KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS

KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS Pendahuluan latar belakang Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah dua sumber utama ajaran Islam. Oleh karena itu, keduanya selalu dijadikan landasan keyakinan, ritual, adat istiadat, etika, ekonomi, politik, peradaban dan seluruh aspek kehidupan umat Islam, baik yang sakral maupun duniawi, pada tataran ¥ abl minallah (vertikal) dan ¥ abl min al. -n ± s (horizontal).

IBN AL-TUFAIL

BAB I
PENDAHULUAN
A.              Latar Belakang
Pada zaman pertengahan, Islam di barat dan timur telah mencapai puncak kejayaannya. Baik dalam pemerintahan maupun ilmu pengetahuan, tapi Islam di Barat (Spanyol) lebih menjadi perhatian dunia ketika mampu mentransfer khazanah-khazanah Islam di Timur, dan bahkan mengembangkannya. Filosof-filosof yang karya-karya besarnya banyak dikaji dunia, lahir di kota tersebut. Diantaranya, Ibnu Bajjah, Ibnu T{ufail dan Ibnu Rusyd dan masih banyak lagi yang lainnya.
Ibnu T{ufail dikatakan orang berada di suatu tingkat yang ajaib dalam ilmunya, yakni berada dalam tingkat mistik yang penuh kegembiraan. Beberapa orang menganggapnya sebagai orang panteis orang yang menganggap tidak ada beda lagi antara dirinya dengan Tuhan. Anggapan ini ternyata salah. Ia sebenarnya hanya seperti juga al-Ghazali, merasa telah mencapai tingkat ma’rifat yang tinggi seperti katanya: ”Faka>na makana mimma> lan azkuruhu. Fadzannu khairan wala tas’al anil khabari.” (terjadilah sesuatu yang tidak akan disebutkan akan tetapi sangkalah dia sebagai suatu kebaikan juga, dan jangan tanya tentang beritanya).
Ibnu T{ufail yang menjadi kajian dalam makalah ini, juga mampu menyihir para cendekiawan dunia dengan karya monumentalnya, Hayy Ibnu Yaqzan. Salah satu karya yang tersisa dalam sejarah pemikirannya. Risalah atau novel aligoris yang bertajuk filosofis-mistis itu, menyita banyak perhatian. Hayy Ibnu Yaqzan adalah refleksi dari pengalaman filosofis-mistis Ibnu T{ufail. Dimana karya itu tidak lepas dari pembacaan ulang atau pengaruh dari pemikiran Ibnu Sina. Namun Ibnu T{ufail di sini menghadirkan karya yang berbeda.
Melalui kisah “Hayy Ibnu Yaqzan” ini, Ibnu T{ufail menunjukkan bahwa dalam mencapai kebenaran, media yang digunakan bukanlah tunggal, akan tetapi banyak dan beragam. Dalam kisah itu, dia menampilkan sebuah novel aligoris yang mengkisahkan seorang bayi yang terdampar di hutan dan di rawat oleh seekor rusa sampai bayi itu dewasa. Tanpa latar belakang sosial budaya, anak itu dapat tumbuh dewasa dengan intelegensi yang tinggi dan mampu mencapai tingkat spiritualitas yang paling tinggi. Sehingga ia mampu menyingkap rahasia dibalik dunia ini dan mencapai titik Musyahadah, akhirnya dapat menemukan kebenaran sejati.
B.              Rumusan Masalah
1.      Bagaimana biografi Ibnu T{ufail ?
2.      Bagaimana kisah dan isi kandungan “Hayy Ibnu Yaqzan” ?
3.      Bagaimana ajaran filsafat Ibnu T{ufail ?

BAB II
PEMBAHASAN
A.              Biografi Ibnu T{ufail
Filosof Muslim kedua di Dunia Islam belahan Barat ini hidup pada masa pemerintahan Daulat Muwahhidin.[1] Nama lengkap Ibnu T{ufail ialah Abu Bakar Muhammad Ibnu Abd Al-Malik Ibnu Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu T{ufail  Al-Qaisyi, (Latin, Abubacer), pemuka besar pertama dalam pemikiran filosofis Muwahhid yang berasal dari Spanyol, lahir pada dekade pertama abad ke-6 H/ke-12M di Guardix, di Propinsi Granada. Ia termasuk dalam keluarga suku arab terkemuka, yaitu suku Qaisy. Al-Markushi belajar kepada Ibnu Bajjah, yang kalau kita lihat sangkalan Ibnu T{ufail bahwa dia mengenal filosof itu, adalah tidak benar.[2] Dia memulai karirnya sebagai dokter praktek di Granada dan lewat ketenarannya dalam jabatan itu dia diangkat menjadi sekretaris Gubenur di Provinsi itu. Kemudian, pada tahun 549 H/1154 M, dia menjadi sekretaris pribadi Gubernur Ceuta dan Tangier, putra ‘Abd. Al-Mu’min, pengusaha Muwahhid Spanyol pertama yang merebut Maroko pada tahun 542 H/1147 M. Akhirnya, dia menduduki jabatan dokter tinggi dan menjadi Qadhi di pengadilan serta Wazir[3] Khalifah Muwahhid Abu Ya’qub Yusuf (memerintah tahun 558 H/1163 M - 580/1184 M ).
Ibnu T{ufail adalah seorang dokter, filosof, ahli matematika dan penyair yang sangat terkenal dari Muwahhid Spanyol, tapi sayangnya hanya sedikit sekali karya-karyanya yang di kenal orang. Ibnu Khatib menganggap dua risalah mengenai ilmu pengobatan itu sebagai karyanya. Al-Bitruji (muridnya) dan Ibnu Rusyd percaya bahwa dia memiliki “gagasan-gagasan astonomis asli.” Al-Bitruji membuat sangkalan atas teori Ptolemeos mengenai epicycles*) dan eccentric circles, yang dalam kata pengantar dari karyanya Kitab al-Hai’ah dikemukakannya sebagai sumbangan dari gurunya Ibnu T{ufail.[4] Dengan mengutip perkataan Ibnu Rusyd, Ibnu Abi Usaibi’ah menganggap Fi al-Buqa>’ al-Maskunah wal-Ghair al-Maskunah sebagai karya Ibnu T{ufail, tapi dalam catatan Ibnu Rusyd sendiri acuan semacam itu tidak dapat ditemukan.[5] Al-Marrakushi, yang ahli sejarah itu, mengaku telah melihat naskah asli dari salah satu risalahnya mengenai ilmu ketuhanan.[6] Miquel Casiri (1122 H/1710 M - 1205 H/1790 M) menyebutkan dua karya yang masih ada: Risa>lah Hayy Ibnu Yaqzan dan Asra>r al-Hikmah al-Mashriqiyyah, yang disebut terakhir ini berbentuk naskah.[7] Kata pengantar dari Asra>r menyebutkan bahwa risalah itu hanya merupakan satu bagian dari Risa>lah Hayy Ibnu Yaqzan, yang judul lengkapnya ialah Risa>lah Hayy Ibnu Yaqzan fi Asra>r al-Hikmah al-Mashriqiyyah.[8]
B.                 Karya Besar Ibnu T{ufail “Hayy Ibnu Yaqza>n”
Roman filsafat Hayy Ibnu Yaqzan banyak menyita perhatian para sastrawan dan filosof Timur dan Barat sejak ditulis oleh Ibnu T{ufail pada abad ke-6 H (12 M) hingga menyeluruh bangsa Arab modern. Naskah roman filsafat Hayy Ibnu Yaqzan penulis bahas agar juga mendapatkan segenap pemikiran Ibnu T{ufail yang terkandung dalam kisah ini.
Hayy Ibnu Yaqzan merupakan kisah yang memuat berbagai aspek. Seperti pendidikan, sistem pengetahuan, filsafat, tasawuf dan sastra. Dari aspek sastra misalnya, karya ini mengandung nilai sastra yang sangat tinggi. Dengan segala bahasa metaforis dan simbolisasi yang kuat dalam kisah ini. Dan tradisi sastra tersebut sudah lama berkembang di dunia Timur lalu berkembang dan berpindah ke bagian Barat dunia Islam dalam satu lintas generasi.
Dan perlu diketahui bahwa subtansi gagasan yang diusung roman ini bukanlah sesuatu yang sama sekali baru yang pernah ditulis. Terdapat dua versi tulisan dengan judul Hayy Ibnu Yaqzan, yaitu versi Ibnu Sina dan versi Ibnu T{ufail. Jadi, sebelum Ibnu T{ufail menulis Hayy Ibnu Yaqzan, ternyata Ibnu Sina telah lebih dahulu menulisnya. Kendati judulnya sama, ternyata versinya berbeda.[9]
Yang berbeda dari karya ini adalah bagaimana Ibnu T{ufail menampilkan gagasan filsafat yang dikemas dalam bentuk sebuah roman. Subtansi gagasannya sendiri adalah perjumpaan manusia dengan “fitrah primordial”nya di tengah alam yang primitif, dan pengembaraan intelektualnya yang mencapai kebenaran puncak tanpa pengaruh sosial sedikitpun.
Adapun menurut versi Ibnu Sina, ia juga pernah menggunakan roman ini sebagai ilustrasi perjalanan manusia menuju pengetahuan sejati. Tapi Ibnu Sina menempatkan tokoh Hayy sebagai seorang kakek yang bijak dan mempunyai pengetahuan luar bisa. Ibnu Sina juga menulis roman yang bertajuk sama yang berjudul Salman wa Absal, tapi sudah hilang tak terlacak. Dalam risalah yang ditulis oleh Ibnu Sina, Hayy Ibnu Yaqzan dilukiskan sebagai seorang syekh tua yang di tangannya tergenggam kunci-kunci segenap pengetahuan, yang ia terima dari Bapaknya. Syekh tua itu seorang pengembara yang dapat menjelajahi semua penjuru bumi, dan disebutkan bahwa Ibnu Sina sendiri bersama kawan-kawannya, dalam suatu perjalanan, berjumpa dengan syekh tua tersebut dan terjadilah perkenalan serta dialog. Syekh tua dengan nama Hayy Ibnu Yaqzan dalam karya tulis Ibnu Sina mungkin dimaksudkan oleh penulisnya sebagai tokoh simbolis bagi Akal Aktif, yang selain berkomunikasi dengan para nabi, juga dengan para filosof, atau mungkin juga dimaksudkan sebagai tokoh simbolik bagi akal manusia, yang harus berkembang menjadi matang dalam menguasai pengetahuan, baik praktis maupun teoritis, dan harus dapat mengendalikan potensi-potensi jiwa nabati/hewani yang terdapat dalam jiwa insani.[10]
Kisah Hayy Ibnu Yaqzan dalam Risalah Ibnu Sina, bertujuan untuk menegaskan kekuatan akal dan keutamaannya dari segala yang dimiliki manusia, termasuk naluri instingnya, semua itu tunduk pada akal. Selain itu Ibnu Sina menunjukkan bagaimana hubungannya dan koherensinya antara akal atas sampai bawah dengan teorinya berkembangnya akal sampai sepuluh. Sedangkan dalam karyanya Ibnu T{ufail, lebih berkembang dengan tidak hanya mengandalkan akal sebagai pencari pengetahuan sejati, tetapi juga intuisi.
Terkait masalah yang terakhir itu, Aspek filsafat yang banyak dipengaruhi oleh Ibnu Bajjah sebagai pendahulunya dan sebagai seorang filosof rasionalis murni, juga berperan penting karya Ibnu T{ufail ini. Hal itu terlihat ketika Ibnu T{ufail  mengakui pentingnya kesendirian dalam mengembangkan nalar teoritis. Namun dia tidak puas terhadap peranan akal disitu. Dan dinilai oleh Ibnu T{ufail bahwa karya Ibnu Bajjah, Tadhir al-Mutawahhid ini sebagai karya yang kurang sempurna. Inilah yang menjadi salah satu pemacu dalam menulis karya Hayy Ibnu Yaqzan.
Hal lain yang dapat dijadikan latar belakang penulisan Hayy Ibnu Yaqzan yaitu ketidak puasan Ibnu T{ufail terhadap jalan yang selama ini ditempuh oleh para sufi, seperti al-Ghazali. Dan menegaskan bahwa metode iluminasi lebih tinggi dan lebih valid dalam mencapai kebenaran sejati. Kalau sedikit berbalik ke dunia timur, dimana seorang filosof yang bernama Suhrawardi juga menempatkan iluminasi sebagaimana yang paling utama. Walaupun keduanya secara jarak sangat jauh dan tidak pernah ketemu.
Tokoh utama dalam kisah ini adalah Hayy Ibnu Yaqzan sendiri. Dimana ia mengambarkan atau personifikasi dari akal manusia sebagai instrumen memahami alam sekitar. Berangkat dari akal murni ini, Hayy naik dalam tingkat selanjutnya dalam menguak rahasia alam ini. Yaitu melalui intuisi sebagai alat untuk melihat benda-benda nonmateri yang lebih tinggi derajatnya. Untuk lebih mendalami isi kandungan dalam kisah Hayy Ibnu Yaqzan ini, perlu membaca ulang dan mengulas dulu isi kisah tersebut. Dengan analisis dan tinjauan atasnya, akan lebih dipahami hikmah dan kandungannya.
Buku filsafat yang berjudul Hayy Ibnu Yaqzan (“kehidupan anak kesadaran”) karya ini memang sama dengan buah karya Ibnu Sina yang diakunya sendiri berisikan kebijaksanaan timur (Orental Wisdom). Kebijaksanaan timur pulalah yang menjadi pokok pikiran Ibnu T{ufail dalam buku ini. Seperti diakui Ibnu T{ufail, pokok pikiran ini bisa diidentifikasi sebagai tasawuf yang kala itu ditolak oleh kebanyakan filosof muslim termasuk Ibnu Bajjah. Diskursus rasional, menurut para filosof anti tasawuf bertolak belakang dengan pengalaman mistis yang oleh para ahli diyakini bersifat ekstra rasional dan tak terperikan.
C.                Ajaran Filsafat Ibnu T{ufail
1.                  Tentang Dunia
            Apakah dunia itu kekal, atau diciptakan oleh Tuhan dari ketiadaan atas kehendak-Nya ? Inilah salah satu masalah paling menantang dalam filsafat Muslim. Ibnu T{ufail, sejalan dengan kemahiran dialektisnya, menghadapi masalah itu dengan tepat sebagaimana Kant. Tidak seperti para pendahulunya, dia tidak menganut salah satu doktrin saingannya, pun dia tidak berusaha mendamaikan mereka. Dilain pihak, dia mengecam dengan pedas para pengikut Aristoteles dan sikap-sikap teologis. Kekekalan dunia melibatkan konsep eksistensi tak terbatas yang tak kurang mustahilnya dibandingkan gagasan tentang rentangan tak terbatas. Eksistensi semacam itu tidak dapat lepas dari kejadian-kejadian yang diciptakan dan karena itu tidak dapat mendahului mereka dalam hal waktu; dan yang tidak dapat ada sebelum kejadian-kejadian yang tercipta itu pasti tercipta secara lambat laun. Begitu pula konsep creation ex nihilo  tidak dapat mempertahankan penelitiannya yang seksama. Sebagaimana al-Ghazali dia mengemukakan bahwa gagasan yang mengenai kemaujudan sebelum ketidak maujudan tidak dapat dipahami tanpa anggapan bahwa waktu itu telah ada sebelum dunia ada; tapi waktu itu sendiri merupakan suatu kejadian tak terpisahkan dari dunia, dan karena itu kemaujudannya mendahului kemaujudan dunia dikesampingkan. Lagi, segala yang tercipta pasti membutuhkan Pencipta. Kalau begitu mengapa sang Pencipta menciptakan dunia saat itu dan bukan sebelumnya ? Apakah hal itu dikarenakan oleh sesuatu yang terjadi atas-Nya ? Tentu saja tidak, sebab tiada sesuatu pun maujud sebelum Dia untuk membuat sesuatu terjadi atas-Nya. Apakah hal itu mesti dianggap bersumber dari suatu perubahan yang terjadi atas sifat-Nya ? Tapi adakah yang yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan itu ?[11] Karena itu Ibnu T{ufail tidak menerima baik pandangan mengenai kekekalan maupun penciptaan sementara dunia ini.
2.                  Tentang Tuhan
            Baik kekekalan dunia maupun creation ex nihilo-nya bagaimanapun membawa kepada eksistensi suatu kemaujudan nonfisik yang kekal.[12] Penciptaan dunia yang berlangsung lambat laun itu mensyaratkan adanya satu Pencipta, sebab dunia tak bisa maujud dengan sendirinya. Juga, sang Pencipta mesti bersifat immaterial, sebab materi yang merupakan suatu kejadian dunia diciptakan oleh satu Pencipta. Dipihak lain, anggapan bahwa Tuhan bersifat material akan membawa suatu kemunduran yang tiada akhir. Oleh karena itu, dunia ini pasti mempunyai Penciptanya yang tidak berwujud benda. Dan karena Dia bersifat immaterial maka kita tidak dapat mengenali-Nya lewat indera kita ataupun lewat imajinasi; sebab imajinasi hanya menggambarkan hal-hal yang dapat ditangkap oleh indera.
            Kekekalan dunia berarti kekekalan geraknya juga; dan gerak, sebagaimana dikatakan oleh Aristoteles, membutuhkan penggerak atau penyebab efisien dari gerak itu. Jika penyebab efisien ini berupa sebuah benda, maka kekuatannya tentu terbatas dan karenanya tidak mampu menghasilkan suatu pengaruh yang tak terbatas. Oleh sebab itu, penyebab efisien dari gerak kekal harus bersifat immaterial. Ia tidak boleh dihubungkan dengan materi ataupun dipisahkan darinya, ada di dalam materi itu atau tanpa materi itu; sebab penyatuan dan pemisahan, keterkandungan atau keterlepasan merupakan tanda-tanda material, sedang penyebab efesien itu, sesungguhnya lepas sama sekali dari semua itu.
            Bagaimana juga, ada sebuah pertanyaan disini. Tuhan dan dunia yang keduanya kekal, bagaimana bisa yang pertama dianggap sebagai penyebab adanya yang kedua ? Dengan mengikuti pandangan Ibnu Sina, Ibnu T{ufail membuat perbedaan antara kekekalan dalam esensi dan kekekalan dalam waktu, dan percaya bahwa Tuhan ada sebelum adanya dunia dalam hal esensi tapi tidak dalam hal waktu. Ambillah satu contoh. Jika kau pegang sebuah benda dengan tanganmu dan kau gerakkan tanganmu, maka benda itu, tak pelak lagi, akan bergerak dikarenakan gerak tangan itu, jadi gerak itu tergantung pada gerak tangan. Gerak tangan mendahului gerak benda dalam esensinya, dan gerak benda diambil dari gerak tangan tersebut,[13] meskipun dalam soal waktu keduanya tak saling mendahului.
            Mengenai pandangan bahwa dunia dan Tuhan sama-sama kekal, Ibnu T{ufail mempertahankan pendapat mistisnya bahwa dunia itu bukanlah sesuatu yang lain dari Tuhan. Dan mengenai esensi Tuhan yang ditafsirkan sebagai cahaya, yang sifat esensialnya merupakan penerangan dan pengejawantahan, sebagaimana dipercaya oleh al-Ghazali, Ibnu T{ufail memandang dunia ini sebagai pengejawantahan dari esensi Tuhan sendiri dan bayangan cahaya-Nya sendiri yang tidak berawal ataupun berakhir. Dunia tidak akan hancur sebagaimana yang ada pada kepercayaan akan Hari Penentuan. Kehancurannya berupa keberalihannya menjadi bentuk lain dan bukannya merupakan suatu kehancuran sepenuhnya. Dunia mesti terus berlangsung dalam satu atau bentuk lain, sebab kehancurannya tidak sesuai dengan kebenaran mistis yang tinggi, yaitu bahwa sifat esensi Tuhan merupakan penerangan dan pengejawantahan kekal.[14]
3.                  Tentang Kosmologi Cahaya
            Sesuai sekali dengan pandangan Ibnu Sina dan para pendahulunya yang lain, Ibnu T{ufail menerima prinsip bahwa dari satu tidak ada lagi apa-apa kecuali satu ini. Manifestasi kemajemukan kemaujudan dari yang satu dijelaskannya dalam gaya Neo-Platonik yang monoton, sebagai tahap-tahap berurutan pemancaran yang berasal dari cahaya Tuhan. Prose situ, pada prinsipnya, sama dengan refleksi terus-menerus cahaya matahari pada cermin. Cahaya matahari yang jatuh pada cermin dan yang dari sana menuju ke yang lain dan seterusnya, menunjukkan kemajemukan. Semua itu merupakan pantulan cahaya matahari, dan bukan matahari itu sendiri, juga bukan cermin itu sendiri; bukan pula sesuatu yang lain dari matahari atau cermin itu. Kemajemukan cahaya yang dipantulkan itu hilang menyatu dengan matahari kalau kita pandang sumber cahaya itu, tapi timbul lagi kalau kita pandang cermin, yang disitu cahaya tersebut dipantulkan. Hal yang sama berlaku juga pada cahaya tersebut dipantulkan. Hal yang sama berlaku juga pada cahaya pertama beserta perwujudannya di dalam kosmos.[15]
4.                  Tentang Epistimologi Pengetahuan
Jiwa, dalam tahap awalnya, bukanlah suatu tabulah rasa, atau papan tulis kosong. Imaji Tuhan telah tersirat di dalamnya sejak awal, tapi untuk menjadikannya tampak nyata, kita perlu memulai dengan pikiran yang jernih, tanpa prasangka. Keterlepasan dari prasangka dan kecenderungan sosial, sebagai kondisi awal semua pengetahuan, merupakan gagasan sesungguhnya di balik kelahiran tiba-tiba Hayy di pulau kosong. Setelah hal ini tercapai, pengalaman, inteleksi dan ekstase memainkan dengan bebas peranan mereka secara berurutan dalam memberikan visi yang jernih tentang kebenaran yang melekat pada jiwa. Bukan hanya disiplin jiwa, tapi juga pendidikan semua indera dan akal, yang diperlukan untuk mendapatkan visi semacam itu.
Pengamatan memberi kita pengetahuan mengenai benda-benda yang oleh akal induktif, dengan alat-alat pembanding dan pembedanya, dikelompokkan menjadi mineral, tanaman dan hewan. Setiap kelompok benda ini memperlihatkan fungsi-fungsi tertentu, yang membuat kita menerima bentuk-bentuk atau jiwa-jiwa (seperti Aristoteles) sebagai penyebab fungsi-fungsi tertentu berbagai benda. Tapi hipotesis semacam itu tidaklah dapat dipertahankan atas dasar induktif, sebab bentuk atau jiwa yang dimaksud itu tidak dapat diamati secara langsung. Tak pelak lagi tindakan-tindakan tampak muncul dari suatu tubuh tertentu; tapi kenyataannya, mereka tidak ditimbulkan bukan oleh tubuh itu atau ruh tubuh itu, melainkan oleh sebab tertentu yang ada di luarnya dan sebab itu ialah Tuhan.[16]
Setelah mendidik indera dan akal serta memperhatikan keterbatasan keduanya, Ibnu T{ufail akhirnya berpaling kepada disiplin jiwa, yang membawa kepada ekstasem, sumber tertinggi pengetahuan. Dalam taraf ini, kebenaran tidak lagi dicapai lewat proses deduksi atau induksi, tapi dapat dilihat secara langsung dan intuitif lewat cahaya yang ada di dalamnya. Jiwa menjadi sadar diri dan mengalami “apa yang tak pernah dilihat mata, atau didengar telinga, atau dirasa hati orang mana pun.”[17] Taraf ekstase tak terkatakan atau terlukiskan, sebab lingkup kata-kata terbatas pada apa yang dapat dilihat, didengar atau dirasa. Esensi Tuhan, yang merupakan cahaya suci, hanya bisa dilihat lewat cahaya di dalam esensi itu sendiri, yang masuk ke dalam esensi itu lewat pendidikan yang tepat atas indera, akal serta jiwa. Karena itu pengetahuan esensi merupakan esenti itu sendiri. Esensi dan visinya adalah sama.[18]
5.                  Tentang Qadi>m atau H{a>dis} –nya Alam
Ibnu T{ufail juga menyinggung persoalan apakah alam ini h}adis} (baharu; bermula; adanya didahului oleh tiada) atau qadi>m (tidak bermula). Ia menyadari keberatan suatu pihak terhadap pandangan bahwa alam itu h}adis} dan juga keberatan pihak lain terhadap pandangan bahwa alam itu qadi>m. Tanpa menunjukkan kecenderungannya kepada salah satu dari kedua paham itu, ia berpendapat bahwa pada masing-masing dari kedua paham itu diakui adanya Tuhan yang bersifat immateri, yang menjadi pencipta alam semesta ini. Jika alam ini pernah tidak ada, maka tentu perlu adanya sesuatu yang menciptakan alam itu dari tidak ada menjadi ada, dan pencipta itulah yang disebut Tuhan. Bila alam itu qadim, maka itu adalah akibat penciptaan oleh Tuhan sejak qadi>m. Alam yang terbatas ini tidak mungkin selamanya bergerak bila ia bergerak dengan tenaganya sendiri yang terbatas. Oleh sebab itu, alam yang terbatas tetap butuh pada sesuatu yang tidak terbatas, yang haruslah bersifat imateri, yang menjadikan penggerak alam ini, dan penggerak demikian adalah Tuhan.[19]



[1]Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, (Jakarta, Djambatan 2003), h.122.
[2]Ahmad Amin, Hay ibn Yaqzan, (Mesir 1952), h. 62.
[3]Leon Gauthier meragukan apakah dia benar-benar memangku jabatan itu, sebab hanya ada satu teks yang menjelaskan bahwa dia memangku jabatan tersebut dan al-Bitruji, muridnya, hanya menyebutnya Qadhi. Bandingkan dengan Encyclopedia of Islam Jil. II, h. 424.
[4]The Making of Humanity, h.188.
[5]A.S. Nadawi, Hukama’I Islam, Jil. II, h.42.
[6]Khilafat-I Muwahhidin, h.237.
[7]MS. No. 669, Escorial; diterbitkan Bulaq, 1882. Leon Gauthier, Ibn Tufail, h.32-34.
[8]Leon Gauthier, op.cit., h.33.
[9]Abdul Aziz Dahlan, op.cit., h.123.
[10]Abdul Aziz Dahlan, op.cit., h.123-124.
[11]Hayy ibn Yaqzan, h.95.
[12]Ibid., h.96-97.
[13]Ibid., h.98.
[14]Ibid., h.120.
[15]Ibid., h.117.
[16]Hayy Ibn Yaqzan, h.92.
[17]Ibid., h.114.
[18]Ibid., h.115.
[19]Abdul Aziz Dahlan, op.cit., h.128.

Comments

BERITA TERBARU !!

Popular posts from this blog

BIL MA'TSUR ( TAFSIR AYAT DENGAN AYAT )

CARA MELAKUKAN TAKHRIJ HADIS

download TAFSIR AL-NASAFIY

cara atau Kaedah al-Jarh Wa al-Ta’dil Serta Aplikasinya

HADIS TARBAWIY DAN AKHLAK (BERKURANGNYA IMAN KARENA MAKSIAT)

kaedah 'ATAF - AL-'ATFU DALAM AL-QUR'AN

cara TAMBAHAN - kaedah ZIYADAH DALAM AL-QUR'AN

KAEDAH 'AM DAN KHAS

cara melakukan MUNASABAH AYAT

KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS