OLEH ; ZAHARUDDIN
QAWAIDH AL-TAFSIR
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Untuk mendalami
bidang tafsir, seseorang memerlukan beberapa alat bantu, diantaranya
kaidah-kaidah tafsir. Alat bantu lainnya ialah ilmu ushul fiqih dan pengetahuan
bahasa Arab, karena Qur’an di turunkan dengan bahasa itu. M. Quraish Shihab
mengemukakan komponen-komponen yang tercakup dalam kaidah-kaidah tafsir sebagai
berikut. Pertama, ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam menafsirkan
Qur’an. Kedua, sistematika yang hendaknya ditempuh dalam menguraikan
penafsiran. Ketiga, patokan-patokan khusus yang membantu pemahaman ayat-ayat
Qur’an, baik ilmu bantu, seperti bahasa Arab dan ushul fiqih maupun yang
ditarik langsung dari penggunaan al- Qur’an. Dan mesti memperhatikan segi-segi
bahasa al-Qur’an serta korelasi antar surat tanpa mengabaikan kaidah-kaidah
kebahasaan. Tanpa memiliki pengetahuan yang memadai tentang kaidah dan aturan
bahasa Arab, maka cenderung melakukan penyimpangan dalam menafsirkan Al-Qur’an
dan memberikan arti etimologis, arti hakiki maupun arti kiasan.
Faktor-faktor yang
menyebabkan kekeliruan dalam menafsirkan al-Qur’an:
1. Subjektivitas
mufassir.
2. Kekeliruan dalam
menerapkan metode atau kaidah.
3. Kedangkalan dalam
ilmu-ilmu alat.
4. Kedangkalan
pengetahuan tentang materi Al-Qur’an (pembicaraan) ayat.
5. Tidak memperhatikan
konteks, baik asbabul nuzul, hubungan antar ayat, maupun kondisi sosial
masyarakat.
6. Tidak memperhatikan
siapa pembicara dan terhadap siapa pembicaraan ditujukan.
Untuk menghindari kesalahan tersebut, para mufassir membuat kaidah-kaidah
penafsiran: kaidah dasar tafsir, kaidah isim dan fi’il, kaidah amar dan nahi,
kaidah istifham, kaidah ma’rifah dan nakirah, kaidah mufrod dan jama’, kaidah
tanya jawab, kaidah wujuh dan nazha’ir, kaidah dhomir, muzakar, dan muannas,
kaidah syarat dan hadzf al-jawab
al-syarth, kaidah hadzful maf’u, dan kaidah umum dan sebab khusus.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana esensi Qawa>id{ al-Tafsi>r ?
2.
Bagaimana Eksistensi Qawa>id{ al-Tafsi>r ?
3.
Dan apa untuk apa mempelajari Qawa>id{
al-Tafsi>r ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Esensi Qawa>id{ al-Tafsir
Kaidah-kaidah
tafsir dalam Bahasa Arab dikenal dengan istilah qawa’id al-tafsir,
terdiri dari dua kata yaitu qawa’id dan al-tafsir.
Kata ﻗﻭﺍﻋﺩ merupakan bentuk jamak dari ﻗﺎﻋﺩﺓ yang
berarti undang-undang, peraturan, dan asas. Secara istidah didefinisikan dengan
undanng-undang, sumber, dasar yang digunakan secara umum yang mencakup semua
yang partikular.
Adapun
kata ﺍﻠﺗﻔﺴﻴﺮ secara bahasa berasal dari kataﻓﺴﺮ -ﻴﻔﺴﺮ -ﺗﻔﺴﻴﺮ yang
berarti mengungkapkan atau menampakkan. Menurut
al-Zarkasyi tafsir merupakan ilmu yang dengannya didapatkan pemahaman terhadap
kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw mengenai penjelasan
maknanya, serta pengambilan hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya. Sedangkan menurut
al-Zarqani arti tafsir adalah ilmu yang di dalamnya dibahas petunjuk-petunjuk
al-Quran yang dimaksudkan oleh Allah swt dan diperoleh berdasarkan atas kemampuan
manusia.
Berdasarkan
penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa ﻗﻭﺍﻋﺩﺍﻠﺗﻔﺴﻴﺮ adalah
pedoman-pedoman yang disusun oleh ulama’ dengan kajian yang mendalam guna
mendapatkan hasil yang maksimal dalam memahami makna-makna al-Quran,
hukum-hukum, dan petunjuk-petunjuk yang terkandung di dalamnya.
B. Eksistensi Qawa>id{ al-Tafsir
Kaidah-kaidah
ilmu tafsir Al-Quran sangat tinggi nilainya, dan manfaatnya juga sangat besar.
Serta dapat membantu kita untuk memahami kalamullah dan dapat dijadikan
penuntun untuk mendapatkan pemahaman yang sempurna. Kaidah-kaidah memberikan
seseorang metode-metode menafsirkan Al-Quran dan merintis jalan kepada manhajj (sistem)
pemahaman tentang Allah.
Secara
ringkas kaidah-kaidah ilmu tafsir al-Quran ada lima, yaitu kaidah quraniyah,
kaidah sunnah, kaidah bahasa, kaidah ushul al-fiqh, dan kaidah ilmu
pengetahuan. Berikut akan dijelaskan mengenai kaidah-kaidah ilmu tafsir
al-Quran satu-persatu.
