KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS

KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS Pendahuluan latar belakang Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah dua sumber utama ajaran Islam. Oleh karena itu, keduanya selalu dijadikan landasan keyakinan, ritual, adat istiadat, etika, ekonomi, politik, peradaban dan seluruh aspek kehidupan umat Islam, baik yang sakral maupun duniawi, pada tataran ¥ abl minallah (vertikal) dan ¥ abl min al. -n ± s (horizontal).

QAWAIDH AL-TAFSIR

OLEH ; ZAHARUDDIN


 
QAWAIDH AL-TAFSIR



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Untuk mendalami bidang tafsir, seseorang memerlukan beberapa alat bantu, diantaranya kaidah-kaidah tafsir. Alat bantu lainnya ialah ilmu ushul fiqih dan pengetahuan bahasa Arab, karena Qur’an di turunkan dengan bahasa itu. M. Quraish Shihab mengemukakan komponen-komponen yang tercakup dalam kaidah-kaidah tafsir sebagai berikut. Pertama, ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam menafsirkan Qur’an. Kedua, sistematika yang hendaknya ditempuh dalam menguraikan penafsiran. Ketiga, patokan-patokan khusus yang membantu pemahaman ayat-ayat Qur’an, baik ilmu bantu, seperti bahasa Arab dan ushul fiqih maupun yang ditarik langsung dari penggunaan al- Qur’an. Dan mesti memperhatikan segi-segi bahasa al-Qur’an serta korelasi antar surat tanpa mengabaikan kaidah-kaidah kebahasaan. Tanpa memiliki pengetahuan yang memadai tentang kaidah dan aturan bahasa Arab, maka cenderung melakukan penyimpangan dalam menafsirkan Al-Qur’an dan memberikan arti etimologis, arti hakiki maupun arti kiasan.
Faktor-faktor yang menyebabkan kekeliruan dalam menafsirkan al-Qur’an:
1.    Subjektivitas mufassir.
2.    Kekeliruan dalam menerapkan metode atau kaidah.
3.    Kedangkalan dalam ilmu-ilmu alat.
4.    Kedangkalan pengetahuan tentang materi Al-Qur’an (pembicaraan) ayat.
5.    Tidak memperhatikan konteks, baik asbabul nuzul, hubungan antar ayat, maupun kondisi sosial masyarakat.
6.    Tidak memperhatikan siapa pembicara dan terhadap siapa pembicaraan ditujukan.
Untuk menghindari kesalahan tersebut, para mufassir membuat kaidah-kaidah penafsiran: kaidah dasar tafsir, kaidah isim dan fi’il, kaidah amar dan nahi, kaidah istifham, kaidah ma’rifah dan nakirah, kaidah mufrod dan jama’, kaidah tanya jawab, kaidah wujuh dan nazha’ir, kaidah dhomir, muzakar, dan muannas, kaidah syarat dan hadzf al-jawab al-syarth, kaidah hadzful maf’u, dan kaidah umum dan sebab khusus.

B. Rumusan Masalah
1.    Bagaimana esensi Qawa>id{ al-Tafsi>r ?
2.    Bagaimana Eksistensi Qawa>id{ al-Tafsi>r ?
3.    Dan apa untuk apa mempelajari Qawa>id{ al-Tafsi>r ?
 
BAB II
PEMBAHASAN

A. Esensi Qawa>id{ al-Tafsir
Kaidah-kaidah tafsir dalam Bahasa Arab dikenal dengan istilah qawa’id al-tafsir, terdiri dari dua kata yaitu qawa’id dan al-tafsir. Kata ﻗﻭﺍﻋﺩ merupakan bentuk jamak dari ﻗﺎﻋﺩﺓ yang berarti undang-undang, peraturan, dan asas. Secara istidah didefinisikan dengan undanng-undang, sumber, dasar yang digunakan secara umum yang mencakup semua yang partikular.[1]
Adapun kata ﺍﻠﺗﻔﺴﻴﺮ secara bahasa berasal dari kataﻓﺴﺮ -ﻴﻔﺴﺮ -ﺗﻔﺴﻴﺮ yang berarti mengungkapkan atau menampakkan.[2] Menurut al-Zarkasyi tafsir merupakan ilmu yang dengannya didapatkan pemahaman terhadap kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw mengenai penjelasan maknanya, serta pengambilan hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya. Sedangkan menurut al-Zarqani arti tafsir adalah ilmu yang di dalamnya dibahas petunjuk-petunjuk al-Quran yang dimaksudkan oleh Allah swt dan diperoleh berdasarkan atas kemampuan manusia.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa ﻗﻭﺍﻋﺩﺍﻠﺗﻔﺴﻴﺮ adalah pedoman-pedoman yang disusun oleh ulama’ dengan kajian yang mendalam guna mendapatkan hasil yang maksimal dalam memahami makna-makna al-Quran, hukum-hukum, dan petunjuk-petunjuk yang terkandung di dalamnya.[3]


B. Eksistensi Qawa>id{ al-Tafsir
Kaidah-kaidah ilmu tafsir Al-Quran sangat tinggi nilainya, dan manfaatnya juga sangat besar. Serta dapat membantu kita untuk memahami kalamullah dan dapat dijadikan penuntun untuk mendapatkan pemahaman yang sempurna. Kaidah-kaidah memberikan seseorang metode-metode menafsirkan Al-Quran dan merintis jalan kepada manhajj (sistem) pemahaman tentang Allah.[4]
Secara ringkas kaidah-kaidah ilmu tafsir al-Quran ada lima, yaitu kaidah quraniyah, kaidah sunnah, kaidah bahasa, kaidah ushul al-fiqh, dan kaidah ilmu pengetahuan. Berikut akan dijelaskan mengenai kaidah-kaidah ilmu tafsir al-Quran satu-persatu.
1.  Kaidah Quraniyah
Kaidah quraniyah ialah penafsiran al-Quran yang diambil oleh ulumul quran dari al-Quran. Beberapa kaidah yang lazim digunakan dalam menjelaskan kaidah quraniyah antara lain sebagai berikut:

a.    ﺍﻠﻌﺑﺮﺓﺑﻌﻤﻭﻢﺍﻠﻠﻔﻅﻻﺑﺧﺻﻭﺺﺍﻠﺴﺑﺐ[5]
Maksudnya yaitu jika satu nas menggunakan redaksi yang bersifat umum, maka tidak ada pilihan lain selain menerapkan nas tersebut, sekalipun nas tersebut turun untuk menanggapi suatu peristiwa tertentu. Kaidah ini dipegang oleh mayoritas ulama dengan argumentasinya yang bervariatif.[6] Misalnya pada QS Al-Maidah: 38         
 ﻭﺍﻠﺴﺎﺭﻕﻭﺍﻠﺴﺎﺭﻗﺔﻓﺎﻗﻄﻌﻭﺍﺍﻳﺩﻳﻬﻣﺎﺟﺯﺍﺀﺑﻣﺎﻛﺴﺑﺎﻧﻜﺎﻻﻣﻦﺍﷲﻭﺍﷲﻋﺯﻴﺯﺤﻜﻴﻢ
Artinya:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

 Dalam menanggapi ayat tersebut jumhur ulama terbagi menjadi dua, yaitu:
a)    Menerapkan  langsung hukum tersebut tanpa memandang latar belakang dan sabab al-nuzul. Maksudnya yaitu Allah swt Maha Perkasa dan Maha Bijaksana, maka Ia memerintahkan memotong tangan pencuri dan menetapkan sanksi kepada orang-orang yang melampaui batas sebagai hukum, takdir, dan ganjaran bagi mereka.
b)   Mengetahui sebab nuzulnya kemudian menganalisa unsur-unsur yang melingkupinya, baik kualitas peristiwa, pelaku, tempat, maupun waktunya. Maksudnya yaitu Allah Maha Bijaksana maka apabila orang tersebut bertaubat dan kembali ke jalan Allah, maka Allah akan mengampuni dan mengasihinya. Maka demikian pula hendaknya kita sebagai manusia juga bisa memaafkan orang tersebut.

b.    Kandungan   suatu   ayat   yang   memiliki   keterkaitan   dengan   nama  Allah menunjukkan bahwa hukum yang terkandung berkaitan dengan nama yang mulia. Misalnya  QS  Al-Baqarah:  32    
  
 ﻗﺎﻠﻭﺍﺴﺑﺤﻧﻚﻻﻋﻠﻢﻠﻧﺎﺍﻻﻤﺎﻋﻠﻤﺗﻧﺎﺍﻧﻚﺍﻧﺖﺍﻠﻌﻠﻴﻢﺍﻠﺤﻜﻴﻢ
Artinya: 
Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ayat tersebut merupakan lanjutan dari ayat sebelumnya mengenai dialog Tuhan dengan para malaikat berkenaan dengan pengangkatan Adam sebagai khalifah di bumi. Terhadap upaya Tuhan yang demikian, malaikat heran dan mengatakan: “Apakah Engkau akan menjadikan manusia sebagai khalifah, padahal manusia sering membuat kerusakan dan saling membunuh?” untuk membuktikan kamahatahuan Tuhan, Dia mengajarkan Adam nama-nama benda yang tidak diketahui malaikat. Ketidakmampuan malaikat dalam hal ini mengakui kemahatahuan Tuhan, kesempurnaan hikmah-Nya dan membuktikan keterbatasannya. Kekeliruan pandangan malaikat ini digambarkan dalam ungkapan: ﺍﻧﻚﺍﻧﺖﺍﻠﻌﻠﻴﻢﺍﻠﺤﻜﻴﻢ.
c.    Kaidah yang bertalian dengan mutasyabihat dan muhkamat.
Ayat yang muhkamaat ialah ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah. Sedangkan pengertian ayat-ayat mutasyaabihaat adalah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam; atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain.[7]
Contoh ayat muhkamat adalah QS Al- An’am: 154,
ﺜﻢﺍﺘﻴﻨﺎﻣﻮﺳﻰﺍﻠﻜﺘﺐﺘﻣﻣﺎﻣﺎﻋﺎﻰﺍﻠﺬﻱﺍﺣﺳﻥﻮﺘﻔﺼﻴﻼﻠﻜﻞﺸﻲﺀﻮﻫﺪﻯﻮﺭﺭﺣﻤﺔﻠﻌﻠﻬﻢﺑﻠﻘﺎﺀﺭﺑﻬﻢ ﻳﺆﻤﻨﻮﻥ
Artinya:
Kemudian Kami telah memberikan kepada Musa Kitab (Taurat) untuk menyempurnakan (nikmat Kami) kepada orang yang berbuat kebaikan, untuk menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk dan rahmat agar mereka beriman akan adanya pertemuan dengan Tuhannya.
Sedangkan contoh ayat mutasyabihat adalah huruf-huruf penggalan (al-huruf al-muqatha’ah) yang terdapat pada awal surat, seperti lafad alif-lam-mim, alif-lam-ra, ha-mim, dan sebagainya.[8]

