Nya. Sabda Rasulullah Saw dalam
haditsnya yang berbunyi :
كنت كنزا مخفيا
فاحبيت ان اعرف فخلقت الخلق فبي عرفوني
"Aku adalah perbendaharaan
yang tersembunyi maka aku menjadikan makhluk agar mereka mengenal-Ku".
Hadits
tersebut di atas memberikan petunjuk bahwa alam raya, termasuk kita ini adalah
merupakan cermin Tuhan, atau bayangan Tuhan. Tuhan ingin mengenal dirinya
melalui penciptaan alam ini. Dengan demikian dalam alam raya ini terdapat
potensi ketuhanan yang dapat digunakan untuk mengenal-Nya. Dan apa yang ada di
alam raya ini pada akhirnya kembali
kepada Tuhan.
Jadi,
insan kamil merupakan miniature dan realitas ketuhanan dalam tajallinya pada
jagat raya. Oleh karena itu, Ibnu Arabi menyebutkan sebagai Al-alam
As-shagir (mikrocosmos), yang pada dirinya tercermin bagian-bagian dari
jagad raya (makrokosmos). Esensi insan kamil merupakan cermin dari esensi
Tuhan; jiwanya sebagai gambaran dari Al-nafs Al-kulliyah (jiwa universal),
tumbuhnya mencerminkan arasyi; pengetahuanya menceminkan pengetahuan Tuhan;
hatinya berhubungan dengan bait Al-ma’mur; kemampouan mental spiritualnya terkait
dengan malaikat; daya ingatnya dengan saturnus (zuhal); daya intelektualnya dengan
Jupiter atau Al-musytari; dll.
Kesempurnaan
insan kamil itu pada dasarnya disebabkan karena pada dirinya tuhan bertajalliy
secara sempurna melalui hakekat Muhammad (Al-haqiqat Al-muhammdiyyah), haqiqat
Muhammad (nur Muhammad) merupakan wadah tajallliy Tuhan yang paripurna dan merupakan
makhluk yang paling pertama diciptakan oleh Tuhan. Ia telah ada sebelum penciptaan
adam As. Oleh karena itu, Ibnu Arabi juga menyebutkan dengan “Akal pertama ”(Al-Aql
Al-awwal) atau “pena yang tinggi” (Al-kalam Al-A’la). Dialah yang menjadi sebab
penciptaan Alam semesta dan sebab terpeliharanya.
Ibnu
Arabi berpendapat bahwa haqiqat Muhammad yang menjadi inti insan kamil adalah
sebagai penyebab penciptaan alam, karena pada dasarnya, penciptaan alam ini
merupakan kehendak Tuhan agar ia (Tuhan) dapat dikenal dan dapat melihat citra
dirinya. Akan tetapi, maksud tersebut tidak dapat terwujud dengan sempurna,
karena alam tidak dapat mengenalnya, kecuali hanya manusia yang dapat
mengenalnya. Oleh karena itu, pada haqiqatnya manusialah yang menjadi sebab
adanya alam. Manusia di sini ialah manusia yang secara sempurna
mengidentifikasikan haqiqat Muhammad, yakni insan kamil, karena dialah yang
paling bisa mengenal Tuhan.
Demikian
pula, alam ini terpelihara karena adanya insan kamil. Ini merupakan akibat
logis dati kedudukannnya sebagai sebab terciptanya alam dan sebagai wadah
tajalliy Tuhan. Seandainya ”sebab” telah hilang, maka “akibatnya” pun tertentu
akan hilang pula. Atau dengan kata lain, kalau keinginan Tuhan untuk dikenal
telah hilang, tentu ia akan menghilangkan manusia dan berhenti bertajalliy maka
alam pun akan lenyap. Haqiqat Muhammad yang menjadi inti kesempurnaan insan
kamil itu dipandang oleh Ibnu Arabi sebagai realitas universal (Al-haqiqat
Al-kulliyyah) yang menghimpun segenap realitas. Ia merupakan “milik bersama” antara
Tuhan dan makhluk. Oleh karena itu, ia tidak dapat disifati dengan wujud (ada)
maupun ‘adam (tiada) tidak dapat disifati dengan baru ataupun qadim, karena
bila ia berada pada “ada’ yang qadim ia pun qadim, tetapi bila ia berada pada
“ada” yang baru ia pun baru. Jadi, wujud
dari haqiqat Muhammad ini merupakan suatu bentuk wujud tersendiri yang menghubungkan
antara yang mutlak dan alam yang terbatas. Ia di sebut qadim jika dipandang
sebagai ilmu Tuhan yang Qadim, tetapi ia dikatakan baru karena memanifestasikan
dirinya pada alam yang terbatas dan baru. Kendati demikian, Ibnu Arabi, itu
hanyalah dalam tanggapan akal.
Dari
beberapa penjelasan yang kami sebutkan, sesuai dengan pengalaman-pengalaman
misterius yang di alami oleh orang-orang sufi maka mereka mampu mengungkapkan
ucapan-ucapan yang agaknya sulit diterima oleh orang lain seperti :
قال
علماء الصوفي : من عرف نفسه فقد عرف ربه.
"Barang siapa yang
mengenal dirinya maka ia dapat mengenal tuhannya"
Mereka
melihat dari factor insane kamil yang mampu mewujudkan citra tuhan secara
sempurna dan dari sini pulalah muncul ungkapan bahwasannya manusia itu laksana
cermin Tuhan.
Dikisahkan dalam sebuah
hadis, seorang pelacur melihat seekor anjing yang kehausan. Ia masuk ke dalam sumur, menjadikan sepatunya sebagai wadah untuk kemudian
diminumkan kepada anjing tersebut. Atas perbuatan ini, pelacur itu masuk surga.