1. Kaidah Quraniyah
Kaidah quraniyah
ialah penafsiran al-Quran yang diambil oleh ulumul quran dari al-Quran.
Beberapa kaidah yang lazim digunakan dalam menjelaskan kaidah quraniyah antara
lain sebagai berikut:
a.
ﺍﻠﻌﺑﺮﺓﺑﻌﻤﻭﻢﺍﻠﻠﻔﻅﻻﺑﺧﺻﻭﺺﺍﻠﺴﺑﺐ
Maksudnya yaitu jika
satu nas menggunakan redaksi yang bersifat umum, maka tidak ada pilihan lain
selain menerapkan nas tersebut, sekalipun nas tersebut turun untuk menanggapi
suatu peristiwa tertentu. Kaidah ini dipegang oleh mayoritas ulama dengan
argumentasinya yang bervariatif. Misalnya
pada QS Al-Maidah: 38
ﻭﺍﻠﺴﺎﺭﻕﻭﺍﻠﺴﺎﺭﻗﺔﻓﺎﻗﻄﻌﻭﺍﺍﻳﺩﻳﻬﻣﺎﺟﺯﺍﺀﺑﻣﺎﻛﺴﺑﺎﻧﻜﺎﻻﻣﻦﺍﷲﻭﺍﷲﻋﺯﻴﺯﺤﻜﻴﻢ
Artinya:
Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Dalam
menanggapi ayat tersebut jumhur ulama terbagi menjadi dua, yaitu:
a)
Menerapkan langsung
hukum tersebut tanpa memandang latar belakang dan sabab al-nuzul. Maksudnya
yaitu Allah swt Maha Perkasa dan Maha Bijaksana, maka Ia memerintahkan memotong
tangan pencuri dan menetapkan sanksi kepada orang-orang yang melampaui batas
sebagai hukum, takdir, dan ganjaran bagi mereka.
b)
Mengetahui
sebab nuzulnya kemudian menganalisa unsur-unsur yang melingkupinya, baik
kualitas peristiwa, pelaku, tempat, maupun waktunya. Maksudnya yaitu Allah Maha
Bijaksana maka apabila orang tersebut bertaubat dan kembali ke jalan Allah,
maka Allah akan mengampuni dan mengasihinya. Maka demikian pula hendaknya kita
sebagai manusia juga bisa memaafkan orang tersebut.
b.
Kandungan suatu ayat yang memiliki keterkaitan dengan nama Allah
menunjukkan bahwa hukum yang terkandung berkaitan dengan nama yang mulia. Misalnya QS Al-Baqarah: 32
ﻗﺎﻠﻭﺍﺴﺑﺤﻧﻚﻻﻋﻠﻢﻠﻧﺎﺍﻻﻤﺎﻋﻠﻤﺗﻧﺎﺍﻧﻚﺍﻧﺖﺍﻠﻌﻠﻴﻢﺍﻠﺤﻜﻴﻢ
Artinya:
Mereka
menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa
yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ayat tersebut merupakan lanjutan
dari ayat sebelumnya mengenai dialog Tuhan dengan para malaikat berkenaan
dengan pengangkatan Adam sebagai khalifah di bumi. Terhadap upaya Tuhan yang
demikian, malaikat heran dan mengatakan: “Apakah Engkau akan menjadikan manusia
sebagai khalifah, padahal manusia sering membuat kerusakan dan saling
membunuh?” untuk membuktikan kamahatahuan Tuhan, Dia mengajarkan Adam nama-nama
benda yang tidak diketahui malaikat. Ketidakmampuan malaikat dalam hal ini
mengakui kemahatahuan Tuhan, kesempurnaan hikmah-Nya dan membuktikan
keterbatasannya. Kekeliruan pandangan malaikat ini digambarkan dalam
ungkapan: ﺍﻧﻚﺍﻧﺖﺍﻠﻌﻠﻴﻢﺍﻠﺤﻜﻴﻢ.
c.
Kaidah
yang bertalian dengan mutasyabihat dan muhkamat.
Ayat yang muhkamaat ialah
ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan
mudah. Sedangkan pengertian ayat-ayat mutasyaabihaat adalah
ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti
mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam; atau ayat-ayat
yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang
berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari
kiamat, surga, neraka dan lain-lain.
Contoh ayat muhkamat
adalah QS Al- An’am: 154,
ﺜﻢﺍﺘﻴﻨﺎﻣﻮﺳﻰﺍﻠﻜﺘﺐﺘﻣﻣﺎﻣﺎﻋﺎﻰﺍﻠﺬﻱﺍﺣﺳﻥﻮﺘﻔﺼﻴﻼﻠﻜﻞﺸﻲﺀﻮﻫﺪﻯﻮﺭﺭﺣﻤﺔﻠﻌﻠﻬﻢﺑﻠﻘﺎﺀﺭﺑﻬﻢ
ﻳﺆﻤﻨﻮﻥ
Artinya:
Kemudian
Kami telah memberikan kepada Musa Kitab (Taurat) untuk menyempurnakan (nikmat
Kami) kepada orang yang berbuat kebaikan, untuk menjelaskan segala sesuatu dan
sebagai petunjuk dan rahmat agar mereka beriman akan adanya pertemuan dengan
Tuhannya.
Sedangkan contoh ayat
mutasyabihat adalah huruf-huruf penggalan (al-huruf al-muqatha’ah) yang
terdapat pada awal surat, seperti lafad alif-lam-mim, alif-lam-ra,
ha-mim, dan sebagainya.
2. Kaidah Sunnah
Berdasarkan QS
An-Nahl ayat 44 dan 64, Nabi Muhammad sebagai Rasul yang datang untuk
menjelaskan ayat-ayat yang diturunkan Tuhan. Dengan demikian, maka rasul
merupakan sumber penjelas tentang makna-makna Al-Quran. Beliau tidak
menafsirkan menurut akal pikiran, tetapi menurut wahyu Ilahi.
Kaidah yang
dipergunakan diantaranya ialah:
a.
Sunnah harus dipakai sesuai dengan petunjuk Al
Quran. Secara logika penjelasan itu tidak boleh bertentangan dengan al-Quran
sebagai materi yang dijelaskannya. Dengan demikian penjelasan Nabi saw selalu
dalam kerangka al-Quran. Hal itu terbukti dengan tidak ditemukannya hadis
shahih yang bertentangan dengan al-Quran.
b.
Menghimpun hadis yang pokok bahasannya sama. Hadis yang dimaksud
dalam hal ini adalah hadis yang shahih, yaitu dengan cara mengembalikan
kandungan yang mutasyabih kepada yang muhkam, mengkaitkan yang mutlak kepada
yang muqayyad, dan menkhususkan yang umum. Dengan demikian, akan didapatkan
suatu pemahaman yang benar dan utuh berdasarkan suatu ketetapan bahwa hadis
berfungsi manafsirkan al-Quran dan menjelaskan maknanya, menjelaskan makna
globalnya, menjelaskan makna yang belum terungkap, dan sebagainya.
3. Kaidah Bahasa
Al Quranul Karim
diturunkan kepada umat manusia dengan berbahasa Arab. Hal ini dapat dibuktikan
dalam QS Yusuf:
2
ﺍﻨﺎﺍﻨﺰﻠﻨﻪﻗﺮﺍﻨﺎﻋﺮﺑﻴﺎﻠﻌﻠﻜﻢﺘﻌﻘﻠﻮﻥ
Artinya:
Sesungguhnya
Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu
memahaminya. Oleh karena itu, berarti tidak ada jalan lain bagi umat Islam
untuk memahaminya kecuali dengan menguasai dan memahami bahasa Arab. Di antara
kaidah-kaidah yang harus dipahami antara lain:
a.
Dhomir
Secara bahasa dhamir berasal dari
kata dasar al-dhumur yang berarti kurus kering, sebab
dilihat dari bentuknya memang terlihat ringkas dan kecil. Kata dhamir juga
bisa diambil dari kata al-adhmar yang berarti tersembunyi,
sebab banyak yang tidak tampak dalam bentuk nyatanya. Sedangkan
secara istilah, dhamir adalah lafazh yang digunakan sebagai
pengganti, baik kata ganti untuk orang pertama (dhamir mutakallim),
orang kedua (dhamir mukhattab), maupun orang ketiga (dhamir ghaib).
b.
Al-Ta’rif
dan Al-Tankir (Isim Ma’rifah dan Isim Nakirah)
Secara terminologis
para ahli bahasa (ahl an-nahw) mendefinisikan isim ma’rifah sebagai isim
yang menunjukkan sesuatu yang sudah jelas. Dalam
bahasa Arab ism al-ma’rifah mempunyai peran penting, baik secara sintaksis
maupun sistematis. Secara umum dapat dikatakan bahwa fungsi ism al-ma’rifah
adalah untuk menunjukkan bahwa kata yang bersangkutan adalah ma’ruf (diketahi)
atau untuk ta,rif. Sedangkan
yang dimaksud dengan ism al-nakirah merupakan kebalikan dari ism al-ma’rifah,
yaitu isim yang menujukkan sesuatu yang belum jelas pengertiannya. Definisi
lain menyebutkan bahwa ism al-nakirah adalah setiap isim yang pantas baginya
kemasukkan alif-lam.
c.
As-Sual
wa Al-Jawab
Kaidah yang
dipergunakan antara lain:
1)
Jawaban
menyimpang dari soal
Misalnya: QS
al-Baqarah: 189
ﻳﺴﺄﻠﻮﻨﻚﻋﻋﻥﺍﻷﻫﻠﺔﻗﻞﻫﻲﻣﻮﺍﻗﻴﺖﻠﻠﻨﺎﺱﻮﻮﺍﻠﺤﺞ
Artinya:
Mereka
bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: bulan sabit itu adalah
tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.
Asbab al-Nuzul ayat
ini adalah bahwa ada sekelompok orang yang menanyakan kepada Rasulullah saw
tentang bulan sabit (al-ahillah), kenapa semula ia tampak kecil seperti benang,
kemudian lama-kelamaan berubah sedikit demi sedikit menjadi purnama, lalu ia
menyusut kembali seperti keadaan seperti semula?
