KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS

KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS Pendahuluan latar belakang Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah dua sumber utama ajaran Islam. Oleh karena itu, keduanya selalu dijadikan landasan keyakinan, ritual, adat istiadat, etika, ekonomi, politik, peradaban dan seluruh aspek kehidupan umat Islam, baik yang sakral maupun duniawi, pada tataran ¥ abl minallah (vertikal) dan ¥ abl min al. -n ± s (horizontal).

apa yang anda lihat saat bercermin MANUSIA ITU CERMIN TUHAN


By; Zaharuddin
MANUSIA SEBAGAI CERMIN TUHAN


Sahabat-sahabatku yang baik hatinya. Saat kita bercermin, apakah terlihat jelas bahwa itu adalah wajah anda ? maka anda dapat menggambarkan bahwa seperti itulah sosok rupa anda.

Yang mengesankan lagi, jikalau teman-teman bercermin justru bukan wajah teman yang terlihat di balik cermin itu. hehehhe, semoga saja tidak terjadi.



Manusia terlahir ke dunia ini dalam keadaan suci dan tak memiliki apa-apa karena kita diciptakan hanya untuk beribadah kepada-Nya, dan ayah dalam hal ini orang tua kitalah yang memulai mengenal sesuatu, apakah membawa kita dalam kebaikan, membuat kita menjadi seorang yang Majusi, Nasrani ataukah Yahudi. Kita diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah dan lahir dalam keadaan suci olehnya itu Ibnu Arabiy mengelurkan suatu pendapat yang berlandaskan pada hadits nabi yang berbunyi :
إن الله خلق ادم علي صورته
"Sesunggunya Allah menciptkan Adam (manusia) sesuai dengan citranya".
Alkitab menjelaskan bahwa manusia diciptakan sebagai citra Allah.  Manusia diciptakan serupa dan segambar dengan Allah (Kejadian 1:26).  Hal Ini adalah kenyataan yang ditulis dalam Alkitab,  bukan hasil gagasan manusia. Apa artinya apabila dikatakan manusia sebagai citra Allah? Artinya adalah:
1.      Keserupaan itu bukan secara jasmani.
Allah adalah Roh sehingga tidak memiliki anggota-anggota tubuh seperti manusia.  Apabila Alkitab menggunakan gaya bahasa personifikasi untuk Allah, hal ini disebabkan karena keterbatasan akal manusia untuk bisa memahami Allah secara sempurna.  Gaya bahasa itu digunakan untuk mempermudah pemahaman manusia terhadap sifat-sifat Allah yang sempurna. Contoh  beberapa penggunaan gaya bahasa personifikasi untuk Allah, antara lain: Mazmur 17:15 - menjadi puas dengan rupa-Mu; Yesaya 59:1-2 - tangan TUHAN dan pendengaran-Nya; Mazmur 8:7 - buatan tangan-Mu.
2.      Keserupaan itu secara mental
Allah adalah Roh, jiwa manusia adalah roh juga.  Sifat-sifat hakiki dari roh ialah akal budi, hati nurani, dan kehendak.  Roh adalah unsur yang mampu bernalar, bersifat moral dan oleh karena itu juga berkehendak bebas.  Ketika menciptakan manusia sebagai citra-Nya Allah menganugerahkan kepadanya sifat-sifat yang dimiliki-Nya sendiri sebagai Roh.  Dengan demikian manusia berbeda dengan semua makhluk lain yang mendiami bumi ini, serta berkedudukan jauh lebih tinggi dari pada mereka (Mazmur 8).
Manusia diberi kemampuan intelektual yang tinggi tersirat dalam perintah untuk mengusahakan Taman Eden serta memeliharanya (Kejadian 2:15), juga perintah untuk menguasai bumi beserta isinya (Kejadian 1:26, 28) dan dalam pernyataan bahwa manusia memberi nama kepada segala binatang  di bumi (Kejadian 2:19-20).  Kesamaan dengan Allah ini tidak dapat dihapuskan dan karena kesamaan tersebut memungkinkan manusia memperoleh penebusan, maka kehidupan manusia yang belum dilahirkan baru juga berharga (Kejadian 9:6; I Korintus 11:7; Yakobus 3:9).
3.      Keserupaan itu secara moral
Ketika Allah melakukan pembaharuan dalam hidup manusia maka manusia baru itu "diciptakan menurut kehendak Allah dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya" (Efesus 4:24).  Jadi pada mulanya manusia memiliki baik kebenaran maupun kekudusan.  Atas dasar kebenaran dan kekudusan inilah manusia dapat bersekutu dengan Allah (Kejadian 1 dan 2) yang tidak dapat memandang kedlaliman (Habakuk 1:13).
Keserupaan secara moral ini menyebabkan manusia dapat membedakan yang baik dengan yang buruk. Sehebat apapun kejahatan manusia, ia masih mempunyai kemampuan untuk membedakan yang baik dan buruk.
4.      Keserupaan itu secara sosial.
Allah memiliki sifat sosial, maka Ia menganugerahkan kepada manusia sifat sosial.  Akibatnya manusia selalu mencari sahabat untuk bersekutu dengannya. Pertama-tama manusia menemukan persahabatan ini dengan Allah sendiri. Kejadian 3:8 menjelaskan bahwa manusia berkomunikasi dengan Penciptanya. Allah telah menciptakan manusia untuk dirinya sendiri dan manusia menemukan kepuasan tertinggi dalam persekutuan dengan Tuhannya.  Allah juga menganugerahkan persahabatan manusiawi. Tuhan menciptakan wanita untuk menjadi sahabat pria. Agar persekutuan ini menjadi sangat mesra maka perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki laki.[1]
Ibnu Arabiy mengungkapkan kehendak Allah ingin dikenal oleh hambanya, sehingga ketika menciptkannya, Allah menyalurkan citranya kepada manusia karena ketika manusia keluar dari citra Allah maka ia akan susah beriman dan menyembah kepada Allah swt. Dan salah seorang yang mampu mewujudkan citra Tuhan secara sempurna yaitu Rasulullah Muhammad Saw dan menjadi contoh tauladan bagi seluruh umat manusia.
Di dalam ilmu tasawwuf diajarkan seseorang untuk bertakhalliy yaitu berusaha mengeluarkan dan membuang seluruh sifat-sifat yang dapat menimbulkan dosa dalam diri seseorang yang kemudian dilanjutkan dengan bertahalliy yaitu ketika kita sudah mampu membuang sifat-sifat yang jelek dalam diri kita maka kita ganti dengan perbuatan atau akhlak yang baik seperti bertawaqqal kepada Allah, berdzikir kepada Allah dan sebagainya. Setelah melalui kedua langkah tersebut maka dengan izin Allah Sangatlah mudah bagi seseorang mencapai tajalliy yaitu ketersingkapan seseorang mampu mengenal Tuhan yang sebenarnya dan bahkan ia dapat melihat Tuhan. Ketiga konsep ini dapat kita pahami dari ayat Al-Qur'an yang berbunyi :

...فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا (110)
".Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya". (Al-Kahfi : 110)
Ketika seseorang sudah mencapai tajalliy kepada Tuhannya, sehingga dengan inilah seseorang bisa mencerminkan sifat-sifat Allah di dalam dirinya sehingga muncullah suatu konsep di dalam ilmu tasawwuf yakni manusia itu laksana cermin Tuhan yaitu ketika seseorang mampu mencapai langkah tajalliy sebagaimana disebut di atas. Dan  hal ini biasa di sebut dengan Insan kamil.
Dalam Filsafat cermin, rohani manusia itu diibaratkan cermin dan jasmani, pancaindera, pikiran, dianggap sebagai debu kotoran atau bahkan tutup cermin. Agar cermin bersih, atau tidak tertutup, maka pancaindeera, pikiran dan jasmani harus disingkapkan. Kalau cermin sudah bersih, maka cermin akan memantulkan sinar. Kalau rohani bersih dari kotoran pancaindera, pikiran serta tidak diselimuti yang sebangsa jasmani, maka manusia akan mampu menangkap sinar Tuhan, maka manusia akan menerima kebiijaksanaan Tuhan, yang di antaranya memang dikejar atau dicari oleh orang-orang sufi.[2]
Dikatakan oleh ibn Arabiy bahwa sebab terjadinya tajalliy Allah pada alam ialah karena ia ingin dikenal dan ingin melihat citra dirinya melalui alam tersebut. Untuk itu, ia memanifestasikan nama-nama dan sifat-sifatnya pada alam. Dengan demikian, alam phenomena ini merupakan perwujudan dari nama-nama dan sifat-sifat Allah yang abadi. Tanpa adanya alam ini, nama-nama dan sifat-sifat itu akan kehilangan makna dan akan senantiasa berada dalam bentuk potensialitasnya pada zat Tuhan. Demikian pula, zat yang mutlak itu sendiri akan tetap di dalam kesendiriannya, tanpa dapat dikenal oleh siapa pun . Di sinilah letak urgensi wujud alam sebagai wadah tajalliy Ilahi, yang padanya Tuhan melihat citra dirinya dalam wujud yang terbatas.
Akan tetapi, alam empiris yang serba ganda ini berada dalam wujud yang terpecah-pecah sehingga tidak dapat menampung citra tuhan secara sempurna dan utuh; bagian-bagian alam ini merupakan wadah tajalliy dari bagian tertentu pada nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Jadi, alam ini masih merupakan bentuk tanpa ruh, atau laksana cermin buram, yang belun dapat memantulkan gambaran Tuhan secara paripurna. Tuhan baru dapat melihta citra dirinya secara sempuran dan utuh pada Adam (manusia) sebagai cermin yang terang, atau sebagai ruh dalam jasad. Akan tetapi, tidak semua manusia termasuk dalam kategori ini. Yang dimaksud dengan manusia di sini ialah insan kamil  yang pada dirinya tercermin nama-nama dan sifat Tuhan secara sempurna. Ia dijadikan Tuhan sebagai ruh alam. Segenap alam ini tunduk kepadanya karena kesempurnaan-Nya. Sabda Rasulullah Saw dalam haditsnya yang berbunyi :