Orang yang mendengar menilai bahwa kisah ini adalah bukti kasih sayang Tuhan,
sehingga seorang pelacur pun dapat masuk surga.
Hal itu benar. Tetapi,
ada hal yang lebih substansial. Ketika pelacur itu memberikan minuman kepada
anjing, ia berkata, “Ya Allah, betapa mulia anjing ini. Ia sadar dengan
keanjingannya, sedang aku tidak
sadar dengan kemanusiaanku.” Kesadaran bahwa
betapa dirinya demikian hina, bahkan bila dibandingkan oleh seekor anjing,
membuatnya masuk ke surga.
“Barang siapa yang
mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya”, demikian ungkapan tersebut di atas..
Manusia adalah cermin Tuhan. Kasih Tuhan harus kita terjemahkan dan bumikan ke
seluruh alam. Indikasi utama
terlaksana tidaknya pembumian kasih itu adalah dengan menerapkan keadilan yang
menjunjung tinggi harkat kemanusiaan.
Penulis memahami bahwa Pembahasan
insan kamil telah menjadi tema sentral bagi beberapa sufi besar, terutama Ibn
‘Arabi dan para pengikutnya. Salah seorang pengikutnya yang telah secara khusus
menulis tentang “insan kamil “ adalah Abdul Karim al-Jili (w 1962). Dalam
bukunya yang telah tersebar luas, al-Insan al kamil fi makrifat al-awakhir wa
al-awa’il, al-Jili menjelaskan macam-macam manifestasi (tajalliyat) yang dapat
dipantulkan manusia dari Tuhan : tindakan-tindakan (af’al), nama-nama(asma’),
dan terakhir sifat.
Pertama tajalli af’al. yaitu manusia yang mampu berkahlak dengan sifat Tuhan, maka yang berlaku pada dirinya adalah
tindakan-tindakan Tuhan, sedangkan ia sendiri telah tercerabut dari semua daya,
upaya dan karsa dirinya sendiri. Orang yang seperti ini tidaklah bertindak
kecuali apa yang dikehendaki Tuhan. Bukankah nabi kita dikatakan “tidak berkata
dari hawa”, kecuali yang diwahyukan kepadanya?” Ia telah menyerahkan seluruh
kehendak pribadinya kepada kehendak Tuhan.
Kedua
berkaitan dengan tajalli asma’, yakni manusia layaknya cermin dari nama-namanya.
Ini terjadi ketika nama-nama tertentu dari Tuhan tercerap oleh manusia dan
menggantikan namanya. Kalau hal ini terjadi pada seseorang, maka menurut
al-Jili, terhapuslah nama orang itu, dan digantikan oleh salah satu nama Tuhan.
Pada saat itu terjadi, maka kesadaran diri seseorang hilang dan digantikan oleh
kesadaran akan kehadiran Tuhan”maka aku dan Dia menjadi lebur”. Ketika nama
“Allah” yang tercerap , maka terungkaplah kata dari mulut Syekh Siti Jenar,
ketika ditanya siapa di sana” Yang ada adalah Allah, bukan Siti Jenar. Demikian
juga ketika nama “al-Haqq” yang terserap, maka terungkaplah kata dari mulut
al-Hallaj “ana al-Haq”(aku adalah kebenaran) yang dimaksud dengan kebenaran di
sini adalah Tuhan, karena dalam wacana sufistik Tuhan disebut kebenaran. Pada
saat itu, al-hallaj “ menafikan” dalam arti “kehilangan akan dirinya”,
menetapkan (itsbat) hanya keberadaan Tuhan. Atau dalam ungkapan al-Jili sendiri
:”Ana Allah”, ketika Allah menghapus nama sang hamba dan menetapkan baginya
nama Allah.
Yang
ketiga atau yang terakhir, manusia merupakan cermin untuk mewujudkan bertajallinya sifat-sifat Tuhan. Al-Jili mengatakan, “sifat Allah bertajalli pada diri hamba,
maka hamba tersebut merenung dalam falak sifat tersebut. Kalau sifat ilmu Tuhan
yang bertajalli pada diri hamba,.
Dalam
kaitan ini, perlu dikemukakan bahwa kita dianjurkan, berdasarkan sebuah hadis
Qudsi, untuk menirukan akhlak Tuhan (at-takhalluq bi akhlaq Allah). Ketika kita
berpuasa, maka sebenarnya kita sedang berusaha mengatasi ketergantung kita pada
makanan-makanan fisik dan dengan itu mencoba mengatasi batas-batas fisik kita.
Ini bisa kita sebut sebagai usaha kita untuk mencontoh sifat Tuhan “al-Ghani”,
Maha Kaya atau independen. Demikian juga ketika seseorang mencoba menggoreskan
pikiran-pikirannya dalam bentuk tulisan, maka bagi saya, ia sedang menirukan
sifat “hidup” (al-Hayy) Tuhan , karena dengan begitu ia bisa mengabdikan
pikirannya, sekalipun ajalnya kemudian tiba. Kalau karya itu bagus, maka semua
orang akan mendapat manfaat darinya,. Syukur lagi kalau buku-bukunya itu
kemudian masih bisa menghidupi keluarga yang ditinggalkannya melalui royaltinya
sekalipun ia telah tiada, maka tentu saja ia masih bisa terus menghidupi
keluarganya, seakan-akan ia hidup terus selamanya.
Demikianlah pembahasan kami tentang manusia sebagai
cermin dari Tuhan, mudah-mudahan ada mamfaatnya, lebih dan kurangnya mohon di
maafkan.
Comments
Post a Comment