Secara logika,
pertanyaan itu seharusnya dijawab dengan menerangkan proses perubahan yang
terjadi pada bulan tersebut. Namun terhadap pertanyaan yang demikian itu,
jawaban yang diberikan al-quran kepada mereka adalah berupa penjelasan tentang
hikmahnya, dengan alasan untuk mengingatkan mereka bahwa yang lebih penting
untuk dipertanyakan adalah hikmah dari bulan sabit, bukan seperti yang mereka
pertanyakan.
2)
Jawaban
lebih umum dari apa yang ditanyakan, karena memang hal itu dianggap perlu.
Misalnya: QS Thaha:
18
ﻗﻞﻫﻲﻋﺼﺎﻱﺃﺘﻮﻜﺄﻋﻠﻴﻬﺎﻮﺃﻫﺶﺒﻬﺎﻋﻠﻰﻏﻨﻤﻲﻮﻠﻲﻓﻴﻬﺎﻤﺎﺭﺏﺃﺧﺭﻯ
Artinya:
Berkata
Musa: Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya dan aku pukul (daun)
dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lain keperluan yang lain padanya.
Ayat tersebut
merupakan jawaban dari pertanyaan yang disebutkan pada ayat sebelumnya, yaitu
QS Thaha: 17
ﻮﻤﺎﺘﻠﻚﺑﻴﻤﻨﻚﻴﺎﻤﻮﺳﻰ
Artinya:
Apakah
ini yang di tanganmu, hai Musa?
Dalam ayat ini,
sebenarnya Allah hanya mempertanyakan kepada Nabi Musa perihal apa yang ada di
tangan kanannya. Kemudian, pertanyaan itu oleh Nabi Musa dijawab bahwa yang ada
di tangan kanannya adalah tongkat. Dengan jawaban yang demikian, sebenarnya
sudah mencukupi bagi si penanya dan sudah dapat dipahami, namun Nabi Musa
menambahkan dalam jawabannya sesuatu yang terkait dengan fungsi tongkat
tersebut, yaitu untuk bertelekan, memukul daun, dan beberapa fungsi lainnya.
Hal yang demikian, dilakukan Nabi Musa karena ia merasa senang dengan
pertanyaan yang dilontarkan Allah kepadanya.
3)
Jawaban
terhadap suatu pertanyaan yang diajukan bersifat lebih sempit cakupannya.
Misalnya: QS Yunus:
15
ﻗﻞﻤﺎﻴﻜﻮﻥﻠﻰﺃﻥﺃﺑﺪﻠﻪﻤﻥﺗﻠﻘﺎﺀﻧﻔﺴﻰ
Artinya:
Katakanlah:
Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri.
Ayat tersebut
merupakan jawaban terhadap pertanyaan yang disebutkan sebelumnya (pada ayat
yang sama), yaitu:
ﻗﺎﻞﺍﻠﺬﻳﻥﻻﻳﺮﺟﻮﻥﻠﻘﺎﺀﻧﺎﺍﺋﺖﺑﻘﺮﺍﻥﻏﻳﺮﻫﺬﺍﺍﻮﺑﺪﻟﻪ
Artinya:
Orang-orang
yang tidak mengharapkan pertemuan dengan kami berkata: Datangkanlah kitab
selain Al-Qur’an ini atau gantilah.
Dalam ayat tersebut
setidaknya ada dua pertanyaan pokok, yaitu perintah untuk mendatangkan al-Quran
yang lain, dan jikalau tidak dapat maka disuruh untuk menggantinya. Terhadap
pertanyaan ini, jawaban yang diberikan al-Quran tidak mencakup kedua hal
dimaksud, tetapi hanya terfokus pada satu hal, yaitu yang terkait dengan
perintah untuk menggantinya. Hal ini mengingat bahwa mengganti itu lebih mudah
daripada menciptakan kembali. Jika mengganti saja sudah tidak mampu, apalagi
untuk menciptakan pasti akan lebih sulit.
d.
Jumlah
Ismiyah dan Jumlah Fi’liyah
Jumlah ismiyah atau
kalimat nominal menunjukkan arti subut (tetap) dan istimrar (terus-menerus),
sedang jumlah fi’liyah atau kalimat verbal menunjukkan arti tajaddud (timbulnya
sesuatu) dan hudus (temporal). Masing-masing kalimat ini
mempunyai tempat tersendiri yang tidak bisa ditempai oleh yang lain. Misalnya
tentang infaq yang diungkapkan dengan kalimat verbal (jumlah fi’liyah), seperti
dalam surah Ali ‘imran:134
ﺍﻟﺬﻳﻥﻳﻨﻔﻘﻮﻥﻓﻰﺍﻟﺴﺮﺍﺀﻮﺍﻟﻀﺮﺍﺀﻮﺍﻟﻜﺎﻇﻤﻴﻥﺍﻟﻐﻴﻅﻮﺍﻟﻌﺎﻓﻴﻥﻋﻥﻥﺍﻟﻨﺎﺱﻮﷲﻴﺤﺐﺍﻟﻤﺤﺴﻨﻴﻥ
Artinya:
(Yaitu)
orang-orang yang berinfaq, baik di waktu lapang maupun sempit dan orang-orang
yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah
mencintai orang-orang berbuat kebaikan.
Contoh kalimat
nominal (jumlah ismiyah) yaitu tentang keimanan, seperti dalam QS al-Hujurat:15
ﺍﻨﻤﺎﺍﻟﻤﺆﻤﻨﻮﻥﺍﻟﺬﻴﻥﺍﻤﻨﻮﺑﷲﻮﺭﺴﻮﻟﻪﺛﻢﻟﻢﻴﺭﺗﺎﺑﻮﺍﻮﺟﺎﻫﺪﻮﺍﺑﺎﻣﻮﺍﻟﻬﻢﻮﺍﻧﻔﺴﻬﻢﻓﻲﺴﺑﻴﻞﷲﺍﻮﻟﺌﻚﻫﻢﺍﻟﺼﺪﻗﻮﻥ
Artinya:
Sesungguhnya
orang-orang yang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta
dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.
Hal ini dikarenakan
infaq merupakan suatu perbuatan yang bersifat temporal yang terkadang ada dan
terkadang tidak ada. Lain halnya dengan keimanan, ia mempunyai hakikat yang
tetap berlangsung selama hal-hal yang menghendakinya masih ada.
e.
Mashdar
Cara menunjukkan
sesuatu yang diwajibkan adalah dengan menggunakan mashdar dengan bacaan marfu’
( _ ) dan cara menunjukkan sesuatu yang disunatkan adalah dengan
menggunakan mashdar dengan bacaan manshub ( _ ).
Contoh:
1)
QS
Al-Baqarah: 229
… ﺍﻟﻃﻼﻕﻣﺭﺗﻦﻓﺈﻣﺴﺎﻙﺒﻣﻌﺭﻭﻑﺍﻭﺗﺴﺭﻳﺢﺑﺈﺣﺴﺎﻥ
Artinya:
Talak
(yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan
baik, atau melepaskan dengan baik …
Kata ﺇﻣﺴﺎﻙ (menahan)
dan ﺗﺴﺭﻳﺢ (melepaskan) dengan bacaan marfu’ menunjukkan wajibnya
ruju’ dan wajibnya cerai.
2)
QS
Muhammad: 4
… ﻓﺇﺫﺍﻟﻘﻴﺗﻢﺍﻟﺬﻴﻦﻛﻔﺭﻭﺍﻓﻀﺭﺏﺍﻟﺭﻗﺎﺏ
Artinya:
Maka
apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang), maka pukullah
batang leher mereka. …..
Kata ﻓﻀﺭﺏﺍﻟﺭﻗﺎﺏ (pukullah
batang leher) dibaca manshub, menunjukkan sunah memukul kuduk orang kafir dalam
keadaan perang.
4. Kaidah Ushul al-Fiqh
Di antara
kaidah-kaidah ini adalah:
a.
Kaidah
yang berkaitan dengan al-amr wa al-nahy
Al-amr adalah tuntutan
untuk melaksanakan sesuatu pekerjaan dari pihak yang lebih tinggi derajatnya
kapada pihak yang lebih rendah. Sedangkan al-nahy merupakan kebalikan dari
al-amr. Apabila Allah swt memerintahkan sesuatu berarti melarang untuk
melakukan sebaliknya. Apabila Dia memuji terhadap diri-Nya atau kekasih-Nya
dengan meniadakan kekurangan sedikit pun berarti menetapkan kesempurnaan.
Contoh: Allah memerintahkan berbuat adil berarti Dia melarang berbuat zalim.
Larangan berdusta berarti perintah berbuat jujur. Penafian sifat kadzib Rasul
saw, berarti penetapan sifat jujurnya.
b.
Kaidah-kaidah
ushuli lainnya antara lain:
1)
Am dan Khash. Am adalah
lafazh yang mencakup seluruh satuan-satuan yang pantas baginya dan tidak
terbatas dalam jumlah tertentu. Sedangkan
lafazh khash merupakan kebalikan dari lafazh am,
yaitu yang tidak menghabiskan semua apa yang pantas baginya tanpa ada
pembatasan.
2)
Mujmal dan Mubayyan. Mujmal adalah
lafazh yang mengandung dua makna atau lebih, yang kesemuanya masih sulit untuk ditentukan secara pasti mana yang
lebih tepat untuknya, karena makna yang dikandung oleh lafazh tersebut
sama-sama kuatnya. Sedangkan mubayyan merupakan
penjelas terhadap lafazh yang masih mujmal pengertiannya.
3)
Manthuq dan Mafhum. Manthuq adalah
sesuatu (makna) yang ditunjukkan oleh ucapan lafazh itu sendiri. Dengan
kata lain, pengucapan lafazh itu sendirilah yang memberi jalan bagi kita untuk
dapat mengerti maksud kandungannya sehingga tidak ada kemungkinan makna lain
kecuali apa yang dapat dimengerti dari teks itu sendiri. Sedangkan mafhum adalah
sesuatu (makna) dari suatu lafazh yang ditunjukkan secara tersirat.
4)
Muthlaq dan Muqayyad. Muthlaq adalah
suatu lafazh yang menunjukkan kepada satu-satuan tertentu tetapi tanpa adanya
pembatasan. Sedangkan yang dimaksud lafazh muqayyad adalah
kebalikan dari lafazh muthlaq. Manna’ al-Qaththan dalam Mabahis
fi ‘Ulum al-Qur’an,mendefinisikannya sebagai suatu lafazh yang menunjukkan
atas suatu hakikat dengan adanya batasan.
5)
Hakikat dan Majas.
Hakikat merupakan suatu lafazh yang tetap pada makna aslinya, dan
tidak ada taqdim (makna yang didahulukan) dan ta’khir (makna
yang diakhirkan) di dalamnya. Sedangkan
majaz adalah lafazh yang digunakan untuk suatu arti, yang semua lafazh itu
bukan diciptakan untuknya.
5. Kaidah Ilmu
Pengetahuan
Di samping
kaidah-kaidah yang disebutkan di atas, seorang mufasir mesti memiliki ilmu
pengetahuan lainnya, seperti perubahan social dan ilmu pengetahuan lainnya. Hal
ini didasarkan atas prinsip al-Quran yang diturunkan sebagai rahmah li
al-‘alamin. Dengan demikian maka al-Quran akan senantiasa sesuai dengan
perkembangan zaman dan tempat. Contoh: ﺧﻟﻖﺍﻹﻧﺴﺎﻥﻣﻥﻋﻟﻖ. Ayat
tersebut mengungkapkan tentang penciptaan manusia. Para ulama berpendapat
mengenai kejadian manusia dari kata ﻋﻟﻖ, yaitu darah beku
atau segumpal darah yang merupakan keadaan janin pada hari pertama kejadiannya.
Pendapat tersebut didukung pula oleh ayat-ayat lain dalam al-Quran, dan
didukung pula oleh beberapa hadis Rasul.
6. Sumber-sumber Qawa>id{
al-Tafsir
1) Sumber
Dasar Tafsir
a)
Tafsir
Al-Qur’an Dengan Al-Qur’an
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa
al-qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui
malaikat jibril sebagai pedoman umat manusia. Maka sudah sepantasnya Al-qur’an
dijadikan sebagai sumber tafsir yang pertama.
Sebagian besar ayat-ayat Al-qur’an
menjelaskan penafsiran terhadap ayat yang lain. Di kalangan para ulama tidak
ada perbedaan mengenai hal ini, mereka sepakat bahwa ayat Al-qur’an yang di
turunkan sebagai penjelasan atau kelengkapan terhadap ayat lainnya. Terbukti
bahwa tidak sedikit ayat Al-qur’an yang menjadi jelas maksudnya ketika ayat itu
dikaitkan dengan ayat-ayat lainnya.
Dalam Al-qur’an banyak ayat Al-qur’an
yang dijelaskan secara umum di suatu tempat dijelaskan secara terperinci di
tempat lain. Bagian yang masih mubham di suatu tempat dijelaskan di tempat
lain. Ayat yang menjadi ‘aam pada suatu konteks di takhsiskan pada konteks
lainnya.
Di antara ayat-ayat Al-qur’an yang menafsirkan ayat lainnya adalah:
·
QS.
Al-Baqarah : 37 dengan QS. Al-A’raf :
23
·
QS.
Ad-Dukhan : 3 dengan QS. Al-Qadr :
1-5
·
QS.
Al-Fatihah : 6 dengan QS.
Al-Fatihah : 7
·
QS.
Al-Fatihah : 7 dengan QS. An-Nisa :
68-69
b)
Tafsir
Al-Qur’an Dengan As-Sunnah
Yakni Al-qur’an ditafsirkan dengan
as-sunnah, karena Rasulullah SAW adalah manusia pilihan Allah yang paling
mengetahui maksud maksud yang terkandung dalam firman Allah Ta’ala.Penafsiran
Al-qur’an dengan as-sunah ini didasarkan atas firman Allah: QS. An-Nahl : 43-44
“ Dan, tidak ada yang kami atur sebelumnya selain manusia lelaki, kepada mereka
kami beri wahyu. Maka tanyakanlah kepada ahli risalah, jika kamu tidak
tahu.”(QS. An-Nahl : 43-44).
Dalam buku studi kaidah tafsir Al-qur’an,
prinsip Imam Syafi’i yang dikutip Ibn Taimiyah mengatakan bahwa setiap hukum
yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW merupakan pemahaman yang berasal dari
Al-qur’an. Pendapat ini didasari oleh firman Allah QS. An-Nisa : 4 dan hadist
yang diriwayatkan Imam Abu Dawud.
Contoh penafsiran Al-qur’an dengan
sunnah, dalam buku studi kaidah tafsir Al-qur’an, Hamka mengutip riwayat dari
Abd bin Humaid dari Ar-Rabi’ bin Anas bahwa suatu ketika seseorang bertanya
kepada Rasulullah tentang siapa yang di maksud dengan orang-orang yang sesat.
Rasulullah menjawab: “ yang dimaksud denga orang-orang yang dimurkai ialah
Yahudi dan yang dimaksud dengan orang-orang yang sesat ialah Nasrani.”
c)
Tafsir
Al-Qur’an Dengan Qaul Shahabah
Karena sahabat itu adalah orang yang
paling dekat dengan Rasulullah. Sehingga mereka di jadikan sumber kaidah tafsir
setelah Rasulullah.Yakni menafsirkan Al-qur’an dengan perkataan sahabat,
terutama kalangan shahabat yang menguasai tafsir, karena Al-qur’an diturunkan
dengan bahasa mereka dan pada zaman mereka, karena merekalah generasi –setelah
para anbiya- yang paling jujur dalam mencari Al Haq.