2.  Kaidah Sunnah
Berdasarkan QS An-Nahl ayat 44 dan 64, Nabi Muhammad sebagai Rasul yang datang untuk menjelaskan ayat-ayat yang diturunkan Tuhan. Dengan demikian, maka rasul merupakan sumber penjelas tentang makna-makna Al-Quran. Beliau tidak menafsirkan menurut akal pikiran, tetapi menurut wahyu Ilahi.[9]
Kaidah yang dipergunakan diantaranya ialah:
a.    Sunnah  harus  dipakai  sesuai  dengan  petunjuk  Al Quran. Secara logika penjelasan itu tidak boleh bertentangan dengan al-Quran sebagai materi yang dijelaskannya. Dengan demikian penjelasan Nabi saw selalu dalam kerangka al-Quran. Hal itu terbukti dengan tidak ditemukannya hadis shahih yang bertentangan dengan al-Quran.
b.    Menghimpun  hadis  yang  pokok  bahasannya  sama.  Hadis  yang  dimaksud dalam hal ini adalah hadis yang shahih, yaitu dengan cara mengembalikan kandungan yang mutasyabih kepada yang muhkam, mengkaitkan yang mutlak kepada yang muqayyad, dan menkhususkan yang umum. Dengan demikian, akan didapatkan suatu pemahaman yang benar dan utuh berdasarkan suatu ketetapan bahwa hadis berfungsi manafsirkan al-Quran dan menjelaskan maknanya, menjelaskan makna globalnya, menjelaskan makna yang belum terungkap, dan sebagainya.

3.  Kaidah Bahasa
Al Quranul Karim diturunkan kepada umat manusia dengan berbahasa Arab. Hal ini dapat dibuktikan dalam QS Yusuf: 2                     
 ﺍﻨﺎﺍﻨﺰﻠﻨﻪﻗﺮﺍﻨﺎﻋﺮﺑﻴﺎﻠﻌﻠﻜﻢﺘﻌﻘﻠﻮﻥ
Artinya:
Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. Oleh karena itu, berarti tidak ada jalan lain bagi umat Islam untuk memahaminya kecuali dengan menguasai dan memahami bahasa Arab. Di antara kaidah-kaidah yang harus dipahami antara lain:

a.    Dhomir
Secara bahasa dhamir berasal dari kata dasar al-dhumur yang berarti kurus kering, sebab dilihat dari bentuknya memang terlihat ringkas dan kecil. Kata dhamir juga bisa diambil dari kata al-adhmar yang berarti tersembunyi, sebab banyak yang tidak tampak dalam bentuk nyatanya.[10] Sedangkan secara istilah, dhamir adalah lafazh yang digunakan sebagai pengganti, baik kata ganti untuk orang pertama (dhamir mutakallim), orang kedua (dhamir mukhattab), maupun orang ketiga (dhamir ghaib).[11]




b.    Al-Ta’rif dan Al-Tankir (Isim Ma’rifah dan Isim Nakirah)
Secara terminologis para ahli bahasa (ahl an-nahw) mendefinisikan isim ma’rifah sebagai isim yang menunjukkan sesuatu yang sudah jelas.[12]  Dalam bahasa Arab ism al-ma’rifah mempunyai peran penting, baik secara sintaksis maupun sistematis. Secara umum dapat dikatakan bahwa fungsi ism al-ma’rifah adalah untuk menunjukkan bahwa kata yang bersangkutan adalah ma’ruf (diketahi) atau untuk ta,rif.[13] Sedangkan yang dimaksud dengan ism al-nakirah merupakan kebalikan dari ism al-ma’rifah, yaitu isim yang menujukkan sesuatu yang belum jelas pengertiannya. Definisi lain menyebutkan bahwa ism al-nakirah adalah setiap isim yang pantas baginya kemasukkan alif-lam.[14]
c.    As-Sual wa Al-Jawab
Kaidah yang dipergunakan antara lain:
1)   Jawaban menyimpang dari soal
Misalnya: QS al-Baqarah: 189  
         ﻳﺴﺄﻠﻮﻨﻚﻋﻋﻥﺍﻷﻫﻠﺔﻗﻞﻫﻲﻣﻮﺍﻗﻴﺖﻠﻠﻨﺎﺱﻮﻮﺍﻠﺤﺞ
Artinya:
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.

Asbab al-Nuzul ayat ini adalah bahwa ada sekelompok orang yang menanyakan kepada Rasulullah saw tentang bulan sabit (al-ahillah), kenapa semula ia tampak kecil seperti benang, kemudian lama-kelamaan berubah sedikit demi sedikit menjadi purnama, lalu ia menyusut kembali seperti keadaan seperti semula?[15]
Secara logika, pertanyaan itu seharusnya dijawab dengan menerangkan proses perubahan yang terjadi pada bulan tersebut. Namun terhadap pertanyaan yang demikian itu, jawaban yang diberikan al-quran kepada mereka adalah berupa penjelasan tentang hikmahnya, dengan alasan untuk mengingatkan mereka bahwa yang lebih penting untuk dipertanyakan adalah hikmah dari bulan sabit, bukan seperti yang mereka pertanyakan.[16]
2)   Jawaban lebih umum dari apa yang ditanyakan, karena memang hal itu dianggap perlu.[17]
Misalnya: QS Thaha: 18
 ﻗﻞﻫﻲﻋﺼﺎﻱﺃﺘﻮﻜﺄﻋﻠﻴﻬﺎﻮﺃﻫﺶﺒﻬﺎﻋﻠﻰﻏﻨﻤﻲﻮﻠﻲﻓﻴﻬﺎﻤﺎﺭﺏﺃﺧﺭﻯ
Artinya:
Berkata Musa: Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lain keperluan yang lain padanya.
Ayat tersebut merupakan jawaban dari pertanyaan yang disebutkan pada ayat sebelumnya, yaitu QS Thaha: 17   
        ﻮﻤﺎﺘﻠﻚﺑﻴﻤﻨﻚﻴﺎﻤﻮﺳﻰ
Artinya:
Apakah ini yang di tanganmu, hai Musa?
Dalam ayat ini, sebenarnya Allah hanya mempertanyakan kepada Nabi Musa perihal apa yang ada di tangan kanannya. Kemudian, pertanyaan itu oleh Nabi Musa dijawab bahwa yang ada di tangan kanannya adalah tongkat. Dengan jawaban yang demikian, sebenarnya sudah mencukupi bagi si penanya dan sudah dapat dipahami, namun Nabi Musa menambahkan dalam jawabannya sesuatu yang terkait dengan fungsi tongkat tersebut, yaitu untuk bertelekan, memukul daun, dan beberapa fungsi lainnya. Hal yang demikian, dilakukan Nabi Musa karena ia merasa senang dengan pertanyaan yang dilontarkan Allah kepadanya.[18]
3)   Jawaban terhadap suatu pertanyaan yang diajukan bersifat lebih sempit cakupannya.
Misalnya: QS Yunus: 15
            ﻗﻞﻤﺎﻴﻜﻮﻥﻠﻰﺃﻥﺃﺑﺪﻠﻪﻤﻥﺗﻠﻘﺎﺀﻧﻔﺴﻰ
Artinya:
Katakanlah: Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri.
Ayat tersebut merupakan jawaban terhadap pertanyaan yang disebutkan sebelumnya (pada ayat yang sama), yaitu:
 ﻗﺎﻞﺍﻠﺬﻳﻥﻻﻳﺮﺟﻮﻥﻠﻘﺎﺀﻧﺎﺍﺋﺖﺑﻘﺮﺍﻥﻏﻳﺮﻫﺬﺍﺍﻮﺑﺪﻟﻪ
Artinya:
Orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan kami berkata: Datangkanlah kitab selain Al-Qur’an ini atau gantilah.
Dalam ayat tersebut setidaknya ada dua pertanyaan pokok, yaitu perintah untuk mendatangkan al-Quran yang lain, dan jikalau tidak dapat maka disuruh untuk menggantinya. Terhadap pertanyaan ini, jawaban yang diberikan al-Quran tidak mencakup kedua hal dimaksud, tetapi hanya terfokus pada satu hal, yaitu yang terkait dengan perintah untuk menggantinya. Hal ini mengingat bahwa mengganti itu lebih mudah daripada menciptakan kembali. Jika mengganti saja sudah tidak mampu, apalagi untuk menciptakan pasti akan lebih sulit.[19]

d.    Jumlah Ismiyah dan Jumlah Fi’liyah
Jumlah ismiyah atau kalimat nominal menunjukkan arti subut (tetap) dan istimrar (terus-menerus), sedang jumlah fi’liyah atau kalimat verbal menunjukkan arti tajaddud (timbulnya sesuatu) dan hudus (temporal). Masing-masing kalimat ini mempunyai tempat tersendiri yang tidak bisa ditempai oleh yang lain. Misalnya tentang infaq yang diungkapkan dengan kalimat verbal (jumlah fi’liyah), seperti dalam  surah Ali ‘imran:134
ﺍﻟﺬﻳﻥﻳﻨﻔﻘﻮﻥﻓﻰﺍﻟﺴﺮﺍﺀﻮﺍﻟﻀﺮﺍﺀﻮﺍﻟﻜﺎﻇﻤﻴﻥﺍﻟﻐﻴﻅ‏ﻮﺍﻟﻌﺎﻓﻴﻥﻋﻥﻥﺍﻟﻨﺎﺱﻮﷲﻴﺤﺐﺍﻟﻤﺤﺴﻨﻴﻥ

 Artinya:
(Yaitu) orang-orang yang berinfaq, baik di waktu lapang maupun sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang berbuat kebaikan.

Contoh kalimat nominal (jumlah ismiyah) yaitu tentang keimanan, seperti dalam QS al-Hujurat:15
ﺍﻨﻤﺎﺍﻟﻤﺆﻤﻨﻮﻥﺍﻟﺬﻴﻥﺍﻤﻨﻮﺑﷲﻮﺭﺴﻮﻟﻪﺛﻢﻟﻢﻴﺭﺗﺎﺑﻮﺍﻮﺟﺎﻫﺪﻮﺍﺑﺎﻣﻮﺍﻟﻬﻢﻮﺍﻧﻔﺴﻬﻢﻓﻲﺴﺑﻴﻞﷲﺍﻮﻟﺌﻚﻫﻢﺍﻟﺼﺪﻗﻮﻥ


Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.
Hal ini dikarenakan infaq merupakan suatu perbuatan yang bersifat temporal yang terkadang ada dan terkadang tidak ada. Lain halnya dengan keimanan, ia mempunyai hakikat yang tetap berlangsung selama hal-hal yang menghendakinya masih ada.[20]

e.    Mashdar
Cara menunjukkan sesuatu yang diwajibkan adalah dengan menggunakan mashdar dengan bacaan marfu’ ( _ )  dan cara menunjukkan sesuatu yang disunatkan adalah dengan menggunakan mashdar dengan bacaan manshub ( _ ).[21]
Contoh:
1)   QS Al-Baqarah: 229    
       … ﺍﻟﻃﻼﻕﻣﺭﺗﻦﻓﺈﻣﺴﺎﻙﺒﻣﻌﺭﻭﻑﺍﻭﺗﺴﺭﻳﺢﺑﺈﺣﺴﺎﻥ
Artinya:
Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik …

Kata ﺇﻣﺴﺎﻙ (menahan) dan ﺗﺴﺭﻳﺢ (melepaskan) dengan bacaan marfu’ menunjukkan wajibnya ruju’ dan wajibnya cerai.
2)   QS Muhammad: 4  
           … ﻓﺇﺫﺍﻟﻘﻴﺗﻢﺍﻟﺬﻴﻦﻛﻔﺭﻭﺍﻓﻀﺭﺏﺍﻟﺭﻗﺎﺏ

Artinya:
Maka apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang), maka pukullah batang leher mereka. …..
Kata ﻓﻀﺭﺏﺍﻟﺭﻗﺎﺏ (pukullah batang leher) dibaca manshub, menunjukkan sunah memukul kuduk orang kafir dalam keadaan perang.

4.  Kaidah Ushul al-Fiqh
Di antara kaidah-kaidah ini adalah:
a.    Kaidah yang berkaitan dengan al-amr wa al-nahy
Al-amr adalah tuntutan untuk melaksanakan sesuatu pekerjaan dari pihak yang lebih tinggi derajatnya kapada pihak yang lebih rendah. Sedangkan al-nahy merupakan kebalikan dari al-amr. Apabila Allah swt memerintahkan sesuatu berarti melarang untuk melakukan sebaliknya. Apabila Dia memuji terhadap diri-Nya atau kekasih-Nya dengan meniadakan kekurangan sedikit pun berarti menetapkan kesempurnaan. Contoh: Allah memerintahkan berbuat adil berarti Dia melarang berbuat zalim. Larangan berdusta berarti perintah berbuat jujur. Penafian sifat kadzib Rasul saw, berarti penetapan sifat jujurnya.[22]
b.    Kaidah-kaidah ushuli lainnya antara lain:
1)   Am dan KhashAm adalah lafazh yang mencakup seluruh satuan-satuan yang pantas baginya dan tidak terbatas dalam jumlah tertentu.[23] Sedangkan lafazh khash merupakan kebalikan dari lafazh am, yaitu yang tidak menghabiskan semua apa yang pantas baginya tanpa ada pembatasan.
2)   Mujmal dan MubayyanMujmal adalah lafazh yang mengandung dua makna atau lebih, yang kesemuanya masih sulit untuk ditentukan secara pasti mana yang lebih tepat untuknya, karena makna yang dikandung oleh lafazh tersebut sama-sama kuatnya.[24] Sedangkan mubayyan merupakan penjelas terhadap lafazh yang masih mujmal pengertiannya.
3)   Manthuq dan MafhumManthuq adalah sesuatu (makna) yang ditunjukkan oleh ucapan lafazh itu sendiri.[25] Dengan kata lain, pengucapan lafazh itu sendirilah yang memberi jalan bagi kita untuk dapat mengerti maksud kandungannya sehingga tidak ada kemungkinan makna lain kecuali apa yang dapat dimengerti dari teks itu sendiri.[26] Sedangkan mafhum adalah sesuatu (makna) dari suatu lafazh yang ditunjukkan secara tersirat.
4)   Muthlaq dan Muqayyad. Muthlaq adalah suatu lafazh yang menunjukkan kepada satu-satuan tertentu tetapi tanpa adanya pembatasan. Sedangkan yang dimaksud lafazh muqayyad  adalah kebalikan dari lafazh muthlaq. Manna’ al-Qaththan dalam Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an,mendefinisikannya sebagai suatu lafazh yang menunjukkan atas suatu hakikat dengan adanya batasan.
5)   Hakikat dan Majas. Hakikat merupakan suatu lafazh yang tetap pada makna aslinya, dan tidak ada taqdim (makna yang didahulukan) dan ta’khir (makna yang diakhirkan) di dalamnya.[27] Sedangkan majaz adalah lafazh yang digunakan untuk suatu arti, yang semua lafazh itu bukan diciptakan untuknya.[28]

5.  Kaidah Ilmu Pengetahuan
Di samping kaidah-kaidah yang disebutkan di atas, seorang mufasir mesti memiliki ilmu pengetahuan lainnya, seperti perubahan social dan ilmu pengetahuan lainnya. Hal ini didasarkan atas prinsip al-Quran yang diturunkan sebagai rahmah li al-‘alamin. Dengan demikian maka al-Quran akan senantiasa sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat. Contoh: ﺧﻟﻖﺍﻹﻧﺴﺎﻥﻣﻥﻋﻟﻖ. Ayat tersebut mengungkapkan tentang penciptaan manusia. Para ulama berpendapat mengenai kejadian manusia dari kata ﻋﻟﻖ, yaitu darah beku atau segumpal darah yang merupakan keadaan janin pada hari pertama kejadiannya. Pendapat tersebut didukung pula oleh ayat-ayat lain dalam al-Quran, dan didukung pula oleh beberapa hadis Rasul.[29]

6.  Sumber-sumber Qawa>id{ al-Tafsir
1)  Sumber Dasar Tafsir
a)    Tafsir Al-Qur’an Dengan Al-Qur’an
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa al-qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat jibril sebagai pedoman umat manusia. Maka sudah sepantasnya Al-qur’an dijadikan sebagai sumber tafsir yang pertama.[30]
Sebagian besar ayat-ayat Al-qur’an menjelaskan penafsiran terhadap ayat yang lain. Di kalangan para ulama tidak ada perbedaan mengenai hal ini, mereka sepakat bahwa ayat Al-qur’an yang di turunkan sebagai penjelasan atau kelengkapan terhadap ayat lainnya. Terbukti bahwa tidak sedikit ayat Al-qur’an yang menjadi jelas maksudnya ketika ayat itu dikaitkan dengan ayat-ayat lainnya.[31]
Dalam Al-qur’an banyak ayat Al-qur’an yang dijelaskan secara umum di suatu tempat dijelaskan secara terperinci di tempat lain. Bagian yang masih mubham di suatu tempat dijelaskan di tempat lain. Ayat yang menjadi ‘aam pada suatu konteks di takhsiskan pada konteks lainnya.[32] Di antara ayat-ayat Al-qur’an yang menafsirkan ayat lainnya adalah:
·      QS. Al-Baqarah   :    37      dengan QS. Al-A’raf : 23
·      QS. Ad-Dukhan  :    3        dengan QS. Al-Qadr : 1-5
·      QS. Al-Fatihah    :    6        dengan QS. Al-Fatihah : 7
·      QS. Al-Fatihah    :    7        dengan QS. An-Nisa : 68-69

b)   Tafsir Al-Qur’an Dengan As-Sunnah
Yakni Al-qur’an ditafsirkan dengan as-sunnah, karena Rasulullah SAW adalah manusia pilihan Allah yang paling mengetahui maksud maksud yang terkandung dalam firman Allah Ta’ala.Penafsiran Al-qur’an dengan as-sunah ini didasarkan atas firman Allah: QS. An-Nahl : 43-44 “ Dan, tidak ada yang kami atur sebelumnya selain manusia lelaki, kepada mereka kami beri wahyu. Maka tanyakanlah kepada ahli risalah, jika kamu tidak tahu.”(QS. An-Nahl : 43-44).
Dalam buku studi kaidah tafsir Al-qur’an, prinsip Imam Syafi’i yang dikutip Ibn Taimiyah mengatakan bahwa setiap hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW merupakan pemahaman yang berasal dari Al-qur’an. Pendapat ini didasari oleh firman Allah QS. An-Nisa : 4 dan hadist yang diriwayatkan Imam Abu Dawud.[33]
Contoh penafsiran Al-qur’an dengan sunnah, dalam buku studi kaidah tafsir Al-qur’an, Hamka mengutip riwayat dari Abd bin Humaid dari Ar-Rabi’ bin Anas bahwa suatu ketika seseorang bertanya kepada Rasulullah tentang siapa yang di maksud dengan orang-orang yang sesat. Rasulullah menjawab: “ yang dimaksud denga orang-orang yang dimurkai ialah Yahudi dan yang dimaksud dengan orang-orang yang sesat ialah Nasrani.”

c)    Tafsir Al-Qur’an Dengan Qaul Shahabah
Karena sahabat itu adalah orang yang paling dekat dengan Rasulullah. Sehingga mereka di jadikan sumber kaidah tafsir setelah Rasulullah.Yakni menafsirkan Al-qur’an dengan perkataan sahabat, terutama kalangan shahabat yang menguasai tafsir, karena Al-qur’an diturunkan dengan bahasa mereka dan pada zaman mereka, karena merekalah generasi –setelah para anbiya- yang paling jujur dalam mencari Al Haq.[34]
Kalangan ulama berbeda pendapat tentang kedudukan tafsir sahabi ini. Al-Hakim, seperti dikutip as-Suyuti dalam buku studi kaidah tafsir Al-qur’an berpendapat bahwa tafsir sahabat yang menyaksikan turunnya wahyu itu dinilai marfu’. Ulama lainnya, dan Ibnu Shalah, serta ulama muta’akhirin berpendapat bahwa tafsir sahabi yang dinilai marfu’ itu khusus dalam bidang Asbabun Nuzul.[35] Selain itu dinilai mauquf.
Contoh penafsiran Al-qur’an dengan ucapan shahabat adalah surat Al Maidah:
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ

“Dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan,” disebutkan dalam riwayat yang shahih dari Ibn Abbas bahwa beliau menafsirkan al mulaamasah (menyentuh) dengan jima’ (berhubungan suami istri).

d)   Tafsir Tabi’in
Sebagian ulama memandang bahwa tafsir tabi’in itu adalah ma’tsur karena sebagian besar penafsiran mereka diterima dari sahabat Nabi SAW, bukan dari nabi langsung. [36]Dan sebagian lagi menilai bahwa tafsir tabi’in ini adalah tafsir bir ra’yi.Lagi-lagi dalam buku studi kaidah tafsir Al-qur’an Imam Az-Zarani mengelompokkan tafsir tabi’in ini dalam dua macam: Pertama, Tafsir yang dalil-dalilnya memenuhi persyaratan shahih dan diterima. Kedua, Tafsir yang dalil atau sumbernya tidak shahih karena beberapa faktor.[37]

7.  Israiliyat
Kisah israiliyat itu ada yang dibuat-buat dan ada yang benar. Oleh karena itu kisah israiliyat itu ada yang diterima dan ada yang tidak diterima. Standar dari diterimanya kisah israiliyat adalah apabila kisah itu tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits. Dan sebagaimana yag kita ketahui bahwa kisah israiliyat itu banyak terdapat didalam hadits. Adapun kenapa hadits israiliyat itu dapat diterima? Maka dilihat dari kualitas haditsnya. Jika kualitas haditsnya bagus, maka hadits tentang israiliyat tersebut dapat diterima. Sedangkan cerita israiliyat yang tidak diterima karena tidak sesuai dengan al-Qur’an dan hadits.
Al-Qur’an banyak mengandung apa yang datang dari Taurat dan Injil, terutama yang berkaitan cerita tentang para Nabi dan berita para umat. Akan tetapi kisah-kisah dalam al-Qur’an itu bentuknya secara global hanya untuk mengambil ‘ibroh dan pelajaran tanpa menyebutnya secara terperinci. Seperti cerita-cerita yang telah terjadi, seperti nama-nama negeri dan nama orang disebut dengan perorangan dan khusus. Adapun kitab Taurat dan Injil menjelaskan hal tersebut secara terperinci.

C. Tujuan Qawa>id{ al-Tafsir
Al Quran yang memperkenalkan dirinya antara lain sebagai hudan Li al- anas dan sebagai Kitab yang diturunkan agar manusia keluar dari kegelapan menuju terang benderang (QS 14:1), Maka untuk mencapai misi di atas seorang mufasir membutuhkan kaidah-kaidah tafsir dengan harapan dan tujuan:
1)   Pembaca tidak kehilangan arah ketika menafsirkan ayat-ayat Al Quran dan tetap menemukan petunjuk Al Quran.
2)   Pembaca tidak perlu lagi harus mempelajari segala macam kitab tafsir, yang beberapa diantaranya justru tidak menggunakan pedoman-pedoman dasar dan kaidah penafsiran al Quran.
3)   Memudahkan seseorang dalam menafsirkan Al Quran.[38]


DAFTAR PUSTAKA


Ahmad, izzan. studi kaidah tafsir Al-Qur’an, humaniora: penerbit buku pendidikan,. Bandung, 2009

Kemeneterian Agama, Republik Indonesia. Al-Qur’an dan tafsirnya, Jakarta , lentera abadi, 2010.

Ahmad, izzan. Metodelogi Ilmu Tafsir, humaniora, 2007. Bandung

Quraish Shihab, Muhammad. Kaidah Tafsir, Tangerang, lentera hati, 2013.

Assobuny, Muhammad. Ali. At-Tibyan fi Ulumil Quran, Jakarta , darul kitab al-Islamiyah,. 2003

Khalil al-Qattan, Manna. Mannaul Qattan Mabahits fi ulumil Quran.

Nizham,Abu.” Buku pintar al quran”..Jakarta:Qultum Media. 2008

Asy syirbashi, Ahmad..”Sejarah Tafsir Quran”. Jakarta:Pustaka Firdaus. 1994

Al Utsaimin, Muhammad bin Saleh.”Dasar-dasar penafsiran Al Quran”.  Semarang: Dina Utama. 1989

Shihab, M. Quraish.. “Membumikan Al-Qur’an”.Bandung : Mizan, 1999

Supiana-M. Parman,. “Ulum ul Qur’an”.Bandung : Pustaka Islamika. 2002

Ash Shiddieqy,hasbi..Ilmu-Ilmu Al Quran. Jakarta: bulan bintang, 1972

              .. “Sejarah dan Pengantar Ilmu Al Quran Dan Tafsir”. Semarang : pustaka rizki utama, 1999



[1] Louis Ma’luf. Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, cet. 38. Beirut: Dar al-Masyriq. 1986. h. . 463.
[2] Abu al-Husain Ahmad. Mu’jam Maqayis al-Lughah, juz. 4. Beirut: Dar al-Jail. 1976. h. . 13.
[3] M. Alfatih Suryadilaga, dkk. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras. 2005. h. . 55.
[4]Syaikh  Abdurrahman  Nashir  as-Sa’di.  70  Kaidah  Penafsiran  Al-Qur’an.  Jakarta:  Pustaka Firdaus. 2001. h. . 1.
[5] Abd  al-Mun’im  al-Namr.  ‘Ulum al-Qur’an al-Karim. Beirut: Dar Kitab al-Lubnan. 1983. h. . 100-101.
[6] M. Alfatih Suryadilaga, dkk. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras. 2005. h. . 56.
[7] Penjelasan Al Quran tentang Surat Ali Imran: 7.
[8] Sayyid Muhammad Husain al-Thabaththabai. Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, jld. 3. Libanon: Mansyurat Muassasah Al-A’lamiy li al-Mathbu’at. 1991. h. . 38.
[9] Abd  Muin  Salim.  Beberapa  Aspek  Metodologi  Tafsir  al-Quran.  Ujung  Pandang:  LSKI. 1990. h. . 67.
[10] Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin. Dasar-Dasar Penafsiran Al-Quran. Semarang: Dina Utama. 1989. h. . 80.
[11] Syaikh Musthafa al-Ghalayaini. Tarjamah Jami’ud Durusil Arabiyyah. Semarang: Asy-Syifa’. 1992. h. . 219-220
[12] Syaikh Musthafa al-Ghalayaini. Tarjamah Jami’ud Durusil Arabiyyah , h. . 277.
[13]Nor  Ichwan.  Memahami  Bahasa  Al-Qur’an  Refleksi atasPersoalan  Linguistik.  Semarang: Pustaka Pelajar. 2002. h. . 3.
[14] Syaikh Muhammad bin Abdullah bin Malik al-Andalusy. Tarjamah Matan Alfiyah. Jakarta: PT Al-Ma’arif. 1990. h. . 35.
[15] Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidiy al-Naisabury. Asbab al-Nuzul. Beirut: Dar al-Fikr. 1988. h. . 32.
[16]Nor  Ichwan.  Memahami  Bahasa  Al-Qur’an  Refleksiatas  Persoalan Linguistik. Semarang: Pustaka Pelajar. 2002. h. . 3.
[17] Manna’ Khalil al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa. 1998. h. . 291.
[18]Nor  Ichwan.  Memahami  Bahasa  Al-Qur’an  Refleksi tas  Persoalan  Linguistik.  Semarang: Pustaka Pelajar. 2002. h. . 77.
[19] Nor  Ichwan.  Memahami  Bahasa  Al-Qur’an  Refleksi atas  Persoalan  Linguistik.  h. . 78.
[20] Manna’ Khalil al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa. 1998. h. . 291-292.
[21] M. Alfatih Suryadilaga. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras. 2005. h. . 68.
[22] M. Alfatih Suryadilaga. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras. 2005. h. . 69.   
[23] Jalal al-Din al-Suyuthi al-Syafi’i. Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, jld. 2. Beirut: Muassasah al-Kutub al-Tsaqafiyah. 1996. h. . 41.
[24]Nor  Ichwan.  Memahami  Bahasa  Al-Qur’an  Refleksi tas  Persoalan  Linguistik.  Semarang: Pustaka Pelajar. 2002. h. . 149.
[25] Jalal al-Din al-Suyuthi al-Syafi’i. Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, jld. 2. Beirut: Muassasah al-Kutub al-Tsaqafiyah. 1996. h. . 84.
[26]Nor  Ichwan.  Memahami  Bahasa  Al-Qur’an  Refleksi tas  Persoalan  Linguistik.  Semarang: Pustaka Pelajar. 2002. h. . 127.
[27] Jalal al-Din al-Suyuthi al-Syafi’i. Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, jld. 2. Beirut: Muassasah al-Kutub al-Tsaqafiyah. 1996. h. . 97.
[28]Nor  Ichwan.  Memahami  Bahasa  Al-Qur’an  Refleksi tas  Persoalan  Linguistik.  Semarang: Pustaka Pelajar. 2002. h. . 219.
[29] M. Alfatih Suryadilaga. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras. 2005. h. . 70.
[30] Al Utsaimin, Muhammad bin Saleh.”Dasar-dasar penafsiran Al Quran”. ( Semarang: Dina Utama. 1989), h. 19
[31]  Quraish Shihab, Muhammad. Kaidah Tafsir ( Tangerang lentera hati, 2013.), h.32
[32] Al Utsaimin, Muhammad bin Saleh.”Dasar-dasar penafsiran Al Quran”.  h. 12
[33]  Quraish Shihab, Muhammad. Kaidah Tafsir h.31
[34] Al Utsaimin, Muhammad bin Saleh.”Dasar-dasar penafsiran Al Quran”.  h. 23
[35] Quraish Shihab, Muhammad. Kaidah Tafsir ( Tangerang lentera hati, 2013.), h.32
[36] Al Utsaimin, Muhammad bin Saleh.”Dasar-dasar penafsiran Al Quran”.  h. 25
[37]  Quraish Shihab, Muhammad. Kaidah Tafsir .h.34
[38] Al Utsaimin, Muhammad bin Saleh.”Dasar-dasar penafsiran Al Quran”.  Semarang: Dina Utama. 1989, h. 36

Comments

BERITA TERBARU !!

Popular posts from this blog

BIL MA'TSUR ( TAFSIR AYAT DENGAN AYAT )

CARA MELAKUKAN TAKHRIJ HADIS

download TAFSIR AL-NASAFIY

cara atau Kaedah al-Jarh Wa al-Ta’dil Serta Aplikasinya

HADIS TARBAWIY DAN AKHLAK (BERKURANGNYA IMAN KARENA MAKSIAT)

kaedah 'ATAF - AL-'ATFU DALAM AL-QUR'AN

cara TAMBAHAN - kaedah ZIYADAH DALAM AL-QUR'AN

cara melakukan MUNASABAH AYAT

KAEDAH 'AM DAN KHAS

MANHAJ THABATHABAI DALAM al mizan