KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS

KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS Pendahuluan latar belakang Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah dua sumber utama ajaran Islam. Oleh karena itu, keduanya selalu dijadikan landasan keyakinan, ritual, adat istiadat, etika, ekonomi, politik, peradaban dan seluruh aspek kehidupan umat Islam, baik yang sakral maupun duniawi, pada tataran ¥ abl minallah (vertikal) dan ¥ abl min al. -n ± s (horizontal).

download makalah WUJUH WA AL-NASHAIR

Revisi Makalah;

A
MAKALAH WUJUH WA AL-NASHAIR


A.    Latar Belakang
Al-Qur'an diturunkan dengan bahasa Arab. Allah telah menyebut al-Qur'an dengan al-Qur'an yang berbahasa Arab di dalam Q.S. Yūsuf /12 : 2 :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Terjamahnya:
"Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur'an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya".[1]
Tidak diragukan lagi bahwa "kearaban" yang dimaksud di sini adalah segi kebahasaannya, bukan ras dan etnik, meski bangsa Arab merupakan pembawa atau penerima risalah islam pertama di dunia ini.[2] Bahasa Arab berbeda dengan bahasa Inggris dan perancis, bahasa Arab begitu hemat kata-kata dan singkat, namun jelas maksudnya. al-Qur'an dengan bahasa Arabnya mudah dipahami oleh masyarakat Arab, tetapi  risalah ini ditujukan untuk semua bangsa, semua orang, tanpa kecuali. Kendati bangsa-bangsa lain tidak mengerti seluk-beluk bahasa Arab, namun wajib untuk membaca al-Qur'an dengan bahasa Arab sekaligus memahaminya sesuai dengan konteks diturunkannya risalah ini.[3]
Oleh karena al-Qur'an diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, maka seseorang tidak mungkin bisa menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an dalam rangka penggalian kandungannya dengan baik tanpa mengetahui kaidah-kaidah bahasa Arab.[4] Maka kaidah-kaidah yang diperlukan para mufassir dalam memahami al-Qur'an terpusat pada kaidah-kaidah bahasa, pemahaman dan asas-asasnya, penghayatan uslub-uslubnya dan penguasaan rahasia-rahasianya.[5]
Berdasarkan hal itu, sehingga Imam Al-Suyūt}ī dalam Al-Itqān menyebutkan bahwa salah satu ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufassir adalah mengetahui ilmu bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya yang mencakup ilmu nahwu, sharaf, dan ilmu isytiqaq.[6]Bahkan Imam Mālik berkata: "Tidaklah akan diberikan kepada orang yang tidak mengetahui bahasa Arab lalFu dia menafsirkan Kitab Allah, melainkan hukuman dan siksa saja". Imam Mujāhid juga berkata: "Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkata tentang kalāmullah, manakala dia tidak mengetahui bahasa Arab.[7]
Salah satu kaidah yang harus dipahami dengan baik oleh seseorang yang ingin mendalami makna ayat-ayat al-Qur'an adalah kaidah Wuju>h wa al-Nadsa>ir sebagaimana yang akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.

B.    Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Al-Wuju<>H Wa al- Naz{A<Ir Dalam Al-Qur’an?
2.      Bagaimana kaidah Al-Wuju<>H Wa al- Naz{A<Ir Dalam Al-Qur’an??


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian
Kaidah wujuh dan nazha’ir merupakan salah satu qaidah yang dibutuhkan oleh seorang mufassir, seorang mufassir dari zaman klasik-kontemporer harus memahami kaidah ini. Hal ini berdasarkan hadits mauquf dari riwayat yang dikeluarkan oleh ibn sa’d dari abi darda’, (namun ada yang mengatakan hadits ini riwayat dari muqotil) menyatakan bahwa: “Seseorang tidak akan benar-benar paham Al-Qur’an sebelum ia mengetahui makna yang beragam dalam Al-Qur’an” [8]
Menurut arti bahasa wujuh dan nazha’ir mempunyai arti sebagai berikut; wujuh merupakan lafal jama’ dari bentuk mufrod wajhun sehingga berarti bermacam-macam/beragam, sedangkan lafal nazha’ir juga bentuk jama’ dari lafal nadzrun yang berarti kesamaan atau sepadan[9]. Bermula dari arti bahasa tersebut maka muncul pengertian bahwa wujuh ialah lafal yang mempunyai arti/makna banyak yang digunakan dalam pelbagai bentuk jumlah kalimat yang berbeda-beda. Dan nazha’ir adalah lafal yang bersepakat mempunyai arti sama walaupun dalam bentuk jumlah kalimat (ayat-ayat Al-Qur’an) yang berbeda-beda.
Imam Al-Shuyuti menjelaskan pengertian definitif wujuh dan nazha’ir:
Wujuh adalah lafaz musytarak yang digunakan dalam beberapa ragam maknanya, seperti lafaz ‘ummah’. Dan nazha’ir adalah seperti lafaz-lafaz yang bersesuaian (alfaz al-mutawathi’ah)[10]. Iman Az- Zarkasyi dalam kitabnya Al- Burhan fi Ulum Al- Qur’an, mendefinisikan wujuh dan nazha’ir secara sederhana,.Az-Zarkasyi  mengemukakan bahwa wujuh adalah suatu lafal yang memiliki makna ganda yang digunakan dalam maknanya yang beragam. Sedangkan nazha’ir adalah lafal yang memiliki suatu makna tertentu yang tetap sekalipun digunakan dalam berbagai tempat.
Sedangkan menurut jamaluddin abi al-faraj Abdurrahman ibn aljauziy yaitu“Adanya suatu kata yang disebutkan dalam tempat tertentu dalam Al-Qur’an dengan suatu lafaz dan harkat tertentu, dan dimaksudkan untuk makna yang berbeda dengan tempat lainnya. Maka, kata yang disebutkan pada suatu tempat, sama dengan yang disebutkan pada tempat lainnya. Dan penafsiran makna setiap katanya berbeda pada setiap tempatnya disebut wujuh, Jadi nazha’ir sebutan untuk lafaz dan wujuh sebutan untuk makna yang beragam.”
Kata wujuh telah dipakai dalam sebuah hadits marfu’[11], dan kata ini juga pernah dicetuskan oleh ungkapan yang disampaikan Ali bin Abi T{a>lib ra[12]. Ini merupakan ungkapan pertama yang menggunakan kata wujuh terkait dengan nash al-Qur’an.Karangan mengenai wujuh dan nazhair telah ada semenjak abad kedua Hijriah, yaitu karangan Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H). Disamping itu, juga terdapat karangan-karangan yang tidak sampai kepada kita secara kongkrit, melainkan hanya dalam bentuk informasi, yaitu karangan ‘Ikrimah Maula Ibn ‘Abbas (w. 105 H) dan La’la bin Abi Thalhah (w. 143).[13]
Jadi, sederhananya wajh merupakan pemahaman mufassir terhadap suatu kata dalam tempat tertentu dengan makna tertentu. Dan wajh lainnya adalah pemahaman mufassir terhadap kata yang sama pada tempat lainnya dengan makna yang berbeda dengan pemahaman pertama. Sementara nazhair, sebagaimana definisi Ibn Jauzi, sebutan bagi lafaz, maka kata yang disebutkan pada suatu tempat, sama (nazhirun) dengan yang disebutkan pada tempat lainnya. Berarti, kata-kata yang terulang dalam beberapa tempat dalam Alquran tersebut, bukanlah mengalami pengulangan kata itu sendiri (lais huwa nafsuhu), melainkan kata yang sama (nazhiruhu).[14] Jadi, kata kitab misalnya, yang terdapat di banyak tempat dalam Alquran, pada dasarnya tidak disebutkan berulang, hanya saja disampaikan kata yang sama dengannya (nazhiruhu). Kitab yang disebutkan pada tempat A, bukanlah kitab yang disebutkan pada tempat
Di samping itu, Imam Al-Shuyuti menjelaskan pengertian definitif wujuh dan nazhair:
Wujuh adalah lafaz musytarak yang digunakan dalam beberapa ragam maknanya, seperti lafaz ‘ummah’. Dan nazhair adalah seperti lafaz-lafaz yang bersesuaian (alfaz al-mutawathi’ah).[15]
Akan tetapi, Salwa Muhammad mengkritik definisi ini. Menurutnya, pada definisi ini terjadi pencampuradukan antara sudut pandang bahasa Alquran dengan sudut pandang bahasa Arab. Memang Alquran berbahasa Arab, namun bahasa Alquran lebih khas dari bahasa Arab sehingga bahasa Arab merupakan alat bantu untuk memahami bahasa Alquran.
Salwa Muhammad mempertanyakan redaksi “musytarak” dalam definisi di atas. Pada dasarnya, musytarak merupakan suatu terminologi dalam ilmu bahasa Arab. Ia menyatakan bahwa Al-Shuyuti tidak menjelaskan apakah yang dimaksud dengan musytarak di sana lafaz-lafaz yang memiliki banyak makna terkhusus bagi Alquran ataukah dalam penggunaan bahasa secara umum, atau keduanya sama saja. akan tetapi, menurut Salwa Muhammad, hal itu berbeda. Karena mungkin saja ada lafaz yang musytarak secara bahasa, namun tidak terdapat dalam Alquran, atau lafaz musytarak tersebut dalam Alquran hanya mempunyai satu tunjukan makna saja, atau mungkin juga musytarak-nya suatu lafaz hanya pada Alquran saja, dalam artian, orang Arab sendiri baru mengetahui bahwa lafaz itu musytarak semenjak ditunjukkan oleh Alquran.[16] Akan tetapi, sayangnya Ia tidak mencantumkan kemungkinan-kemungkinan yang disuguhkannya.

B.    Wajh dan Nazhair  dalam Al-Qur’an
Para mufassir telah meneliti bahwa tidak sedikit kata-kata dalam Alquran yang keluar beberapa kali, dan setiap kali kata itu digunakan pada suatu tempat (kalimat/ayat), akan bermakna berbeda dengan penggunaannya pada tempat lain.[17]
Dalam al-Itsqan, setelah dipelajari, terdapat sepuluh kata yang mempunyai banyak makna. Kata-kata tersebut adalah: (1) huda, yang mempunyai tujuh belas[18] makna, (2) al-su’u yang mempunyai sebelas arti yang berbeda, (3) al-shalah yang mempunyai sembilan makna, (4) al-rahmah yang mempunyai empat belas makna, (5) al-fitnah yang mempunyai lima belas makna, (6) al-ruh dengan sembilan makna, (7) al-qadha dengan lima belas arti, (8) al-zikru yang mempunyai tujuh belas makna, (9) al-du’a yang mempunyai enam makna, dan (10) al-ihshan dengan tiga makna. Selanjutnya, juga disampaikan kata-kata yang mempunyai makna seragam dengan satu pengecualian, seperti kata al-asaf yang berarti “kesedihan”, dalam satu ayat ia jadi bermakna menjadikan marah.[19]
Karya-karya dalam ilmu wujuh wa nazhoir, antaralain:
1)      al-Wujuh wa an-Nazhoir fi al-Qur’an al-Azhim, karangan Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H).
2)      al-Wujuh wa an-Nazhoir fi al-Qur’an al-Karim, karangan Harun bin Musa (w. 170H).
3)      at-Tashorif, karangan Yahya bin Salam (w. 200H).
4)      Tahshilu nazhoir al-Qur’an, karangan Hakim at-Tirmidzi (w. 320 H)
5)      Wujuh al-Qur’an, karangan al-Hairy (w.430 H).
6)      al-Wujuh wa an-Nazhoir li alfazdi Kitabullah al-‘Aziz, karangan ad-Damigany (w.478).
7)      Nuzhatul al- A’yan al-Nawazhir fi ‘Ilmi al-Wujuh wa an-Nazha’ir fi al-Qur’an al-Karim,karangan Ibnu Jauzi (w. 597 H).
8)      Kasyfu al-Sarair fi Ma’na al-Wujuh wa al-Asybah wa an-Nazhair,karangan Ibnu ‘Imad al-Masry (w.887 H).
9)      Mu’tariku al-aqran fi Musytaraki al-Qur’an[20], karangan Imam Jalaluddin as-Suyuti (w. 911 H).
10)  al-Wujuh wa an-Nazhoir fi al-Qur’an Dirasah Muwazanah, Disertasi Dr.Sulaiman bin Sholih al-Qor’awy dicetak tahun 1410 H.
11)  al-Wujuh wa an-Nazhoir fi al-Qur’an al-Karim, Tesis Salwa Muhammad al-‘Awwal di Universiatas ‘Ain Syams dicetak tahun 1998 M
12)  al-Wujuh wa an-Nazhoir fi al-Qur’an Dirasah Taasiliyyah, karangan Dr.Ahmad Muhammad al-Baridy
13)  Ma’rifah al-Wujuh wa an-Nazhair fi al-Qur’ani al-Karim, karangan Syekh Muhammad bin Umar Bazmul.

Ibnu Jauzi mendefinisikan al-wujuh wa al-nazha’ir, sebagaimana dikutip oleh Salwa Muhammad, sebagai:
“Adanya suatu kata yang disebutkan dalam tempat tertentu dalam al-Qur’an dengan suatu lafaz dan harkat tertentu, dan dimaksudkan untuk makna yang berbeda dengan tempat lainnya. Maka, kata yang disebutkan pada suatu tempat, sama dengan yang disebutkan pada tempat lainnya. Dan penafsiran makna setiap katanya berbeda pada setiap tempatnya disebut wujuh, Jadi nazhair sebutan untuk lafaz dan nazhair sebutan untuk makna yang beragam.”[21]
Berbeda dengan Salwa Muhammad, Imam az-Zarkasyi dalam kitabnya al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, mendefinisikan wujuh dan nazha’ir secara sederhana, az-Zarkasyi  mengemukakan bahwa wujuh adalah suatu lafal yang memiliki makna ganda yang digunakan dalam maknanya yang berberagam.Sedangkan nazha’ir adalah lafal yang memiliki suatu makna tertentu yang tetap sekalipun digunakan dalam berbagai tempat.

1.     Wujuh dan Nazha’ir Sebagai Fenomena Kebahasaan
Wujuh sebagai kata atau ujaran, merupakan unsur terkecil bahasa yang telah memiliki makna dan memiliki banyak pengertian sehingga digunakan diberbagai tempat dalam Al-Qur’an dengan pengertian yang beragam.
Wujuh pada dasarnya memiliki sebuah makna yang tetap melekat padanya, namun ketika kata tersebut memasuki sebuah kalimat untuk menunjukkan konteks tertentu dari suatu teks, kata tersebut mengalami perkembangan makna berdasarkan konteksnya.[22]
Makna yang tetap melekat padanya, yang selalu terbawa dimanapun kata itu diletakkan, disebut dengan makna dasar suatu kata. Perkembangan makna yang dialami oleh suatu kata, terjadi jika kata dipahami dalam sistem hubungan bahasa yang digunakan untuk manjelaskan suatu konteks. Makna yang ditambahkan pada suatu kata sepanjang dimaknai dalam suatu sistem hubungan bahasa itu, disebut makna relasional.[23]
Sebagai contoh adalah kata Kitab yang terpisah dari sistem hubungan memiliki makna dasar “Kitab”. Namun, saat ia diletakkan pada sistem khusus dalam hubungan erat dengan kata-kata penting seperti Allah, Wahyu, Tanzil, Nabi,dll ia dipahami secara komprehensif sebagai kata yang memiliki signifikansi dalam kehidupan muslim. Kitab, kemudian bukan hanya sebagai sebuah kitab dalam makna dasarnya, malainkan kitab yang merupakan wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi. Kata Kitab jadi memiliki makna baru yang tidak dipahami sebelumnya oleh masyarakat pra-Islam.[24]
Menurut Izutsu, tidak satu pun istilah kunci yang berperanan dalam pembentukan pandangan dunia (Weltanschauung). Al-Qur’an merupakan istilah-istilah baru. Namun, saat istilah-istilah itu dipakai dalam Al-Qur’an sebagai sistem hubungan yang komprehensif, konteks umumnya lalu menciptakan makna yang tidak dikenal sebelumnya oleh orang-orang Musyrik Makkah. Keterpaduan istilah-istilah kunci dalam Al-Qur’an telah menciptakan pandangan dunianya sendiri-sendiri sebagai cakrawala baru untuk memahami masing-masing istilah dalam Al-Qur’an.
Sealain itu, Gadamer mengemukakan bahwa bahasa memiliki struktur spekulatif yang berarti cermin.[25] Seseorang yang sedang memandang sahabatnya melalui cermin walaupun ia dapat melihat wajah dan bentuk tubuh sahabatnya, namun apa yang ia lihat bukanlah sahabatnya yang sesungguhnya. Bahkan wajah dan bentuk tubuh sahabatnya itu pun sangat terpangaruh oleh sudut pandangnya. Ini dianalogikan dengan seseorang yang membaca maksud Allah melelui teks Al-Qur’an. Walaupun ia dapat membaca kehendak Allah lewat teks tersebut, namun pembacaannya tentu berbeda dengan pembacaan orang dari perspektif yang berbeda. Sehingga dari sinilah Al-Qur’an dapat dipahami bahwasanya Al-Qur’an memiliki kebenaran yang bersifat Multidimensi.
Kata-kata dalam Al-Qur’an yang memiliki interrelasi inilah yang dipahami sebagai Wujuh. Sedangkan Nazha’ir adalah kata-kata yang bukan merupakan istilah-istilah kunci sebagai konsep religius, sehingga ia dipahami dengan makna dasarnya yang berpijak pada tradisi bahasa Arab saat Al-Qur’an diturunkan.

2.     Wujuh dan Nazha’ir Sebagai Fenomena Kewahyuan
Al-Qur’an sebagai jalan hidup mengandung kalam Allah sebagai gagasan-gagasan Islam yang bersifat transendental dan universal, shalih kulli zaman wa makan. Untuk dapat berfungsi sebagai petunjuk Al-Qur’an harus dapat dipahami oleh pembacanya.
Untuk memahami makna yang ada di balik kalam Allah didalam Al-Qur’an, dapat dilakukan dengan berbagai macam upaya. Meski pada dasarnya tidak ada seorang pun yang berhak mengatakan bahwa apa yang dapat dipahami dari ayat-ayat Al-Qur’an tersebut adalah merupakan apa yang sebenarnya dimaksud oleh Allah. Namun, terdapat standar untuk memperoleh kesepakatan makna dari bahasa Kitab suci tersebut,  yakni kondisi objektif teks atau firman tertulis dalam bahasanya itu sendiri.[26]
Fenomena Wujuh dan Nazha’ir dalam pembahasan ilmu-ilmu Al-Qur’an juga merupakan hasil usaha yang dilakukan untuk manafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Fenomena Wujuh menunjukkan bahwa sistem hubungan istilah-istilah kunci dalam Al-Qur’an telah membentuk pandangan dunianya sebagai cakrawala pemahaman bagi pembacanya dalam usaha memahami kandungannya. Sedangkan fenomena Nazha’ir mengindikasikan Al-Quran sebagai peristiwa kesejarahan yang juga menggunakan kata-kata dengan makna dasar yang diwarisi oleh tradisi saat dan dimana ia diturunkan.
Maka Wujuh  merupakan fenomena kewahyuan, dimana seorang pembaca AL-Qur’an akan mendapatkan bahwa ayat-ayatnya menampakkan wajahnya dari perspektif dan latar belakang ia membacanya.

C.    Contoh-contoh al-Wujuh wa Nazhair dalam al-Qur’an
1.         Kata al-Huda mempunyai 18 ragam makna dalam ayat Al-Qur’an, di antaranya yaitu:
a)    al-S|abat (tetap)
اهدنا الصراط المستقيم
Artinya: Teguhkanlah kami pada jalan yang lurus (al-Fatihah: 6)

b)   al-Bayan (petunjuk)
أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Artinya: Merekalah yang berada dalam penjelasan Tuhan dan mereka akan berhasil (al-Baqarah: 5)

c)    al-Din (agama)

قُلْ إِنَّ الْهُدَى هُدَى اللَّهِ أَنْ يُؤْتَى أَحَدٌ مِثْلَ مَا أُوتِيتُمْ أَوْ يُحَاجُّوكُمْ عِنْدَ رَبِّكُمْ قُلْ إِنَّ الْفَضْلَ بِيَدِ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيم
ٌ
Terjemahnya:
Katakanlah, “Agama yang benar ialah agama Allah: (takutlah kamu) supaya tidak ada yang akan diturunkan kepada orang lain seperti yang telah diturunkan kepada kamu atau mereka (yang menerima wahyu demikian) akan membantah kamu di depan Tuhanmu?” Katakanlah, “Segala karunia di tangan Allah, diberikan kepada yang Ia kehendaki, dan Allah Maha Luas, Maha Tahu”.(Ali Imran:73)

d)   al-Iman

وَيَزِيدُ اللَّهُ الَّذِينَ اهْتَدَوْا هُدًى وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ مَرَدًّا

Terjemahnya:
Dan Allah akan menamabah keimanan kepada mereka yang telah dikaruniakan iman dan amal kebaikan kekal, dalam pandangan Tuhanmu itulah yang terbaik sebagai pahala dan yang terbaik sebagai tempat kembali (Maryam:.76)

e)    ad-Da’i(penyeru)
وَيَقُولُ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا أُنْزِلَ عَلَيْهِ آَيَةٌ مِنْ رَبِّهِ إِنَّمَا أَنْتَ مُنْذِرٌ وَلِكُلِّ قَوْمٍ هَادٍ

Terjemahnya:
Dan orang-orang kafirberkata: “Mengapa tidak diturunkan kepadanya sebuah ayat dari Tuhannya? ” Tetapi engkau adalah seorang pemberi peringatan, dan pada setiap golongan ada seorang penyeru (al-Ra’d:7)

f)     al-Rasul dan al-Kitab
قُلْنَا اهْبِطُوا مِنْهَا جَمِيعًا فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُ

Terjemahnya:
Kami berfirman, “Turunlah kamu sekalian dari sini, maka apabila datang kepadamu rasul dan kitab Aku, siapa pun mengikuti rasul dan kitab-Ku tak perlu khawatir, tak perlu bersedih (al-Baqarah: 38)
g)   al-Ma’rifah (pengetahuan) 
وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُون
Terjemahnya:
Dan rambu-rambudandenganbintang-bintangmerekamengetahui. (al-Najm: 16)

h)   Nabi SAW
إنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ
Terjemahnya:
Mereka yang menyembunyikan segala keterangan (ayat-ayat) dan Nabi  yang Kami turunkan setelah dijelaskan dalam kitab kepada manusia, mereka mendapat laknat Allah, dan laknat mereka yang berhak melaknat (al-Baqarah: 159)
2.         Kata al-Akhirat mempunyai 7 ragam makna dalam ayat Al-Qur’an, di antaranya yaitu :

a)    al-Bi’tsa ba’da Maut (Hari kebangitan dari Alam Kubur)
وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ
Terjemahnya:
Dan mereka yang beriman kepada Kitab (al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.(al-Baqoroh:4)    

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ

Terjemahnya:
 Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian, pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.(al-Baqoroh:8)

b)   al-Qismah (Sumpah/Janji)
وَأَنَّ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
Terjemahnya:
dan sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, Kami sediakan bagi mereka azab yang pedih.(al-Isro’:10)           

c)    al-Jannah (Surga)
وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ ۚ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

Terjemahnya:
..... Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.(al-Baqoroh:102)

إِنَّ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَأَيْمَانِهِمْ ثَمَنًا قَلِيلًا أُولَٰئِكَ لَا خَلَاقَ لَهُمْ فِي الْآخِرَة
Terjemahnya:
Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bahagian (pahala) di akhirat, ...( Ali Imran : 77)
وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الْأُولَىٰ
Terjemahnya:
Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan).(adh-Dhuha:4)

3.         Kata al-Ardhi mempunyai 7 ragam makna dalam ayat Al-Qur’an, di antaranya yaitu :

a)    al-Ardhi (bumi)
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُون
Terjemahnya:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumisungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.(al-Baqarah:164)        

b)   Ardhi Makkah (Makkah)

إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ ۖ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ
Terjemahnya:
Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?". Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)..... (an-Nisa:97)  

c)    Ardhi Madinah (Madinah)
قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا ۚ فَأُولَٰئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Terjemahnya:
….Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.(an-Nisa:97)
وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً

Terjemahnya:
Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak... .(an-Nisa:100)
                       
d)   Ardhi al-Muqoddas
وَأَوْرَثْنَا الْقَوْمَ الَّذِينَ كَانُوا يُسْتَضْعَفُونَ مَشَارِقَ الْأَرْضِ وَمَغَارِبَهَا الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا

Terjemahnya:
Dan Kami pusakakan kepada kaum yang telah ditindas itu, negeri-negeri bahagian timur bumi dan bahagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya....(al-A'raf : 137)
وَنَجَّيْنَاهُ وَلُوطًا إِلَى الْأَرْضِ الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا لِلْعَالَمِينَ
Terjemahnya:
Dan Kami seIamatkan Ibrahim dan Luth ke sebuah negeri yang Kami telah memberkahinya untuk sekalian manusia.( al-Anbiyaa : 71)

e)    Ardhi Misr( Mesir)
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَىٰ خَزَائِنِ الْأَرْضِ ۖ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
Terjemahnya:
Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan".(Yusuf: 55)

4.         Kata ad-Du’a mempunyai 6 ragam makna dalam ayat Al-Qur’an, yaitu :
a)    al-Ibadah
ولا تدع من دون الله ما لا ينفعك ولا يضرك
Terjemahnya:
 Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah...(Yunus:106)



b)   al-Isti’anah (meminta pertolongan)
وادعوا شهداءكم
Terjemahnya:
 ....dan ajaklah penolong-penolongmu ....(al-Baqarah:3)

c)    as-Sual (Permintaan secara umum)
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ

Terjemahnya:
Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu,.....(Ghâfir: 60)

D.    Urgensi Wujuh wa Nazha’ir
            Adapun beberapa urgensi dari wujuh wan nazair sebagai kaidah dalam penafsiran, diantaranya:
1.      Menunjukkan kemu’zijatan al-Qur’an dari segi bahasa atau linguistik dan juga menunjukkan begitu kayanya bahasa yang terdapat dalam al-Qur’an.
2.      Sebagai kaidah dalam penafsiran, maka wujuh wan nazair ini berguna untuk mempermudah dalam menafsirkan al-Qur’an.
3.      Konsekuensi dari pengetahuan terhadap wujuh wan nazair itu mendapatkan pemahaman yang benar sesuai kondisi objek teks atau firman tertulis dalam bahasa itu sendiri.
4.      Kaidah kebahasaan tidak bisa dilepaskan dalam menafsirkan al-Qur’an. Ini merupakan salah satu bukti konkret yang tidak bisa dielakkan.
5.      Dalam menafsirkan al-Qur’an selain memperhatikan teksnya, juga memperhatikan konteksnya, karena tidak semua lafadz-lafadz yang ada dalam ayat al-Qur’an itu menghendaki makna dasarnya (sesuatu yang melekat pada kata itu sendiri, yang selalu terbawa dimanapun kata itu diletakkan), terkadang yang dikehendaki adalah makna relasionalnya (sesuatu yang konotatif yang diberikan dan ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakkan kata itu pada posisi khusus dalam bidang khusus).

DAFTAR PUSTAKA

al-‘Awwa, Salwa Muhammad. al-Wujuh wa al-Nazhair fi al-Qur’an al-Karim. Kairo: Dar el-Syuruq. 1998.

ad-Damighani, Husain bin Muhammad. Qomus al-Qur'an au Ishlah al-Wujuh wa an-Nazhair fi al-Qur'an al-Karim. Beirut: Dar al-'Ilm li al-Malayyin: 1983.
             
aj-Jauziy, Jamaluddin. Nuzhatul al- A’yan al-Nawazhir fi ‘Ilmi al-Wujuh wa al-Nazha’ir fi al-Qur’an al-Karim.

asy-Syuyuthi, Jalaluddin. al-Itqan fi ‘Ulumi al-Qur’an.Beirut, Dar al-Fikr, 1999.

az-Zarkasyi, Badruddin Muhammad bin Abdullah, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an. Beirut, Dar al-Kutub ‘Ilmiyyah.

al-‘Awwal, Salwa Muhammad. al-Wujuh wa al-Nazhair fi al-Qur’an al-Karim. Kairo: Dar el-Syuruq. 1998.]

Al-Shuyuti, Jalaluddin. Al-Itsqan fi Ulum al-Qur’an Juz 1 hlm. 164. Maktabah al-Syamilah. Pustaka Ridwana. 2008

Al-Zarkasyi. Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an Juz 1 hlm. 102. Maktabah al-Syamilah. Pustaka Ridwana. 2008.

Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir. Yogyakarta: UPBIK Pondok Pesantren Krapyak.

Az-Zarkasyi. Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an Juz 1. Maktabah al-Syamilah. Pustaka Ridwana. 2008

As-Shuyuti, Jalaluddin. Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an Juz 1 hlm. 164. Maktabah al-Syamilah. Pustaka Ridwana. 2008

Poespoprodjo, Interprestasi : Beberapa Catatan Pendekatan Filsafatinya, Bandung : Remaja Karya, 1987.

Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama : Sebuah Kajian Hermeneutk, Jakarta : Paramadina,1996.





[1]Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya ( Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur'an, 1990), h. 348.
[2] Muhammad Al-Gazāli, Kai>fa Nata'āmal Ma'a Al-Qur'ān ( Cet. I; Kairo: Al-Ma'had Al-A<lami li Al-Fikr Al-Islāmi, 1991), h. 233.
[3]Muhammad Al-Gazāli, Kai>fa Nata'āmal Ma'a Al-Qur'ān., h. 237.
[4]Mardan, Al-Qur'an; Sebuah Pengantar Memahami Al-Qur'an Secara Utuh (Cet. I; Makassar: CV. Berkah Utami, 2009), h. 254.
[5]Manna' al-Qaṭṭān,  Mabāhi Fi 'Ulūm al-Qur'ān (Cet. II; Kairo: Dār al-Taūfiq, 2005), h. 260.
[6]Jalāl al-Di>n 'Abd al-Rahmān bin Abi> Bakr  al-Sayūt{ī,  Al-Itqān Fi 'Ulu>m al-Qur'an, Juz II (Cet. I; Kairo: Maktabah al-Shafā, 2006), h. 176.
[7]al-Sayūt{ī,  Al-Itqān Fi 'Ulu>m al-Qur'an., Juz II,  h. 180.
[8] Muhammad Bin Alwi Al-Maliki Al-Hasaniy “Zubdatul Itqon Fiy ‘Ulumil Qur’an” Hal. 70 Beirut : Dar El-Fikr
[9] A.W Munawwir “Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia” Krapyak Yogyakarta
[10] Imam jalaludin assuyuthi “al-itqon fiy ‘ulumil qur’an” maktabah shamela
[11]Dalamkitabnya, Muqatilmenuliskansebuahhadismarfu’:
لا يكونs الرجل فقيها كل الفقه حتى يرى للقرآن وجوها كثيرة
Artinya: Seseorang tidak akan benar-benar paham al-Qur’an sebelum ia mengetahui makna yang beragam dalam al-Qur’an.
[12]Ali bin AbiThalibtatkalaiamengutusIbnu ‘Abbas kekaumKhawarij,berkata:
اذهب اليهم فخصامهم ولا تحاجهم بالقرآن فإنهم حمال ذو وجوه ولكن خاصمهم باسنة
[13] Salwa Muhammad al-’Awwa, al-Wujuh wa al-Nazhair fi al-Qur’an al-Karim (Kairo: Dar el-Syuruq, 1998), hlm. 19.
[14]Salwa Muhammad al-’Awwa, al-Wujuh wa al-Nazhair fi al-Qur’an al-Karim (Kairo: Dar el-Syuruq, 1998), hlm. 42
[15] Al-Shuyuti, Al-Itsqan fi Ulum al-Qur’an Juz 1 hlm. 164. Maktabah al-Syamilah, Pustaka Ridwana, 2008.
[16] Salwa Muhammad al-’Awwa, al-Wujuh wa al-Nazhair ..., hlm. 44.
[17] Salwa Muhammad al-’Awwa, al-Wujuh wa al-Nazhair ..., hlm. 41.
[18] Setelah dihitung, ternyata kitab ini justru menuliskan delapan belas tunjukan dari kata al-huda. Sementara jika dibandingkan dengan al-Burhan karya Imam Zarkasyi kata ini memiliki tujuh belas makna. Perbedaannya pada makna al-tsabat yang tidak ada pada al-Burhan dan terdapat pada al-Itsqan. Pada ringkasan Kitab al-Itsqan sendiri, yaitu Samudra Ilmu-ilmu Al-Quran, kata huda hanya memiliki tujuh belas makna, namun Muhammad Ibn ‘Alawi al-Maliki (penyusun) meninggalkan makna kata itu yang merujuk kepada Nabi Muhammad SAW. Pada kata-kata berikutnya terdapat perbedaan lainnya, seperti kata al-su’ yang hanya memiliki tujuh makna dalam Samudra Ilmu-ilmu Al-Quran, ternyata pada kitab aslinya, Al-Itsqan justru memiliki sebelas makna. Begitu juga dengan buku Al-Qur’an dan Ulum Qur’an hanya menuliskan tujuh belas tunjukan dari kata al-huda, tanpa ada makna al-irsyad.
[19] Kata-kata yang termasuk kategori wujuh tidak mesti memiliki makna yang dekat antara makna pada suatu tempat dengan pemakaiannya pada tempat lain. Pemaknaannya tergantung kepada konteks dan kalimat-kalimat yang menjadi relasinya dalam membentuk suatu totalitas pesan yang memiliki makna tertentu. Ia juga berbeda dengan pembahasan lafz al-musytarak, karena wujuh belum tentu musytarak dan mustarak belum tentu wujuh. Keduanya berbeda. Jalaluddin al-Shuyuti, Al-Itsqan fi Ulum al-Qur’an Juz 1 hlm. 164-166.
[20]Setelah di cetak berubah judul  jadi: Mu’tariku al-aqran fi I’zazy al-Qur’an.
[21] Mu’tariku al-aqran fi I’zazy al-Qur’an., hlm. 42.
[22] Drs.Muhammad Chirzin, . Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 2003), hlm. 207.
[23] Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia : Pendekatan Semantik Terhadap Al-Qur’an, terjemah Agus Fahri Husein dkk. (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1997), Hlm.12
[24] Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia : Pendekatan Semantik Terhadap Al-Qur’an, terjemah Agus Fahri Husein dkk. (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1997), Hlm. 11
[25] Poespoprodjo, Interprestasi : Beberapa Catatan Pendekatan Filsafatinya (Bandung : Remaja Karya, 1987), hlm.117
[26] Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hemeneutik (Jakarta: Paramidana, 1996), hlm.9

Comments

BERITA TERBARU !!

Popular posts from this blog

BIL MA'TSUR ( TAFSIR AYAT DENGAN AYAT )

download TAFSIR AL-NASAFIY

cara atau Kaedah al-Jarh Wa al-Ta’dil Serta Aplikasinya

CARA MELAKUKAN TAKHRIJ HADIS

HADIS TARBAWIY DAN AKHLAK (BERKURANGNYA IMAN KARENA MAKSIAT)

kaedah 'ATAF - AL-'ATFU DALAM AL-QUR'AN

cara TAMBAHAN - kaedah ZIYADAH DALAM AL-QUR'AN

apa contoh MUKJIZAT AL-QUR'AN (Pengertian dan Pembagiannya)

cara melakukan MUNASABAH AYAT

QAWAIDH AL-TAHDIS (Pengertian , Ruang Lingkup dan Urgensinya )