Kalangan ulama berbeda pendapat tentang
kedudukan tafsir sahabi ini. Al-Hakim, seperti dikutip as-Suyuti dalam buku
studi kaidah tafsir Al-qur’an berpendapat bahwa tafsir sahabat yang menyaksikan
turunnya wahyu itu dinilai marfu’. Ulama lainnya, dan Ibnu Shalah, serta ulama
muta’akhirin berpendapat bahwa tafsir sahabi yang dinilai marfu’ itu khusus
dalam bidang Asbabun Nuzul.
Selain itu dinilai mauquf.
Contoh penafsiran Al-qur’an dengan ucapan shahabat adalah surat Al Maidah:
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى
سَفَرٍ أَوْ جَاءَ
أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ
الْغَائِطِ أَوْ
لامَسْتُمُ النِّسَاءَ
“Dan jika kamu junub
maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari
tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan,” disebutkan dalam riwayat
yang shahih dari Ibn Abbas bahwa beliau menafsirkan al mulaamasah (menyentuh)
dengan jima’ (berhubungan suami istri).
d)
Tafsir
Tabi’in
Sebagian ulama memandang bahwa tafsir
tabi’in itu adalah ma’tsur karena sebagian besar penafsiran mereka diterima
dari sahabat Nabi SAW, bukan dari nabi langsung. Dan
sebagian lagi menilai bahwa tafsir tabi’in ini adalah tafsir bir ra’yi.Lagi-lagi
dalam buku studi kaidah tafsir Al-qur’an Imam Az-Zarani mengelompokkan tafsir
tabi’in ini dalam dua macam: Pertama, Tafsir yang dalil-dalilnya memenuhi
persyaratan shahih dan diterima. Kedua, Tafsir yang dalil atau sumbernya tidak
shahih karena beberapa faktor.
7. Israiliyat
Kisah israiliyat itu ada yang
dibuat-buat dan ada yang benar. Oleh karena itu kisah israiliyat itu ada yang
diterima dan ada yang tidak diterima. Standar dari diterimanya kisah israiliyat
adalah apabila kisah itu tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits. Dan
sebagaimana yag kita ketahui bahwa kisah israiliyat itu banyak terdapat didalam
hadits. Adapun kenapa hadits israiliyat itu dapat diterima? Maka dilihat dari
kualitas haditsnya. Jika kualitas haditsnya bagus, maka hadits tentang
israiliyat tersebut dapat diterima. Sedangkan cerita israiliyat yang tidak
diterima karena tidak sesuai dengan al-Qur’an dan hadits.
Al-Qur’an banyak mengandung apa yang
datang dari Taurat dan Injil, terutama yang berkaitan cerita tentang para Nabi
dan berita para umat. Akan tetapi kisah-kisah dalam al-Qur’an itu bentuknya
secara global hanya untuk mengambil ‘ibroh dan pelajaran tanpa menyebutnya
secara terperinci. Seperti cerita-cerita yang telah terjadi, seperti nama-nama
negeri dan nama orang disebut dengan perorangan dan khusus. Adapun kitab Taurat
dan Injil menjelaskan hal tersebut secara terperinci.
C. Tujuan Qawa>id{ al-Tafsir
Al Quran yang
memperkenalkan dirinya antara lain sebagai hudan Li al- anas dan sebagai Kitab
yang diturunkan agar manusia keluar dari kegelapan menuju terang benderang (QS
14:1), Maka untuk mencapai misi di atas seorang mufasir membutuhkan
kaidah-kaidah tafsir dengan harapan dan tujuan:
1) Pembaca tidak
kehilangan arah ketika menafsirkan ayat-ayat Al Quran dan tetap menemukan
petunjuk Al Quran.
2) Pembaca tidak perlu
lagi harus mempelajari segala macam kitab tafsir, yang beberapa diantaranya
justru tidak menggunakan pedoman-pedoman dasar dan kaidah penafsiran al Quran.
3) Memudahkan seseorang
dalam menafsirkan Al Quran.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad,
izzan. studi kaidah tafsir Al-Qur’an,
humaniora: penerbit buku pendidikan,. Bandung, 2009
Kemeneterian
Agama, Republik Indonesia. Al-Qur’an dan
tafsirnya, Jakarta , lentera abadi, 2010.
Ahmad,
izzan. Metodelogi Ilmu Tafsir,
humaniora, 2007. Bandung
Quraish
Shihab, Muhammad. Kaidah Tafsir, Tangerang,
lentera hati, 2013.
Assobuny,
Muhammad. Ali. At-Tibyan fi Ulumil Quran,
Jakarta , darul kitab al-Islamiyah,. 2003
Khalil
al-Qattan, Manna. Mannaul Qattan Mabahits
fi ulumil Quran.
Nizham,Abu.” Buku pintar al quran”..Jakarta:Qultum
Media. 2008
Asy
syirbashi, Ahmad..”Sejarah Tafsir Quran”.
Jakarta:Pustaka Firdaus. 1994
Al
Utsaimin, Muhammad bin Saleh.”Dasar-dasar
penafsiran Al Quran”. Semarang: Dina Utama. 1989
Shihab,
M. Quraish.. “Membumikan Al-Qur’an”.Bandung
: Mizan, 1999
Supiana-M.
Parman,. “Ulum ul Qur’an”.Bandung :
Pustaka Islamika. 2002
Ash
Shiddieqy,hasbi..Ilmu-Ilmu Al Quran.
Jakarta: bulan bintang, 1972
.. “Sejarah
dan Pengantar Ilmu Al Quran Dan Tafsir”. Semarang : pustaka rizki utama, 1999
Louis
Ma’luf. Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, cet. 38. Beirut:
Dar al-Masyriq. 1986. h. . 463.
Abu al-Husain
Ahmad. Mu’jam Maqayis al-Lughah, juz. 4. Beirut: Dar al-Jail.
1976. h. . 13.
M. Alfatih
Suryadilaga, dkk. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras. 2005. h.
. 55.
Syaikh Abdurrahman Nashir as-Sa’di. 70 Kaidah Penafsiran Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka
Firdaus. 2001. h. . 1.
Abd al-Mun’im al-Namr. ‘Ulum al-Qur’an
al-Karim. Beirut: Dar Kitab al-Lubnan. 1983. h. . 100-101.
M. Alfatih
Suryadilaga, dkk. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras. 2005. h.
. 56.
Penjelasan Al
Quran tentang Surat Ali Imran: 7.
Sayyid
Muhammad Husain al-Thabaththabai. Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an,
jld. 3. Libanon: Mansyurat Muassasah Al-A’lamiy li al-Mathbu’at. 1991. h. . 38.
Abd Muin Salim. Beberapa Aspek Metodologi Tafsir al-Quran. Ujung Pandang: LSKI.
1990. h. . 67.
Muhammad bin
Shaleh al-‘Utsaimin. Dasar-Dasar Penafsiran Al-Quran. Semarang:
Dina Utama. 1989. h. . 80.
Syaikh
Musthafa al-Ghalayaini. Tarjamah Jami’ud Durusil Arabiyyah.
Semarang: Asy-Syifa’. 1992. h. . 219-220
Syaikh
Musthafa al-Ghalayaini. Tarjamah Jami’ud Durusil Arabiyyah , h. .
277.
Nor Ichwan. Memahami Bahasa Al-Qur’an Refleksi
atasPersoalan Linguistik. Semarang: Pustaka Pelajar.
2002. h. . 3.
Syaikh
Muhammad bin Abdullah bin Malik al-Andalusy. Tarjamah Matan Alfiyah.
Jakarta: PT Al-Ma’arif. 1990. h. . 35.
Abu al-Hasan
Ali bin Ahmad al-Wahidiy al-Naisabury. Asbab al-Nuzul. Beirut: Dar
al-Fikr. 1988. h. . 32.
Nor Ichwan. Memahami Bahasa Al-Qur’an Refleksiatas Persoalan Linguistik. Semarang:
Pustaka Pelajar. 2002. h. . 3.
Manna’ Khalil
al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa.
1998. h. . 291.
Nor Ichwan. Memahami Bahasa Al-Qur’an Refleksi
tas Persoalan Linguistik. Semarang:
Pustaka Pelajar. 2002. h. . 77.
Nor Ichwan. Memahami Bahasa Al-Qur’an Refleksi
atas Persoalan Linguistik. h. . 78.
Manna’ Khalil
al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa.
1998. h. . 291-292.
M. Alfatih
Suryadilaga. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras. 2005. h. .
68.
M. Alfatih
Suryadilaga. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras. 2005. h. .
69.
Jalal al-Din
al-Suyuthi al-Syafi’i. Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, jld. 2.
Beirut: Muassasah al-Kutub al-Tsaqafiyah. 1996. h. . 41.
Nor Ichwan. Memahami Bahasa Al-Qur’an Refleksi
tas Persoalan Linguistik. Semarang:
Pustaka Pelajar. 2002. h. . 149.
Jalal al-Din
al-Suyuthi al-Syafi’i. Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, jld. 2.
Beirut: Muassasah al-Kutub al-Tsaqafiyah. 1996. h. . 84.
Nor Ichwan. Memahami Bahasa Al-Qur’an Refleksi
tas Persoalan Linguistik. Semarang:
Pustaka Pelajar. 2002. h. . 127.
Jalal al-Din
al-Suyuthi al-Syafi’i. Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, jld. 2.
Beirut: Muassasah al-Kutub al-Tsaqafiyah. 1996. h. . 97.
Nor Ichwan. Memahami Bahasa Al-Qur’an Refleksi
tas Persoalan Linguistik. Semarang:
Pustaka Pelajar. 2002. h. . 219.
M. Alfatih
Suryadilaga. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras. 2005. h. .
70.
Al Utsaimin, Muhammad bin Saleh.”Dasar-dasar penafsiran Al Quran”. ( Semarang: Dina Utama. 1989),
h. 19
Al
Utsaimin, Muhammad bin Saleh.”Dasar-dasar penafsiran Al Quran”.
Semarang: Dina Utama. 1989, h.
36
Comments
Post a Comment