BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada zaman pertengahan, Islam di barat dan timur
telah mencapai puncak kejayaannya. Baik dalam pemerintahan maupun ilmu
pengetahuan, tapi Islam di Barat (Spanyol) lebih menjadi perhatian dunia ketika
mampu mentransfer khazanah-khazanah Islam di Timur, dan bahkan
mengembangkannya. Filosof-filosof yang karya-karya besarnya banyak dikaji
dunia, lahir di kota tersebut. Diantaranya, Ibnu Bajjah, Ibnu T{ufail dan Ibnu
Rusyd dan masih banyak lagi yang lainnya.
Ibnu T{ufail dikatakan orang berada di suatu
tingkat yang ajaib dalam ilmunya, yakni berada dalam tingkat mistik yang penuh
kegembiraan. Beberapa orang menganggapnya sebagai orang panteis orang yang
menganggap tidak ada beda lagi antara dirinya dengan Tuhan. Anggapan ini ternyata
salah. Ia sebenarnya hanya seperti juga al-Ghazali, merasa telah mencapai
tingkat ma’rifat yang tinggi seperti katanya: ”Faka>na makana mimma> lan azkuruhu. Fadzannu khairan wala tas’al
anil khabari.” (terjadilah sesuatu yang tidak akan disebutkan akan
tetapi sangkalah dia sebagai suatu kebaikan juga, dan jangan tanya tentang
beritanya).
Ibnu T{ufail yang menjadi kajian dalam makalah
ini, juga mampu menyihir para cendekiawan dunia dengan karya monumentalnya,
Hayy Ibnu Yaqzan. Salah satu karya yang tersisa dalam sejarah pemikirannya.
Risalah atau novel aligoris yang bertajuk filosofis-mistis itu, menyita banyak
perhatian. Hayy Ibnu Yaqzan adalah refleksi dari pengalaman filosofis-mistis Ibnu
T{ufail. Dimana karya itu tidak lepas dari pembacaan ulang atau pengaruh dari
pemikiran Ibnu Sina. Namun Ibnu T{ufail di sini menghadirkan karya yang
berbeda.
Melalui kisah “Hayy Ibnu Yaqzan” ini, Ibnu
T{ufail menunjukkan bahwa dalam mencapai kebenaran, media yang digunakan
bukanlah tunggal, akan tetapi banyak dan beragam. Dalam kisah itu, dia
menampilkan sebuah novel aligoris yang mengkisahkan seorang bayi yang terdampar
di hutan dan di rawat oleh seekor rusa sampai bayi itu dewasa. Tanpa latar
belakang sosial budaya, anak itu dapat tumbuh dewasa dengan intelegensi yang
tinggi dan mampu mencapai tingkat spiritualitas yang paling tinggi. Sehingga ia
mampu menyingkap rahasia dibalik dunia ini dan mencapai titik Musyahadah,
akhirnya dapat menemukan kebenaran sejati.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana biografi Ibnu T{ufail ?
2. Bagaimana kisah dan isi kandungan “Hayy Ibnu
Yaqzan” ?
3. Bagaimana ajaran filsafat Ibnu T{ufail ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Ibnu T{ufail
Filosof Muslim kedua di Dunia Islam belahan
Barat ini hidup pada masa pemerintahan Daulat Muwahhidin.
Nama lengkap Ibnu T{ufail ialah Abu Bakar Muhammad Ibnu Abd Al-Malik Ibnu
Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu T{ufail Al-Qaisyi,
(Latin, Abubacer), pemuka besar pertama dalam pemikiran filosofis Muwahhid yang
berasal dari Spanyol, lahir pada dekade pertama abad ke-6 H/ke-12M di Guardix,
di Propinsi Granada. Ia termasuk dalam keluarga suku arab terkemuka, yaitu suku
Qaisy. Al-Markushi belajar kepada Ibnu Bajjah, yang kalau kita lihat sangkalan Ibnu
T{ufail bahwa dia mengenal filosof itu, adalah tidak benar.
Dia memulai karirnya sebagai dokter praktek di Granada dan lewat ketenarannya
dalam jabatan itu dia diangkat menjadi sekretaris Gubenur di Provinsi itu.
Kemudian, pada tahun 549 H/1154 M, dia menjadi sekretaris pribadi Gubernur
Ceuta dan Tangier, putra ‘Abd. Al-Mu’min, pengusaha Muwahhid Spanyol pertama yang merebut
Maroko pada tahun 542 H/1147 M. Akhirnya, dia menduduki jabatan dokter tinggi
dan menjadi Qadhi di pengadilan serta Wazir
Khalifah Muwahhid Abu Ya’qub Yusuf (memerintah tahun 558 H/1163 M - 580/1184 M
).
Ibnu T{ufail adalah seorang dokter, filosof,
ahli matematika dan penyair yang sangat terkenal dari Muwahhid Spanyol, tapi
sayangnya hanya sedikit sekali karya-karyanya yang di kenal orang. Ibnu Khatib
menganggap dua risalah mengenai ilmu pengobatan itu sebagai karyanya. Al-Bitruji
(muridnya) dan Ibnu Rusyd percaya bahwa dia memiliki “gagasan-gagasan astonomis
asli.” Al-Bitruji membuat sangkalan atas teori Ptolemeos mengenai epicycles*)
dan eccentric circles, yang dalam kata pengantar dari karyanya Kitab
al-Hai’ah dikemukakannya sebagai sumbangan dari gurunya Ibnu T{ufail.
Dengan mengutip perkataan Ibnu Rusyd, Ibnu Abi Usaibi’ah menganggap Fi al-Buqa>’ al-Maskunah wal-Ghair al-Maskunah
sebagai karya Ibnu T{ufail, tapi dalam catatan Ibnu Rusyd sendiri acuan semacam
itu tidak dapat ditemukan.
Al-Marrakushi, yang ahli sejarah itu, mengaku telah melihat naskah asli dari
salah satu risalahnya mengenai ilmu ketuhanan.
Miquel Casiri (1122 H/1710 M - 1205 H/1790 M) menyebutkan dua karya yang masih
ada: Risa>lah Hayy
Ibnu Yaqzan dan Asra>r
al-Hikmah al-Mashriqiyyah, yang disebut terakhir ini berbentuk
naskah.
Kata pengantar dari Asra>r menyebutkan bahwa risalah itu hanya
merupakan satu bagian dari Risa>lah Hayy Ibnu Yaqzan, yang judul lengkapnya ialah Risa>lah
Hayy Ibnu Yaqzan fi Asra>r
al-Hikmah al-Mashriqiyyah.
B.
Karya
Besar Ibnu T{ufail “Hayy Ibnu Yaqza>n”
Roman
filsafat Hayy Ibnu Yaqzan banyak menyita perhatian para sastrawan dan filosof
Timur dan Barat sejak ditulis oleh Ibnu T{ufail pada abad ke-6 H (12 M) hingga
menyeluruh bangsa Arab modern. Naskah roman filsafat Hayy Ibnu Yaqzan penulis
bahas agar juga mendapatkan segenap pemikiran Ibnu T{ufail yang terkandung
dalam kisah ini.
Hayy Ibnu Yaqzan merupakan kisah yang memuat
berbagai aspek. Seperti pendidikan, sistem pengetahuan, filsafat, tasawuf dan
sastra. Dari aspek sastra misalnya, karya ini mengandung nilai sastra yang
sangat tinggi. Dengan segala bahasa metaforis dan simbolisasi yang kuat dalam
kisah ini. Dan tradisi sastra tersebut sudah lama berkembang di dunia Timur
lalu berkembang dan berpindah ke bagian Barat dunia Islam dalam satu lintas
generasi.
Dan perlu diketahui bahwa subtansi gagasan yang
diusung roman ini bukanlah sesuatu yang sama sekali baru yang pernah ditulis. Terdapat
dua versi tulisan dengan judul Hayy Ibnu Yaqzan, yaitu versi Ibnu Sina dan
versi Ibnu T{ufail. Jadi, sebelum Ibnu T{ufail menulis Hayy Ibnu Yaqzan,
ternyata Ibnu Sina telah lebih dahulu menulisnya. Kendati judulnya sama,
ternyata versinya berbeda.
Yang berbeda dari karya ini adalah bagaimana Ibnu
T{ufail menampilkan gagasan filsafat yang dikemas dalam bentuk sebuah roman.
Subtansi gagasannya sendiri adalah perjumpaan manusia dengan “fitrah
primordial”nya di tengah alam yang primitif, dan pengembaraan intelektualnya
yang mencapai kebenaran puncak tanpa pengaruh sosial sedikitpun.
Adapun menurut versi Ibnu Sina, ia juga pernah menggunakan
roman ini sebagai ilustrasi perjalanan manusia menuju pengetahuan sejati. Tapi Ibnu
Sina menempatkan tokoh Hayy sebagai seorang kakek yang bijak dan mempunyai
pengetahuan luar bisa. Ibnu Sina juga menulis roman yang bertajuk sama yang
berjudul Salman wa Absal, tapi sudah hilang tak terlacak. Dalam risalah yang
ditulis oleh Ibnu Sina, Hayy Ibnu Yaqzan dilukiskan sebagai seorang syekh tua
yang di tangannya tergenggam kunci-kunci segenap pengetahuan, yang ia terima
dari Bapaknya. Syekh tua itu seorang pengembara yang dapat menjelajahi semua
penjuru bumi, dan disebutkan bahwa Ibnu Sina sendiri bersama kawan-kawannya,
dalam suatu perjalanan, berjumpa dengan syekh tua tersebut dan terjadilah
perkenalan serta dialog. Syekh tua dengan nama Hayy Ibnu Yaqzan dalam karya
tulis Ibnu Sina mungkin dimaksudkan oleh penulisnya sebagai tokoh simbolis bagi
Akal Aktif, yang selain berkomunikasi dengan para nabi, juga dengan para
filosof, atau mungkin juga dimaksudkan sebagai tokoh simbolik bagi akal
manusia, yang harus berkembang menjadi matang dalam menguasai pengetahuan, baik
praktis maupun teoritis, dan harus dapat mengendalikan potensi-potensi jiwa
nabati/hewani yang terdapat dalam jiwa insani.
Kisah Hayy Ibnu Yaqzan dalam Risalah Ibnu Sina,
bertujuan untuk menegaskan kekuatan akal dan keutamaannya dari segala yang
dimiliki manusia, termasuk naluri instingnya, semua itu tunduk pada akal.
Selain itu Ibnu Sina menunjukkan bagaimana hubungannya dan koherensinya antara
akal atas sampai bawah dengan teorinya berkembangnya akal sampai sepuluh.
Sedangkan dalam karyanya Ibnu T{ufail, lebih berkembang dengan tidak hanya
mengandalkan akal sebagai pencari pengetahuan sejati, tetapi juga intuisi.
Terkait masalah yang terakhir itu, Aspek
filsafat yang banyak dipengaruhi oleh Ibnu Bajjah sebagai pendahulunya dan
sebagai seorang filosof rasionalis murni, juga berperan penting karya Ibnu
T{ufail ini. Hal itu terlihat ketika Ibnu T{ufail mengakui pentingnya kesendirian dalam
mengembangkan nalar teoritis. Namun dia tidak puas terhadap peranan akal
disitu. Dan dinilai oleh Ibnu T{ufail bahwa karya Ibnu Bajjah, Tadhir
al-Mutawahhid ini sebagai karya yang kurang sempurna. Inilah yang menjadi
salah satu pemacu dalam menulis karya Hayy Ibnu Yaqzan.
Hal lain yang dapat dijadikan latar belakang
penulisan Hayy Ibnu Yaqzan yaitu ketidak puasan Ibnu T{ufail terhadap jalan
yang selama ini ditempuh oleh para sufi, seperti al-Ghazali. Dan menegaskan
bahwa metode iluminasi lebih tinggi dan lebih valid dalam mencapai kebenaran
sejati. Kalau sedikit berbalik ke dunia timur, dimana seorang filosof yang
bernama Suhrawardi juga menempatkan iluminasi sebagaimana yang paling utama.
Walaupun keduanya secara jarak sangat jauh dan tidak pernah ketemu.
Tokoh utama dalam kisah ini adalah Hayy Ibnu
Yaqzan sendiri. Dimana ia mengambarkan atau personifikasi dari akal manusia
sebagai instrumen memahami alam sekitar. Berangkat dari akal murni ini, Hayy
naik dalam tingkat selanjutnya dalam menguak rahasia alam ini. Yaitu melalui
intuisi sebagai alat untuk melihat benda-benda nonmateri yang lebih tinggi
derajatnya. Untuk lebih mendalami isi kandungan dalam kisah Hayy Ibnu Yaqzan
ini, perlu membaca ulang dan mengulas dulu isi kisah tersebut. Dengan analisis
dan tinjauan atasnya, akan lebih dipahami hikmah dan kandungannya.
Buku filsafat yang berjudul Hayy Ibnu Yaqzan
(“kehidupan anak kesadaran”) karya ini memang sama dengan buah karya Ibnu Sina yang
diakunya sendiri berisikan kebijaksanaan timur (Orental Wisdom). Kebijaksanaan
timur pulalah yang menjadi pokok pikiran Ibnu T{ufail dalam buku ini. Seperti
diakui Ibnu T{ufail, pokok pikiran ini bisa diidentifikasi sebagai tasawuf yang
kala itu ditolak oleh kebanyakan filosof muslim termasuk Ibnu Bajjah. Diskursus
rasional, menurut para filosof anti tasawuf bertolak belakang dengan pengalaman
mistis yang oleh para ahli diyakini bersifat ekstra rasional dan tak
terperikan.
C.
Ajaran
Filsafat Ibnu T{ufail
1.
Tentang
Dunia
Apakah dunia itu kekal, atau
diciptakan oleh Tuhan dari ketiadaan atas kehendak-Nya ? Inilah salah satu
masalah paling menantang dalam filsafat Muslim. Ibnu T{ufail, sejalan dengan
kemahiran dialektisnya, menghadapi masalah itu dengan tepat sebagaimana Kant.
Tidak seperti para pendahulunya, dia tidak menganut salah satu doktrin
saingannya, pun dia tidak berusaha mendamaikan mereka. Dilain pihak, dia
mengecam dengan pedas para pengikut Aristoteles dan sikap-sikap teologis.
Kekekalan dunia melibatkan konsep eksistensi tak terbatas yang tak kurang
mustahilnya dibandingkan gagasan tentang rentangan tak terbatas. Eksistensi
semacam itu tidak dapat lepas dari kejadian-kejadian yang diciptakan dan karena
itu tidak dapat mendahului mereka dalam hal waktu; dan yang tidak dapat ada
sebelum kejadian-kejadian yang tercipta itu pasti tercipta secara lambat laun.
Begitu pula konsep creation ex nihilo tidak dapat mempertahankan penelitiannya yang
seksama. Sebagaimana al-Ghazali dia mengemukakan bahwa gagasan yang mengenai
kemaujudan sebelum ketidak maujudan tidak dapat dipahami tanpa anggapan bahwa
waktu itu telah ada sebelum dunia ada; tapi waktu itu sendiri merupakan suatu
kejadian tak terpisahkan dari dunia, dan karena itu kemaujudannya mendahului
kemaujudan dunia dikesampingkan. Lagi, segala yang tercipta pasti membutuhkan
Pencipta. Kalau begitu mengapa sang Pencipta menciptakan dunia saat itu dan
bukan sebelumnya ? Apakah hal itu dikarenakan oleh sesuatu yang terjadi
atas-Nya ? Tentu saja tidak, sebab tiada sesuatu pun maujud sebelum Dia untuk
membuat sesuatu terjadi atas-Nya. Apakah hal itu mesti dianggap bersumber dari
suatu perubahan yang terjadi atas sifat-Nya ? Tapi adakah yang yang dapat menyebabkan
terjadinya perubahan itu ?
Karena itu Ibnu T{ufail tidak menerima baik pandangan mengenai kekekalan maupun
penciptaan sementara dunia ini.
2.
Tentang
Tuhan
Baik kekekalan dunia maupun creation
ex nihilo-nya bagaimanapun membawa kepada eksistensi suatu kemaujudan
nonfisik yang kekal.
Penciptaan dunia yang berlangsung lambat laun itu mensyaratkan adanya satu
Pencipta, sebab dunia tak bisa maujud dengan sendirinya. Juga, sang Pencipta
mesti bersifat immaterial, sebab materi yang merupakan suatu kejadian dunia
diciptakan oleh satu Pencipta. Dipihak lain, anggapan bahwa Tuhan bersifat
material akan membawa suatu kemunduran yang tiada akhir. Oleh karena itu, dunia
ini pasti mempunyai Penciptanya yang tidak berwujud benda. Dan karena Dia
bersifat immaterial maka kita tidak dapat mengenali-Nya lewat indera kita
ataupun lewat imajinasi; sebab imajinasi hanya menggambarkan hal-hal yang dapat
ditangkap oleh indera.
Kekekalan dunia berarti kekekalan
geraknya juga; dan gerak, sebagaimana dikatakan oleh Aristoteles, membutuhkan
penggerak atau penyebab efisien dari gerak itu. Jika penyebab efisien ini
berupa sebuah benda, maka kekuatannya tentu terbatas dan karenanya tidak mampu
menghasilkan suatu pengaruh yang tak terbatas. Oleh sebab itu, penyebab efisien
dari gerak kekal harus bersifat immaterial. Ia tidak boleh dihubungkan dengan
materi ataupun dipisahkan darinya, ada di dalam materi itu atau tanpa materi
itu; sebab penyatuan dan pemisahan, keterkandungan atau keterlepasan merupakan
tanda-tanda material, sedang penyebab efesien itu, sesungguhnya lepas sama
sekali dari semua itu.
Bagaimana juga, ada sebuah
pertanyaan disini. Tuhan dan dunia yang keduanya kekal, bagaimana bisa yang
pertama dianggap sebagai penyebab adanya yang kedua ? Dengan mengikuti
pandangan Ibnu Sina, Ibnu T{ufail membuat perbedaan antara kekekalan dalam
esensi dan kekekalan dalam waktu, dan percaya bahwa Tuhan ada sebelum adanya
dunia dalam hal esensi tapi tidak dalam hal waktu. Ambillah satu contoh. Jika
kau pegang sebuah benda dengan tanganmu dan kau gerakkan tanganmu, maka benda
itu, tak pelak lagi, akan bergerak dikarenakan gerak tangan itu, jadi gerak itu
tergantung pada gerak tangan. Gerak tangan mendahului gerak benda dalam
esensinya, dan gerak benda diambil dari gerak tangan tersebut,
meskipun dalam soal waktu keduanya tak saling mendahului.
Mengenai pandangan bahwa dunia dan
Tuhan sama-sama kekal, Ibnu T{ufail mempertahankan pendapat mistisnya bahwa
dunia itu bukanlah sesuatu yang lain dari Tuhan. Dan mengenai esensi Tuhan yang
ditafsirkan sebagai cahaya, yang sifat esensialnya merupakan penerangan dan
pengejawantahan, sebagaimana dipercaya oleh al-Ghazali, Ibnu T{ufail memandang dunia
ini sebagai pengejawantahan dari esensi Tuhan sendiri dan bayangan cahaya-Nya
sendiri yang tidak berawal ataupun berakhir. Dunia tidak akan hancur
sebagaimana yang ada pada kepercayaan akan Hari Penentuan. Kehancurannya berupa
keberalihannya menjadi bentuk lain dan bukannya merupakan suatu kehancuran
sepenuhnya. Dunia mesti terus berlangsung dalam satu atau bentuk lain, sebab
kehancurannya tidak sesuai dengan kebenaran mistis yang tinggi, yaitu bahwa
sifat esensi Tuhan merupakan penerangan dan pengejawantahan kekal.
3.
Tentang
Kosmologi Cahaya
Sesuai sekali dengan pandangan
Ibnu Sina dan para pendahulunya yang lain, Ibnu T{ufail menerima prinsip bahwa dari
satu tidak ada lagi apa-apa kecuali satu ini. Manifestasi kemajemukan
kemaujudan dari yang satu dijelaskannya dalam gaya Neo-Platonik yang monoton,
sebagai tahap-tahap berurutan pemancaran yang berasal dari cahaya Tuhan. Prose
situ, pada prinsipnya, sama dengan refleksi terus-menerus cahaya matahari pada
cermin. Cahaya matahari yang jatuh pada cermin dan yang dari sana menuju ke
yang lain dan seterusnya, menunjukkan kemajemukan. Semua itu merupakan pantulan
cahaya matahari, dan bukan matahari itu sendiri, juga bukan cermin itu sendiri;
bukan pula sesuatu yang lain dari matahari atau cermin itu. Kemajemukan cahaya
yang dipantulkan itu hilang menyatu dengan matahari kalau kita pandang sumber
cahaya itu, tapi timbul lagi kalau kita pandang cermin, yang disitu cahaya
tersebut dipantulkan. Hal yang sama berlaku juga pada cahaya tersebut
dipantulkan. Hal yang sama berlaku juga pada cahaya pertama beserta
perwujudannya di dalam kosmos.
4.
Tentang Epistimologi
Pengetahuan
Jiwa, dalam tahap awalnya, bukanlah suatu
tabulah rasa, atau papan tulis kosong. Imaji Tuhan telah tersirat di dalamnya
sejak awal, tapi untuk menjadikannya tampak nyata, kita perlu memulai dengan
pikiran yang jernih, tanpa prasangka. Keterlepasan dari prasangka dan
kecenderungan sosial, sebagai kondisi awal semua pengetahuan, merupakan gagasan
sesungguhnya di balik kelahiran tiba-tiba Hayy di pulau kosong. Setelah hal ini
tercapai, pengalaman, inteleksi dan ekstase memainkan dengan bebas peranan
mereka secara berurutan dalam memberikan visi yang jernih tentang kebenaran
yang melekat pada jiwa. Bukan hanya disiplin jiwa, tapi juga pendidikan semua
indera dan akal, yang diperlukan untuk mendapatkan visi semacam itu.
Pengamatan memberi kita pengetahuan mengenai
benda-benda yang oleh akal induktif, dengan alat-alat pembanding dan
pembedanya, dikelompokkan menjadi mineral, tanaman dan hewan. Setiap kelompok
benda ini memperlihatkan fungsi-fungsi tertentu, yang membuat kita menerima
bentuk-bentuk atau jiwa-jiwa (seperti Aristoteles) sebagai penyebab
fungsi-fungsi tertentu berbagai benda. Tapi hipotesis semacam itu tidaklah
dapat dipertahankan atas dasar induktif, sebab bentuk atau jiwa yang dimaksud
itu tidak dapat diamati secara langsung. Tak pelak lagi tindakan-tindakan
tampak muncul dari suatu tubuh tertentu; tapi kenyataannya, mereka tidak
ditimbulkan bukan oleh tubuh itu atau ruh tubuh itu, melainkan oleh sebab
tertentu yang ada di luarnya dan sebab itu ialah Tuhan.
Setelah mendidik indera dan akal serta
memperhatikan keterbatasan keduanya, Ibnu T{ufail akhirnya berpaling kepada
disiplin jiwa, yang membawa kepada ekstasem, sumber tertinggi pengetahuan.
Dalam taraf ini, kebenaran tidak lagi dicapai lewat proses deduksi atau
induksi, tapi dapat dilihat secara langsung dan intuitif lewat cahaya yang ada
di dalamnya. Jiwa menjadi sadar diri dan mengalami “apa yang tak pernah dilihat
mata, atau didengar telinga, atau dirasa hati orang mana pun.”
Taraf ekstase tak terkatakan atau terlukiskan, sebab lingkup kata-kata terbatas
pada apa yang dapat dilihat, didengar atau dirasa. Esensi Tuhan, yang merupakan
cahaya suci, hanya bisa dilihat lewat cahaya di dalam esensi itu sendiri, yang
masuk ke dalam esensi itu lewat pendidikan yang tepat atas indera, akal serta
jiwa. Karena itu pengetahuan esensi merupakan esenti itu sendiri. Esensi dan
visinya adalah sama.
5.
Tentang Qadi>m
atau H{a>dis} –nya Alam
Ibnu T{ufail juga menyinggung persoalan apakah
alam ini h}adis} (baharu; bermula; adanya didahului oleh tiada) atau qadi>m
(tidak bermula). Ia menyadari keberatan suatu pihak terhadap pandangan bahwa
alam itu h}adis} dan juga keberatan pihak lain terhadap pandangan bahwa
alam itu qadi>m. Tanpa menunjukkan kecenderungannya kepada salah satu
dari kedua paham itu, ia berpendapat bahwa pada masing-masing dari kedua paham
itu diakui adanya Tuhan yang bersifat immateri, yang menjadi pencipta alam
semesta ini. Jika alam ini pernah tidak ada, maka tentu perlu adanya sesuatu yang
menciptakan alam itu dari tidak ada menjadi ada, dan pencipta itulah yang disebut
Tuhan. Bila alam itu qadim, maka itu adalah akibat penciptaan oleh Tuhan sejak qadi>m.
Alam yang terbatas ini tidak mungkin selamanya bergerak bila ia bergerak dengan
tenaganya sendiri yang terbatas. Oleh sebab itu, alam yang terbatas tetap butuh
pada sesuatu yang tidak terbatas, yang haruslah bersifat imateri, yang
menjadikan penggerak alam ini, dan penggerak demikian adalah Tuhan.
Comments
Post a Comment