كنت كنزا مخفيا فاحبيت ان اعرف فخلقت الخلق فبي عرفوني
"Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi maka aku menjadikan makhluk agar mereka mengenal-Ku".
Hadits tersebut di atas memberikan petunjuk bahwa alam raya, termasuk kita ini adalah merupakan cermin Tuhan, atau bayangan Tuhan. Tuhan ingin mengenal dirinya melalui penciptaan alam ini. Dengan demikian dalam alam raya ini terdapat potensi ketuhanan yang dapat digunakan untuk mengenal-Nya. Dan apa yang ada di alam raya ini  pada akhirnya kembali kepada Tuhan.[3]
Jadi, insan kamil merupakan miniature dan realitas ketuhanan dalam tajallinya pada jagat raya. Oleh karena itu, Ibnu Arabi menyebutkan sebagai Al-alam As-shagir (mikrocosmos), yang pada dirinya tercermin bagian-bagian dari jagad raya (makrokosmos). Esensi insan kamil merupakan cermin dari esensi Tuhan; jiwanya sebagai gambaran dari Al-nafs Al-kulliyah (jiwa universal), tumbuhnya mencerminkan arasyi; pengetahuanya menceminkan pengetahuan Tuhan; hatinya berhubungan dengan bait Al-ma’mur; kemampouan mental spiritualnya terkait dengan malaikat; daya ingatnya dengan saturnus (zuhal); daya intelektualnya dengan Jupiter atau Al-musytari; dll.
Kesempurnaan insan kamil itu pada dasarnya disebabkan karena pada dirinya tuhan bertajalliy secara sempurna melalui hakekat Muhammad (Al-haqiqat Al-muhammdiyyah), haqiqat Muhammad (nur Muhammad) merupakan wadah tajallliy Tuhan yang paripurna dan merupakan makhluk yang paling pertama diciptakan oleh Tuhan. Ia telah ada sebelum penciptaan adam As. Oleh karena itu, Ibnu Arabi juga menyebutkan dengan “Akal pertama ”(Al-Aql Al-awwal) atau “pena yang tinggi” (Al-kalam Al-A’la). Dialah yang menjadi sebab penciptaan Alam semesta dan sebab terpeliharanya.
Ibnu Arabi berpendapat bahwa haqiqat Muhammad yang menjadi inti insan kamil adalah sebagai penyebab penciptaan alam, karena pada dasarnya, penciptaan alam ini merupakan kehendak Tuhan agar ia (Tuhan) dapat dikenal dan dapat melihat citra dirinya. Akan tetapi, maksud tersebut tidak dapat terwujud dengan sempurna, karena alam tidak dapat mengenalnya, kecuali hanya manusia yang dapat mengenalnya. Oleh karena itu, pada haqiqatnya manusialah yang menjadi sebab adanya alam. Manusia di sini ialah manusia yang secara sempurna mengidentifikasikan haqiqat Muhammad, yakni insan kamil, karena dialah yang paling bisa mengenal Tuhan.
Demikian pula, alam ini terpelihara karena adanya insan kamil. Ini merupakan akibat logis dati kedudukannnya sebagai sebab terciptanya alam dan sebagai wadah tajalliy Tuhan. Seandainya ”sebab” telah hilang, maka “akibatnya” pun tertentu akan hilang pula. Atau dengan kata lain, kalau keinginan Tuhan untuk dikenal telah hilang, tentu ia akan menghilangkan manusia dan berhenti bertajalliy maka alam pun akan lenyap. Haqiqat Muhammad yang menjadi inti kesempurnaan insan kamil itu dipandang oleh Ibnu Arabi sebagai realitas universal (Al-haqiqat Al-kulliyyah) yang menghimpun segenap realitas. Ia merupakan “milik bersama” antara Tuhan dan makhluk. Oleh karena itu, ia tidak dapat disifati dengan wujud (ada) maupun ‘adam (tiada) tidak dapat disifati dengan baru ataupun qadim, karena bila ia berada pada “ada’ yang qadim ia pun qadim, tetapi bila ia berada pada “ada” yang  baru ia pun baru. Jadi, wujud dari haqiqat Muhammad ini merupakan suatu bentuk wujud tersendiri yang menghubungkan antara yang mutlak dan alam yang terbatas. Ia di sebut qadim jika dipandang sebagai ilmu Tuhan yang Qadim, tetapi ia dikatakan baru karena memanifestasikan dirinya pada alam yang terbatas dan baru. Kendati demikian, Ibnu Arabi, itu hanyalah dalam tanggapan akal.[4]
Dari beberapa penjelasan yang kami sebutkan, sesuai dengan pengalaman-pengalaman misterius yang di alami oleh orang-orang sufi maka mereka mampu mengungkapkan ucapan-ucapan yang agaknya sulit diterima oleh orang lain seperti :
قال علماء الصوفي : من عرف نفسه فقد عرف ربه.
"Barang siapa yang mengenal dirinya maka ia dapat mengenal tuhannya"
Mereka melihat dari factor insane kamil yang mampu mewujudkan citra tuhan secara sempurna dan dari sini pulalah muncul ungkapan bahwasannya manusia itu laksana cermin Tuhan.
Dikisahkan dalam sebuah hadis, seorang pelacur melihat seekor anjing yang kehausan.  Ia masuk ke dalam sumur, menjadikan sepatunya sebagai wadah untuk kemudian diminumkan kepada anjing tersebut. Atas perbuatan ini, pelacur itu masuk surga. Orang yang mendengar menilai bahwa kisah ini adalah bukti kasih sayang Tuhan, sehingga seorang pelacur pun dapat masuk surga.
Hal itu benar. Tetapi, ada hal yang lebih substansial. Ketika pelacur itu memberikan minuman kepada anjing, ia berkata, “Ya Allah, betapa mulia anjing ini. Ia sadar dengan keanjingannya, sedang aku tidak sadar dengan kemanusiaanku.” Kesadaran bahwa betapa dirinya demikian hina, bahkan bila dibandingkan oleh seekor anjing, membuatnya masuk ke surga.
“Barang siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya”, demikian ungkapan tersebut di atas.. Manusia adalah cermin Tuhan. Kasih Tuhan harus kita terjemahkan dan bumikan ke seluruh alam. Indikasi utama terlaksana tidaknya pembumian kasih itu adalah dengan menerapkan keadilan yang menjunjung tinggi harkat kemanusiaan.
Penulis memahami bahwa Pembahasan insan kamil telah menjadi tema sentral bagi beberapa sufi besar, terutama Ibn ‘Arabi dan para pengikutnya. Salah seorang pengikutnya yang telah secara khusus menulis tentang “insan kamil “ adalah Abdul Karim al-Jili (w 1962). Dalam bukunya yang telah tersebar luas, al-Insan al kamil fi makrifat al-awakhir wa al-awa’il, al-Jili menjelaskan macam-macam manifestasi (tajalliyat) yang dapat dipantulkan manusia dari Tuhan : tindakan-tindakan (af’al), nama-nama(asma’), dan terakhir sifat. 
Pertama tajalli af’al. yaitu manusia yang mampu berkahlak dengan sifat Tuhan, maka yang berlaku pada dirinya adalah tindakan-tindakan Tuhan, sedangkan ia sendiri telah tercerabut dari semua daya, upaya dan karsa dirinya sendiri. Orang yang seperti ini tidaklah bertindak kecuali apa yang dikehendaki Tuhan. Bukankah nabi kita dikatakan “tidak berkata dari hawa”, kecuali yang diwahyukan kepadanya?” Ia telah menyerahkan seluruh kehendak pribadinya kepada kehendak Tuhan. 
 Kedua berkaitan dengan tajalli asma’, yakni manusia layaknya cermin dari nama-namanya. Ini terjadi ketika nama-nama tertentu dari Tuhan tercerap oleh manusia dan menggantikan namanya. Kalau hal ini terjadi pada seseorang, maka menurut al-Jili, terhapuslah nama orang itu, dan digantikan oleh salah satu nama Tuhan. Pada saat itu terjadi, maka kesadaran diri seseorang hilang dan digantikan oleh kesadaran akan kehadiran Tuhan”maka aku dan Dia menjadi lebur”. Ketika nama “Allah” yang tercerap , maka terungkaplah kata dari mulut Syekh Siti Jenar, ketika ditanya siapa di sana” Yang ada adalah Allah, bukan Siti Jenar. Demikian juga ketika nama “al-Haqq” yang terserap, maka terungkaplah kata dari mulut al-Hallaj “ana al-Haq”(aku adalah kebenaran) yang dimaksud dengan kebenaran di sini adalah Tuhan, karena dalam wacana sufistik Tuhan disebut kebenaran. Pada saat itu, al-hallaj “ menafikan” dalam arti “kehilangan akan dirinya”, menetapkan (itsbat) hanya keberadaan Tuhan. Atau dalam ungkapan al-Jili sendiri :”Ana Allah”, ketika Allah menghapus nama sang hamba dan menetapkan baginya nama Allah.
Yang ketiga atau yang terakhir, manusia merupakan cermin untuk mewujudkan bertajallinya sifat-sifat Tuhan. Al-Jili mengatakan, “sifat Allah bertajalli pada diri hamba, maka hamba tersebut merenung dalam falak sifat tersebut. Kalau sifat ilmu Tuhan yang bertajalli pada diri hamba,. 
Dalam kaitan ini, perlu dikemukakan bahwa kita dianjurkan, berdasarkan sebuah hadis Qudsi, untuk menirukan akhlak Tuhan (at-takhalluq bi akhlaq Allah). Ketika kita berpuasa, maka sebenarnya kita sedang berusaha mengatasi ketergantung kita pada makanan-makanan fisik dan dengan itu mencoba mengatasi batas-batas fisik kita. Ini bisa kita sebut sebagai usaha kita untuk mencontoh sifat Tuhan “al-Ghani”, Maha Kaya atau independen. Demikian juga ketika seseorang mencoba menggoreskan pikiran-pikirannya dalam bentuk tulisan, maka bagi saya, ia sedang menirukan sifat “hidup” (al-Hayy) Tuhan , karena dengan begitu ia bisa mengabdikan pikirannya, sekalipun ajalnya kemudian tiba. Kalau karya itu bagus, maka semua orang akan mendapat manfaat darinya,. Syukur lagi kalau buku-bukunya itu kemudian masih bisa menghidupi keluarga yang ditinggalkannya melalui royaltinya sekalipun ia telah tiada, maka tentu saja ia masih bisa terus menghidupi keluarganya, seakan-akan ia hidup terus selamanya.[5]
Demikianlah pembahasan kami tentang manusia sebagai cermin dari Tuhan, mudah-mudahan ada mamfaatnya, lebih dan kurangnya mohon di maafkan.



[1] LIhat, Anick H.T. islamlib. Com. Tgl 25 oktober 2010.
[2] Lihat, drs. Romdon, MA. TASHAWWUF DAN ALIRAN KEBATINAN. 1995 Yogyakarta : LESFI (Lembaga Studi filsafah Islam) hal.45
[3]Lihat, Drs. H. Abuddin Nata, MA, Akhlak tasawwuf, 1996, cet. I, Jakarta : PT. RajaGrafindo Perasada.
[4] Lihat, dr. Yunasril Ali, MANUSIA citra ilahi.jakarta paramadina 1997 hal. 53-57
[5] Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, Erlangga, 2006, h 76-78

Comments

BERITA TERBARU !!

Popular posts from this blog

BIL MA'TSUR ( TAFSIR AYAT DENGAN AYAT )

CARA MELAKUKAN TAKHRIJ HADIS

download TAFSIR AL-NASAFIY

cara atau Kaedah al-Jarh Wa al-Ta’dil Serta Aplikasinya

HADIS TARBAWIY DAN AKHLAK (BERKURANGNYA IMAN KARENA MAKSIAT)

kaedah 'ATAF - AL-'ATFU DALAM AL-QUR'AN

cara TAMBAHAN - kaedah ZIYADAH DALAM AL-QUR'AN

cara melakukan MUNASABAH AYAT

MANHAJ THABATHABAI DALAM al mizan

KAEDAH 'AM DAN KHAS