KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS

KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS Pendahuluan latar belakang Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah dua sumber utama ajaran Islam. Oleh karena itu, keduanya selalu dijadikan landasan keyakinan, ritual, adat istiadat, etika, ekonomi, politik, peradaban dan seluruh aspek kehidupan umat Islam, baik yang sakral maupun duniawi, pada tataran ¥ abl minallah (vertikal) dan ¥ abl min al. -n ± s (horizontal).

RABIATUL ADAWIYAH

RABIATUL ADAWIYAH

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Tasawuf adalah salah satu pilar Islam. Tasawuf secara umum merujuk kepada kebersihan batin yang menjadi sikap dan ajaran di dalam mendekatkan diri kepada Allah swt. Apabila Allah adalah sesuatu yang maha suci dan Maha Agung, maka Dia hanya bisa didekati dengan kesucian dan kebersihan diri serta keagungan tingkah laku hamba-Nya. Dengan demikian, tasawuf ingin membawa manusia kepada kedekatan hakiki hingga hidup menjadi utuh.
Tasawuf merupakan salah satu jalan dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, sebuah kesadaran akan adanya komunikasi dengan Tuhan. Jika melihat sejarah bahwa tasawuf merupakan amalan dan ajaran rasulullah saw. dan para sahabat. Tasawuf sangat erat hubungannya dengan keadaan menjauhi hidup duniawi dan kesenangan material atau biasa disebut dengan istilah zuhud. Setelah menajadi seorang yang zahid, barulah meningkat menjadi seorang sufi. Jika dilihat dari pemaknaan zuhud, bahwa yang dimaksud dengan zuhud adalah meninggalkan kehidupan dunia serta kesenangan material dan memperbanyak ibadah kepada Allah dan ingin selalu mendekatkan diri dengan Sang pencipta.
Kalangan sufi yang termasuk dalam kalangan ini adalah Rabi’ah al-Adawiyah, dengan konsep pemikiran tasawufnya yaitu mahabbah illahiyah (kecintaan kepada Tuhan). Seorang wanita sufi dari Basrah yang terkenal dengan ibadah dan kedekatannya dengan Allah Swt dengan memasukkan konsep kecintaan terhadap Tuhan dalam dunia tasawuf.
B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka pemakalah merumuskan beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, antaranya:
1.        Bagaimana sejarah hidup Rabi’ah al-Adawiah?
2.        Bagaimana ajaran tasawuf Rabi’ah al-Adawiah?

BAB II
PEMBAHASAN
A.      Biografi Rabi’ah al-Adawiyah
Rabi’ah al-Adawiyah adalah salah seorang tokoh sufi terkemuka. Nama lengkapnya adalah rabi’ah binti Isma’il al-Adawiyah al-Qissiyah.[1] Ia diberi nama dengan Ra’biah karena ia merupakan puteri keempat dari tiga puteri lainnya.[2] Dan ia lahir di Basrah sekitar tahun 95 atau 99 H/ 713 dan 717 Miladiah. Ada yang menyebutkan tahun kelahirannya 714 Miladiah. Dan meninggal di tahun 801 M.[3] Meskipun dunia Islam mempunyai banyak sufi wanita, namun hanya Rabi’ah al-Adawiyah, Fariduddin Attar (513 H/1119 M-627 H/1230 M) seorang penyair mistik Persia, beliau melukiskan betapa kemiskinan menimpa kehidupan keluarga tersebut ketika Rabi’ah al-Adawiah dilahirkan. Pada saat itu di rumahnya tidak ada seuatu yang akan dimakan dan tidak ada pula sesuatu yang bisa dijual. Di malam hari rumah keluarga ini gelap karena tak ada lampu.[4] Malam gelap gulita karena minyak untuk penerangan juga telah habis.
Pada suatu hari menjelang usia remajanya, ketika keluar rumah, ia ditangkap dan dujual degan harga 6 dirham. Orang yang membeli Rabi’ah menyuruhnya mengerjakan pekerjaan yang berat, memperlakukannya dengan bengis dan kasar. Namun demikian ia tabah menghadapi penderitaan, pada siang hari melayani tuannya, dan pada malam hari beribadah kepada Allah swt. mendambakan rida-Nya. Pada suatu malam, tuannya terjaga dari tidur, dan melalui jendela melihat Rabi’ah sedang sujud dan berdoa, “Ya Allah, Engkau tahu bahwa hasrat hatiku adalah untuk mematuhi perintah-Mu; jika aku dapat merubah nasibku ini, niscaya aku tidak akan istirahat barang sedik pun dari mengabdi kepada Mu”. Menyaksikan peristiwa itu, ia merasa takut semalaman termenung sampai terbit fajar. Pagi-pagi sekali ia memanggil Rabi’ah, bersikap lunak kepadanya dan membebaskannya.[5]
Menurut cerita orang yang memilikinya bahwa ia melihat cahaya di atas kepala Rabi’ah, dan sewaktu ia beribadah cahaya itu menerangi seluruh ruangan rumahnya. Setelah dibebaskan ia pergi menyendiri ke padang pasir dan memilih hidup sebagai zahid, dan menurut riwayat dari Imam Sya’rani bahwa pada suatu ketika ada orang yang menyebut-nyebut siksa neraka di depan Rabi’ah, mendengar ucapan itu ia pingsanlah. Pingsan yang dimaksud di sini, pingsan dalam bentuk istigfar, memohon ampunan Tuhan dan setelah ia siuman dari pingsannya ia berkata: “saya mesti meminta ampun lagi dengan cara memohon ampun yang pertama”.[6]
Sebagai seorang sufi ia dikunjungi oleh murid-murid yang ingin belajar dan mendengarkan ajaran-ajarannya, di antaranya Malik bin Dinar, Rabah al-Kais, Sufyan al-Tsauri dan Syaikh al-Balkhi.[7] Karena pada zamannya ia dikenal dengan keshalehannya serta pengabdiannya hanya untuk mencari keridhaan dari Allah swt.
Dalam kehidupannya sebagai zahidah, Rabi’ah sangat membenci dengan kesenangan dunia, sebagaimana kritikannya terhadap Sufyan al-Tsauri yang banyak dikunjungi orang karena kealimannya. Rabi’ah memandangnya sebagai kesenangan duniawi saja. Ketika Sufyan al-Tsauri bertanya tentang hikmat, jawab: “alangkah baiknya bagimu jika engkau tidak mencintai dunia ini”.[8] Memang benar pendapat Rabi’ah tersebut, karena dunia ini tidak abadi, apalah artinya bagi seseorang dunia akhirnya akan fana’, meninggalkan segala apa yang dicintai dan dimilikinya.
Selama hidupnya Rabi’ah tidak pernah menikah, bukan karena ke-zuhudan-nya semata-mata terhadap perkawinan itu sendiri, meskipun banyak orang yang meminangnya namun ia lebih suka menyindiri dan beribadah kepada Tuhan, sampai akhir hayatnya.[9]
B.       Pokok-pokok Ajaran Tasawuf Rabi’ah al-Adawiah
Ajaran tasawuf yang dibawanya itu, dikenal dengan istilah al-Mahabbah. Paham ini merupakan kelanjutan dari tinggat kehidupan zuhud yang dikembangkan oleh Hasan al-Basri, yaitu takut dan pengharapan dinaikkan oleh Rabi’ah menjadi zuhud karena cinta. Cinta yang suci murni itu lebih tinggi dari pada takut dan pengharapan.[10]
Menurut Harun Nasution, mahabbah ialah:
1.      Memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.
2.      Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi
3.      Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi.[11]
Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa Rabi’ah dikenal dengan konsep mahabbah-nya. Hal ini diketahui dari jawabannya atas pertanyaan:
Ketika Rabi’ah ditanya; “ Apakah kau cinta kepada Tuhan yang Maha Kuasa? ‘ya’. Apakah kau benci kepada syeitan? ‘tidak’, cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong dalam diriku untuk rasa benci kepada syeitan.”[12]
Seterusnya Rabi’ah menyatakan:
“ saya melihat Nabi dalam mimpi, Dia berkata: Oh Rabi’ah, cintakah kamu kepadaku? Saya menjawab, Oh Rasulullah, siapa yang menyatakan tidak cinta? Tetapi cintaku kepada pencipta memalingkan diriku dari cinta atau membenci kepada makhluk lain.”[13]
Mahabbah kepada Allah merupakan suatu keajaiban yang harus ditanamkan kepada setiap individu, karena tanpa adanya mahabbah, seseorang baru berada pada tingkatan yang paling dasar sekali yaitu tingkat muallaf.
Menurut al-Saraf sebagaimana yang dikutip oleh Harun Nasution bahwa mahabbah itu mempunyai tiga tingkatan:
1.      Cinta biasa, yaitu selalu mengingat Tuhan dengan zikir, suka menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan senantiasa memuji-Nya.
2.      Cinta orang yang siddiq yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, pada kebesaran-Nya, pada ilmu-Nya dan lainnya. Cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seseorang dari Tuhan, dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan.
Ia mengadakan dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan dari dialog itu. Cinta tingkat kedua ini membuat orang sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta dan selalu rindu kepada Tuhan.
3.      Cinta orang arif, yaitu orang yang tahu betul kepada Tuhan. Cintanya yang serupa ini timbul karena telah tahu betul kepada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta tapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang dicintai.[14]
Faham tentang mahabbah seperti tersebut di atas mempunyai dasar dalam al-Qur’an sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Maidah [5]: 54
فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ
Terjemahnya: “Allah akan mendatangkan suatu ummat yang Allah mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya.”
Ajaran yang dibawa oleh Rabi’ah adalah versi baru dalam kehidupan kerohanian, dimana tingkat zuhud yang diciptakan oleh Hasan Basri yang bersifat khauf dan raja’ dinaikkan tingkatnya oleh Rabi’ah al-Adawiyah ke tingkat zuhud yang bersifat hub (cinta).
Cinta yang suci murni lebih tinggi dari pada khauf dan raja’, karena yang suci murni tidak mengahrapkan apa-apa. Cinta suci murni kepada Tuhan merupakan puncak tasawuf Rabi’ah.
Rabi’ah betul-betul hidup dalam keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat dengan Tuhan. Ia banyak beribadah, bertobat dan menjauhi hidup duniawi, dan menolak segala bantuan materi yang diberikan orang kepadanya. Bahkan ada doa-doa beliau yang isinya tidak mau meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan.[15]
 Hal ini dapat dilihat dari ketika teman-temannya ingin memberi rumah kepadanya, ia mengatakan; “aku takut kalau-kalau rumah ini akan mengikat hatiku, sehingga aku terganggu dalam amalku untuk akhirat.” Kepada seorang pengunjung ia memberi nasehat: “memandang dunia sebagai sesuatu yang hina dan tak berharga, adalah lebih baik bagimu”. Segala lamaran cinta pada dirinya, juga ditolak, karena kesenangan duniawi itu akan memalingkan perhatian pada akhirat.[16]
Kecintaan Rabi’ah al-Adawiah kepada Tuhan, antara lain tertuang dalam syair-syair berikut ini;
الهي أنارت النجوم ونامت العيون وغلقت الملوك أبوابها وخلا كل حبيب بحبيبه وهذا مقامي بين يديك.
Artinya: Ya Tuhan bintang di langit telah gemerlapan, mata telah bertiduran, pintu-pintu istana telah dikunci dan tiap pecinta telah menyendiri dengan yang dicintainya dan inilah aku berada di hadirat-Mu”.[17]
يا حبيب القلب مالي سواكا. فارحم اليوم مذنبا قد أتاكا. يا رجائي وراحتي و سروري. قد ابي القلب أن يحب سواكا.
Artinya:
“Buah hatiku, hanya Engkaulah yang kukasihi. Beri ampunlah pembuat dosa yang datang ke hadirat-Mu. Engkaulah harapanku, kebahagianku dan kesenanganku. Hatiku telah enggan mencintai selain dari Engkau.[18]
            Dan ada pula doa yang terkenal dan yang pernah diucapkan oleh Rabi’ah sebagai perwujudan cinta dan rindu seorang sufi terhadap Tuhannya, hingga baginya tak ada nafas dan detak jantung kecuali untuk merindudambakan pertemuan dengan Sang penciptanya. Salah satu syairnya pula yang terkenal:
            Tuhan
            Apapun karunia-Mu untukku di dunia
            Hibahkan pada musuh-musuh-Mu
            Dan apapun karunia-Mu untukku di akhirat
            Persembahkan pada sahabat-sahabat-Mu
            Bagiku cukup Kau
            Tuhan
            Bila sujudku pada Mu karena takut nereka
            Bakar aku dengan apinya
            Dan bila sujudku pada-Mu karena damba surga
            Tutup untukku surga itu
            Namun, bila sujudku demi Kau semata
Jangan palingkan wajah-Mu
Aku rindu menatap keindahan-MU[19]
Menurut Rabi’ah, hubb itu merupakan cetusan dari perasaan rindu dan pasrah kepada  Allah, seluruh ingatan dan perasaannya tertuju kepada-Nya. Hal ini dapat terlihat dalam gubahan prosanya yang syahdu sebagai berikut:
إلهي ! هذاالليل قد أدبر وهذاالنهار قد أسفر, فليت شعري أقبلت مني ليلتي فأهنأ أم رددتها علي فأعزي فو عزتك, هذا دأبي ما أحببتني و أعنتني وعزتك لو طردتني عن بابك ما برحت عنه لما وقع في قلبي من محبتك.  
Artinya:
            “Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera menampakkan diri. Aku gelisah, apakah amalanku Engkau terima hingga aku merasa bahagia, ataukah Engkau tolak hingga aku merasa sedih. Demi ke Mahakuasaan-Mu, inilah yang akan aku lakukan selalma aku Engkau beri hayat. Sekiranya Engkau usir aku dari depan pintu-Mu, aku tidak akan pergi, karena cinta pada-Mu telah memenuhi hatiku.”[20]  
Itulah beberapa ucapan yang menggambarkan rasa cinta yang memenuhi rasa cinta Rabi’ah kepada Tuhan, yaitu cinta yang memenuhi seluruh jiwanya, sehingga ia menolak lamaran kawin, dengan alasan bahwa dirinya hanya milik Tuhan yang dicintainya, dan siapapun yang ingin kawin dengannya, harus meminta izin kepada Tuhan.[21]
            Paham mahabbah di atas, dapat kita temukan dalam al-Qur’an yang menggambarkan bahwa antara manusia dengan Tuhan dapat saling mencintai, sebagaimana firman Allah swt.

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ
Terjemahnya:
            “jika kamu cinta kepada Allah, maka turutkanlah aku dan Allah akan mencintai kamu”[22]


DAFTAR PUSTAKA
Abu Nasher Abdullah ibn Ali al-Sarraja al-Tusi, al-Lu’ma fi al-Tasawwuf. Leiden: t. p, 1914.

Abuddin Nata, MA., Ilmu Kalam, Filsafat Dan Tasawuf. Cet. V; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.

Al-Qur’an al-Kari>m

Departeman Agama, Ensiklopedi Islam. Jakarta: Anda Utama, 1992/1993 M.

E. J. Brill’s, First Enclyclopedia of Islam, Vol. VI, Leiden: Marocco-Ruzzik, 1987.

H.M. Laily Mansur, L.PH., Ajaran dan Teladan Para Sufi. Cet. I; Jakarta: PT.Raja Grafindo, 1996.

Hamka, Tasawuf perkembangan dan Pemurniannya. Cet. XI; Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1984.

Harun Nasution, Islam Ditijaun Dari Berbagai Aspeknya. Jil. II; Jakarta: UI-Press, 1979.

Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam. Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1983.

K. Permadi, S.H., Pengantar Ilmu Tasawuf. Cet. I; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997.

Reynold Alleyre Nicholson, The Idea of Persolatity. Delli: Idara-I Adabiyah-I, 1976.

Tim Penyusun Ensiklopedi, Ensiklopedi Islam . Cet. IV; Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 1997.

Ummu Kalsum Yunus, M.Pd.I., Ilmu Tasawuf. Cet. I; Makassar: Alauddin Press, 2011.







[1] Tim Penyusun Ensiklopedi, Ensiklopedi Islam (Cet. IV; Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 1997), h.148.
[2] Drs. H.M. Laily Mansur, L.PH., Ajaran dan Teladan Para Sufi (Cet. I; Jakarta: PT.Raja Grafindo, 1996), h.46.
[3] Prof. Dr. Harun Nasution, Islam Ditijaun Dari Berbagai Aspeknya (Jil. II; Jakarta: UI-Press, 1979), h.76.
[4] Departeman Agama, Ensiklopedi Islam, Juz III (Jakarta: Anda Utama, 1992/1993 M), h.973.
[5] Tim Penyusun Ensiklopedi, Op.cit.
[6] Prof. Dr. Hamka, Tasawuf perkembangan dan Pemurniannya (Cet. XI; Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1984), h.79.
[7] E. J. Brill’s, First Enclyclopedia of Islam, Vol. VI, (Leiden: Marocco-Ruzzik, 1987), h.1089.
[8] Harun Nasution, Islam Ditijaun Dari Berbagai Aspeknya, h.76.
[9] Dra. Hj. Ummu Kalsum Yunus, M.Pd.I., Ilmu Tasawuf (Cet. I; Makassar: Alauddin Press, 2011), h. 107.
[10] Prof. Dr. Hamka, Op.cit., h. 79.
[11] Prof.Dr. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam (Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h. 70.
[12] Reynold Alleyre Nicholson, The Idea of Persolatity (Delli: Idara-I Adabiyah-I, 1976), h.62.
[13] Ibid., h. 63.
[14] Harun Nasution, Falsafat, Op.cit., h.70, lihat juga Abu Nasher Abdullah ibn Ali al-Sarraja al-Tusi, al-Lu’ma fi al-Tasawwuf, (Leiden: t. p, 1914), h.58-59.
[15] Ibid., h.72.
[16] Prof. Dr. Hamka, Op.cit., h.83. lihat pula Prof. Dr. Harun Nasution, Falsafat dan Mitisisme Dalam Islam, h.74.
[17] Ibid., h.72.
[18] Ibid., h.73-74.
[19] Drs. K. Permadi, S.H., Pengantar Ilmu Tasawuf (Cet. I; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997), h.127-128.
[20] Ummu Kalsum Yunus, Op.cit., h.114.
[21] Dr. H. Abuddin Nata, MA., Ilmu Kalam, Filsafat Dan Tasawuf (Cet. V; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h.171.
[22] QS. A>li Imra>n [3]: 31

Comments

BERITA TERBARU !!

Popular posts from this blog

BIL MA'TSUR ( TAFSIR AYAT DENGAN AYAT )

CARA MELAKUKAN TAKHRIJ HADIS

download TAFSIR AL-NASAFIY

cara atau Kaedah al-Jarh Wa al-Ta’dil Serta Aplikasinya

HADIS TARBAWIY DAN AKHLAK (BERKURANGNYA IMAN KARENA MAKSIAT)

kaedah 'ATAF - AL-'ATFU DALAM AL-QUR'AN

cara TAMBAHAN - kaedah ZIYADAH DALAM AL-QUR'AN

cara melakukan MUNASABAH AYAT

MANHAJ THABATHABAI DALAM al mizan

KAEDAH 'AM DAN KHAS