KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS

KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS Pendahuluan latar belakang Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah dua sumber utama ajaran Islam. Oleh karena itu, keduanya selalu dijadikan landasan keyakinan, ritual, adat istiadat, etika, ekonomi, politik, peradaban dan seluruh aspek kehidupan umat Islam, baik yang sakral maupun duniawi, pada tataran ¥ abl minallah (vertikal) dan ¥ abl min al. -n ± s (horizontal).

download LATAR BELAKANG PENTINGNYA PENELITIAN HADIS

by :

ZAHARUDDIN
Revisi Makalah :

CAT :
MATERI INI TIDAK LENGKAP, TIDAK ADA REFERENSI 
FOOT NOTE DAN DAFTAR PUSTAKA

SILAHKAN DOWNLOAD MATERI LENGKAPNYA DI SITUS BARU KAMI






Hai teman-teman, kali ini artikel penelitian hadis,,, saking pentingnya,,, PENELITIAN HADIS,,,di bangku kuliah mengantarkan ku ke kursi pelaminan...hehehhe... Pasti tidak percaya kan bang ??..



Kisahnya lumayan Panjang sih... tapi semoga kalian tidak penasaran tentang kisahnya yach.. Sekarang ane posting artikel pendek LATAR BELAKANG PENTINGNYA PENELITIAN HADIS, yang jelasnya bukan karena pengen kawin yach... hehehe selamat membaca bang


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
.............................
Penelitian ini bukan bermaksud untuk meragukan keseluruhan hadits Nabi tetapi lebih kepada kehati-hatian (al-ihtiyath) dalam pengambilan dasar hukum atau hujjah. Inilah bukti bahwa kita benar-benar ingin mengikuti Nabi Muhammad dan menjalankan Islam sepenuhnya. Hal semacam itulah yang menyebabkan pengkajian hadits tidak hanya menyangkut kandungan dan aplikasinya saja, tetapi juga segi sanad, matan dan periwayatannya. Di sinilah Ulama hadits sangat berhati-hati dalam melakukan periwayatan. Sehingga segala sesuatu yang berkenaan dengan materi hadits menjadi sangat besar manfaatnya bagi penelitian kualitas hadits.

B.   Rumusan Masalah
1
BAB II

A.  Pengertian
Kata “kritik” berasal dari bahasa Yunani krites yang artinya “seorang hakim, krinein  berarti “menghakimi”, kriterion berarti  “dasar penghakiman”.  Selain itu kritik juga merupakan terjemahan dari bahasa arab naqd (نقد) yang merupakan muradif dari kata تمييز yang berarti membedakan. Dalam literatur lain ditemukan kata نقد yang diartikan dengan kritik, hal ini digunakan oleh muhadditsin awal abad kedua, dilain tempat dikatakan bahwa maksud dari kritk adalah memisahkan sesuatu yang baik dari yang buruk. Sementara secara terminologi kritik merupakan usaha menemukan kesalahan atau kekeliruan dalam rangka mencari kebenaran.[1]
Kata sanad dalam bahasa arab sinonim dengan kata da’ama yang mengandung arti menopang atau menyangga, jamaknya Asnad dan Sanadat.[2] Sedangkan menurut istilah hadis, terdapat perbedaan rumusan pengertian. Al-Badru bin Jamaah dan Al-Thiby mengatakan bahwa sanad adalah:
MATAN HADIS
حدثنا محمد بن المثنى قال: حدثنا عبد الوهاب الثقفى قال: حدثنا أيوب عن أبى قلابة عن أنس عن النبى صلعم: ثلاث من كن …..(رواه البخارى)
Maka matnul-Hadist “Tsalatsun…” diterima oleh al-Bukhary melalui sanad pertama Muhammad ibn al-Mutsanna, sanad kedua ‘Abdul-Wahhab-Ats-Tsaqafy, sanad ketiga Ayyub, sanad keempat Abi Qilab dan seterusnya sampai sanad terakhir, Anas r.a., seorang shahabat yang langsung menerima sendiri dari Nabi Muhammad s.a.w. Dengan demikian al-Bukhary itu menjadi sanad pertama dan rawy terakhir bagi kita.[4]
Sedangkan kata hadist diberi pengertian yang berbeda-beda oleh para ulama; perbedaan-perbedaan pandangan itu, lebih disebabkan oleh terbatasnya dan luasnya objek tinjauan masing-masing yang tentu saja mengandung kecendrungan pada aliran ilmu yang dimiliki oleh ahlinya. Misalnya ulama hadist mendefinisikan hadist sebagai segala sesuatu yang diberikan dari Rasulullah Saw. Baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal Rasulullah saw..[5]
 Jadi, metode kritik sanad hadis ialah suatu cara yang sistematis dalam melakukan penelitian, penilaian, dan penelusuran sanad hadis tentang individu perawi dan proses penerimaan hadis dari guru mereka masing-masing dengan berusaha menemukan kekeliruan dan kesalahan dalam rangkaian sanad untuk menemukan kebenaran, yaitu kualitas hadis (Shahih, hasan, atau dla’if).
Kata hadis berasal dari bahasa Arab, al-hadits jamaknya al-ahadits, al-hidsan, dan al-hudsan. Hadis dari segi bahasa berarti al-jadid artinya yang baru lawan dari qadim, al-qarib artinya yang dekat (yang belum lama lagi terjadi), al-khabar artinya berita atau kabar.[6]
Hadis, berdasarkan kepada al-Qasi>miy, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw apakah itu berupa perkataan, perbuatan, pengakuan atau sifat-sifat beliau.[7] Syuhudi Ismail menambahkan definisi tersebut dengan apa yang disandarkan kepada biografi nabi, perbuatan/akhlak, berita, perkataan dan perbuatan, apakah hal tersebut berkaitan dengan hukum ataupun tidak.[8]

B.   Sejarah Kelahiran Hadis Nabi Muhammad Saw.
Rasulullah saw. telah membina umatnya selama 23 tahun, yang pada masa itu al-Qur’an turun secara berangsur-angsur. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus di-wurud-kannya hadis.  Hadis Nabi Muhammad saw. adalah ajaran Islam yang kedudukannya berada setelah al-Qur’an.
Segala hal yang berkaitan dengan umat Islam, yang kecil maupun yang besar dan segala yang menyangkut pribadi dan jama’ah dalam berbagai lapangan kehidupan yang tidak disebut dalam al-Qur’an, tercakup dalam hadis Nabi melalui perkataan (aqwal), perbuatan (af’al) dan taqrir Nabi [9], sehingga apa yang dilihat, didengar dan disaksikan oleh para sahabat dapat dijadikan pedoman amaliah dan ubudiyah mereka. Pada masa ini hadis merupakan Interpretasi al-Qur’an yang terkandung dalam kehidupan Nabi saw. melalui perkataan, perbuatan, taqrir dan sifat beliau.
Turunnya ayat al-Qur’an otomatis melahirkan hadis Nabi Muhammad saw. Pada masa diturunkan al-Qur’an, Nabi menyuruh para sahabat untuk menghafal dan menulis al-Qur’an serta secara resmi mengangkat penulis wahyu yang bertugas mencatat setiap ayat al-Qur’an diturunkan. Sedangkan hadis, Nabi memerintahkan agar menghafal dan menyampaikannya kepada yang lain serta melarang untuk mengubahnya, tapi tidak menyelenggarakan penulisan secara resmi seperti penulisan al-Qur’an. Penulisan hadis pada masa ini, meski secara resmi dilarang, namun secara perorangan telah dilakukan oleh para sahabat. Bahkan diantara sahabat ada yang mengoleksi hadis Nabi, seperti ‘Abdullah Ibn ‘Amr ibn ‘Ash, nama shahifah-nya adalah al-shadiqah, Ali bin Abi Thalib menulis kitab hadis tentang hukum diyat[10].
Rasulullah saw. menjadikan rumah al-Arqam sebagai tempat tinggal beliau beserta para sahabat pada masa dakwah sirr  yakni secara sembunyi-sembunyi. Kaum muslim generasi awal berkumpul disekeliling beliau, jauh dari kaum musyrikin, untuk mempelajari kitab Allah. Kepada mereka beliau mengajarkan dasar-dasar Islam, menyampaikan wahyu al-Qur’an. Setelah itu tempat tinggal Rasulullah menjadi tempat berkumpul kaum muslim untuk menerima al-Qur’an dan menyerap hadis Rasulullah[11].   
Hadis Nabi yang melarang penulisan al-Qur’an.
لا تكتبوا عني ، ومن كتب عني غير القرآن فَلْيَمْحُه وحَدِّثوا عني ولا حَرَج ، ومن كذب عليَّ  مُتعمِّدا ، فَلْيَتَبَوَّأْ مقعده من النار. أَخرجه مسلم
Janganlah kamu tulis yang telah kamu terima dariku selain al-Qur’an. Barang siapa menuliskan yang ia terima dariku selain al-Qur’an hendaklah ia menghapusnya. Ceritakanlah apa yang kamu terima dariku dan itu tidak mengapa. Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya di nereka
Orang-orang terdahulu baik dari sahabat dan tabi’in berbeda pendapat dalam penulisan hadis. Ada diantara mereka yang melarang penulisan hadis dan ada juga yang membolehkan penulisannya. Perbedaan tersebut terletak pada larangan penulisan. Ada yang mengatakan larangan penulis hadis tersebut di atas adalah kekhawatiran bercampurnya sabda-sabda Rasulullah saw. dengan al-Qur’an. Kemudian para ulama bersepakat dalam penulisan hadis untuk menghilangkan perbedaan tersebut. Diantara mereka berpendapat larangan tersebut bagi orang yang diyakini mampu menghafalnya karena dikhawatirkan bergantung pada tulisan, sedangkan diperbolehkan penulisan hanya bagi orang yang tidak mampu dalam menghafal. Seperti hadis : اُكْتُبُوا لِأَبِي شَاه  dan hadis s}ahifah Ali r.a. dan hadis yang terdapat dalam kitab ‘Amru bin Hazm yang dalamnya terdapat kewajiban dan sunnah tentang diyat. Pada pihak lain ada yang berpendapat bahwa larangan tersebut terdapat pada larangan menuliskan al-Qur’an dan hadis dalam satu s}ahifah, karena dikhawatirkan terjadi percampuan kemiripan dalam satu s}ahifah bagi pembaca[12]. M.M Azami lebih cenderung pada pendapat bahwa larangan tersebut khusus untuk penulisan hadis dan al-Qur’an dalam satu naskah. Hal itu karena dikhawatirkan terjadi percampuran antara hadis dan al-Qur’an. Ia mengatakan bahwa Nabi sendiri pernah mengimlakkan hadisnya, penulisan hadis yang dilakukan para sahabat mencapai tingkat mutawatir, Nabi juga pernah mengirimkan surat-surat kepada para gubernur. Surat-surat tersebut berisi aturan administrasi yang hal tersebut dianggap sebagai hadis. Ia juga mengatakan bahwa banyak terdapat hadis-hadis sahih yang mana Nabi mengizinkan para sahabat untuk menulis hadis-hadisnya. [13]
Adapun hadis Nabi yang membolehkan penulisan hadis adalah
كُنْتُ أَكْتُبُ كُلَّ شَىْءٍ أَسْمَعُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أُرِيدُ حِفْظَهُ فَنَهَتْنِى قُرَيْشٌ وَقَالُوا : تَكْتُبُ كُلَّ شَىْءٍ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم- وَرَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بَشَرٌ يَتَكَلَّمُ فِى الْغَضَبِ وَالرِّضَا ؟ فَأَمْسَكْتُ عَنِ الْكِتَابِ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَأَوْمَأَ بِأُصْبُعِهِ إِلَى فِيهِ وَقَالَ : اكْتُبْ فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ مَا خَرَجَ مِنْهُ إِلاَّ حَقٌّ[14]
“ Aku menulis segala sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah saw. dengan maksud ingin menghafalnya, lalu orang Quraisy melarangku, dan mereka mengatakan: apakah kamu menulis segala sesuatu yang kamu dengar dari Rasulullah saw. sedangkan Rasulullah manusia biasa yang bicara disaat marah dan gembira. Maka aku menahan dan berhenti menulis, lalu aku sampaikan kepada Rasulullah saw. kemudian ia menunjuk pada mulut dengan jarinya dan bersabda, “tulislah, demi jiwaku ditangan-Nya tiada sesuatu apapun yang keluar darinya melainkan yang benar ”
Para Ulama telah memadukan dua perbedaan pendapat tersebut yakni pertama, larangan penulisan terjadi pada awal masa perkembangan Islam dikhawatirkan terjadi percampuran dan penggabungan antara hadis Nabi dan al-Qur’an. Ketika keadaan sudah aman dan kondusif serta banyak yang mengetahui dan menghafal al-Qur’an, Rasulullah saw. mengizinkan untuk menulis hadis dan larangan sebelumnya menjadi mansukh[15]. Kedua, larangan hanya khusus pada penulisan hadis bersamaan dengan al-Qur’an dalam satu shahifah, karena khawatir terjadi percampuan, kemiripan atau persamaan. Ketiga, larangan hanya bagi orang yang diyakini mampu menghafalnya karena dikhawatirkan bergantung pada tulisan, sedangkan diperbolehkan penulisan hanya bagi orang yang tidak mampu dalam menghafalnya seperti Abu Syah[16].
Pada masa ini para sahabat menerima hadis Rasulullah saw. dengan berbagai cara, baik melalui majlis Rasulullah dengan menimba ilmu darinya dan meneladani beliau. Mereka sangat antusias mengikuti majlis Rasulullah saw. hingga mereka saling bergantian dalam menghadiri majlis Rasulullah saw. bila diantara mereka berhalangan hadir, maka yang hadir menyampaikannya kepada yang tidak hadir dalam majlis itu[17], apalagi sahabat yang berdomisili di daerah yang jauh dari Madinah seringkali hanya memperoleh hadis dari sesama sahabat[18].

C.   Urgensi Kritik Sanad Hadits
Tujuan pokok penelitian sanad hadits adalah untuk mengetahui kualitas hadits yang diteliti. Kualitas hadits sangat perlu diketahui dalam hubungannya dengan kehujjahan hadits yang bersangkutan. Hadits yang kualitasnya tidak memenuhi syarat tidak dapat digunakan sebagai hujjah. Pemenuhan syarat itu karena hadits merupakan sumber ajaran Islam. Penggunaan hadits yang tidak memenuhi syarat akan dapat mengakibatkan ajaran Islam tidak sesuai dengan apa yang seharusnya.
Oleh karena itu, penelitian terhadap hadis Nabi saw. menjadi penting dilakukan oleh para ilmuan, dan  menjadikan hadis atau ilmu hadis sebagai bidang studi keahliannya. Hal ini berdasar pada beberapa faktor:
a.       Hadis Nabi saw. sebagai sumber ajaran dan atau sumber hukum Islam sesudah al-Quran.
b.      Hadis Nabi saw. tidak seluruhnya tertulis pada waktu Nabi masih hidup.
c.       Telah terjadi upaya pemalsuan terhadap  hadis Nabi saw.
d.      Proses penghimpunan dan periwayatan hadis Nabi saw. Telah memakan waktu yang sangat panjang.
e.       Kitab-kitab hadis yang telah banyak beredar ternyata menggunakan metode dan pendekatan penyusunan yang bervariasi.
f.        Periwayatan hadis lebih banyak berlangsung secara makna dari pada secara lafal.
g.      Banyak hadis popular tapi belum jelas status kehujjahannya
Pertama, hadis Nabi saw. sebagai sumber ajaran dan atau sumber hukum Islam sesudah al-Quran. Cukup banyak ayat al-Quran yang memerintahkan orang beriman untuk patuh dan taat dan selanjutnya mengikuti petunjuk Nabi Muhammad saw. sebagai utusan Allah swt. Anjuran tersebut diantaranya  tercantum Al-Quran, surat Ali Imran/3:32 menyebutkan yang terjemahnya sebagai berkut: “Katakanlah; Taatlah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling  maka sesungguhnya Allah tiadak menyukai orang-orang kafir.”
Menurut penjelasan ulama, bahwa ayat tersebut memberi petunjuk bahwa bentuk ketaatan kepada Allah swt. adalah dengn mematuhi petunjuk al-Quran, sedangkan bentuk ketaatan kepada Nabi saw. adalah mengikuti sunnah-nya atau hadis. Selanjutnya  ayat al-Quran yang menjelaskan tentang taat kepada Nabi saw..[19]
Di ayat lain, Allah berfirman yakni dalam Q.S. al-Hasyr/59: 7:
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (7)
Terjemahnya:
…. Apa yang diberikan oleh Rasul kepadamu, maka hendaklah kamu menerimanya dan apa yang dilarangnya bagimu, hendaklah kamu meninggalkannya (apa yang dilarang itu)…

Menurut ulama, ayat di atas member petunjuk secara umum yakni bahwa semua perintah dari Nabi wajib diikuti oleh orang-orang yang beriman.[20]
Dengan petunjuk ayat di atas, maka jelaslah bahwa hadis atau sunnah Nabi  Muhammad saw. merupakan sumber ajaran agama Islam, di samping al-Quran.  Orang yang menolak hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam, berarti orang itu menolak petunjuk al-Quran. Mereka ini disebut inkar al-sunnah. Cukup banyak alasan yang mereka ajukan untuk menolak hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam. Alasan-alasan yang mereka ajukan itu ada yang berupa dalil-dalil naqli dan aqli, argument-argumen sejarah, dan lain-lain. Semua alasan yang mereka ajukakan itu ternyata sangat lemah.[21] 
Kedua, hadis Nabi saw. tidak seluruhnya tertulis pada waktu Nabi masih hidup. Nabi pernah melarang sahabat untuk  menulis hadis beliau, tapi di saat yang berbeda, beliau pernah menyuruh sahabat untuk menulis hadis beliau.[22]
Kebijakan Nabi tersebut, menimbulkan perbedan pendapat dikalangan ulama, bahkan dikalangan sahabat Nabi sendiri, tentang  boleh tidaknya menulis hadis Nabi.[23] Di masa Nabi, ada terjadi penulisan hadis misalnya surat-surat Nabi yang beliau kirim kepada sejumlah pembesar untuk memeluk Islam. Di antara sahabat yang menulis hadis Nabi tersebut, misalnya Abdullah bin Amar bin ‘Ash, Abdullah bin Abbas, Ali bin Abi Thalib, Sumrah bin Jundab, Jabir bin Abdullah dan Abdullah bin Abi Aufa’   Sekalipun demikian tidak semua hadis terhimpun ketika itu,  hal itu sangat beralasan karena sahabat yang membuat catatan itu adalah inisiatif  sendiri. Di sisi lain mereka kesulitan untuk mencatat setiap peristiwa dari Nabi saw., apalagi kejadiannya hanya terjadi di hadapan satu atau dua orang saja.[24]
Dengan demikian, hadis Nabi yang berkembang pada masa Nabi lebih banyak berbentuk hapalan daripada tulisan.hal itu berakibat bahwa dokumentasi hadis Nabi secara tertulis tidak mencakup semua hadis yang ada. Selain itu, tidak semua hadis yang telah dicatat oleh sahabat telah dilakukan pemeriksaan di hadapan Nabi. Olehnya itu, hadis secara hapalan maupun yang tertulis penting diadakan penelitian.
Ketiga, Telah terjadi upaya pemalsuan terhadap  hadis Nabi saw.. Masih sulit dibuktikan, bahwa di zaman Nabi saw. sudah terjadi pemalsuan hadis. Kegiaatan pemalsuan hadis mulai muncul dan berkembang di masa khalifah Ali bin Abi Thalib (memerintah 35-40 H). Demikian pendapat ulama hadis pada umumnya.[25]
Awalnya faktor yang mendorong seseorang  melakukan pemalsuan hadis karena kepentingan politik. Ketika itu terjadi pertentangan politik antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Masing-masing  pendukung berusaha untuk memenangkan perjuangannya. Salah satu upaya yang dilakukan oleh sebagian dari mereka  adalah membuat hadis-hadis palsu.[26]
Menurut sejarah, pertentangan politik tersebut telah pula mengakibatkan timbulnya pertentangan di bidang teologi. Sebagian pendukung aliran teologi yang timbul pada saat itu telah membuat berbagai hadis palsu untuk memperkuat argumantasi aliran yang mereka yakini benar.
Selain itu upaya dari musuh-musuh Islam yang berusaha untuk menghancurkan Islam dari dalam, mereka membuat hadis palsu dalam rangka memerangi Islam. Demikian pula karena kepentingan ekonomi, keinginan menyenangkan hati pejabat (menjilat kepada pejabat), dan ada juga sebagian muballig berpendapat bahwa untuk kepentingan  dakwa maka boleh saja membuat hadis palsu.[27]
Dengan telah terjadinya pemalsuan hadis tersebut, maka kegiatan penelitian hadis menjadi sangat penting . Tanpa dilakukan penelitian hadis, maka hadis Nab saw. akan bercampur aduk dengan yang bukan hadis Nabi saw. dan akhirnya ajaran Islam akan dipenuhi dengan berbagai hal yang akan menyesatkan umat.
Keempat, proses penghimpunan dan periwayatan hadis Nabi saw. Telah memakan waktu yang sangat panjang. Dalam sejarah, penghimpunn hadis secara resmi dan massal terjadi atas perintah khalifah Umar bin Abdul Aziz (W.101 H/750 M). Dikatakan resmi karena kegiatan penghimpunan itu merupakan kebijakan dari kepala negara; dan dikatakan massal karena perintah kepala negara itu ditujukan kepada para gubernur dan ulama ahli hadis pada zaman itu.
Pada sekitar pertengahan abad ke 2 hijriyah, telah muncul karya-karya himpunan hadis diberbagai kota besar; misalnya di Makkah, Madinah, dan Bashrah. Puncak penghimpinan hadis Nabi terjadi sekitar pertenghan abad ke 3 hijriyah.[28]
Dengan demikian, jarak waktu antara masa penghimpunan hadis dan wafatnya Nabi saw. cukup lama. Hal itu membawa akibat bahwa berbagai hadis yang dihimpun dalam berbagai kitab menuntut penelitian yang  seksama  untuk menghindarkan dari penggunaan dalil hadis yang tidak dapat dipertanggunjawabkan validitasnya.
Kelima, kitab-kitab hadis yang telah banyak beredar ternyata menggunakan metode dan pendekatan penyusunan yng bervariasi. Sebagai mana diketahui bahwa jumlah kitab hadis yang telah disusun oleh ulama periwayat hadis cukup banyak. Jumlah tersebut sangat sulit dipastikan angkanya sebab mukharrijul hadis(ulama yang meriwayatkan hadis dan sekaligus mengadakan penghimpunan hadis) tidak terhitung jumlahnya. Apalagi, sebagian dari penghimpun hadis itu ada yang menghasilkan karya himpunan hadis lebih dari satu kitab.
Metode penyusuanan kitab-kitab himpunan hadis tersebut ternyata tidak seragam.  Hal itu memang logis, sebab yang lebih ditekankan dalam penulisan itu bukanlah metode penyusunannya, melainkan penghimpunan hadisnya.
Masing-masing mukharrij memiliki metode sendiri-sendiri, baik dalam penyusunan, sistematikanya dan topik yang dikemukakan oleh hadis yang dihimpunnya, maupun kriteria kualitas hadisnya masing-masing. Karenanya tidaklah mengherankan, bila pada masa sesudah kegiatan penghimpuanan itu, ulama menilai dan membuat krieteria tentang peringkat kualitas kitab-kitab himpunan hadis tersebut, misalnya al-Kutubul khamsah(lima kitab hadis yang standar), al-Kutubus sittah(enam kitab hadis yang stanadar), dan al-Kutubus sab’ah (tujuh kitab hadis yang standar).[29]
Keenam, periwayatan hadis lebih banyak berlangsung secara makna dari pada secara lafal. Mayoritas  sahabat Nabi membolehkan periwayatan  hadis secara makna. Mereka  misalnya,  Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud,  Anas bin Malik,  Abu Darda,  Abu Hurairah dan ‘Aisyah istri Rasulullah. Adapun  yang menolak periwayatan hadis secara makna, misalnya, Umar bin Khattab,  Abdullah bin Umar bin Khattab dan  Zaid bin Arqam.[30]
Perbedaan pandangan tentang periwayatan hadis secara makna itu terjadi juga di kalangan ulama sesudah zaman sahabat. Ulama yang membolehkan periwayatan secara makna menekankan pentingnya pemenuhan syarat-syarat yang cukup ketat, misalnya proses periwayatan, yang bersangkutan harus mendalam pengetahuannya tentang bahasa arab, hadis yang diriwayatkan bukanlah bacaan yang bersifat ta’abbudi, umpamanya bacaan shalat, dan  periwayatan secara makna dilakukan karena sangat terpaksa.[31] Dengan demikian, periwayatan hadis secara makna tidaklah berlangsung secara longgar, tetapi cukup ketat.
Walaupun cukup ketat syarat periwayatan hadis secara makna, namun kebolehan itu memberi petunjuk bahwa matan hadis yang diriwayatkan secara makna telah ada bahkan banyak. Padahal untuk mengetahui kandungan petunjuk hadis tertentu diperlukan terlebih dahulu mengetahui susunan redaksi (tekstual) dari hadis yang bersangkutan, utamanya yang berkenaan dengan hadis qauli (hadis yang berupa sabda Nabi). Oleh karena itu, kegiatan penelitian dalam hal ini sangat penting.[32]


D.  Urgensi Kritik Matan
Metodologi kritik matan bersandar pada kriteria hadits yang diterima (maqbul, yakni yang shahih dan hasan), atau matan tidak jangkal (syadz) dan tidak memiliki cacat (illat). Untuk itu metodologi yang digunakan atau dikembangkan untuk kritik matan adalah metode perbandingan dengan menggunakan pendekatan rasional. Metode tersebut, terutama perbandigannya, telah berkembang sejak masa sahabat. Dalam menentukan otentitas hadits, mereka melakukan studi perbandingan dengan al-Qur’an, sebagai sumber yang lebih tinggi, perbandingan dengan hadits yang lain mahfuzh, juga dengan kenyataan sejarah. Bila terjadi pertentangan, maka hadits yang bersangkutan dicoba untuk di-takwil atau di-takhsish, sesuai sifat dan tingkat pertentangan, sehingga dikompromikan satu dengan yang lain. Tetapi jika tetap tidak bisa, maka dilakukan tarjih dengan mengamalkan yang lebih kuat.[33]
Menurut Shalahuddin al-Dhabi, urgensi obyek studi kritik matan tampak dari beberapa segi, di antaranya :
1.      Menghindari sikap kekeliruan (tasahhul) dan berlebihan (tasyaddud) dalam meriwayatkan suatu hadits karena adanya ukuran-ukuran tertentu dalam metodologi kritik matan.
2.      Menghadapi kemungkinan adanya kesalahan pada diri periwayat.
3.      Menghadapi musuh-musuh Islam yang memalsukan hadits dengan menggunakan sanad hadits yang shahih, tetapi matan-nya tidak shahih
4.      Menghadapi kemungkinan terjadinya kontradiksi antara beberapa periwayat.[34]
Selanjutnya, masih menurutnya, ada beberapa kesulitan dalam melakukan penelitian terhadap obyek studi kritik matan, yaitu :
1.      Minimnya pembicaraan mengenai kritik matan dan metodenya.
2.      Terpencar-pencarnya pembahasan mengenai kritik matan
3.      Kekhawatiran terbuangnya sebuah hadits.[35]
Jika melihat kembali sosio-historis perkembangan hadits, maka akan ditemukan banyak problem di seputarnya. Di antaranya, banyak upaya pemalsuan hadits dan sebagainya. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya adalah kesenjangan, baik itu untuk menyerang dan menghancurkan Islam, maupun untuk pembelaan terhadap kepentingan kelompok atau golongan, atau ketidak-sengajaan, seperti kekeliruan pada diri periwayat, dan lain-lain.[36]
Dalam meneliti hadits, kalangan ulama mengemukakan beberapa syarat bagi peneliti, yaitu: 1) ahli di bidang hadits; 2) tahu lebih luas dan mendalam ajaran Islam; 3) melakukan muthalaah (penelaahan) yang cukup; 4) memiliki akal cerdas untuk memahami pengetahuan secara benar; 5) tradisi keilmuan yang tinggi.[37]

E.   Kaidah-kaidah Kesahihan Hadis
1.      Unsur-unsur Kaidah Mayor
Sebelum diuraikan unsur-unsur kaidah mayor lebih lanjut, perlu dijelaskan arti dari kaidah itu sendiri. Secara etimologis, kata kaidah berasal dari bahasa arabقاعدة yang artinya alas bangunan, aturan atau undang-undang. Kaidah juga diartikan sebagai norm (norma), rule (aturan), atau principle (prinsip). Dalam konteks makalah ini, kaidah kesahihan hadis dipahami sebagai aturan-aturan atau prinsip-prinsip yang telah dirumuskan oleh para ulama hadis untuk meneliti tingkat kesahihan suatu hadis.
Kaidah kesahihan hadis dapat diketahui dari pengertian hadis sahih itu sendiri. Para ulama telah memberikan definisi hadis sahih yang telah diakui dan disepakati kebenarannya oleh para ahli hadis, di antaranya sebagai berikut :
الحديث الصحيحهوالحديث الذي ا تصل سنده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط الىمنتهاه ولايكون شاذا ولامعللا
“Hadis sahih adalah hadis yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi), yang diriwayatkan oleh rawi (periwayat) yang ‘adil dan dhabith dari rawi lain yang (juga) ‘adil dan dhabith sampai akhir sanad, dan (di dalam hadis hadis itu) tidak terdapat kejanggalan (syudzudz) serta tidak mengandung cacat (‘illat).” 
Menurut ta’rif Muhaddisin tersebut, bahwa suatu hadis dapat dinilai sahih apabila memenuhi syarat-syarat atau unsur:
a.       Sanadnya bersambung : artinya tiap-tiap perawi (periwayat) dari perawi lainnya benar-benar mengambil secara langsung dari orang yang ditanyanya dari sejak awal hingga akhir sanadnya. Atau bahwa tiap-tiap rawinya bertemu dengan marwi ‘anhunya.
b.      Rawinya bersifat ‘adil : artinya tiap-tiap perawi itu seorang muslim, balig, jauh dari maksiyat, bukan fasiq dan tidak pula jelek perilakunya, gigih dalam memelihara muru’ah.
c.       Rawinya bersifat dhabith : artinya masing-masing perawinya sempurna daya ingatannya, baik berupa ingatan dalam dada (dhabith ash-shadr) maupun dalam kitab (dhabith al-kitab). Para rawi tersebut dalam keadaan sadar tatkala menerima hadis, paham terhadap hadis yang ia terima dan mampu memelihara keaslian hadis-hadis yang ia terima sejak menerimanya dari guru sampai saat menyampaikannya pada murid.
d.      Dalam hadis tersebut tidak terdapat kejanggalan (syudzudz) : artinya hadis itu benar-benar tidak syadz, dalam arti bertentangan atau menyelisihi orang yang terpercaya dari lainnya, dengan kata lain tidak berlawanan dengan hadis lain yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajih. Dan
e.       Dalam hadis itu tidak terdapat cacat (‘illat) : artinya hadis itu tidak ada cacatnya, dalam arti adanya sebab yang menutup tersembunyi yang dapat mencederai pada kesahihan hadis, sementara dlahirnya selamat dari cacat.
Ibnu Ash-Shalah berpendapat, bahwa syarat hadis sahih seperti tersebut di atas, telah disepakati oleh para muhaddisin.Hanya saja, kalaupun mereka berselisih tentang kesahihan suatu hadis, bukanlah karena syarat-syarat itu sendiri, melainkan adanya perselisihan dalam menetapkan terwujud atau tidaknya sifat-sifat tersebut, atau karena adanya perselisihan dalam mensyaratkan sebagaian sifat-sifat tersebut.Misalnya Abiz Zinad mensyaratkan bagi hadis sahih, hendaknya rawinya mempunyai ketenaran dan keahlian dalam berusaha dan menyampaikan hadis.
Ibnu As- Sam’any mengatakan, bahwa hadis sahih itu tidak cukup hanya diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah (‘adil dan dhabith) saja, tetapi juga harus diriwayatkan oleh orang yang paham benar terhadap apa yang diriwayatkan, banyak sekali hadis yang telah didengarnya dan kuat ingatannya.
Ibnu Hajar tidak sependapat tentang ketentuan-ketentuan syarat-syarat hadis sahih sebagaimana yang telah diutarakan oleh ulama-ulama tersebut.Syarat-syarat sebagaimana yang dikemukakan oleh Abiz Zinad itu sudah tercakup dalam persyaratan dhabith, sedang syarat-syarat yang dikemukakan oleh Ibnu As-Sam’any sudah termasuk dalam syarat tidak ber’illat. Karena dengan diketahuinya bahwa suatu hadis itu tidak ber’illat, membuktikan bahwa rawinya adalah orang yang sudah paham sekali dan ingat benar tentang apa yang diriwayatkannya.
Dengan demikian persyaratan atau kaidah umum sebagaimana tersebut pada definisi di atas dipandang sudah memiliki tingkat akurasi dan akseptabilitas yang tinggi di mata para ahli hadis.
Ketiga unsur yang disebutkan pertama berkenaan dengan sanad, sedang dua unsur berikutnya berkenaan dengan sanad dan matan. Dengan demikian, unsur-unsur yang termasuk persyaratan umum kaidah kesahihan hadis ada tujuh macam, yakni lima macam berkaitan dengan sanad dan dua macam berkaitan dengan matan. Persyaratan umum ini dapat diberi istilah sebagai kaidah mayor, sedang masing-masing unsurnya memiliki syarat-syarat khusus; dan yang berkaitan dengan syarat-syarat khusus itu dapat diberi istilah sebagai kaidah minor.
Lima unsur yang terdapat dalam kaidah mayor untuk sanad di atas sesungguhnya dapat dipadatkan menjadi tiga unsur saja, yakni unsur-unsur terhindar dari syudzudz dan terhindar dari ‘illat dimasukkan pada unsur pertama dan ketiga.Pemadatan unsur-unsur ini tidak mengganggu substansi kaidah sebab hanya bersifat metodologis untuk menghindari terjadinya tumpang tindih unsur-unsur, khususnya dalam kaidah minor.
2.      Unsur-unsur Kaidah Minor dalam Sanad
Apabila masing-masing unsur kaidah mayor bagi kesahihan sanad disertakan kaidah minornya , maka dapat dikemukakan butir-butirnya sebagai berikut:
Unsur kaidah mayor yang pertama, sanad bersambung, mengandung unsur-unsur kaidah minor:
a.       muttasil (bersambung)
b.      Marfu’ (bersandar kepada Nabi SAW)
c.       Mahfuzh (terhindar dari syudzudz)
d.      bukan mu’all (bercacat).
Unsur kaidah mayor yang kedua, periwayat bersifat adil, mengandung unsur-unsur kaidah minor:
a.       beragama Islam.
b.      mukallaf (balig dan berakal sehat)
c.       melaksanakan ketentuan agama Islam.
d.      memelihara muru’ah (adab kesopanan pribadi yang membawa pemeliharaan diri manusia kepada tegaknya kebajikan moral dan kebiasaan-kebiasaan).[38]

3.      Metodologi penelitian hadis
Hadis yang di kutip kedua ( riwayat Abu Hurairah tentang perintah menulis untuk diberikan kepada Abu Syah) terjadi pada Fathu makkah, sedang hadist riwayat Abu Sa’id al-Khudri yang berisi larangan menulis selain Al-Qur’an terjadi sebelum fathu makkah.
Menurut pengakuan Abu Hurairah, yang membedakan dirinya dengan Abulla bin Amr adalah soal mencatat Hadis yakni Abu hurairah hanya mengandalkan Hafalan, sedang Abdullah selain menghafal juga menulis Hadis-hadis yang diterima dari Nabi. Kata Syakir lebih lanjut pengakuan Abu Hurairah itu menunjukan bahwa kegiatan menulis yang dilakukan oleh Ibnu Amr itu adalah pada masa setelah Abu hurairah menolak islam. (Abu Hurairah masuk islam sekitar tiga tahun sebelum Nabi wafat).
Ahmad Muhammad Syakir juga menolak pendapat yang menyatakan Bahwa hadis riwayat Abu Sa’id al-Khudri itu mauquf.Menurut penelitian Syakir, hadis tersebut marfu’ dan berkualitas shahih.Pendapat Syakir didukung oleh sebagian ulama, misalnya Muhammad al-Sabbag.
Dr. Muhammad Ajjaj al-Khatib dalam tesis dan disertasinya mengemukakan pendapatnya, setelah mengutip pendapat ulama, bahwa:
a.       Semua hadis tersebut berkualitas sahih, tidak ada yang mauquf.
b.      Tiga pendapat berikut ini dapat dihimpun sebagai pendapat yang benar, yakni:
1)      Larangan berlaku bila penulisan hadis dijadika satu catatan dengan penulisan Al-Qur’an.
2)      Mungkin larangan berlaku untuk menulis hadis dalam satu himpunan pada masa awal islam, sebab dikhawatirkan umat islam terganggu untuk menghafal dan mencatat Al-qur’an, sedang untuk mempelajari hadis, para sahabat dapat langsung menyaksikan dan mengikuti rasulullah. Pada masa itu, kepada orang yang tidak dikhawatirkan mencapuradukan catatan Al-Qur’an dan Hadis, misalnya Abdullah bin Amr ditoleransi untuk mencatat Hadis. Demikian pula kepada orang yang lemah hafalanya, dia diperbolehkan untuk mencatat hadis.
3)      Tatkala umat islam telah mampu memelihara hafalan dan bacaan Al-Qur’an, maka larangan penulisan hadis dihapus (manshuki) dan secara umum menulis hadis diperbolehkan.
Terlepas dari perbedaan-perbedaan pendapat yang ada sebagaimana dikemukakan diatas, maka yang jelas bahwa matn-matn hadis yang tampak bertentangan itu telah dapat diseleaikan dan tidak menjadikan salah satu matn berkualitas lemah, tetapi masing-masing berkualitas sahih. Dari keempat cara penyelesaian yang telah disebutkan, maka hanya cara at-tauif yang tidak muncul. Hal itu dapat dimengerti karena penyelesaian terhadap kandungan matn hadis yang tampak bertentangan telah dapat dicapai.
Natijah yang dapat dikemukakan dalam hal ini ialah bahwa seluruh matn hadis yang dikutip diatas sahih.Seluruh sanadnya (setelah diteliti tersendir) juga sahih.Karenanya, hadis-hadis tersebut berkualitas sahih.[39]


BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Oleh karena itu penelitian terhadap hadis Nabi saw. menjadi penting dilakukan oleh para ilmuan, dan  menjadikan hadis atau ilmu hadis sebagai bidang studi keahliannya. Hal ini berdasar pada beberapa faktor:
............................................................................

Comments

BERITA TERBARU !!

Popular posts from this blog

BIL MA'TSUR ( TAFSIR AYAT DENGAN AYAT )

CARA MELAKUKAN TAKHRIJ HADIS

download TAFSIR AL-NASAFIY

cara atau Kaedah al-Jarh Wa al-Ta’dil Serta Aplikasinya

HADIS TARBAWIY DAN AKHLAK (BERKURANGNYA IMAN KARENA MAKSIAT)

kaedah 'ATAF - AL-'ATFU DALAM AL-QUR'AN

cara TAMBAHAN - kaedah ZIYADAH DALAM AL-QUR'AN

KAEDAH 'AM DAN KHAS

cara melakukan MUNASABAH AYAT

KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS