PENGUMPULAN DAN PENULISAN AL-QUR'AN
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw., melalui perantaraan Jibril, sebagai petunjuk bagi
manusia. al-Qur’an diturunkan sebagai
pedoman hidup bagi manusia, dalam kata lain al-Qur’an adalah way of life:falsafah
hidup bagi muslimin.
Ketika Nabi
saw., menerima wahyu, maka Nabi saw., menghapalnya sebelum disampaikan kepada
para sahabat, karena Nabi saw., adalah tuannya para penghapal, dan pengumpul
yang paling pertama.Penghapalan
al-Qur’an pada masa Nabi saw., sangat ditekankan, oleh sebab itubanyak sahabat
yang memiliki kekuatan hapalan yang
sangat luar biasa. Sementara penulisannya tidak terlalu ditekankan karena masih
terbatasnya alat-alat tulis. Di samping itu al-Qur’an diturunkan secara munajjaman
(berangsur-angsur)
dan tentunya setiap ada ayat yang turun, para sahabat tidak selamanya membawa
bekal berupa alat tulis menulis.
Sejarah pengumpulan
al-Qur’andan penulisannya dapat dilihat kepada tiga periode yakni ; masa Nabi
Muhammad saw., masa khalifah Abu Bakar al-S{iddiq dan masa khalifah Usman bin
Affan. Pengumpulan
dari tiga fase ini mempunyai ragam yang berbeda.
B. Rumusan
Masalah
Dari uraian
di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalah:
1.
Apa
pengertian Jam’u al-Qur’an ?
2.
Bagaimana proses Jam’u al-Qur’anWa Kitâbatuhu pada masa Nabi Muhammad
saw. ?
3.
Bagaimana proses Jam’u al-Qur’anWa Kitâbatuhupada masa Khalifah Abu
Bakar al-S{iddiq ?
4.
Bagaimana proses Jam’u al-Qur’anWa Kitâbatuhupada masa khalifah
Us}man bin Affan ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Jam’u Al-Qur’an
Yang
dimaksud dengan Jam’u al-Qur’an (pengumpulan al-Qur’an) oleh para ulama
mempunyai dua pengertian. Pertama, pengumpulan dalam arti hifzhuhu (menghapalnya dalam hati).
Inilah makna yang dimaksudkan dalam firman Allah kepada Nabi. Nabi senantiasa
menggerak-gerakkan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca al-Qur’an, ketika al-Qur’an
itu turun kepadanya sebelum Jibril selesai membacakannya, karena ingin
menghapalnya:
لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ
بِهِ 16إِنَّ عَلَيْنَا
جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ 17 فَإِذَا قَرَأْنَاهُ
فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ
18ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَه 19
Terjemahnya
: 16. Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) al-Quran
karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. 17. Sesungguhnya atas tanggungan
kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. 18.
Apabila kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu. 19.
Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.
Orang-orang
yang hafal al-Qur’an disebut juga dengan Jumma’u al-Qur’an atau Huffadzu al-Qur’an.Maka
adapun penghimpunan al-Qur’an dalam arti penghapalannya dan penyemayamnya
dengan mantap dalam hati, sesungguhnya Allah swt., telah mengaruniakan kepada
Rasul-Nya terlebih dahulu sebelum kepada yang lain. Beliau dikenal sebagai Sayyidu
al-Huffadz dan sebagai Awwalu al-Jumma’. Jam’u al-Qur’an dalam arti kitabatuhu
kullihi (penulisan al-Qur’an semuanya) baik dengan memisah-misahkan
ayat-ayat dan surah-surahnya, atau menertibkan ayat-ayat semata dan setiap
surah ditulis dalam satu lembaran secara terpisah, ataupun menertibkan
ayat-ayat dan surat-suratnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul menghimpun
semua surat, sebagaimana ditulis sesudah bagian yang lainnya.
Sebenarnya kitab al-Qur’an telah ditulis seutuhnya
pada zaman Nabi Muhammad saw. Hanya saja belum disatukan dan surat-surat yang
ada juga masih belum tersusun. Penyusunan dalam mushhaf utama belum dilakukan karena wahyu belum
berhenti turun sebelum Nabi Muhammad saw. wafat.
B.
Proses Jam’u Al-Qur'an wa Kitabatuhu pada masa Nabi Muhammad saw.
Rasulullah saw., sangat menyukai wahyu, ia senantiasa
menunggu penurunan wahyu dengan rasa rindu, lalu menghapal dan memahaminya,
persis seperti dijanjikan Allah swt., dalam surat al-Qiyamah ayat 17(sesungguhnya
atas tanggungan kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya).
Oleh sebab itu, Beliau adalah hafidz al-Qur’an pertama dan merupakan contoh
paling baik bagi para sahabat dalam menghafal al-Qur’an.
Dalam kitab sahih Bukhari telah mengemukakan
tentang adanya tujuh hafidz al-Qur’an mereka adalah Abdullah bin Mas’ud, Salim
bin Ma’qal, Abu Hurairah, Mu’az bin Jabal, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu
Zaid bin Sakan dan Abu Darda’.
Penyebutan para hafidz yang tujuh tidak berarti
pembatasan, karena beberapa keterangan dalam kitab sejarah menunjukkan bahwa
para sahabat berlomba dalam menghafalkan al-Qur’an dan mereka memerintahkan anak-anak dan istri-istri
mereka untuk menghafalkannya. Namun mereka yang tujuh orang itulah yang hafal
seluruh ayat–ayat al-Qur’an dan telah menunjukkan hafalannya di depan Nabi,
serta sanad-sanadnya sampai kepada kita. Sedang hafidz al-Qur’an yang lain yang
jumlahnya banyak tidak memenuhi hal tersebut, terutama para sahabat sudah
menyebar ke berbagai wilayah dan sebagian mereka menghafal dari yang lain.
Upaya pelestarian al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad
saw., dilakukan oleh Rasulullah sendiri, setiap kali beliau menerima wahyu dari
Allah. Setelah beliau secara langsung mengingat dan menghafalnya, lalu beliau
menyampaikannya kepada para sahabatnya, lalu sahabat menyampaikannya secara berantai
kepada sahabat lainnya demikanlah seterusnya. Sebagian sahabat itu selain
langsung menghafalnya, juga mencatatnya dalam berbagai benda yang ditemuinya,
seperti pelapah kurma, kulit binatang atau tulang belulang binatang. Catatan
tersebut bukan untuk orang lain tetapi untuk koleksi pribadi.
Sebagaimana kita ketahui juga, Rasulullah mempunyai
beberapa orang pencatat wahyu. Diantaranya Abu Bakar, Umar bin Khatab, Usman
bin Affan, Ali bin Abi Talib, Mu’awiyah, Zaid bin Tsabit, Khalid bin Walid, Ubai
bin Ka’ab dan Tsabit bin Qais. Beliau menyuruh mereka mencatat setiap wahyu
yang turun, sehingga al-Qur’an yang terhimpun dalam dada mereka menjadi kenyataan tertulis. Mereka
menuliskannya pada pelepah kurma, lempengan batu, kulit atau daun kayu, pelana,
potongan tulang-tulang binatang. Zaid berkata kami menyusun al-Qur’an di
hadapan Rasulullah pada kulit binatang. Ini menunjukkan betapa besar kesulitan
yang dipikul para sahabat dalam menuliskan al-Qur’an. Alat–alat tulis tidak
cukup tersedia bagi mereka, namun demikian penulisan al-Qur’an ini semakin menambah hafalan mereka.
Kitab al-Qur’an mencakup surat-surat panjang dan yang
terpendek terdiri dari tiga ayat, sedangkan yang paling panjang 286 ayat.
Beberapa riwayat menyebutkan bahwa Nabi Muhammad saw., memberi instruksi kepada
para penulis tentang letak ayat pada setiap surat. Usman menjelaskan baik wahyu
itu mencakup ayat panjang ataupun pendek, Nabi Muhammad saw., selalu memanggil
penulisnya dan berkata; Letakkan ayat–ayat tersebut kedalam surat seperti yang
beliau sebut. Zaid bin Tsabit menegaskan kami akan kumpulkan al-Qur'an di depan
Nabi Muhammad saw., menurut Usman bin Abi Al’as, Malaikat Jibril menemui Nabi
Muhammad saw., memberi perintah akan penempatan ayat tertentu.
Pada masa Nabi Muhammad saw., belum ada upaya yang
dilakukan untuk mengumpulkan al-Qur'an. Selain karena wahyu masih terus turun,
juga belum ada kebutuhan yang mendesak untuk melakukan upaya itu. Mesjid Nabi
di Madinah merupakan tempat yang paling strategis dan efektif dalam
memasyarakatkan al-Qur'an. Di mesjid ini, para sahabat memperoleh informasi
langsung dari Rasulullah saw., tentang wahyu yang baru turun. Para sahabat juga
dapat menghadapkan hafalan dan qiraat mereka melalui bacaan dan tadarus
yang dilakukan para sahabat senior. Bahkan mereka memperoleh informasi tentang
tata urutan ayat dan surah dari Nabi Muhammad saw., di mesjid itu pula.
Perlu diketahui, bahwa pada masa Nabi al-Qur'an belum
ditulis dan dibukukan dalam satu mushhaf disebabkan beberapa kemungkinan
antara lain : Tidak ada faktor pendorong untuk dibukukan al-Qur'an, dalam satu mushhaf
sebagaimana pada masa Abu Bakar dan Usman bin Affan. Hal ini disebabkan karena
pada masa Nabi para sahabat penghafal al-Qur'an masih lengkap dan cukup banyak,
tidak adanya unsur-unsur yang diduga akan mengganggu kelestarian al-Qur'an, sementara
kecendrungan dan kebiasaan menghafal saat itu lebih dominan dibanding dengan
kecendrungan menulis.
Oleh karena al-Qur'an diturunkan secara
berangsur-angsur mulai dari Nabi saw., diangkat menjadi Rasul sampai menjelang
akhir wafatnya, maka satu hal yang logis bila al-Qur'an baru bisa dibukukan
dalam satu mushhaf setelah wafat beliau.
Dapat dirumuskan bahwa Jam’u Al-Qur’an wa Kitabuhu telah
dimulai sejak masa Nabi Muhammad saw., yakni penghafalannya dalam dada dengan
penuh kesungguhan dan menulisnya secara terpisah-pisah dan dalam berbagai bahan
yang serba sederhana.
C.
Proses Jam’u Al-Qur’an Wa Kitabatuhu Pada masa
Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq
Setelah Nabi Muhammad saw., wafat dan Abu Bakar
menjadi khalifah, bergeraklah Musailamah Al-Kazzab menda’wahkan dirinya sebagai
Nabi. Dia mengembangkan ajarannya dan kebohongan-kebohongannya. Dia dapat
mempengaruhi banu Hanifah dari penduduk Yamamah lalu mereka menjadi murtad.
Setelah Abu Bakar mengetahui tindakan Musailamah itu, beliau menyiapkan satu
tentara yang terdiri dari 4000 pengendara kuda yang dipimpin oleh Khalid bi
Walid. Dan banyaklah sahabat Nabi yang gugur di waktu itu diantaranya Zaid ibnu
Khatab. Selain itu syahid pula 700 orang
penghafal al-Qur'an, walaupun pada akhirnya pasukan Musailamah dapat dipukul
mundur, dan menewaskan Musailamah.
Peristiwa tersebut menggugah hati Umar bin Khatab
untuk meminta khalifah Abu Bakar agar al-Qur'an segera dikumpulkan dan ditulis
dalam sebuah mushhaf. Usul ini ia sampaikan karena beliu merasa khawatir
bahwa al-Qur'an akan berangsur angsur hilang bila hanya mengandalkan hafalan,
apa lagi para penghafal al-Qur'an semakin berkurang seiring dengan semakin
banyak syahid di medan perang. Semula Abu Bakar merasa ragu-ragu untuk menerima
gagasan Umar bin Khatab itu. Namun akhirnya beliau menerima gagasan itu setelah
betul-betul mempertimbangkan kebaikan dan manfaatnya. Abu Bakar lalu
memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk segera mengumpulkan al-Qur'an dari sahabat
penghafal al-Qur'an untuk ditulis dan dibukukan dalam sebuah mushaf. Ciri
penulisan al-Qur'an pada masa Abu Bakar adalah seluruh al-Qur'an dikumpulkan
dan ditulis menjadi sebuah mushaf setelah melalui proses penelitian yang sangat
teliti dan cermat.Sebuah
riwayat dari Bukhari (w. 870M) menyebutkan :
Dari Zaid bin Tsabit, ia berkata :”Abu Bakar
memberitahukan kepadaku tentang orang yang gugur dalam pertempuran Yamamah,
sementara Umar berada di sisinya, Abu Bakar berkata : Umar telah datang
kepadaku bahwa peperangan Yamamah telah mengakibatkan gugurnya banyak penghafal
al-Qur'an, dan aku (Umar) khawatir akan berguguran pula para penghafal lainnya
dalam peperangan lain sehingga mungkin banyak bagian al-Qur'an akan hilang.
Umar meminta agar aku untuk mengumpulkan al-Qur'an. Lalu aku berkata kepada
Umar: Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah
? Umar berkata : Demi Allah ini merupakan hal yang baik. Umar senantiasa
mendesak aku untuk melakukan hal tersebut, sampai akhirnya Allah melapangkan
hatiku dan aku pahami maksud Umar. Selanjutnya Zaid berkata : kemudian Abu
Bakar berkata kepadaku: sesungguhnya kamu pemuda yang cekatan dan aku tidak
meragukan kemampuanmu; kamu dulu penulis wahyu untuk Rasulullah, kini
telusurilah jejak al-Qur'an dan kumpulkanlah. Zaid berkata: Demi Allah
seandainya aku disuruh memindahkan gunung, maka pekerjaan itu tidak lebih berat
bagiku dari perintah mengumpulkan al-Qur'an. Lalu aku berkata: kenapa anda berdua
(Abu Bakar dan Umar) melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah ?
Maka Abu Bakar menjawab ; Demi Allah itu pekerjaan yang baik. Setelah berulang
kali Abu Bakar mendesakku, akhirnya Allah melapangkan hatiku sebagaimana
dilapangkan hati Abu Bakar dan Umar. Aku lalu mencari al-Qur'an yang tertulis
di atas pelepah-pelepah kurma, batu-batu tulis, dan yang tersimpan (dalam
bentuk hapalan) di dada-dada manusia, kemudian aku kumpulkan. Akhirnya aku
temukan bagian akhir surat At-Taubah dan ayat al-Ahza>b pada Abu Khuzaimah
al-Anshari, yang tidak aku dapatkan pada orang lain. Dan shuhuf yang
dikumpulkan itu berada ditangan Abu Bakar sampai wafatnya, lalu dipegang Umar
pada masa hidupnya, kemudian disimpan oleh Hafshah binti Umar.
Dalam riwayat ini, jelas bahwa Abu Bakar takut
bertindak apa yang belum dilakukan Rasullah, karena sangat taatnya kepada Nabi.
Kemudian Umar berijtihad dengan katanya: Demi Allah ini suatu kebaikan (pengumpulan
al-Qur'an). Demikian pula Zaid bin Tsabit. Ia juga tidak mau bertindak apa yang
belum pernah dilakukan Rasulullah karena takut dikatakan berbuat bid’ah
terhadap masalah agama.
Riwayat ini seolah-olah memberi pengertian bahwa
keengganan kedua orang sahabat Nabi itu berkenaan dengan pengumpulanal-Qur’an.
Padahal al-Qur’an telah terkumpul semenjak zaman Rasulullah dan dihadapan
beliau. Tetapi jika direnungkan secara seksama, saran Umar ialah untuk
mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an di atas lembaran-lembaran. Sementara, karena
sangat taatnya para sahabat kepada Rasulullah, mereka takut kalau perbuatan ini
tergolong dalam kategori bid’ah yang terlarang. Kekhawatiran ini akhirnya
diredakan oleh Umar bin Khatab, yang berulang kali menegaskan bahwa masalah ini
adalah untuk kebaikan dan kemaslahatan umat.
Abu Bakar
memerintahkan pengumpulan al-Qur’an seusai perang Yamamah tahun 12 H,
perang antara kaum muslimin dan kaum murtad (pengikut Musailamah al-Kazzab) dimana
700 orang sahabat penghafal al-Qur’an gugur. Melihat kondisi tersebut, Umar bin
Khattab merasa sangat khawatir lalu diusulkan supaya diambil langkah untuk usaha
pengumpulan al-Qur’an. Setelah terjadi perdebatan yang cukup alot
antara Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Zaid bin Tsabit. Maka
didapatilah kata sepakat, bahwa akan dilakukan pengumpulan al-Qur’an.
Kemudian mulailah Zaid bin Tsabit mengumpulkan ayat-ayat yang dia himpun dari
catatan-catatan pada pelepah kurma, batu-batu tembikar dan di dalam para
penghafal al-Qur’an.
Para ulama berpendapat bahwa penamaan al-Qur’an dengan
mushaf itu baru muncul sejak saat itu, di saat Abu Bakar mengumpulkan al-Qur’an.
Ali berkata : Orang yang paling besar pahalanya dalam hal mushaf adalah Abu
Bakar. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Abu Bakar.
D.
Proses Jam’u Al-Qur'an Wa Kitabatuhu Pada masa
Khalifah Usman bin Affan
Masa kekhalifahan Usman bin Affan, pengumpulan al-Qur’an
dilatar belakangi antara lain, meluasnya daerah Islam dan semakin banyaknya
umat memeluk agama Islam secara berbondong-bondong. Dan terpisah-pisahnya para
sahabat di berbagai daerah kekuasaan dan dari merekalah masyarakat mempelajari al-Qur’an.
Dan tidak diragukan lagi terjadi perbedaan dalam cara membaca al-Qur’an.
Seperti penduduk Syam membaca dengan qiraat Ubai bin Ka’ab, penduduk kuffah
membaca dengan Qiraat Abdullah bin Mas’ud dan yang lain memakai qiraat Abu Musa
al-Asy’ari. Perbedaan ini membawa kepada pertentangan dan perpecahan di antara
mereka sendiri. Bahkan sebagian mereka mengkafirkan sebagian yang lain.
Inisiatif Usman bin Affan untuk segera membukukan dan
menggandakan al-Qur’an muncul setelah ada usulan dari Khuzaifah. Kemudian,
Khalifah Usman bin Affan yang isinya meminta agar Hafshah mengirimkan mushaf
yang disimpannya untuk disalin kembali menjadi beberapa mashaf. Setelah itu,
Khalifah Usman bin Affan memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair,
Sa’id bin ‘Ash, dan Abdurrahman bin Harits untuk bekerjasama menggandakan al-Qur’an.
Usman bin Affan berpesan bahwa : “Jika terjadi perbedaan di antara kalian
mengenai al-Qur’an, tulislah menurut dialeg Quraisy karena al-Qur’an diturunkan
dalam bahasa mereka."
Setelah tim tersebut berhasil menyelesaikan tugasnya,
Khalifah Usman bin Affan mengembalikan mushaf orisinil (master) kepada Hafsah.
Kemudian, beberapa mushaf hasil kerja tim dikirimkan ke berbagai kota,
sementara mushaf-mushaf lainnya yang masih ada pada waktu itu diperintahkan
Khalifah Usman bin Affan untuk segera dibakar. Pembakaran mushaf ini dilakukan
untuk mencegah terjadinya pertikaian dikalangan umat karena setiap mushaf yang
dibakar mempunyai kekhususan. Para sahabat penulis wahyu pada masa Nabi saw.,
tidak diikat oleh ketentuan penulisan yang seragam dan baku sehingga perbedaan
antara koleksi seorang sahabat dan sahabat lainnya masih mungkin terjadi. Ada
yang kelihatannya mencampurbaurkan antara wahyu dengan penjelasan-penjelasan
Nabi atau sahabat senior, walaupun sesungguhnya yang bersangkutan dapat
mengenali dengan pasti mana ayat dan mana penjelasan ayat, misalnya dengan
membubuhi kode-kode tertentu yang mungkin hanya diketahui yang bersangkutan.
Usman bin Affan lalu mengirim Mushaf al-Qur’an ke
beberapa wilayah yaitu, Kufah, Basrah
dan Syam serta ditinggalkan satu di Madinah sebagai mushaf Imam. Penamaan mushaf
Imam ini sesuai dengan apa yang terdapat dalam riwayat-riwayat terdahuhlu dimana
ia mengatakan; bersatulah wahai sahabat-sahabat Muhammad, dan tulislah untuk
semua orang satu Imam (mushaf al-Qur’an pedoman). Kemudian ia memerintahkan
membakar semua bentuk lembaran atau mushaf selain itu. Umat pun menerima
perintah itu dengan patuh. Ibnu Jarir mengatakan berkenaan dengan apa yang
telah dilakukan Usman bin Affan : Ia telah menyatukan umat Islam dalam satu
mushaf, sedang mushaf yang lain disobek. Ia memerintahkan dengan tegas agar
setiap orang yang mempunyai mushaf yang berlainan dengan mushaf yang disepakati
ia membakar mushaf tersebut . Umat pun mendukungnya dengan taat, dan mereka
melihat dengan begitu Usman telah bertindak sesuai dengan petunjuk dan sangat
bijaksana.
Perbedaan antara pengumpulan mushhaf Abu Bakar
dan Usman adalah. Pada masa Abu Bakar adalah bentuk pemindahan dan penulisan al-Qur’an
kedalam satu mushhaf yang ayat-ayatnya sudah tersusun, berasal dari
tulisan yang terkumpul dari kepingan-kepingan batu, pelepah-pelepah kurma,
tulang dan kulit binatang, adapun latar belakangnya karena banyaknya huffadz yang gugur.
Sedangkan pengumpulan al-Qur’an pada masa Usman menyalin kembali yang telah
tersusun pada masa Abu Bakar, dengan tujuan untuk dikirimkam keseluruh negara
Islam. Latar belakangnya adalah disebabkan karena adanya perbedaan dalam hal
membaca al-Qur’an.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Jam’u Al-Qur’an wa Kitabatuhu
merupakan dua kata identik pengertianya, yakni disamping diartikan sebagai
penghafalan juga sebagai penulisan. Sama halnya dengan pemeliharaan al-Qur’an,
maka kedua tekhnik ini yang ditempuh sejak masa Nabi saw., Abu Bakar dan Usman.
Hanya saja pada periode awal diutamakan pada tekhnik penghafalan,sementara
pada
periode terakhir diutamakan pada tekhnik penulisan, guna meredam perbedaan dalam Qira'ah.
2.
Al-Qur’an
pada masa Nabi saw.,
dikumpul dalam hafalan dan ingatan, serta catatan yang masih berserakan. Pada masa Abu Bakar, disamping
dikumpulkan dalam bentuk hafalan, juga dikumpulkan catatan–catatan itu sehingga
melahirkan Suhuf yang terpisah-pisah. Pada masa Usman, semua hapalan dan
suhuf yang terpisah digabung menjadi satu, sehingga disebut dengan Mushaf Imam.
3.
Periode berikutnya pemeliharaan al-Qur’an ditandai
dengan dilengkapinya titik dan harakat serta penyempurnaan tulisan kata dalam Rasm
Usmani, serta percetakan al-Qur’an di
berbagai Negara.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Abyari,
Ibrahim. Kitab Tarikh al-Qur'an ( Sejarah al-Qur'an ) terjemahan St
Amanah. Semarang. Toha Putra Grup. 1993.
AF,Hasanuddin,Perbedaan
Qiraat dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum dalam al-Qur'an, Cet. I,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Al-A’zami,
M.M. The history of the quranic Texs, (Sejarah Teks al-Qur'an),
terjemahan Shohirin solihin. Jakarta. Gema Insani Press. Cet I. 2005
Al-Qattan, Manna’ Khalil. Mabahis fi ulumi al-Qur'an, (Studi Ilmu – Ilmu al-Qur'an).
Terjemahan Muzakir As. Bogor. Pustaka Litera Antar Nusa. 2007
Amal,Taufik
Adnan ,Rekonstrusi Sejarah al-Qur'an, Cet. I, Yogyakarta: Forum Kajian
Budaya dan Agama, 2001.
Ash
Shabuny,Muhammad Aly, Al-Thibyan Fi ‘Ulumi al-Qur'an, (Bairut: Daru
al-Irsyad), Diterjemahkan oleh, Moch Chudari Umar dan Moh Matsna H.S, Pengantar Studi al-Qur'an, Cet. IV,
Bandung: Al ma’arif, 1996
Ashshiddieqy. M. Hasbi. Sejarah Pengantar Ilmu al-Qur'an / Tafsir. Jakarta
. Bulan Bintang 1994
Az-zanjani,Abu
Abdullah, Tarikh al-Qur'an, (Iran: Islamic Propagation Organitation,
1984), diterjemahkan oleh Kamaluddin Marzuki Anwar dan A. Qurtubi Hasan, Wawasan
Baru Tarikh al-Qur'an, Cet. II, Bandung: Mizan, 1991.
Depag RI,al-Jumanatul
Ali;al Quran dan terjemahnya.
Izzan,
Muhammad, Ulūmul Qur'an,Telaah Tekstualitas dan Kontestualitas al-Qur'an,
Cet. III, Bandung;
Tafakur, 2009.
Mahmud, Adnan
, Hamid Loanso, Ulumul Qur'an, Cet. I, Jakarta: Tim Restu Ilahi, 2005.
Shalih,
Subhi. Mabahis fi ulumi al-Qur'an. Bairut.
Darul ‘Ilmi
Zarqani,
Muhammad Abdul ‘Azim. Manahilul ‘Irfan fi Ulumi al-Qur'an. Juz I, Kairo ; Darul Hadis, 2001.
Shubhi al-shalih, mabahits fi ‘ulumi al-Qur'an (Cet. IX ;
Beirut : Dâru Al-‘ilmi), h.65.
M. Quraish Shihab, Membumikan
al-Qur'an(Cet, XII;
Bandung: Mizan, 1996), h.35.
Manna’ Khalil Al-qattan,
Mabâhits fi ‘ulumi Al-qur an, diterjemahkan oleh Mudzakir AS dengan
judul, Studi ilmu-ilmu Al-qur an, (Cet.X, Bogor ; Pustaka Litera
antar nusa, 2007), h. 178
Depag RI,
al_Jumanatul Ali- al-Quran dan terjemahan ( Cet.I; Jakarta: CV Penerbit
J-Art, 2005), h. 577
Shubhi al-shalih, lot.
cit.
M.M Al-A’zami, The
History of the Qur anic Text, Diterjemahkan oleh Sohirin solihin, Anis
malik thaha, dengan judul sejarah teks Al-qur an (cet. I, Jakarta; Gema
insane press, 2005), h. 83
M.M Al-A’zami, op. cit,
h. 75
Taufik
Adnan Amal, Rekonstrusi Sejarah al-Qur an, (cet. I, Yogyakarta: Forum
Kajian Budaya dan Agama, 2001), h. 142-143.
Abu
Abdullah Az-zanjani, Tarikh Al qur'an , (Iran: Islamic Propagation
Organitation, 1984), diterjemahkan oleh Kamaluddin Marzuki Anwar dan A. Qurtubi
Hasan, Wawasan Baru Tarikh Al qur'an, (Cet. II, Bandung: Mizan, 1991),
h. 85-86.
Manna’ Khalil Al-qattan,
op. cit. h. 192
Muhammad ‘Abdul ‘Azim
Al-zarqani, Manahilu Al-‘irfan fi ‘Ulumi Al-qur an, (Tab’u bi mat’ba’ati
al-bâbi), h. 255
Comments
Post a Comment