by :
ZAHARUDDIN
Revisi Makalah :
CAT :
MATERI INI TIDAK LENGKAP, TIDAK ADA REFERENSI
FOOT NOTE DAN DAFTAR PUSTAKA
SILAHKAN DOWNLOAD MATERI LENGKAPNYA DI SITUS BARU KAMI
Hai teman-teman, kali ini artikel penelitian hadis,,, saking pentingnya,,, PENELITIAN HADIS,,,di bangku kuliah mengantarkan ku ke kursi pelaminan...hehehhe... Pasti tidak percaya kan bang ??..
Kisahnya lumayan Panjang sih... tapi semoga kalian tidak penasaran tentang kisahnya yach.. Sekarang ane posting artikel pendek
LATAR BELAKANG PENTINGNYA PENELITIAN HADIS, yang jelasnya bukan karena pengen kawin yach... hehehe selamat membaca bang
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
.............................
Penelitian
ini bukan bermaksud untuk meragukan keseluruhan hadits Nabi tetapi lebih kepada
kehati-hatian (al-ihtiyath) dalam pengambilan dasar hukum atau hujjah. Inilah
bukti bahwa kita benar-benar ingin mengikuti Nabi Muhammad dan menjalankan
Islam sepenuhnya. Hal semacam itulah yang menyebabkan pengkajian hadits tidak
hanya menyangkut kandungan dan aplikasinya saja, tetapi juga segi sanad, matan
dan periwayatannya. Di sinilah Ulama hadits sangat berhati-hati dalam melakukan
periwayatan. Sehingga segala sesuatu yang berkenaan dengan materi hadits
menjadi sangat besar manfaatnya bagi penelitian kualitas hadits.
B.
Rumusan Masalah
1
BAB II
A. Pengertian
Kata
“kritik” berasal dari bahasa Yunani krites yang artinya “seorang hakim,
krinein berarti “menghakimi”, kriterion berarti “dasar
penghakiman”. Selain itu kritik juga merupakan terjemahan dari bahasa
arab naqd (نقد) yang merupakan muradif dari kata تمييز yang berarti
membedakan. Dalam literatur lain ditemukan kata نقد yang diartikan
dengan kritik, hal ini digunakan oleh muhadditsin awal abad kedua, dilain
tempat dikatakan bahwa maksud dari kritk adalah memisahkan sesuatu yang baik
dari yang buruk. Sementara secara terminologi kritik merupakan usaha menemukan
kesalahan atau kekeliruan dalam rangka mencari kebenaran.
Kata
sanad dalam bahasa arab sinonim dengan kata da’ama yang mengandung arti
menopang atau menyangga, jamaknya Asnad dan Sanadat.[2]
Sedangkan menurut istilah hadis, terdapat perbedaan rumusan pengertian.
Al-Badru bin Jamaah dan Al-Thiby mengatakan bahwa sanad adalah:
MATAN HADIS
حدثنا
محمد بن المثنى قال: حدثنا عبد الوهاب الثقفى قال: حدثنا أيوب عن أبى قلابة عن أنس
عن النبى صلعم: ثلاث من كن …..(رواه البخارى)
Maka
matnul-Hadist “Tsalatsun…” diterima oleh al-Bukhary melalui sanad pertama
Muhammad ibn al-Mutsanna, sanad kedua ‘Abdul-Wahhab-Ats-Tsaqafy, sanad ketiga
Ayyub, sanad keempat Abi Qilab dan seterusnya sampai sanad terakhir, Anas r.a.,
seorang shahabat yang langsung menerima sendiri dari Nabi Muhammad s.a.w.
Dengan demikian al-Bukhary itu menjadi sanad pertama dan rawy terakhir bagi
kita.[4]
Sedangkan
kata hadist diberi pengertian yang berbeda-beda oleh para ulama;
perbedaan-perbedaan pandangan itu, lebih disebabkan oleh terbatasnya dan
luasnya objek tinjauan masing-masing yang tentu saja mengandung kecendrungan
pada aliran ilmu yang dimiliki oleh ahlinya. Misalnya ulama hadist
mendefinisikan hadist sebagai segala sesuatu yang diberikan dari Rasulullah
Saw. Baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal
Rasulullah saw..[5]
Jadi, metode kritik sanad hadis ialah suatu
cara yang sistematis dalam melakukan penelitian, penilaian, dan penelusuran
sanad hadis tentang individu perawi dan proses penerimaan hadis dari guru
mereka masing-masing dengan berusaha menemukan kekeliruan dan kesalahan dalam
rangkaian sanad untuk menemukan kebenaran, yaitu kualitas hadis (Shahih, hasan,
atau dla’if).
Kata
hadis berasal dari bahasa Arab, al-hadits
jamaknya al-ahadits, al-hidsan, dan
al-hudsan. Hadis dari segi bahasa berarti
al-jadid artinya yang baru lawan dari
qadim, al-qarib artinya yang dekat
(yang belum lama lagi terjadi), al-khabar
artinya berita atau kabar.
Hadis, berdasarkan kepada al-Qasi>miy, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw apakah
itu berupa perkataan, perbuatan, pengakuan atau sifat-sifat beliau.
Syuhudi Ismail menambahkan definisi tersebut dengan apa yang disandarkan kepada
biografi nabi, perbuatan/akhlak, berita, perkataan dan perbuatan, apakah hal
tersebut berkaitan dengan hukum ataupun tidak.
B. Sejarah Kelahiran Hadis Nabi Muhammad Saw.
Rasulullah saw. telah membina umatnya selama 23 tahun, yang pada masa itu
al-Qur’an turun secara berangsur-angsur. Masa ini merupakan kurun waktu
turunnya wahyu dan sekaligus di-wurud-kannya hadis. Hadis Nabi Muhammad saw. adalah ajaran Islam
yang kedudukannya berada setelah al-Qur’an.
Segala hal yang berkaitan dengan umat Islam, yang kecil maupun yang besar
dan segala yang menyangkut pribadi dan jama’ah dalam berbagai lapangan
kehidupan yang tidak disebut dalam al-Qur’an,
tercakup dalam hadis Nabi melalui perkataan (aqwal), perbuatan (af’al)
dan taqrir Nabi , sehingga apa yang dilihat, didengar dan disaksikan oleh
para sahabat dapat dijadikan pedoman amaliah dan ubudiyah mereka.
Pada masa ini hadis merupakan Interpretasi al-Qur’an yang terkandung dalam
kehidupan Nabi saw. melalui perkataan, perbuatan, taqrir dan sifat beliau.
Turunnya ayat al-Qur’an otomatis melahirkan hadis Nabi Muhammad saw. Pada
masa diturunkan al-Qur’an, Nabi menyuruh para sahabat untuk menghafal dan
menulis al-Qur’an serta secara resmi mengangkat
penulis wahyu yang bertugas mencatat setiap ayat al-Qur’an diturunkan.
Sedangkan hadis, Nabi memerintahkan agar menghafal dan menyampaikannya kepada
yang lain serta melarang untuk mengubahnya, tapi tidak menyelenggarakan
penulisan secara resmi seperti penulisan al-Qur’an. Penulisan hadis pada masa
ini, meski secara resmi dilarang, namun secara perorangan telah dilakukan oleh
para sahabat. Bahkan diantara sahabat ada yang mengoleksi hadis Nabi, seperti
‘Abdullah Ibn ‘Amr ibn ‘Ash, nama shahifah-nya adalah al-shadiqah,
Ali bin Abi Thalib menulis kitab hadis tentang hukum diyat.
Rasulullah saw. menjadikan rumah al-Arqam sebagai tempat tinggal beliau
beserta para sahabat pada masa dakwah sirr yakni secara sembunyi-sembunyi. Kaum muslim
generasi awal berkumpul disekeliling beliau, jauh dari kaum musyrikin, untuk
mempelajari kitab Allah. Kepada mereka beliau mengajarkan dasar-dasar Islam,
menyampaikan wahyu al-Qur’an. Setelah itu tempat tinggal Rasulullah menjadi
tempat berkumpul kaum muslim untuk menerima al-Qur’an dan menyerap hadis Rasulullah.
Hadis Nabi yang melarang penulisan
al-Qur’an.
لا
تكتبوا عني ، ومن كتب عني غير القرآن فَلْيَمْحُه وحَدِّثوا عني ولا حَرَج ، ومن كذب
عليَّ مُتعمِّدا ، فَلْيَتَبَوَّأْ مقعده من
النار. أَخرجه مسلم
“Janganlah
kamu tulis yang telah kamu terima dariku selain al-Qur’an.
Barang siapa menuliskan yang ia terima dariku selain al-Qur’an
hendaklah ia menghapusnya. Ceritakanlah apa yang kamu terima
dariku dan itu tidak mengapa. Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku,
maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya di nereka”
Orang-orang terdahulu baik dari sahabat dan tabi’in berbeda pendapat dalam
penulisan hadis. Ada diantara mereka yang melarang penulisan hadis dan ada juga
yang membolehkan penulisannya. Perbedaan
tersebut terletak pada larangan penulisan. Ada yang mengatakan larangan penulis
hadis tersebut di atas adalah kekhawatiran bercampurnya sabda-sabda Rasulullah
saw. dengan al-Qur’an. Kemudian para ulama bersepakat dalam penulisan hadis
untuk menghilangkan perbedaan tersebut. Diantara mereka berpendapat larangan
tersebut bagi orang yang diyakini mampu menghafalnya karena dikhawatirkan
bergantung pada tulisan, sedangkan diperbolehkan penulisan hanya bagi orang
yang tidak mampu dalam menghafal. Seperti hadis : اُكْتُبُوا لِأَبِي شَاه
dan hadis s}ahifah Ali r.a. dan hadis yang terdapat dalam kitab ‘Amru
bin Hazm yang dalamnya terdapat kewajiban dan sunnah tentang diyat. Pada pihak
lain ada yang berpendapat bahwa larangan tersebut terdapat pada larangan
menuliskan al-Qur’an dan hadis dalam satu s}ahifah, karena dikhawatirkan
terjadi percampuan kemiripan dalam satu s}ahifah bagi pembaca. M.M Azami lebih cenderung pada pendapat bahwa larangan
tersebut khusus untuk penulisan hadis dan al-Qur’an dalam satu naskah. Hal itu
karena dikhawatirkan terjadi percampuran antara hadis dan al-Qur’an. Ia mengatakan bahwa Nabi sendiri pernah mengimlakkan hadisnya,
penulisan hadis yang dilakukan para sahabat mencapai tingkat mutawatir, Nabi
juga pernah mengirimkan surat-surat kepada para gubernur. Surat-surat tersebut
berisi aturan administrasi yang hal tersebut dianggap sebagai hadis. Ia juga
mengatakan bahwa banyak terdapat hadis-hadis sahih yang mana Nabi mengizinkan
para sahabat untuk menulis hadis-hadisnya.
Adapun hadis Nabi yang membolehkan
penulisan hadis adalah
كُنْتُ
أَكْتُبُ كُلَّ شَىْءٍ أَسْمَعُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ
صلى
الله عليه وسلم أُرِيدُ حِفْظَهُ فَنَهَتْنِى قُرَيْشٌ وَقَالُوا : تَكْتُبُ كُلَّ
شَىْءٍ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم- وَرَسُولُ اللَّهِ صلى
الله عليه وسلم بَشَرٌ يَتَكَلَّمُ فِى الْغَضَبِ وَالرِّضَا ؟ فَأَمْسَكْتُ عَنِ الْكِتَابِ
فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَأَوْمَأَ بِأُصْبُعِهِ إِلَى
فِيهِ وَقَالَ : اكْتُبْ فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ مَا خَرَجَ مِنْهُ إِلاَّ حَقٌّ
“ Aku menulis segala sesuatu yang aku dengar dari
Rasulullah saw. dengan maksud ingin menghafalnya, lalu orang Quraisy
melarangku, dan mereka mengatakan: apakah kamu menulis segala sesuatu yang kamu
dengar dari Rasulullah saw. sedangkan Rasulullah manusia biasa yang bicara
disaat marah dan gembira. Maka aku menahan dan berhenti menulis, lalu aku
sampaikan kepada Rasulullah saw. kemudian ia menunjuk pada mulut dengan jarinya
dan bersabda, “tulislah, demi jiwaku ditangan-Nya tiada sesuatu apapun yang
keluar darinya melainkan yang benar ”
Para Ulama telah memadukan dua perbedaan
pendapat tersebut yakni pertama, larangan penulisan terjadi pada awal masa
perkembangan Islam dikhawatirkan terjadi percampuran dan penggabungan antara
hadis Nabi dan al-Qur’an. Ketika keadaan sudah aman dan kondusif serta banyak
yang mengetahui dan menghafal al-Qur’an, Rasulullah saw. mengizinkan untuk
menulis hadis dan larangan sebelumnya menjadi mansukh. Kedua, larangan hanya khusus pada penulisan hadis
bersamaan dengan al-Qur’an dalam satu shahifah, karena khawatir terjadi
percampuan, kemiripan atau persamaan. Ketiga, larangan hanya bagi orang yang
diyakini mampu menghafalnya karena dikhawatirkan bergantung pada tulisan,
sedangkan diperbolehkan penulisan hanya bagi orang yang tidak mampu dalam
menghafalnya seperti Abu Syah.
Pada masa ini para sahabat menerima hadis Rasulullah saw. dengan berbagai cara,
baik melalui majlis Rasulullah dengan menimba ilmu darinya dan meneladani
beliau. Mereka sangat antusias mengikuti majlis Rasulullah saw. hingga mereka
saling bergantian dalam menghadiri majlis Rasulullah saw. bila diantara mereka
berhalangan hadir, maka yang hadir
menyampaikannya kepada yang tidak hadir dalam majlis itu, apalagi
sahabat yang berdomisili di daerah yang jauh dari Madinah seringkali hanya
memperoleh hadis dari sesama sahabat.
C. Urgensi Kritik Sanad Hadits
Tujuan pokok
penelitian sanad hadits adalah untuk mengetahui kualitas hadits yang diteliti.
Kualitas hadits sangat perlu diketahui dalam hubungannya dengan kehujjahan hadits yang
bersangkutan. Hadits yang kualitasnya tidak memenuhi syarat tidak dapat
digunakan sebagai hujjah. Pemenuhan syarat itu karena hadits merupakan sumber
ajaran Islam. Penggunaan hadits yang tidak memenuhi syarat akan dapat
mengakibatkan ajaran Islam tidak sesuai dengan apa yang seharusnya.
Oleh karena itu, penelitian terhadap hadis
Nabi saw. menjadi penting dilakukan oleh para ilmuan, dan menjadikan hadis atau ilmu hadis sebagai
bidang studi keahliannya. Hal ini berdasar pada beberapa faktor:
a.
Hadis
Nabi saw. sebagai sumber ajaran dan atau sumber hukum Islam sesudah al-Quran.
b.
Hadis
Nabi saw. tidak seluruhnya tertulis pada waktu Nabi masih hidup.
c.
Telah
terjadi upaya pemalsuan terhadap hadis
Nabi saw.
d.
Proses
penghimpunan dan periwayatan hadis Nabi saw. Telah memakan waktu yang sangat
panjang.
e.
Kitab-kitab
hadis yang telah banyak beredar ternyata menggunakan metode dan pendekatan
penyusunan yang bervariasi.
f.
Periwayatan
hadis lebih banyak berlangsung secara makna dari pada secara lafal.
g.
Banyak
hadis popular tapi belum jelas status kehujjahannya
Pertama, hadis
Nabi saw. sebagai sumber ajaran dan atau sumber hukum Islam sesudah al-Quran. Cukup
banyak ayat al-Quran yang memerintahkan orang beriman untuk patuh dan taat dan
selanjutnya mengikuti petunjuk Nabi Muhammad saw. sebagai utusan Allah swt.
Anjuran tersebut diantaranya tercantum
Al-Quran, surat Ali Imran/3:32 menyebutkan yang terjemahnya sebagai berkut:
“Katakanlah; Taatlah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling maka sesungguhnya Allah tiadak menyukai
orang-orang kafir.”
Menurut penjelasan ulama, bahwa ayat tersebut
memberi petunjuk bahwa bentuk ketaatan kepada Allah swt. adalah dengn mematuhi
petunjuk al-Quran, sedangkan bentuk ketaatan kepada Nabi saw. adalah mengikuti
sunnah-nya atau hadis. Selanjutnya ayat
al-Quran yang menjelaskan tentang taat kepada Nabi saw..
Di ayat lain, Allah berfirman yakni dalam Q.S.
al-Hasyr/59: 7:
مَا
أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي
الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً
بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ
عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (7)
Terjemahnya:
…. Apa yang diberikan oleh
Rasul kepadamu, maka hendaklah kamu menerimanya dan apa yang dilarangnya
bagimu, hendaklah kamu meninggalkannya (apa yang dilarang itu)…
Menurut ulama, ayat di atas member petunjuk
secara umum yakni bahwa semua perintah dari Nabi wajib diikuti oleh orang-orang
yang beriman.
Dengan petunjuk ayat di atas, maka jelaslah bahwa
hadis atau sunnah Nabi Muhammad saw.
merupakan sumber ajaran agama Islam, di samping al-Quran. Orang yang menolak hadis sebagai salah satu
sumber ajaran Islam, berarti orang itu menolak petunjuk al-Quran. Mereka ini
disebut inkar al-sunnah. Cukup banyak alasan yang mereka ajukan untuk menolak
hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam. Alasan-alasan yang mereka ajukan itu
ada yang berupa dalil-dalil naqli dan aqli, argument-argumen sejarah, dan
lain-lain. Semua alasan yang mereka ajukakan itu ternyata sangat lemah.
Kedua, hadis Nabi saw. tidak
seluruhnya tertulis pada waktu Nabi masih hidup.
Nabi
pernah melarang sahabat untuk menulis
hadis beliau, tapi di saat yang berbeda, beliau pernah menyuruh sahabat untuk
menulis hadis beliau.
Kebijakan Nabi tersebut, menimbulkan perbedan
pendapat dikalangan ulama, bahkan dikalangan sahabat Nabi sendiri, tentang boleh tidaknya menulis hadis Nabi.
Di masa Nabi, ada terjadi penulisan hadis misalnya surat-surat Nabi yang beliau
kirim kepada sejumlah pembesar untuk memeluk Islam. Di antara sahabat yang
menulis hadis Nabi tersebut, misalnya Abdullah bin Amar bin ‘Ash, Abdullah bin
Abbas, Ali bin Abi Thalib, Sumrah bin Jundab, Jabir bin Abdullah dan Abdullah
bin Abi Aufa’ Sekalipun demikian tidak
semua hadis terhimpun ketika itu, hal
itu sangat beralasan karena sahabat yang membuat catatan itu adalah
inisiatif sendiri. Di sisi lain mereka
kesulitan untuk mencatat setiap peristiwa dari Nabi saw., apalagi kejadiannya
hanya terjadi di hadapan satu atau dua orang saja.
Dengan demikian, hadis Nabi yang berkembang
pada masa Nabi lebih banyak berbentuk hapalan daripada tulisan.hal itu
berakibat bahwa dokumentasi hadis Nabi secara tertulis tidak mencakup semua
hadis yang ada. Selain itu, tidak semua hadis yang telah dicatat oleh sahabat
telah dilakukan pemeriksaan di hadapan Nabi. Olehnya itu, hadis secara hapalan
maupun yang tertulis penting diadakan penelitian.
Ketiga, Telah terjadi upaya pemalsuan
terhadap hadis Nabi saw.. Masih sulit
dibuktikan, bahwa di zaman Nabi saw. sudah terjadi pemalsuan hadis. Kegiaatan
pemalsuan hadis mulai muncul dan berkembang di masa khalifah Ali bin Abi Thalib
(memerintah 35-40 H). Demikian pendapat ulama hadis pada umumnya.
Awalnya faktor yang mendorong seseorang melakukan pemalsuan hadis karena kepentingan
politik. Ketika itu terjadi pertentangan politik antara Ali bin Abi Thalib dan
Muawiyah bin Abi Sufyan. Masing-masing
pendukung berusaha untuk memenangkan perjuangannya. Salah satu upaya
yang dilakukan oleh sebagian dari mereka
adalah membuat hadis-hadis palsu.
Menurut sejarah, pertentangan politik tersebut
telah pula mengakibatkan timbulnya pertentangan di bidang teologi. Sebagian
pendukung aliran teologi yang timbul pada saat itu telah membuat berbagai hadis
palsu untuk memperkuat argumantasi aliran yang mereka yakini benar.
Selain itu upaya dari musuh-musuh Islam yang
berusaha untuk menghancurkan Islam dari dalam, mereka membuat hadis palsu dalam
rangka memerangi Islam. Demikian pula karena kepentingan ekonomi, keinginan
menyenangkan hati pejabat (menjilat kepada pejabat), dan ada juga sebagian
muballig berpendapat bahwa untuk kepentingan
dakwa maka boleh saja membuat hadis palsu.
Dengan telah terjadinya pemalsuan hadis
tersebut, maka kegiatan penelitian hadis menjadi sangat penting . Tanpa
dilakukan penelitian hadis, maka hadis Nab saw. akan bercampur aduk dengan yang
bukan hadis Nabi saw. dan akhirnya ajaran Islam akan dipenuhi dengan berbagai
hal yang akan menyesatkan umat.
Keempat,
proses
penghimpunan dan periwayatan hadis Nabi saw. Telah memakan waktu yang sangat
panjang. Dalam sejarah, penghimpunn hadis secara resmi dan massal terjadi atas
perintah khalifah Umar bin Abdul Aziz (W.101 H/750 M). Dikatakan resmi karena
kegiatan penghimpunan itu merupakan kebijakan dari kepala negara; dan dikatakan
massal karena perintah kepala negara itu ditujukan kepada para gubernur dan
ulama ahli hadis pada zaman itu.
Pada sekitar pertengahan abad ke 2 hijriyah,
telah muncul karya-karya himpunan hadis diberbagai kota besar; misalnya di
Makkah, Madinah, dan Bashrah. Puncak penghimpinan hadis Nabi terjadi sekitar
pertenghan abad ke 3 hijriyah.
Dengan demikian, jarak waktu antara masa penghimpunan
hadis dan wafatnya Nabi saw. cukup lama. Hal itu membawa akibat bahwa berbagai
hadis yang dihimpun dalam berbagai kitab menuntut penelitian yang seksama
untuk menghindarkan dari penggunaan dalil hadis yang tidak dapat
dipertanggunjawabkan validitasnya.
Kelima, kitab-kitab
hadis yang telah banyak beredar ternyata menggunakan metode dan pendekatan
penyusunan yng bervariasi. Sebagai mana diketahui bahwa jumlah kitab hadis yang
telah disusun oleh ulama periwayat hadis cukup banyak. Jumlah tersebut sangat
sulit dipastikan angkanya sebab mukharrijul hadis(ulama yang meriwayatkan hadis
dan sekaligus mengadakan penghimpunan hadis) tidak terhitung jumlahnya.
Apalagi, sebagian dari penghimpun hadis itu ada yang menghasilkan karya
himpunan hadis lebih dari satu kitab.
Metode penyusuanan kitab-kitab himpunan hadis
tersebut ternyata tidak seragam. Hal itu
memang logis, sebab yang lebih ditekankan dalam penulisan itu bukanlah metode
penyusunannya, melainkan penghimpunan hadisnya.
Masing-masing mukharrij memiliki metode
sendiri-sendiri, baik dalam penyusunan, sistematikanya dan topik yang
dikemukakan oleh hadis yang dihimpunnya, maupun kriteria kualitas hadisnya
masing-masing. Karenanya tidaklah mengherankan, bila pada masa sesudah kegiatan
penghimpuanan itu, ulama menilai dan membuat krieteria tentang peringkat
kualitas kitab-kitab himpunan hadis tersebut, misalnya al-Kutubul khamsah(lima
kitab hadis yang standar), al-Kutubus sittah(enam kitab hadis yang stanadar), dan
al-Kutubus sab’ah (tujuh kitab hadis yang standar).
Keenam, periwayatan
hadis lebih banyak berlangsung secara makna dari pada secara lafal. Mayoritas sahabat Nabi membolehkan periwayatan hadis secara makna. Mereka misalnya,
Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Anas bin Malik, Abu Darda,
Abu Hurairah dan ‘Aisyah istri Rasulullah. Adapun yang menolak periwayatan hadis secara makna,
misalnya, Umar bin Khattab, Abdullah bin
Umar bin Khattab dan Zaid bin Arqam.
Perbedaan pandangan tentang periwayatan hadis
secara makna itu terjadi juga di kalangan ulama sesudah zaman sahabat. Ulama
yang membolehkan periwayatan secara makna menekankan pentingnya pemenuhan
syarat-syarat yang cukup ketat, misalnya proses periwayatan, yang bersangkutan
harus mendalam pengetahuannya tentang bahasa arab, hadis yang diriwayatkan
bukanlah bacaan yang bersifat ta’abbudi, umpamanya bacaan shalat, dan periwayatan secara makna dilakukan karena
sangat terpaksa.
Dengan demikian, periwayatan hadis secara makna tidaklah berlangsung secara
longgar, tetapi cukup ketat.
Walaupun cukup ketat syarat periwayatan hadis
secara makna, namun kebolehan itu memberi petunjuk bahwa matan hadis yang
diriwayatkan secara makna telah ada bahkan banyak. Padahal untuk mengetahui
kandungan petunjuk hadis tertentu diperlukan terlebih dahulu mengetahui susunan
redaksi (tekstual) dari hadis yang bersangkutan, utamanya yang berkenaan dengan
hadis qauli (hadis yang berupa sabda Nabi). Oleh karena itu, kegiatan
penelitian dalam hal ini sangat penting.
D. Urgensi Kritik Matan
Metodologi
kritik matan bersandar pada kriteria hadits yang diterima (maqbul, yakni
yang shahih dan hasan), atau matan tidak jangkal (syadz) dan
tidak memiliki cacat (illat). Untuk itu metodologi yang digunakan atau
dikembangkan untuk kritik matan adalah metode perbandingan dengan
menggunakan pendekatan rasional. Metode tersebut, terutama perbandigannya,
telah berkembang sejak masa sahabat. Dalam menentukan otentitas hadits, mereka melakukan studi perbandingan dengan
al-Qur’an, sebagai sumber yang lebih tinggi, perbandingan dengan hadits yang
lain mahfuzh, juga dengan kenyataan sejarah. Bila terjadi pertentangan,
maka hadits yang bersangkutan dicoba untuk di-takwil atau di-takhsish,
sesuai sifat dan tingkat pertentangan, sehingga dikompromikan satu dengan yang
lain. Tetapi jika tetap tidak bisa, maka dilakukan tarjih dengan
mengamalkan yang lebih kuat.
Menurut
Shalahuddin al-Dhabi, urgensi obyek studi kritik matan tampak dari
beberapa segi, di antaranya :
1. Menghindari sikap kekeliruan (tasahhul) dan
berlebihan (tasyaddud) dalam meriwayatkan suatu hadits karena adanya
ukuran-ukuran tertentu dalam metodologi kritik matan.
2. Menghadapi kemungkinan adanya kesalahan pada diri periwayat.
3. Menghadapi musuh-musuh Islam yang memalsukan hadits dengan
menggunakan sanad hadits yang shahih, tetapi matan-nya tidak
shahih
4. Menghadapi kemungkinan terjadinya kontradiksi antara
beberapa periwayat.
Selanjutnya,
masih menurutnya, ada beberapa kesulitan dalam melakukan penelitian terhadap
obyek studi kritik matan, yaitu :
1. Minimnya pembicaraan mengenai kritik matan dan
metodenya.
2. Terpencar-pencarnya pembahasan mengenai kritik matan
3. Kekhawatiran terbuangnya sebuah hadits.
Jika
melihat kembali sosio-historis perkembangan hadits, maka akan ditemukan banyak
problem di seputarnya. Di antaranya, banyak upaya pemalsuan hadits dan
sebagainya. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya adalah
kesenjangan, baik itu untuk menyerang dan menghancurkan Islam, maupun untuk
pembelaan terhadap kepentingan kelompok atau golongan, atau ketidak-sengajaan,
seperti kekeliruan pada diri periwayat, dan lain-lain.
Dalam
meneliti hadits, kalangan ulama mengemukakan beberapa syarat bagi peneliti,
yaitu: 1) ahli di bidang hadits; 2) tahu lebih luas dan mendalam ajaran Islam;
3) melakukan muthalaah (penelaahan) yang cukup; 4) memiliki akal cerdas
untuk memahami pengetahuan secara benar; 5) tradisi keilmuan yang tinggi.
E.
Kaidah-kaidah
Kesahihan Hadis
1. Unsur-unsur Kaidah Mayor
Sebelum diuraikan unsur-unsur kaidah mayor
lebih lanjut, perlu dijelaskan arti dari kaidah itu sendiri. Secara etimologis,
kata kaidah berasal dari bahasa arabقاعدة yang artinya alas
bangunan, aturan atau undang-undang. Kaidah juga diartikan sebagai norm (norma),
rule (aturan), atau principle (prinsip). Dalam konteks makalah ini, kaidah
kesahihan hadis dipahami sebagai aturan-aturan atau prinsip-prinsip yang telah
dirumuskan oleh para ulama hadis untuk meneliti tingkat kesahihan suatu hadis.
Kaidah kesahihan hadis dapat diketahui dari
pengertian hadis sahih itu sendiri. Para ulama telah memberikan definisi hadis
sahih yang telah diakui dan disepakati kebenarannya oleh para ahli hadis, di
antaranya sebagai berikut :
الحديث الصحيحهوالحديث الذي ا تصل سنده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط الىمنتهاه ولايكون شاذا ولامعللا
“Hadis
sahih adalah hadis yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi), yang
diriwayatkan oleh rawi (periwayat) yang ‘adil dan dhabith dari rawi lain yang
(juga) ‘adil dan dhabith sampai akhir sanad, dan (di dalam hadis hadis itu)
tidak terdapat kejanggalan (syudzudz) serta tidak mengandung cacat
(‘illat).”
Menurut ta’rif Muhaddisin tersebut, bahwa suatu
hadis dapat dinilai sahih apabila memenuhi syarat-syarat atau unsur:
a. Sanadnya bersambung : artinya
tiap-tiap perawi (periwayat) dari perawi lainnya benar-benar mengambil secara
langsung dari orang yang ditanyanya dari sejak awal hingga akhir sanadnya. Atau
bahwa tiap-tiap rawinya bertemu dengan marwi ‘anhunya.
b. Rawinya bersifat ‘adil :
artinya tiap-tiap perawi itu seorang muslim, balig, jauh dari maksiyat, bukan
fasiq dan tidak pula jelek perilakunya, gigih dalam memelihara muru’ah.
c. Rawinya bersifat dhabith :
artinya masing-masing perawinya sempurna daya ingatannya, baik berupa ingatan
dalam dada (dhabith ash-shadr) maupun dalam kitab (dhabith al-kitab). Para rawi
tersebut dalam keadaan sadar tatkala menerima hadis, paham terhadap hadis yang
ia terima dan mampu memelihara keaslian hadis-hadis yang ia terima sejak
menerimanya dari guru sampai saat menyampaikannya pada murid.
d. Dalam hadis tersebut tidak
terdapat kejanggalan (syudzudz) : artinya hadis itu benar-benar tidak syadz,
dalam arti bertentangan atau menyelisihi orang yang terpercaya dari lainnya,
dengan kata lain tidak berlawanan dengan hadis lain yang diriwayatkan oleh rawi
yang lebih rajih. Dan
e. Dalam hadis itu tidak
terdapat cacat (‘illat) : artinya hadis itu tidak ada cacatnya, dalam arti
adanya sebab yang menutup tersembunyi yang dapat mencederai pada kesahihan hadis,
sementara dlahirnya selamat dari cacat.
Ibnu Ash-Shalah berpendapat, bahwa syarat hadis
sahih seperti tersebut di atas, telah disepakati oleh para muhaddisin.Hanya
saja, kalaupun mereka berselisih tentang kesahihan suatu hadis, bukanlah karena
syarat-syarat itu sendiri, melainkan adanya perselisihan dalam menetapkan
terwujud atau tidaknya sifat-sifat tersebut, atau karena adanya perselisihan
dalam mensyaratkan sebagaian sifat-sifat tersebut.Misalnya Abiz Zinad
mensyaratkan bagi hadis sahih, hendaknya rawinya mempunyai ketenaran dan
keahlian dalam berusaha dan menyampaikan hadis.
Ibnu As- Sam’any mengatakan, bahwa hadis sahih
itu tidak cukup hanya diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah (‘adil dan dhabith)
saja, tetapi juga harus diriwayatkan oleh orang yang paham benar terhadap apa
yang diriwayatkan, banyak sekali hadis yang telah didengarnya dan kuat
ingatannya.
Ibnu Hajar tidak sependapat tentang ketentuan-ketentuan syarat-syarat hadis
sahih sebagaimana yang telah diutarakan oleh ulama-ulama tersebut.Syarat-syarat
sebagaimana yang dikemukakan oleh Abiz Zinad itu sudah tercakup dalam
persyaratan dhabith, sedang syarat-syarat yang dikemukakan oleh Ibnu As-Sam’any
sudah termasuk dalam syarat tidak ber’illat. Karena dengan diketahuinya bahwa
suatu hadis itu tidak ber’illat, membuktikan bahwa rawinya adalah orang yang
sudah paham sekali dan ingat benar tentang apa yang diriwayatkannya.
Dengan demikian persyaratan atau kaidah umum
sebagaimana tersebut pada definisi di atas dipandang sudah memiliki tingkat
akurasi dan akseptabilitas yang tinggi di mata para ahli hadis.
Ketiga unsur yang disebutkan pertama berkenaan
dengan sanad, sedang dua unsur berikutnya berkenaan dengan sanad dan matan.
Dengan demikian, unsur-unsur yang termasuk persyaratan umum kaidah kesahihan
hadis ada tujuh macam, yakni lima macam berkaitan dengan sanad dan dua macam
berkaitan dengan matan. Persyaratan umum ini dapat diberi istilah sebagai
kaidah mayor, sedang masing-masing unsurnya memiliki syarat-syarat khusus; dan
yang berkaitan dengan syarat-syarat khusus itu dapat diberi istilah sebagai
kaidah minor.
Lima unsur yang terdapat dalam kaidah mayor
untuk sanad di atas sesungguhnya dapat dipadatkan menjadi tiga unsur saja,
yakni unsur-unsur terhindar dari syudzudz dan terhindar dari ‘illat dimasukkan
pada unsur pertama dan ketiga.Pemadatan unsur-unsur ini tidak mengganggu
substansi kaidah sebab hanya bersifat metodologis untuk menghindari terjadinya
tumpang tindih unsur-unsur, khususnya dalam kaidah minor.
2.
Unsur-unsur
Kaidah Minor dalam Sanad
Apabila masing-masing unsur kaidah mayor bagi
kesahihan sanad disertakan kaidah minornya , maka dapat dikemukakan butir-butirnya
sebagai berikut:
Unsur kaidah mayor yang pertama, sanad
bersambung, mengandung unsur-unsur kaidah minor:
a. muttasil (bersambung)
b. Marfu’ (bersandar kepada Nabi
SAW)
c. Mahfuzh (terhindar dari
syudzudz)
d. bukan mu’all (bercacat).
Unsur kaidah mayor yang kedua, periwayat
bersifat adil, mengandung unsur-unsur kaidah minor:
a. beragama Islam.
b. mukallaf (balig dan berakal
sehat)
c. melaksanakan ketentuan agama
Islam.
d. memelihara muru’ah (adab
kesopanan pribadi yang membawa pemeliharaan diri manusia kepada tegaknya
kebajikan moral dan kebiasaan-kebiasaan).
3.
Metodologi
penelitian hadis
Hadis yang di kutip kedua ( riwayat Abu
Hurairah tentang perintah menulis untuk diberikan kepada Abu Syah) terjadi pada
Fathu makkah, sedang hadist riwayat Abu Sa’id al-Khudri yang berisi larangan
menulis selain Al-Qur’an terjadi sebelum fathu makkah.
Menurut pengakuan Abu Hurairah, yang membedakan
dirinya dengan Abulla bin Amr adalah soal mencatat Hadis yakni Abu hurairah
hanya mengandalkan Hafalan, sedang Abdullah selain menghafal juga menulis
Hadis-hadis yang diterima dari Nabi. Kata Syakir lebih lanjut pengakuan Abu
Hurairah itu menunjukan bahwa kegiatan menulis yang dilakukan oleh Ibnu Amr itu
adalah pada masa setelah Abu hurairah menolak islam. (Abu Hurairah masuk
islam sekitar tiga tahun sebelum Nabi wafat).
Ahmad Muhammad Syakir juga menolak pendapat
yang menyatakan Bahwa hadis riwayat Abu Sa’id al-Khudri itu mauquf.Menurut
penelitian Syakir, hadis tersebut marfu’ dan berkualitas shahih.Pendapat Syakir
didukung oleh sebagian ulama, misalnya Muhammad al-Sabbag.
Dr. Muhammad Ajjaj al-Khatib dalam tesis dan
disertasinya mengemukakan pendapatnya, setelah mengutip pendapat ulama, bahwa:
a.
Semua
hadis tersebut berkualitas sahih, tidak ada yang mauquf.
b.
Tiga
pendapat berikut ini dapat dihimpun sebagai pendapat yang benar, yakni:
1) Larangan berlaku bila
penulisan hadis dijadika satu catatan dengan penulisan Al-Qur’an.
2) Mungkin larangan berlaku
untuk menulis hadis dalam satu himpunan pada masa awal islam, sebab
dikhawatirkan umat islam terganggu untuk menghafal dan mencatat Al-qur’an,
sedang untuk mempelajari hadis, para sahabat dapat langsung menyaksikan dan
mengikuti rasulullah. Pada masa itu, kepada orang yang tidak dikhawatirkan
mencapuradukan catatan Al-Qur’an dan Hadis, misalnya Abdullah bin Amr
ditoleransi untuk mencatat Hadis. Demikian pula kepada orang yang lemah
hafalanya, dia diperbolehkan untuk mencatat hadis.
3) Tatkala umat islam telah
mampu memelihara hafalan dan bacaan Al-Qur’an, maka larangan penulisan hadis
dihapus (manshuki) dan secara umum menulis hadis diperbolehkan.
Terlepas dari perbedaan-perbedaan pendapat yang
ada sebagaimana dikemukakan diatas, maka yang jelas bahwa matn-matn hadis yang
tampak bertentangan itu telah dapat diseleaikan dan tidak menjadikan salah satu
matn berkualitas lemah, tetapi masing-masing berkualitas sahih. Dari keempat
cara penyelesaian yang telah disebutkan, maka hanya cara at-tauif yang tidak
muncul. Hal itu dapat dimengerti karena penyelesaian terhadap kandungan matn
hadis yang tampak bertentangan telah dapat dicapai.
Natijah yang dapat dikemukakan dalam hal ini
ialah bahwa seluruh matn hadis yang dikutip diatas sahih.Seluruh sanadnya
(setelah diteliti tersendir) juga sahih.Karenanya, hadis-hadis tersebut
berkualitas sahih.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Oleh karena itu penelitian terhadap hadis Nabi
saw. menjadi penting dilakukan oleh para ilmuan, dan menjadikan hadis atau ilmu hadis sebagai
bidang studi keahliannya. Hal ini berdasar pada beberapa faktor:
............................................................................
Comments
Post a Comment