BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tasawuf
adalah salah satu pilar Islam. Tasawuf secara umum merujuk kepada kebersihan
batin yang menjadi sikap dan ajaran di dalam mendekatkan diri kepada Allah swt.
Apabila Allah adalah sesuatu yang maha suci dan Maha Agung, maka Dia hanya bisa
didekati dengan kesucian dan kebersihan diri serta keagungan tingkah laku
hamba-Nya. Dengan demikian, tasawuf ingin membawa manusia kepada kedekatan
hakiki hingga hidup menjadi utuh.
Tasawuf
merupakan salah satu jalan dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, sebuah
kesadaran akan adanya komunikasi dengan Tuhan. Jika melihat sejarah bahwa
tasawuf merupakan amalan dan ajaran rasulullah saw. dan para sahabat. Tasawuf
sangat erat hubungannya dengan keadaan menjauhi hidup duniawi dan kesenangan
material atau biasa disebut dengan istilah zuhud. Setelah menajadi seorang yang
zahid, barulah meningkat menjadi seorang sufi. Jika dilihat dari pemaknaan
zuhud, bahwa yang dimaksud dengan zuhud adalah meninggalkan kehidupan dunia
serta kesenangan material dan memperbanyak ibadah kepada Allah dan ingin selalu
mendekatkan diri dengan Sang pencipta.
Kalangan
sufi yang termasuk dalam kalangan ini adalah Rabi’ah al-Adawiyah, dengan konsep
pemikiran tasawufnya yaitu mahabbah illahiyah (kecintaan kepada Tuhan). Seorang
wanita sufi dari Basrah yang terkenal dengan ibadah dan kedekatannya dengan
Allah Swt dengan memasukkan konsep kecintaan terhadap Tuhan dalam dunia
tasawuf.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka pemakalah
merumuskan beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, antaranya:
1.
Bagaimana
sejarah hidup Rabi’ah al-Adawiah?
2.
Bagaimana
ajaran tasawuf Rabi’ah al-Adawiah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi
Rabi’ah al-Adawiyah
Rabi’ah
al-Adawiyah adalah salah seorang tokoh sufi terkemuka. Nama lengkapnya adalah
rabi’ah binti Isma’il al-Adawiyah al-Qissiyah. Ia diberi nama dengan
Ra’biah karena ia merupakan puteri keempat dari tiga puteri lainnya. Dan ia lahir di Basrah
sekitar tahun 95 atau 99 H/ 713 dan 717 Miladiah. Ada yang menyebutkan tahun
kelahirannya 714 Miladiah. Dan meninggal di tahun 801 M. Meskipun dunia Islam
mempunyai banyak sufi wanita, namun hanya Rabi’ah al-Adawiyah, Fariduddin Attar
(513 H/1119 M-627 H/1230 M) seorang penyair mistik Persia, beliau melukiskan
betapa kemiskinan menimpa kehidupan keluarga tersebut ketika Rabi’ah al-Adawiah
dilahirkan. Pada saat itu di rumahnya tidak ada seuatu yang akan dimakan dan
tidak ada pula sesuatu yang bisa dijual. Di malam hari rumah keluarga ini gelap
karena tak ada lampu. Malam gelap gulita karena
minyak untuk penerangan juga telah habis.
Pada
suatu hari menjelang usia remajanya, ketika keluar rumah, ia ditangkap dan
dujual degan harga 6 dirham. Orang yang membeli Rabi’ah menyuruhnya mengerjakan
pekerjaan yang berat, memperlakukannya dengan bengis dan kasar. Namun demikian
ia tabah menghadapi penderitaan, pada siang hari melayani tuannya, dan pada
malam hari beribadah kepada Allah swt. mendambakan rida-Nya. Pada suatu malam,
tuannya terjaga dari tidur, dan melalui jendela melihat Rabi’ah sedang sujud
dan berdoa, “Ya Allah, Engkau tahu bahwa hasrat hatiku adalah untuk mematuhi
perintah-Mu; jika aku dapat merubah nasibku ini, niscaya aku tidak akan
istirahat barang sedik pun dari mengabdi kepada Mu”. Menyaksikan peristiwa itu,
ia merasa takut semalaman termenung sampai terbit fajar. Pagi-pagi sekali ia
memanggil Rabi’ah, bersikap lunak kepadanya dan membebaskannya.
Menurut
cerita orang yang memilikinya bahwa ia melihat cahaya di atas kepala Rabi’ah,
dan sewaktu ia beribadah cahaya itu menerangi seluruh ruangan rumahnya. Setelah
dibebaskan ia pergi menyendiri ke padang pasir dan memilih hidup sebagai zahid,
dan menurut riwayat dari Imam Sya’rani bahwa pada suatu ketika ada orang yang
menyebut-nyebut siksa neraka di depan Rabi’ah, mendengar ucapan itu ia
pingsanlah. Pingsan yang dimaksud di sini, pingsan dalam bentuk istigfar,
memohon ampunan Tuhan dan setelah ia siuman dari pingsannya ia berkata: “saya
mesti meminta ampun lagi dengan cara memohon ampun yang pertama”.
Sebagai
seorang sufi ia dikunjungi oleh murid-murid yang ingin belajar dan mendengarkan
ajaran-ajarannya, di antaranya Malik bin Dinar, Rabah al-Kais, Sufyan al-Tsauri
dan Syaikh al-Balkhi. Karena pada zamannya ia
dikenal dengan keshalehannya serta pengabdiannya hanya untuk mencari keridhaan
dari Allah swt.
Dalam
kehidupannya sebagai zahidah, Rabi’ah sangat membenci dengan kesenangan
dunia, sebagaimana kritikannya terhadap Sufyan al-Tsauri yang banyak dikunjungi
orang karena kealimannya. Rabi’ah memandangnya sebagai kesenangan duniawi saja.
Ketika Sufyan al-Tsauri bertanya tentang hikmat, jawab: “alangkah baiknya
bagimu jika engkau tidak mencintai dunia ini”. Memang benar pendapat
Rabi’ah tersebut, karena dunia ini tidak abadi, apalah artinya bagi seseorang
dunia akhirnya akan fana’, meninggalkan segala apa yang dicintai dan
dimilikinya.
Selama
hidupnya Rabi’ah tidak pernah menikah, bukan karena ke-zuhudan-nya semata-mata
terhadap perkawinan itu sendiri, meskipun banyak orang yang meminangnya namun
ia lebih suka menyindiri dan beribadah kepada Tuhan, sampai akhir hayatnya.
B.
Pokok-pokok Ajaran Tasawuf Rabi’ah
al-Adawiah
Ajaran
tasawuf yang dibawanya itu, dikenal dengan istilah al-Mahabbah. Paham
ini merupakan kelanjutan dari tinggat kehidupan zuhud yang dikembangkan oleh
Hasan al-Basri, yaitu takut dan pengharapan dinaikkan oleh Rabi’ah menjadi
zuhud karena cinta. Cinta yang suci murni itu lebih tinggi dari pada takut dan
pengharapan.
Menurut
Harun Nasution, mahabbah ialah:
1.
Memeluk
kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.
2.
Menyerahkan
seluruh diri kepada yang dikasihi
3.
Mengosongkan
hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi.
Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa Rabi’ah
dikenal dengan konsep mahabbah-nya. Hal ini diketahui dari jawabannya
atas pertanyaan:
Ketika Rabi’ah ditanya; “ Apakah kau cinta kepada
Tuhan yang Maha Kuasa? ‘ya’. Apakah kau benci kepada syeitan? ‘tidak’, cintaku
kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong dalam diriku untuk rasa benci
kepada syeitan.”
Seterusnya Rabi’ah menyatakan:
“ saya melihat Nabi dalam mimpi, Dia berkata: Oh
Rabi’ah, cintakah kamu kepadaku? Saya menjawab, Oh Rasulullah, siapa yang
menyatakan tidak cinta? Tetapi cintaku kepada pencipta memalingkan diriku dari
cinta atau membenci kepada makhluk lain.”
Mahabbah kepada Allah
merupakan suatu keajaiban yang harus ditanamkan kepada setiap individu, karena
tanpa adanya mahabbah, seseorang baru berada pada tingkatan yang paling
dasar sekali yaitu tingkat muallaf.
Menurut al-Saraf sebagaimana yang dikutip oleh
Harun Nasution bahwa mahabbah itu mempunyai tiga tingkatan:
1.
Cinta
biasa, yaitu selalu mengingat Tuhan dengan zikir, suka menyebut nama-nama Allah
dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan senantiasa memuji-Nya.
2.
Cinta
orang yang siddiq yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, pada
kebesaran-Nya, pada ilmu-Nya dan lainnya. Cinta yang dapat menghilangkan tabir
yang memisahkan diri seseorang dari Tuhan, dan dengan demikian dapat melihat
rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan.
Ia
mengadakan dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan dari dialog itu. Cinta
tingkat kedua ini membuat orang sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya
sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta dan selalu rindu kepada
Tuhan.
3.
Cinta
orang arif, yaitu orang yang tahu betul kepada Tuhan. Cintanya yang serupa ini
timbul karena telah tahu betul kepada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi
cinta tapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke
dalam diri yang dicintai.
Faham
tentang mahabbah seperti tersebut di atas mempunyai dasar dalam
al-Qur’an sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Maidah [5]: 54
فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ
Terjemahnya: “Allah
akan mendatangkan suatu ummat yang Allah mencintai mereka dan mereka
mencintai-Nya.”
Ajaran
yang dibawa oleh Rabi’ah adalah versi baru dalam kehidupan kerohanian, dimana
tingkat zuhud yang diciptakan oleh Hasan Basri yang bersifat khauf dan raja’
dinaikkan tingkatnya oleh Rabi’ah al-Adawiyah ke tingkat zuhud yang bersifat hub
(cinta).
Cinta
yang suci murni lebih tinggi dari pada khauf dan raja’, karena
yang suci murni tidak mengahrapkan apa-apa. Cinta suci murni kepada Tuhan
merupakan puncak tasawuf Rabi’ah.
Rabi’ah
betul-betul hidup dalam keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat dengan
Tuhan. Ia banyak beribadah, bertobat dan menjauhi hidup duniawi, dan menolak
segala bantuan materi yang diberikan orang kepadanya. Bahkan ada doa-doa beliau
yang isinya tidak mau meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan.
Hal ini dapat dilihat dari ketika teman-temannya
ingin memberi rumah kepadanya, ia mengatakan; “aku takut kalau-kalau rumah ini
akan mengikat hatiku, sehingga aku terganggu dalam amalku untuk akhirat.”
Kepada seorang pengunjung ia memberi nasehat: “memandang dunia sebagai sesuatu
yang hina dan tak berharga, adalah lebih baik bagimu”. Segala lamaran cinta
pada dirinya, juga ditolak, karena kesenangan duniawi itu akan memalingkan
perhatian pada akhirat.
Kecintaan
Rabi’ah al-Adawiah kepada Tuhan, antara lain tertuang dalam syair-syair berikut
ini;
الهي أنارت النجوم ونامت العيون وغلقت الملوك أبوابها وخلا كل حبيب بحبيبه
وهذا مقامي بين يديك.
Artinya: Ya Tuhan bintang di langit telah
gemerlapan, mata telah bertiduran, pintu-pintu istana telah dikunci dan tiap
pecinta telah menyendiri dengan yang dicintainya dan inilah aku berada di
hadirat-Mu”.
يا حبيب القلب مالي سواكا. فارحم
اليوم مذنبا قد أتاكا. يا رجائي وراحتي و سروري. قد ابي القلب أن يحب سواكا.
Artinya:
“Buah hatiku, hanya Engkaulah yang kukasihi. Beri ampunlah pembuat dosa
yang datang ke hadirat-Mu. Engkaulah harapanku, kebahagianku dan kesenanganku.
Hatiku telah enggan mencintai selain dari Engkau.
Dan ada pula doa yang terkenal dan
yang pernah diucapkan oleh Rabi’ah sebagai perwujudan cinta dan rindu seorang
sufi terhadap Tuhannya, hingga baginya tak ada nafas dan detak jantung kecuali
untuk merindudambakan pertemuan dengan Sang penciptanya. Salah satu syairnya
pula yang terkenal:
Tuhan
Apapun
karunia-Mu untukku di dunia
Hibahkan
pada musuh-musuh-Mu
Dan
apapun karunia-Mu untukku di akhirat
Persembahkan
pada sahabat-sahabat-Mu
Bagiku
cukup Kau
Tuhan
Bila
sujudku pada Mu karena takut nereka
Bakar
aku dengan apinya
Dan
bila sujudku pada-Mu karena damba surga
Tutup
untukku surga itu
Namun,
bila sujudku demi Kau semata
Jangan palingkan
wajah-Mu
Aku rindu
menatap keindahan-MU
Menurut Rabi’ah,
hubb itu merupakan cetusan dari perasaan rindu dan pasrah kepada Allah, seluruh ingatan dan perasaannya
tertuju kepada-Nya. Hal ini dapat terlihat dalam gubahan prosanya yang syahdu
sebagai berikut:
إلهي ! هذاالليل قد أدبر وهذاالنهار قد أسفر, فليت شعري أقبلت مني ليلتي
فأهنأ أم رددتها علي فأعزي فو عزتك, هذا دأبي ما أحببتني و أعنتني وعزتك لو طردتني
عن بابك ما برحت عنه لما وقع في قلبي من محبتك.
Artinya:
“Tuhanku, malam telah berlalu dan
siang segera menampakkan diri. Aku gelisah, apakah amalanku Engkau terima
hingga aku merasa bahagia, ataukah Engkau tolak hingga aku merasa sedih. Demi
ke Mahakuasaan-Mu, inilah yang akan aku lakukan selalma aku Engkau beri hayat.
Sekiranya Engkau usir aku dari depan pintu-Mu, aku tidak akan pergi, karena
cinta pada-Mu telah memenuhi hatiku.”
Itulah beberapa
ucapan yang menggambarkan rasa cinta yang memenuhi rasa cinta Rabi’ah kepada
Tuhan, yaitu cinta yang memenuhi seluruh jiwanya, sehingga ia menolak lamaran
kawin, dengan alasan bahwa dirinya hanya milik Tuhan yang dicintainya, dan
siapapun yang ingin kawin dengannya, harus meminta izin kepada Tuhan.
Paham
mahabbah di atas, dapat kita temukan dalam al-Qur’an yang menggambarkan
bahwa antara manusia dengan Tuhan dapat saling mencintai, sebagaimana firman
Allah swt.
قُلْ إِنْ
كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ
Terjemahnya:
“jika kamu cinta kepada Allah,
maka turutkanlah aku dan Allah akan mencintai kamu”
DAFTAR PUSTAKA
Comments
Post a Comment