Revisi Makalah;
A
MAKALAH WUJUH WA AL-NASHAIR
A.
Latar
Belakang
Al-Qur'an diturunkan dengan bahasa Arab. Allah telah
menyebut al-Qur'an dengan al-Qur'an yang berbahasa Arab di dalam Q.S. Yūsuf /12
: 2 :
إِنَّا
أَنْزَلْنَاهُ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Terjamahnya:
"Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur'an dengan berbahasa Arab, agar
kamu memahaminya".
Tidak
diragukan lagi bahwa "kearaban" yang dimaksud di sini adalah segi
kebahasaannya, bukan ras dan etnik, meski bangsa Arab merupakan pembawa atau
penerima risalah islam pertama
di dunia ini. Bahasa Arab berbeda dengan
bahasa Inggris dan perancis, bahasa Arab begitu hemat kata-kata dan singkat,
namun jelas maksudnya. al-Qur'an dengan bahasa Arabnya mudah dipahami oleh
masyarakat Arab, tetapi risalah ini
ditujukan untuk semua bangsa, semua orang, tanpa kecuali. Kendati bangsa-bangsa
lain tidak mengerti seluk-beluk bahasa Arab, namun wajib untuk membaca
al-Qur'an dengan bahasa Arab sekaligus memahaminya sesuai dengan konteks
diturunkannya risalah ini.
Oleh karena
al-Qur'an diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, maka seseorang tidak
mungkin bisa menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an dalam rangka penggalian
kandungannya dengan baik tanpa mengetahui kaidah-kaidah bahasa Arab. Maka kaidah-kaidah
yang diperlukan para mufassir dalam memahami al-Qur'an terpusat pada
kaidah-kaidah bahasa, pemahaman dan asas-asasnya, penghayatan uslub-uslubnya
dan penguasaan rahasia-rahasianya.
Berdasarkan
hal itu, sehingga Imam Al-Suyū
t}ī
dalam Al-Itqān menyebutkan bahwa salah satu ilmu yang harus dikuasai
oleh seorang mufassir adalah mengetahui ilmu bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya
yang mencakup ilmu nahwu, sharaf, dan ilmu isytiqaq.Bahkan Imam Mā
lik berkata: "Tidaklah akan diberikan kepada orang yang tidak
mengetahui bahasa Arab lalFu dia menafsirkan Kitab Allah, melainkan hukuman dan
siksa saja". Imam Mujā
hid juga berkata:
"Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir
berkata tentang kalā
mullah, manakala dia
tidak mengetahui bahasa Arab.
Salah
satu kaidah yang harus dipahami dengan baik oleh seseorang yang ingin mendalami
makna ayat-ayat al-Qur'an adalah kaidah Wuju>h wa al-Nadsa>ir sebagaimana yang akan dijelaskan pada
pembahasan selanjutnya.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian Al-Wuju<>H Wa al- Naz{A<Ir Dalam Al-Qur’an?
2.
Bagaimana kaidah Al-Wuju<>H Wa al- Naz{A<Ir Dalam
Al-Qur’an??
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Kaidah wujuh dan
nazha’ir merupakan salah satu qaidah yang dibutuhkan oleh seorang mufassir,
seorang mufassir dari zaman klasik-kontemporer harus memahami kaidah ini. Hal
ini berdasarkan hadits mauquf dari riwayat yang dikeluarkan oleh ibn sa’d dari
abi darda’, (namun ada yang mengatakan hadits ini riwayat dari muqotil)
menyatakan bahwa: “Seseorang tidak akan benar-benar paham Al-Qur’an sebelum
ia mengetahui makna yang beragam dalam Al-Qur’an”
Menurut arti
bahasa wujuh dan nazha’ir mempunyai arti sebagai berikut; wujuh merupakan lafal
jama’ dari bentuk mufrod wajhun sehingga berarti bermacam-macam/beragam,
sedangkan lafal nazha’ir juga bentuk jama’ dari lafal nadzrun yang berarti
kesamaan atau sepadan.
Bermula dari arti bahasa tersebut maka muncul pengertian bahwa wujuh ialah
lafal yang mempunyai arti/makna banyak yang digunakan dalam pelbagai bentuk
jumlah kalimat yang berbeda-beda. Dan nazha’ir adalah lafal yang bersepakat
mempunyai arti sama walaupun dalam bentuk jumlah kalimat (ayat-ayat Al-Qur’an)
yang berbeda-beda.
Imam Al-Shuyuti
menjelaskan pengertian definitif wujuh dan nazha’ir:
Wujuh adalah lafaz musytarak yang digunakan dalam beberapa ragam maknanya,
seperti lafaz ‘ummah’. Dan nazha’ir adalah seperti lafaz-lafaz yang bersesuaian
(alfaz al-mutawathi’ah).
Iman Az- Zarkasyi dalam kitabnya Al- Burhan fi Ulum Al- Qur’an, mendefinisikan
wujuh dan nazha’ir secara sederhana,.Az-Zarkasyi mengemukakan bahwa wujuh
adalah suatu lafal yang memiliki makna ganda yang digunakan dalam maknanya yang
beragam. Sedangkan nazha’ir adalah lafal yang memiliki suatu makna tertentu
yang tetap sekalipun digunakan dalam berbagai tempat.
Sedangkan menurut
jamaluddin abi al-faraj Abdurrahman ibn aljauziy yaitu“Adanya suatu kata yang
disebutkan dalam tempat tertentu dalam Al-Qur’an dengan suatu lafaz dan harkat
tertentu, dan dimaksudkan untuk makna yang berbeda dengan tempat lainnya. Maka,
kata yang disebutkan pada suatu tempat, sama dengan yang disebutkan pada tempat
lainnya. Dan penafsiran makna setiap katanya berbeda pada setiap tempatnya
disebut wujuh, Jadi nazha’ir sebutan untuk lafaz dan wujuh sebutan untuk makna
yang beragam.”
Kata wujuh telah dipakai dalam sebuah hadits marfu’,
dan kata ini juga pernah dicetuskan oleh ungkapan yang disampaikan Ali bin Abi
T{a>lib
ra.
Ini merupakan ungkapan pertama yang menggunakan
kata wujuh terkait dengan nash al-Qur’an.Karangan mengenai wujuh dan nazhair
telah ada semenjak abad kedua Hijriah, yaitu karangan Muqatil bin Sulaiman (w.
150 H). Disamping itu, juga terdapat karangan-karangan yang tidak sampai kepada
kita secara kongkrit, melainkan hanya dalam bentuk informasi, yaitu karangan
‘Ikrimah Maula Ibn ‘Abbas (w. 105 H) dan La’la bin Abi Thalhah (w. 143).
Jadi,
sederhananya wajh merupakan
pemahaman mufassir terhadap suatu kata dalam tempat tertentu dengan makna
tertentu. Dan wajh lainnya
adalah pemahaman mufassir terhadap kata yang sama pada tempat lainnya dengan
makna yang berbeda dengan pemahaman pertama. Sementara nazhair, sebagaimana
definisi Ibn Jauzi, sebutan bagi lafaz, maka
kata yang disebutkan pada suatu tempat, sama (nazhirun) dengan yang disebutkan
pada tempat lainnya. Berarti, kata-kata yang terulang dalam
beberapa tempat dalam Alquran tersebut, bukanlah mengalami pengulangan kata itu
sendiri (lais huwa
nafsuhu), melainkan kata yang sama (nazhiruhu).
Jadi, kata kitab misalnya,
yang terdapat di banyak tempat dalam Alquran, pada dasarnya tidak disebutkan
berulang, hanya saja disampaikan kata yang sama dengannya (nazhiruhu). Kitab
yang disebutkan pada tempat A, bukanlah kitab yang disebutkan pada tempat
Di samping itu,
Imam Al-Shuyuti menjelaskan pengertian definitif wujuh dan nazhair:
Wujuh adalah lafaz musytarak yang
digunakan dalam beberapa ragam maknanya, seperti lafaz ‘ummah’. Dan nazhair adalah
seperti lafaz-lafaz yang bersesuaian (alfaz
al-mutawathi’ah).
Akan tetapi,
Salwa Muhammad mengkritik definisi ini. Menurutnya, pada definisi ini terjadi
pencampuradukan antara sudut pandang bahasa Alquran dengan sudut pandang bahasa
Arab. Memang Alquran berbahasa Arab, namun bahasa Alquran lebih khas dari
bahasa Arab sehingga bahasa Arab merupakan alat bantu untuk memahami bahasa
Alquran.
Salwa Muhammad
mempertanyakan redaksi “musytarak”
dalam definisi di atas. Pada dasarnya, musytarak merupakan suatu terminologi
dalam ilmu bahasa Arab. Ia menyatakan bahwa Al-Shuyuti tidak menjelaskan apakah
yang dimaksud dengan musytarak
di sana lafaz-lafaz yang memiliki banyak makna terkhusus bagi
Alquran ataukah dalam penggunaan bahasa secara umum, atau keduanya sama saja.
akan tetapi, menurut Salwa Muhammad, hal itu berbeda. Karena mungkin saja ada
lafaz yang musytarak secara
bahasa, namun tidak terdapat dalam Alquran, atau lafaz musytarak tersebut
dalam Alquran hanya mempunyai satu tunjukan makna saja, atau mungkin juga musytarak-nya suatu lafaz
hanya pada Alquran saja, dalam artian, orang Arab sendiri baru mengetahui bahwa
lafaz itu musytarak semenjak
ditunjukkan oleh Alquran.
Akan tetapi, sayangnya Ia tidak mencantumkan kemungkinan-kemungkinan yang
disuguhkannya.
B.
Wajh
dan
Nazhair
dalam Al-Qur’an
Para mufassir
telah meneliti bahwa tidak sedikit kata-kata dalam Alquran yang keluar beberapa
kali, dan setiap kali kata itu digunakan pada suatu tempat (kalimat/ayat), akan
bermakna berbeda dengan penggunaannya pada tempat lain.
Dalam al-Itsqan, setelah
dipelajari, terdapat sepuluh kata yang mempunyai banyak makna. Kata-kata
tersebut adalah: (1) huda,
yang mempunyai tujuh belas
makna, (2) al-su’u yang
mempunyai sebelas arti yang berbeda, (3) al-shalah
yang mempunyai sembilan makna, (4) al-rahmah yang mempunyai empat belas
makna, (5) al-fitnah yang
mempunyai lima belas makna, (6) al-ruh
dengan sembilan makna, (7) al-qadha
dengan lima belas arti, (8) al-zikru
yang mempunyai tujuh belas makna, (9) al-du’a yang mempunyai enam makna, dan
(10) al-ihshan dengan
tiga makna. Selanjutnya, juga disampaikan kata-kata yang mempunyai makna
seragam dengan satu pengecualian, seperti kata al-asaf yang berarti “kesedihan”, dalam
satu ayat ia jadi bermakna menjadikan marah.
Karya-karya dalam ilmu wujuh wa nazhoir, antaralain:
1)
al-Wujuh wa an-Nazhoir fi al-Qur’an al-Azhim,
karangan Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H).
2)
al-Wujuh wa an-Nazhoir fi al-Qur’an al-Karim,
karangan Harun bin Musa (w. 170H).
3)
at-Tashorif, karangan Yahya bin Salam (w.
200H).
4)
Tahshilu nazhoir al-Qur’an, karangan
Hakim at-Tirmidzi (w. 320 H)
5)
Wujuh al-Qur’an, karangan al-Hairy (w.430 H).
6)
al-Wujuh wa an-Nazhoir li alfazdi Kitabullah al-‘Aziz,
karangan ad-Damigany (w.478).
7)
Nuzhatul al- A’yan al-Nawazhir fi ‘Ilmi al-Wujuh wa an-Nazha’ir
fi al-Qur’an al-Karim,karangan Ibnu Jauzi (w. 597 H).
8)
Kasyfu al-Sarair fi Ma’na al-Wujuh wa al-Asybah wa
an-Nazhair,karangan Ibnu ‘Imad al-Masry (w.887 H).
9)
Mu’tariku al-aqran fi Musytaraki al-Qur’an,
karangan Imam Jalaluddin as-Suyuti (w. 911 H).
10)
al-Wujuh wa an-Nazhoir fi al-Qur’an Dirasah Muwazanah, Disertasi
Dr.Sulaiman bin Sholih al-Qor’awy dicetak tahun 1410 H.
11)
al-Wujuh wa an-Nazhoir fi al-Qur’an al-Karim,
Tesis Salwa Muhammad al-‘Awwal di Universiatas ‘Ain Syams dicetak tahun 1998 M
12)
al-Wujuh wa an-Nazhoir fi al-Qur’an Dirasah Taasiliyyah, karangan
Dr.Ahmad Muhammad al-Baridy
13)
Ma’rifah al-Wujuh wa an-Nazhair fi al-Qur’ani al-Karim,
karangan Syekh Muhammad bin Umar Bazmul.
Ibnu Jauzi mendefinisikan al-wujuh wa al-nazha’ir,
sebagaimana dikutip oleh Salwa Muhammad, sebagai:
“Adanya suatu kata yang disebutkan dalam tempat tertentu
dalam al-Qur’an dengan suatu lafaz dan harkat tertentu, dan dimaksudkan untuk
makna yang berbeda dengan tempat lainnya. Maka, kata yang
disebutkan pada suatu tempat, sama dengan yang disebutkan pada tempat lainnya.
Dan penafsiran makna setiap katanya berbeda pada setiap tempatnya disebut
wujuh, Jadi nazhair sebutan untuk lafaz dan nazhair sebutan untuk makna yang
beragam.”
Berbeda dengan Salwa Muhammad, Imam az-Zarkasyi dalam
kitabnya al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, mendefinisikan wujuh dan nazha’ir secara
sederhana, az-Zarkasyi mengemukakan
bahwa wujuh adalah suatu lafal yang memiliki makna ganda yang digunakan dalam maknanya
yang berberagam.Sedangkan nazha’ir adalah lafal yang memiliki suatu makna
tertentu yang tetap sekalipun digunakan dalam berbagai tempat.
1.
Wujuh dan Nazha’ir Sebagai Fenomena Kebahasaan
Wujuh sebagai kata atau ujaran, merupakan unsur terkecil
bahasa yang telah memiliki makna dan memiliki banyak pengertian sehingga
digunakan diberbagai tempat dalam Al-Qur’an dengan pengertian yang beragam.
Wujuh pada dasarnya memiliki sebuah makna yang tetap
melekat padanya, namun ketika kata tersebut memasuki sebuah kalimat untuk menunjukkan
konteks tertentu dari suatu teks, kata tersebut mengalami perkembangan makna
berdasarkan konteksnya.
Makna yang tetap melekat padanya, yang selalu terbawa
dimanapun kata itu diletakkan, disebut dengan makna dasar suatu kata.
Perkembangan makna yang dialami oleh suatu kata, terjadi jika kata dipahami
dalam sistem hubungan bahasa yang digunakan untuk manjelaskan suatu konteks.
Makna yang ditambahkan pada suatu kata sepanjang dimaknai dalam suatu sistem
hubungan bahasa itu, disebut makna relasional.
Sebagai contoh adalah kata Kitab yang
terpisah dari sistem hubungan memiliki makna dasar “Kitab”. Namun, saat ia
diletakkan pada sistem khusus dalam hubungan erat dengan kata-kata penting
seperti Allah, Wahyu, Tanzil, Nabi,dll ia dipahami secara komprehensif
sebagai kata yang memiliki signifikansi dalam kehidupan muslim. Kitab,
kemudian bukan hanya sebagai sebuah kitab dalam makna dasarnya, malainkan kitab
yang merupakan wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi. Kata Kitab
jadi memiliki makna baru yang tidak dipahami sebelumnya oleh masyarakat
pra-Islam.
Menurut Izutsu, tidak satu pun istilah kunci yang
berperanan dalam pembentukan pandangan dunia (Weltanschauung). Al-Qur’an
merupakan istilah-istilah baru. Namun, saat istilah-istilah itu dipakai dalam
Al-Qur’an sebagai sistem hubungan yang komprehensif, konteks umumnya lalu
menciptakan makna yang tidak dikenal sebelumnya oleh orang-orang Musyrik
Makkah. Keterpaduan istilah-istilah kunci dalam Al-Qur’an telah menciptakan
pandangan dunianya sendiri-sendiri sebagai cakrawala baru untuk memahami
masing-masing istilah dalam Al-Qur’an.
Sealain itu, Gadamer mengemukakan bahwa bahasa memiliki
struktur spekulatif yang berarti cermin. Seseorang
yang sedang memandang sahabatnya melalui cermin walaupun ia dapat melihat wajah
dan bentuk tubuh sahabatnya, namun apa yang ia lihat bukanlah sahabatnya yang
sesungguhnya. Bahkan wajah dan bentuk tubuh sahabatnya itu pun sangat
terpangaruh oleh sudut pandangnya. Ini dianalogikan dengan seseorang yang
membaca maksud Allah melelui teks Al-Qur’an. Walaupun ia dapat membaca kehendak
Allah lewat teks tersebut, namun pembacaannya tentu berbeda dengan pembacaan
orang dari perspektif yang berbeda. Sehingga dari sinilah Al-Qur’an dapat
dipahami bahwasanya Al-Qur’an memiliki kebenaran yang bersifat Multidimensi.
Kata-kata dalam Al-Qur’an yang memiliki interrelasi
inilah yang dipahami sebagai Wujuh. Sedangkan Nazha’ir adalah kata-kata yang
bukan merupakan istilah-istilah kunci sebagai konsep religius, sehingga ia
dipahami dengan makna dasarnya yang berpijak pada tradisi bahasa Arab saat
Al-Qur’an diturunkan.
2.
Wujuh dan Nazha’ir Sebagai Fenomena Kewahyuan
Al-Qur’an sebagai jalan hidup mengandung kalam Allah
sebagai gagasan-gagasan Islam yang bersifat transendental dan universal, shalih
kulli zaman wa makan. Untuk dapat berfungsi sebagai petunjuk Al-Qur’an harus
dapat dipahami oleh pembacanya.
Untuk memahami makna yang ada di balik kalam Allah
didalam Al-Qur’an, dapat dilakukan dengan berbagai macam upaya. Meski pada
dasarnya tidak ada seorang pun yang berhak mengatakan bahwa apa yang dapat
dipahami dari ayat-ayat Al-Qur’an tersebut adalah merupakan apa yang sebenarnya
dimaksud oleh Allah. Namun,
terdapat standar untuk memperoleh kesepakatan makna dari bahasa Kitab
suci tersebut, yakni kondisi objektif teks atau firman tertulis dalam
bahasanya itu sendiri.
Fenomena Wujuh dan Nazha’ir dalam pembahasan ilmu-ilmu
Al-Qur’an juga merupakan hasil usaha yang dilakukan untuk manafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an. Fenomena Wujuh menunjukkan bahwa sistem hubungan istilah-istilah
kunci dalam Al-Qur’an telah membentuk pandangan dunianya sebagai cakrawala
pemahaman bagi pembacanya dalam usaha memahami kandungannya. Sedangkan fenomena
Nazha’ir mengindikasikan Al-Quran sebagai peristiwa kesejarahan yang juga
menggunakan kata-kata dengan makna dasar yang diwarisi oleh tradisi saat dan
dimana ia diturunkan.
Maka Wujuh merupakan fenomena kewahyuan, dimana
seorang pembaca AL-Qur’an akan mendapatkan bahwa ayat-ayatnya menampakkan
wajahnya dari perspektif dan latar belakang ia membacanya.
C.
Contoh-contoh
al-Wujuh wa Nazhair dalam al-Qur’an
1.
Kata al-Huda
mempunyai 18 ragam makna dalam ayat Al-Qur’an, di antaranya yaitu:
a)
al-S|abat (tetap)
اهدنا الصراط المستقيم
Artinya:
Teguhkanlah kami pada jalan yang
lurus (al-Fatihah: 6)
b)
al-Bayan (petunjuk)
أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya:
Merekalah yang berada dalam penjelasan Tuhan dan mereka akan berhasil
(al-Baqarah: 5)
c)
al-Din (agama)
قُلْ إِنَّ الْهُدَى هُدَى اللَّهِ أَنْ يُؤْتَى
أَحَدٌ مِثْلَ مَا أُوتِيتُمْ أَوْ يُحَاجُّوكُمْ عِنْدَ رَبِّكُمْ قُلْ إِنَّ
الْفَضْلَ بِيَدِ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيم
ٌ
Terjemahnya:
Katakanlah,
“Agama yang benar ialah agama
Allah: (takutlah kamu) supaya tidak ada yang akan diturunkan kepada orang lain
seperti yang telah diturunkan kepada kamu atau mereka (yang menerima wahyu
demikian) akan membantah kamu di depan Tuhanmu?” Katakanlah, “Segala karunia di
tangan Allah, diberikan kepada yang Ia kehendaki, dan Allah Maha Luas, Maha
Tahu”.(Ali Imran:73)
d)
al-Iman
وَيَزِيدُ اللَّهُ الَّذِينَ اهْتَدَوْا هُدًى وَالْبَاقِيَاتُ
الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ مَرَدًّا
Terjemahnya:
Dan Allah akan menamabah keimanan kepada mereka yang telah
dikaruniakan iman dan amal kebaikan kekal, dalam
pandangan Tuhanmu itulah yang terbaik sebagai pahala dan yang terbaik sebagai
tempat kembali (Maryam:.76)
e)
ad-Da’i(penyeru)
وَيَقُولُ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا أُنْزِلَ عَلَيْهِ
آَيَةٌ مِنْ رَبِّهِ إِنَّمَا أَنْتَ مُنْذِرٌ وَلِكُلِّ قَوْمٍ هَادٍ
Terjemahnya:
Dan orang-orang
kafirberkata: “Mengapa tidak diturunkan kepadanya sebuah ayat dari Tuhannya? ” Tetapi engkau adalah seorang pemberi peringatan, dan pada setiap golongan ada seorang penyeru (al-Ra’d:7)
f)
al-Rasul dan al-Kitab
قُلْنَا اهْبِطُوا مِنْهَا جَمِيعًا فَإِمَّا
يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ فَلَا خَوْفٌ
عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُ
Terjemahnya:
Kami berfirman, “Turunlah kamu
sekalian dari sini, maka apabila datang kepadamu rasul dan kitab Aku,
siapa pun mengikuti rasul dan kitab-Ku tak perlu khawatir, tak perlu
bersedih (al-Baqarah: 38)
g) al-Ma’rifah (pengetahuan)
…وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُون
Terjemahnya:
Dan rambu-rambudandenganbintang-bintangmerekamengetahui. (al-Najm: 16)
h)
Nabi
SAW
إنَّ
الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ
يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ
Terjemahnya:
Mereka yang menyembunyikan segala keterangan (ayat-ayat) dan Nabi
yang Kami turunkan setelah dijelaskan dalam kitab kepada manusia, mereka mendapat
laknat Allah, dan laknat mereka yang berhak melaknat (al-Baqarah: 159)
2.
Kata al-Akhirat mempunyai 7 ragam makna dalam ayat
Al-Qur’an, di
antaranya yaitu :
a)
al-Bi’tsa ba’da Maut (Hari kebangitan dari Alam Kubur)
وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ
قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ
Terjemahnya:
Dan
mereka yang beriman kepada Kitab (al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan
kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya
(kehidupan) akhirat.(al-Baqoroh:4)
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا
هُمْ بِمُؤْمِنِينَ
Terjemahnya:
Di antara manusia ada yang mengatakan:
"Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian, pada hal mereka itu
sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.(al-Baqoroh:8)
b)
al-Qismah (Sumpah/Janji)
وَأَنَّ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ أَعْتَدْنَا لَهُمْ
عَذَابًا أَلِيمًا
Terjemahnya:
dan
sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat,
Kami sediakan bagi mereka azab yang pedih.(al-Isro’:10)
c)
al-Jannah (Surga)
وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ
خَلَاقٍ ۚ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
Terjemahnya:
.....
Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya
(kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat,
dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka
mengetahui.(al-Baqoroh:102)
إِنَّ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَأَيْمَانِهِمْ ثَمَنًا
قَلِيلًا أُولَٰئِكَ لَا خَلَاقَ لَهُمْ فِي الْآخِرَة
Terjemahnya:
Sesungguhnya
orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka
dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bahagian (pahala) di akhirat,
...( Ali Imran : 77)
وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الْأُولَىٰ
Terjemahnya:
Dan
sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang
(permulaan).(adh-Dhuha:4)
3.
Kata al-Ardhi mempunyai 7 ragam makna dalam ayat
Al-Qur’an, di
antaranya yaitu :
a)
al-Ardhi (bumi)
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ
بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ
فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ
دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُون
Terjemahnya:
Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang,
bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang
Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi
sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis
hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumisungguh
(terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang
memikirkan.(al-Baqarah:164)
b)
Ardhi Makkah (Makkah)
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا
فِيمَ كُنْتُمْ ۖ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ
Terjemahnya:
Sesungguhnya
orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri,
(kepada mereka) malaikat bertanya: "Dalam keadaan bagaimana kamu
ini?". Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di
negeri (Mekah)..... (an-Nisa:97)
c)
Ardhi Madinah (Madinah)
قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا
ۚ فَأُولَٰئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Terjemahnya:
….Para
malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu
dapat berhijrah di bumi itu?". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam,
dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.(an-Nisa:97)
وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا
كَثِيرًا وَسَعَةً
Terjemahnya:
Barangsiapa
berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat
hijrah yang luas dan rezeki yang banyak... .(an-Nisa:100)
d)
Ardhi al-Muqoddas
وَأَوْرَثْنَا الْقَوْمَ الَّذِينَ كَانُوا يُسْتَضْعَفُونَ مَشَارِقَ
الْأَرْضِ وَمَغَارِبَهَا الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا
Terjemahnya:
Dan
Kami pusakakan kepada kaum yang telah ditindas itu, negeri-negeri bahagian timur
bumi dan bahagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya....(al-A'raf
: 137)
وَنَجَّيْنَاهُ وَلُوطًا إِلَى الْأَرْضِ الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا
لِلْعَالَمِينَ
Terjemahnya:
Dan
Kami seIamatkan Ibrahim dan Luth ke sebuah negeri yang Kami telah
memberkahinya untuk sekalian manusia.( al-Anbiyaa : 71)
e)
Ardhi Misr( Mesir)
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَىٰ خَزَائِنِ الْأَرْضِ ۖ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
Terjemahnya:
Berkata
Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya
aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan".(Yusuf: 55)
4.
Kata ad-Du’a mempunyai 6 ragam makna dalam ayat
Al-Qur’an, yaitu :
a)
al-Ibadah
ولا تدع من دون الله ما لا ينفعك ولا يضرك
Terjemahnya:
Dan janganlah kamu menyembah apa-apa
yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain
Allah...(Yunus:106)
b)
al-Isti’anah (meminta pertolongan)
وادعوا شهداءكم
Terjemahnya:
....dan ajaklah
penolong-penolongmu ....(al-Baqarah:3)
c)
as-Sual (Permintaan secara umum)
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ
Terjemahnya:
Dan
Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan
bagimu,.....(Ghâfir: 60)
D.
Urgensi
Wujuh wa Nazha’ir
Adapun
beberapa urgensi dari wujuh wan nazair sebagai kaidah dalam penafsiran,
diantaranya:
1.
Menunjukkan kemu’zijatan al-Qur’an dari segi bahasa atau
linguistik dan juga menunjukkan begitu kayanya bahasa yang terdapat dalam al-Qur’an.
2.
Sebagai kaidah dalam penafsiran, maka wujuh wan nazair
ini berguna untuk mempermudah dalam menafsirkan al-Qur’an.
3.
Konsekuensi dari pengetahuan terhadap wujuh wan nazair
itu mendapatkan pemahaman yang benar sesuai kondisi objek teks atau firman tertulis
dalam bahasa itu sendiri.
4.
Kaidah kebahasaan tidak bisa dilepaskan dalam menafsirkan
al-Qur’an. Ini merupakan salah satu bukti konkret yang tidak bisa dielakkan.
5.
Dalam menafsirkan al-Qur’an selain memperhatikan teksnya,
juga memperhatikan konteksnya, karena tidak semua lafadz-lafadz yang ada dalam
ayat al-Qur’an itu menghendaki makna dasarnya (sesuatu yang melekat pada kata
itu sendiri, yang selalu terbawa dimanapun kata itu diletakkan), terkadang yang
dikehendaki adalah makna relasionalnya (sesuatu yang konotatif yang diberikan
dan ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakkan kata itu pada
posisi khusus dalam bidang khusus).
DAFTAR PUSTAKA
al-‘Awwa, Salwa Muhammad. al-Wujuh wa al-Nazhair fi
al-Qur’an al-Karim. Kairo: Dar el-Syuruq. 1998.
ad-Damighani, Husain bin Muhammad. Qomus al-Qur'an au
Ishlah al-Wujuh wa an-Nazhair fi al-Qur'an al-Karim. Beirut: Dar al-'Ilm li
al-Malayyin: 1983.
aj-Jauziy, Jamaluddin. Nuzhatul al- A’yan al-Nawazhir
fi ‘Ilmi al-Wujuh wa al-Nazha’ir fi al-Qur’an al-Karim.
asy-Syuyuthi, Jalaluddin. al-Itqan fi ‘Ulumi
al-Qur’an.Beirut, Dar al-Fikr, 1999.
az-Zarkasyi, Badruddin Muhammad bin Abdullah, al-Burhan
fi Ulum al-Qur’an. Beirut, Dar al-Kutub ‘Ilmiyyah.
al-‘Awwal, Salwa
Muhammad. al-Wujuh wa
al-Nazhair fi al-Qur’an al-Karim. Kairo: Dar el-Syuruq. 1998.]
Al-Shuyuti, Jalaluddin. Al-Itsqan fi Ulum al-Qur’an Juz
1 hlm. 164. Maktabah al-Syamilah. Pustaka Ridwana. 2008
Al-Zarkasyi. Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an
Juz 1 hlm. 102. Maktabah al-Syamilah. Pustaka Ridwana. 2008.
Munawwir, Ahmad
Warson, Kamus
Al-Munawwir. Yogyakarta: UPBIK Pondok Pesantren Krapyak.
Az-Zarkasyi. Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an Juz 1. Maktabah
al-Syamilah. Pustaka Ridwana. 2008
As-Shuyuti, Jalaluddin. Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an Juz 1
hlm. 164. Maktabah al-Syamilah. Pustaka Ridwana. 2008
Poespoprodjo, Interprestasi : Beberapa Catatan Pendekatan
Filsafatinya, Bandung : Remaja Karya, 1987.
Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama : Sebuah
Kajian Hermeneutk, Jakarta : Paramadina,1996.
اذهب اليهم فخصامهم ولا تحاجهم بالقرآن
فإنهم حمال ذو وجوه ولكن خاصمهم باسنة
Comments
Post a Comment