KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS

KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS Pendahuluan latar belakang Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah dua sumber utama ajaran Islam. Oleh karena itu, keduanya selalu dijadikan landasan keyakinan, ritual, adat istiadat, etika, ekonomi, politik, peradaban dan seluruh aspek kehidupan umat Islam, baik yang sakral maupun duniawi, pada tataran ¥ abl minallah (vertikal) dan ¥ abl min al. -n ± s (horizontal).

ARTI, FUNGSI, WUJUD , MAKNA HUJAN DALAM AL-QUR’AN

WUJUD HUJAN DALAM AL-QUR’AN



A.    Bentuk Tetesan Air Hujan
Air hujan tidak hanya diturunkan dalam kadar yang sangat tertata, ia juga jatuh ke bumi dalam bentuk khusus, yaitu butiran-butiran yang tidak memiliki efek merusak. Bentuknya ternyata bukan seperti tetes air mata atau air keran, yang bulat di bagian bawah dan lancip di bagian atas sebagaimana yang kita bayangkan selama ini. Air hujan justru bulat oval. Jika butiran airnya besar, tetes air hujan ini bisa berbentuk seperti donat atau parasut.[1]
Desain air hujan seperti ini tentu saja bukan sembarang desain, ada tujuan mulia dibaliknya. Tetes-tetes air hujan pada awalnya memiliki bentuk bulat seperti bola dengan ukuran di bawah 2 mm (0.008 inci). Bentuk bulat pada tetes air itu terjadi karena adanya tegangan permukaan yang berfungsi sebagai “kulit” dari badan air yang menjadikan molekul tetap bersatu. Air itu sendiri tetap bisa bersatu karena adanya ikatan hidrogen lemah yang terjadi di antara molekul air. Pada tetes air hujan yang lebih kecil, tegangan permukaan lebih kuat dari pada tetes yang lebih besar.
Ketika jatuh, air hujan akan kehilangan bentuk bulatnya. Bentuknya akan berubah menjadi seperti roti hamburger pada bagian atasnya dengan bagian bawah yang lebih rata dan sisi-sisinya yang melengkung. Bentuk itu muncul karena saat jatuh dengan kecepatan tertentu, tetes-tetes air hujan akan bersentuhan dengan lapisan udara atau atmosfer. Aliran udara di bagian bawah tetes air lebih besar dari pada aliran udara dibagian atas. Pada bagian atas, gangguan sirkulasi udara relatif kecil sehingga mengakibatkan berkurangnya tekanan udara. Tegangan permukaan bagian atas memungkinkan hujan untuk tetap lebi bulat sedangkan bagian bawahnya menjadi lebih rata.[2]
Ada kalanya, ketika tetes air hujan ini jatuh, mereka bertabrakan dengan tetes-tetes air hujan lain sehingga ukurannya bertambah besar. Akan tetapi, ketika ukurannya sudah lebih besar, tetesan ini akan pecah di atmosfer dan kembali menjadi tetes-tetes kecil.
Ada hal menarik di sini. Apabila tidak ada lapisan atmosfer, tetes-tetes ait hujan akan menyentuh tanah dengan kecepatan menakutkan. Setetes air berdiameter 2 mm yang jatuh dari ketinggian 500 meter (1.650 kaki) tanpa adanya hambatan udara akan meluncur ke permukaan bumi dengan kecepatan mendekati100 m/detik atau 360 km/jam.
Pemisahan tersebut hanya pada ketinggian 500 meter. Padahal, ketinggian minimal awan mendung adalah 1.200 meter. Apabila jatuh dari ketinggian tersebut, suatu objek yang bobot dan ukurannya sebanding dengan setetes hujan akan jatuh ke tanah dengan kecepatan sekitar 552 km/jam.[3]
Bayangkan saja, betapa berbahayanya setetes air yang “ditembakkan” dari langit dengan kecepatan 360 atau 552 km/jam, apalagi kalau miliaran tetes sebagaimana yang terjadi ketika hujan. Jika hujan yang terjadi jatuh dengan cara yang sama, semua lahan pertanian akan hancur, kawasan pemukiman, rumah, kendaraan, dan sejenisnya akan rusak. Kita pun tidak akan bisa keluar tanpa perlindungan ekstra. Padahal, pemisalan yang kita ambil hanyalah awan dengan ketinggian minimal, yaitu 1.200 meter. Ada banyak awan yang berada pada ketinggian di atas itu hingga di atas 10.000 meter. Tetes-tetes air hujan yang jatuh dari tempat setinggi itu bisa mencapai kecepatan 1.593 km/jam.
Allah swt. sudah mendesain bentuk tetes air hujan sedemikian rupa. Tetes air hujan yang berbentuk bulat oval akan meningkatkan efek gesekan dengan lapisan atmosfer sehingga kelanjutannya tetap berada pada “batas” kecepatan yang aman bagi kehidupan di bumi. (sekarang parasut di rancang dengan menggunakan teknik ini). Hambatan atmosfer memperlambat kecepatan turunan tetes-tetes air hujan sampai 6,5 meter per detik. Oleh karena itu, tidak peduli dari ketinggian berapa meter mereka jatuh, kecepatan rata-rata tetes hujan saat menyentuh tanah tidak lebih dari 10 km/jam.[4]

B.    Fungsi Air Hujan Dalam Al-Qur’an
Dalam uraian ini, diketahui bahwa sebenarnya al-Qur’an telah menjelaskan tentang berbagai jenis dan fungsi air dengan sangat cermat. Al-Qur’an juga mengelompokkan berdasarkan kadar kejernihannya. Al-Qur’an menyebutkan dengan al-Ma> al-T}ahu>r (air yang membersihkan). Ia juga menyebut air tawar yang biasa kita minum dari sungai, dan sumur dengan al-Ma> al-Fura>t, sedangkan air laut yang mengandung kadar garam yang tinggi disebut dengan al-Ma> al-Uja>j.
1.  Al-Ma>  al- Fura>t
Allah Swt telah menyebutkan bahwa air sungai, air yang tersimpan di dalam bumi, dan air yang kita minum sebagai al-Ma> al-Fura>t, atau air yang segar dan nikmat untuk di minum. Sama halnya ketika Allah Swt menamai air laut dengan al-Ma> al-Uja>j untuk menunjukkan kadar garam yang tinggi, juga ketika menyebut air hujan dengan al-Ma> al-T}ahu>r. Dengan demikian, al-Qur’an menjadi kitab suci pertama yang memberikan klasifikasi ilmiah berbagai macam air.
Air yang kita minum dari berbagai sungai, mata air, dan sumur adalah air tawar yang nikmat rasanya, karena terdiri dari sejumlah zat-zat kimia,  seperti besi yang menjadikan air terasa manis. Ini sesuai dengan kata fura>t. Adapun kata al-Ma> al-Fura>t ماءٌ فرات pada ayat di atas, secara bahasa Ibn Faris bin Zakariya dalam maqayis al-Lugah mengatakan bahwa kata فرات merupakan العَذْ بُ yaitu segar, sebagai contoh ماءٌ فرات، ومياهٌ فُرات yakni air yang segar.[5]
Dalam hal ini air yang nikmat rasanya. Air yang turun dari langit adalah air hasil penyulingan yang memiliki kemampuan membasmi bakteri dan virus, membersihkan kotoran dan tidak memiliki rasa. Oleh sebab itulah, Kalam Ilahi menyebutnya dengan kata Tahu>ran.
Ketika air hujan turun dari langit, keadaannya sungai jernih. Lalu, ia bercampur dengan zat-zat tambang dan garam-garam di bumi, sehingga menjadi furat atau air tawar. Al-Qur’an menyebut air sungai dengan menggunakan kata furatan, bukan t}ahuran, karena air sungai adalah air tawar yang terdiri dari zat-zat tambang cair di dalamnya.[6]
Di samping itu, penulis juga mendapatkan bahwa al-Qur’an telah membedakan kata t}ahu>ran dan kata fura>t}an. Allah swt. berfirman dalam  QS al-Mursalat:27
$uZù=yèy_ur $pkŽÏù zÓźuru ;M»yÏJ»x© /ä3»uZøs)ór&ur [ä!$¨B $Y?#tèù ÇËÐÈ  
Terjemahnya:
“Dan Kami jadikan padanya gunung-gunung yang tinggi, dan Kami beri minum kamu dengan air tawar[7]

2.  Al-Ma>  al-Uja>j
Allah Swt. berfirman dalam QS. Fathir:12
Terjemahnya:
“Dan tiada sama (antara) dua laut; yang ini tawar, segar, sedap diminum dan yang lain asin lagi pahit. dan dari masing-masing laut itu kamu dapat memakan daging yang segar dan kamu dapat mengeluarkan perhiasan yang dapat kamu memakainya, dan pada masing-masingnya kamu Lihat kapal-kapal berlayar membelah laut supaya kamu dapat mencari karunia-Nya dan supaya kamu bersyukur.[8]
Ayat di atas membuat kita tertegun dan bertanya, “Mengapa Allah swt. menjelaskan kepada kita dua macam air tersebut dengan dua sifat: adzb (tawar), fura>tun, dan milh (asin) ujaj. [9] Sebagaimana kita ketahui bahwa air sungai memiliki rasa tawar, lalu mengapa Allah swt. menghubungkannya dengan kata sifat kedua furat? Begitu juga dengan air laut (asin), mengapa Allah swt. menghubungkan dengan sifat kedua, yaitu ujaj dan dalam waktu bersamaan Allah menyifati air hujan dengan satu sifat saja, yaitu t}ahu>ran atau air yang sangat bersih? Jadi, apakah ini hanya sebatas pengulangan kata dalam al-Qur’an, atau salah satu keistimewaan al-Qur’an itu sendiri?
Para ilmuwan yang meneliti tentang air menemukan bahwa ketika mereka berinteraksi dengan air, maka tidak akan cukup hanya membahas air dengan hanya masalah rasa tawar atau asin saja. Seluruh air yang kita lihat di muka bumi ini baik di sungai, danau, maupun air sumur, semuanya mengandung  garam dengan jumlah hampir tidak terasa sama sekali. Akan tetapi, Allah Swt tetap mengakui keberadaannya dan Dialah yang menciptakannya.
Oleh karena itu, al-Qur’an menjelaskan air tawar tersebut dengan sifat furat, atau air yang nikmat rasanya, disebabkan oleh cairnya sebagian zat-zat tambang dan gas-gas di dalamnya. Semua ini memberi rasa segar pada air, sebagaimana yang kita rasakan. Sebaliknya telah ditemukan bahwa sifat milh atau asin tidak cukup untuk menyifati air laut secara detail. Oleh sebab itu, Allah menghubungkannya dengan sifat kedua, yaitu ujaj atau melebihi batas. Kata ini berasal dari verba ta’ajjaja (melampaui dan melebihi). [10]
Adapun dalam Firman Allah swt. QS. al-Waqiah: 68-70

Terjemahnya:
Maka Terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. kamukah yang menurunkannya atau Kamikah yang menurunkannya? Kalau Kami kehendaki, niscaya Kami jadikan Dia asin, Maka Mengapakah kamu tidak bersyukur?
Kata ujajan dalam ayat tersebut berarti asin atau pahit yang tidak bisa di minum. Air hujan secara alamiah terasa tawar dan merupakan air yang paling bersih. Seandainya Allah swt. menghendaki untuk menjadikan air hujan terasa asin atau pahit, tentu Dia sudah melakukannya. Jika bukan karena rahmat dan anugerah Allah swt., tentu air hujan akan berubah menjadi asin sehingga tidak bisa di manfaatkan oleh manusia, hewan, dan binatang.
Air tawar bergerak dalam ruang lingkup atmosfer. Jika ada zat-zat yang mencemarinya, baik yang berupa karbon manoksida, karbon dioksida, nitrogen, maupun zat-zat pencemar lainnya, maka ketika itu turun dalam bentuk hujan asam. Sebab, sebagian besar oksida itu ketika mengalir di dalam air akan berubah menjadi zat asam yang berdampak terhadap bebatuan dan makhluk-makhluk hidup. Faktanya, ada banyak pengaruh negatifnya terhadap manusia. Oleh karena itu, Allah swt. menganugrahkan kepada kita suatu proses yang alamiah. Anugerah tersebut adalah uap air yang bersumber dari air lautan, samudera dan daratan, serta melalui proses fotosintesis dan pernapasan tetumbuhan. Uap air itu kemudian naik dan menebal, lalu turunlah air yang bersih tersebut.[11]
Di antara hal-hal yang perlu diperhatikan di sini, bahwa zat asam ini terbentuk dalam ukuran yang kecil ketika terjadi petir. Rahmat Allah swt. menakdirkan zat asam ini terbentuk dalam jumlah kecil dan tidak banyak serta tidak mengganggu kesehatan manusia. Sekiranya Allah menghendaki, tentu Dia bisa memperbanyak jumlahnya sehingga merusak kehidupan manusia.
3.  Al-Ma>’ T}ahu>ran
Allah swt. menyebutkan bahwa salah satu fungsi air ialah menyucikan. Allah berfirman dalam QS al- Anfal:11

Terjemahnya:
(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan mesmperteguh dengannya telapak kaki(mu)[12]
Ayat ini menjelaskan mengenai air hujan seperti yang di sebutkan dalam firman Allah Swt “hujan dari langit”, dan menjelaskan kepada kita mengenai  sifatnya yang mampu membersihkan dalam Firman-Nya “untuk menyucikan kalian”. Ayat ini juga menjelaskan kepada kita mengenai sumber energi di dalam air , dan pengaruhnya terhadap ketahanan dan kekuatan manusia untuk mengokohkan kedua kakinya saat menghadapi musuh. Dengan kata lain, ayat ini juga membahas mengenai sumber energi dari air yang menjadikan manusia mampu menghadapi musuh dengan segala kekuatannya. Itu terdapat dalam Firman-Nya “memperteguh telapak kaki kalian”.[13]




[1] Susilo Soekardi & Tauhid Nur Azhar, Mengenal Allah; Air dan Samudra Mengurai Tanda-tanda Kebesaran Allah di lautan, (Cet. I; Solo; Tinta Medina, 2012), h. 39
[2] Susilo Soekardi, Mengenal Allah; Air dan Samudra Mengurai tanda-tanda kebesaran Allah di lautan, h.40

[3] Susilo Soekardi, Mengenal Allah; Air dan Samudra Mengurai tanda-tanda kebesaran Allah di lautan, h.41
[4] Susilo Soekardi, Mengenal Allah; Air dan Samudra Mengurai tanda-tanda kebesaran Allah di lautan, h.41
[5] Abi> al-Husai>n Ibn Ahma>d Ibn Faris bin Zakariya, Maqa>yis al-Lugah, Juz IV (http://www.awu-dam.org- al-Maktabah al-Sya>milah; Kumpulan Kitab Arab, 2002), h. 395

[6] Hisyam Thalbah, al- I’jaz al- Ilmi fi al-Qur’an wa al-Sunnah, Ensiklopedia Mukjizat al-Qur’an dan Hadis, h. 89
[7] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 581

[8] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 436

[9] Hisyam Thalbah, al- I’jaz al- Ilmi fi al-Qur’an wa al-Sunnah, Ensiklopedia Mukjizat al-Qur’an dan Hadis, h. 90
[10] Hisyam thalbah, al- I’jaz al- Ilmi fi al-Qur’an wa al-Sunnah, Ensiklopedia Mukjizat al-Qur’an dan Hadis, h. 90
[11]Nadiah Tharayyarah. Mausu’ah al I’jaz al-Qur’ani, Dar al-Yamama, Abu Dabi, Penerjemah: M. Zaenal Arifin dkk, Cet. I, Jakarta; 2013 ),h. 527
[12] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 178

[13] Hisyam thalbah, al- I’jaz al- Ilmi fi al-Qur’an wa al-Sunnah, Ensiklopedia Mukjizat al-Qur’an dan Hadis,  Penerjemah Syarif Hade Masyah. Cet III,Sapta Sentosa. Jakarta 2009,  h. 88

Comments

BERITA TERBARU !!

Popular posts from this blog

BIL MA'TSUR ( TAFSIR AYAT DENGAN AYAT )

CARA MELAKUKAN TAKHRIJ HADIS

download TAFSIR AL-NASAFIY

cara atau Kaedah al-Jarh Wa al-Ta’dil Serta Aplikasinya

HADIS TARBAWIY DAN AKHLAK (BERKURANGNYA IMAN KARENA MAKSIAT)

kaedah 'ATAF - AL-'ATFU DALAM AL-QUR'AN

cara TAMBAHAN - kaedah ZIYADAH DALAM AL-QUR'AN

KAEDAH 'AM DAN KHAS

cara melakukan MUNASABAH AYAT

KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS