KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS

KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS Pendahuluan latar belakang Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah dua sumber utama ajaran Islam. Oleh karena itu, keduanya selalu dijadikan landasan keyakinan, ritual, adat istiadat, etika, ekonomi, politik, peradaban dan seluruh aspek kehidupan umat Islam, baik yang sakral maupun duniawi, pada tataran ¥ abl minallah (vertikal) dan ¥ abl min al. -n ± s (horizontal).

cara-cara KAEDAH ISIM DALAM AL-QUR'AN


A.  Pengertian  Kaidah-Kaidah  Isim  Dalam  Al-Qur’an
Kaidah-kaidah isim dalam al-Qur’an merupakan kalimat yang terdiri dari beberapa suku kata. Paling tidak dari beberapa kata tersebut, ada tiga kata yang perlu penjelasan lebih lanjut. Yaitu, kata kaidah, isim dan al-Qur’an. Kata kaidah sendiri berarti perumusan dari asas-asas yang menjadi hukum.[1] Dalam bahasa Arab, kaidah disebut dengan qawa>id  bentuk jamak dari qa>idah  yang berarti undang-undang, aturan dan asas[2]. 

Adapun pengertian kaidah menurut istilah yaitu aturan umum yang memperkenalkan serta membahas aturan-aturan pada bagian-bagiannya.[3]
 Isim merupakan kata yang digunakan dalam bahasa Arab. Al-Ism berbentuk tunggal sedangkan jamaknya adalah asma>’. Al-Ism sendiri terambil dari kata al-simmah yang berarti‘ala>mah (tanda) dan selanjutnya dari sini kemudian diistilahkan menjadi lafz  yang diposisikan pada sesuatu yang menjadikannya berbeda dengan lainnya.[4] Di dalam kamus lain dijelaskan:
 وَهُوَ عَلامَة يعلّمون بهَا أنفسهم فِي الْحَرْب.[5]
Artinya: Tanda yang dengannya mereka menandai diri mereka sewaktu perang
Secara bahasa isim diartikan sesuatu yang diposisikan untuk satu hal dari beberapa hal, yang menunujuk pada satu arti dari beberapa arti.[6]
Secara istilah disebutkan beberapa pengertian yang berdekatan. Sebagian mereka berpendapat: memberitakan satu hal dari yang disebutkan.[7] Lainnya mendefenisikan dengan pendapatnya: bahwa isim adalah lafz yang diposisikan pada satu arti,  baik berupa susunan atau tunggal, informan atau informasi atau hal yang terkait  dengan dua hal tersebut. Pendapat lain: sesuatu yang diketahui darinya zat sesuatu.
Sedangkan ahli nuh{a>t  mengartikan: setiap kata yang menunjukkan satu arti mengenai dirinya dan tidak terikat dengan waktu.[8]
Al-Qur’an dengan berbagai pengertian yang diberikan oleh para ulama menjadi hal yang amat panjang jika pembahasannya diurut dari akar katanya. Umumnya manusia, pasti telah mengetahui banyak makna tentang pengertian al-Qur’an. Jadi, dalam poin ini kami mencoba menarik pegertian yang umumnya dipahami berkaitan dengan kata al-Qur’an ini. Di dalam kitab maba>h}its\ fi> ‘ulu>m al-Qur’a>n dijelaskan bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad saw., bernilai ibadah bagi yang membacanya.[9]
Jadi, yang dimaksudkan di dalam pembahasan makalah ini adalah menjelaskan rumusan-rumusan atau aturan-aturan isim (kata benda) di dalam al-Qur’an.


B.   Fungsi dan Kaidah-Kaidah Isim Dalam Al-Qur’an
1.    Fungsi isim
Semua kata di dalam al-Qur’an memiliki makna dan tujuan masing-masing (kecuali fawa>tih al-Suwar yang maknanya tidak diketahui secara pasti oleh manusia) begitupula penggunaan kata isim dan al-fi’l memiliki tujuan tertentu.
Adapun tujuan penggunaan isim dan al-fi’l di dalam al-Qur’an,[10] (sekalipun yang akan dijabarkan dalam poin ini khusus yang terkait dengan isim) adalah bahwa isim menunjuk pada sesuatu yang tetap dan berlangsung terus-menerus, sebagaimana yang termuat  di kitab maba>h{is\ fi> ‘ulu>m al-Qur’a>n yaitu [11]الإسم يدل على الثبوت والإستمرار
Dalam al-Qur’an tentunya banyak contoh yang terkait dengan fungsi isim sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya. Sebagai contoh Allah berfirman dalam al-Qur’an, Surah al-Hujura>t ayat 15:
$yJ¯RÎ) šcqãYÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur ÇÊÎÈ    
Terjemahnya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, …”[12]

Menurut Manna>’ Khalil ketika menjelaskan kata al-Mu’minu>n; beliau membandingkannya dengan penggunaan al-fi’l pada kata yunfiqu>n dalam surah Ali Imra>n ayat 134, bahwa al-Nafqah (membelanjakan harta), yang digunakan dalam bentuk al-fi’l, merupakan urusan yang sifatnya pekerjaan, keadaanya berupa peristiwa baru, berbeda dengan penggunaan kata al-Mu’minu>n (yang berbentuk isim) yang mana kata tersebut punya hakikat  yang tegak dengan sifat ke-dawa>m-annya.[13]
2.    Kaidah-kaidah isim
Kaidah pertama
إذا كان للإسم الواحد معان عدة حمل في كل موضع على ما يقتضيه ذلك السياق[14]
Artinya: Apabila ada  isim berbentuk tunggal memliki beberapa arti, diambil setiap arti isim tersebut sesuai dengan yang diinginkan oleh siya>q itu
            Setiap  isim (kata benda) di dalam bahasa Arab tidak selamanya bermakna tunggal bahkan kebanyakan bermakna ganda. Artinya, memiliki beberapa arti. Di dalam kaidah ini dijelaskan bahwa apabila terjadi hal demikian, yakni isim  yang dalam  bentuk tunggal namun memiliki beberapa arti maka kaidahnya menyesuaikan arti dari isim tersebut dengan kalimatnya. Contoh:
a.       Lafz Al-Ummah
·         Berarti ja>mi’ al-na>s[15] (Sekelompok manusia) seperti pada firman Allah di dalam al-Qur’an surah al-Qashas ayat 23:

Terjemahnya: “…ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya)…”[16]
·         Berarti al-millah[17] (agama), seperti pada firman Allah dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 213:
tb%x. â¨$¨Z9$# Zp¨Bé& ZoyÏnºur ÇËÊÌÈ
Terjemahnya: “Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), …”[18]
·         Bararti al-muddah al-zamaniyyah[19]   (lamanya masa)    seperti firman Allah dalam al-Qur’an surah Hu>d ayat 8:

Terjemahnya: ”Dan Sesungguhnya jika Kami undurkan azab dari mereka sampai kepada suatu waktu yang ditentukan..”.[20]
b.      Lafz Al-Du’a>’
·         Berarti al-qaul [21] (perkataan), seperti firman Allah dalam al-Qur’an surah al-A’ra>f ayat 5:

Terjemahnya “Maka tidak adalah keluhan mereka di waktu datang kepada mereka siksaan Kami, ..".[22]
·         Berarti al-‘iba>dah [23] (menyembah), seperti firman Allah dalam al-Qur’an surah Jin ayat 18:

Terjemahnya: “Dan Sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah”.[24]
·         Berarti al-nida>’ [25] (panggilan/seruan), seperti pada firman Allah dalam al-Qur’an surah al-Anbiya>’ ayat 45:

Terjemahnya “…Dan Tiadalah orang-orang yang tuli mendengar seruan, apabila mereka diberi peringatan"[26]
c.        Lafz Al-Di>n
·         Berarti ma> yudayyinu bih al-insa>n wa ya’taqidu bih [27] (agama yang dipeluk manusia dan yang diyakininya), seperti firman Allah dalam al-Qur’an surah al-Bayyinah ayat 5:

Terjemahnya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…”[28]
·         Berarti al-h}isa>b wa al-jaza>’ [29] (hari perhitungan amal/pembalasan), seperti pada firman Allah dalam al-Qur’an surah al-Fa>tih{ah ayat 4:
Å7Î=»tB ÏQöqtƒ ÉúïÏe$!$# ÇÍÈ
  
Terjemahnya:  “Yang menguasai di hari Pembalasan.”[30]
Kaidah kedua
بعض الأسماء الواردة في القرآن إذا أفرد دل على المعنى العام المناسب له، وإذا قرن مع غيره دل على بعض المعنى، ودل ما قرن معه باقيه[31]
Artinya: Apabila dalam al-Qur’an terdapat kata berbentuk isim (kata benda) secara sendiri, maka kata itu menunjukkan pengertian umum yang sejalan dengannya. Akan tetapi, jika disebutkan bersamaan dengan yang lain sebagai penjelasannya, pengertian isim menjadi terbatasa pada yang dijelaskan saja.[32]
Kaidah ini menjelaskan bahwa arti yang lebih terbatas yang lahir dari isim itu muncul karena terjadinya perbedaan dila>lah dari isim-isim  itu, baik dari segi kaitan keumuman dan kekhususannya atau dari segi tajri>d atau kesertaannya dengan kata yang  lain.
Ada beberapa contoh yang bisa kita ambil dalam menjelaskan kaidah ini. Seperti halnya kata al-birr (kebajikan) dan al-taqwa> (ketakwaan; arti generiknya adalah menjaga diri, waspada). Jika kata al-birr dan kata al-taqwa> disebutkan sendiri-sendiri—di samping kebajikan— masing-masing juga menunjuk pengertian menjunjung semua perintah dan menjauhi segala larangan Allah dan rasul-Nya. Itulah sebabnya jika al-Qur’an menggunakan kata al-birr atau al-taqwa> secara tersendiri, al-Qur’a>n selalu mengirinya dengan penyebutan ganjaran pahala dan kelepasan dari neraka.[33]
Kata al-taqwa> yang disebut secara tersendiri, sehingga mengandung pengertian kebaikan secara umum antara lain pada surah Ali ‘Imra>n ayat 133-134:
Terjemahnya: “(133). Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (134). (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”[34]
                Pada ayat ini kata al-taqwa> dijabarkan dalam bentuk sifat-sifat kebaikan, yang jika sifat-sifat itu tidak dimiliki oleh seseorang, maka ia tidak dapat mencapai hakikat ketakwaan.[35]
Sedangkan kata al-birr yang disebut secara tersendiri misalnya pada surah al-Infit}a>r ayat 13:

Terjemahnya: “Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam syurga yang penuh kenikmatan,”[36]
Kata al-birr dalam ayat ini menunjuk pengertian melakukan perbuatan-perbuatan kebaikan dan meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat secara umum.[37]

            Adapun kata al-birr dan al-taqwa>  yang digabung dalam satu kalimat misalnya dalam al-Qur’an surah al-Ma>idah ayat 2:
Terjemahnya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa”[38]
            Kata al-birr ditafsirkan sebagai semua nama yang disukai dan diridai oleh Allah dalam bentuk perbuatan dan perkataan. Sedangkan kata al-taqwa ditafssirkan sebagai semua nama yang mengandung pengertian meninggalkan perbuatan dan perkataan maksiat.[39]
            Contoh lain yang bisa kita ambil yaitu kata al-faqi>r dan kata al-miski>n. jika kata ini disebutkan secara sendiri-sendiri di dalam al-Qur’an, pengertiannya mencakup kedua kata tersebut.[40] Akan  tetapi, jika keduanya disebutkan secara bersama di dalam satu ayat, seperti yang terdapat pada surah al-Taubah ayat 60:

Terjemahnya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, …”[41]
                Al-faqi>r  ialah orang yang sangat membutuhkan bantuan tetapi tidak memiliki apa-apa atau orang yang memiliki harta tetapi sama sekali tidak memadai untuk menutupikebutuhannya. Sedangkan al-Miski>n ialah orang yang kebutuhannya lebih besar dari apa yang dimilikinya (keadaan orang miskin lebih baik daripada orang fakir).[42]
            Kaidah Ketiga
          جعْل الإسمين لمعنيين أولى من أن يكونا لمعنى واحد[43]
Artinya: “Menjadikan dua isim (dua kata benda yang sama) dengan dua arti lebih utama daripada menjadikan keduanya dengan satu arti”
                Membawa isim pada arti yang sesuai dengannya, bukan arti lain yang diperoleh dari isim lain itu lebih utama dari pada terjadinya keragaman arti, dan menjauhkannya dari pengulangan, karena hukum asalnya adalah meniadakannya.
            Semua yang dijelaskan ini merupakan hal yang bersifat mumkin, jadi butuh kemampuan intelektual untuk mengetahuinya, ataukah dengan keterangan yang terbawa dari nas-nas kalau tidak maka itu terlarang.
            Ayat yang termuat dalam  al-Qur’an surah al-Balad ayat 1-2, merupakan ayat yang bisa dijadikan contoh di dalam penerapan kaidah ketiga ini. Berikut bunyi ayat tersebut:
      
Terjemahnya: “(1). Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini (2). Dan kamu (Muhammad) bertempat di kota ini,”[44]
Apabila berangkat dari yang dituntut kaidah tersebut, maka maksud dari kata al-balad dalam dua bentuknya itu ialah al-balad yang pertama diartikan kota mekah dan al-balad yang kedua diartikan kota madinah.
Menurut imam al-Zarkasyiy kaidah جعْل الإسمين لمعنيين أولى من أن يكونا لمعنى واحد yakni menggunakan khitab al-baladain (dua kota yang bermakna dua kota yang berbeda; kota mekah dan madinah) itu lebih utama daripada menggunakan salah-satunya saja, dengan alasan adanya nilai kohormatan pada keduanya.[45]
C.    Manfaat Mengetahui Kaidah-Kaidah Isim Dalam Al-Qur’an
Dari fungsi dan kaidah-kaidah yang dijelaskan sebelumnya penulis menyimpulkan beberapa manfaat mengetahui kaidah-kaidah isim dalam bentuk poin-poin sebagai berikut:
1.      Mengetahui fungsi digunakannya isim di dalam al-Qur’an menjadikan manusia tahu bahwa isim bermakna sesuatu yang berlangsung terus-menerus tidak terikat dengan waktu, berbeda dengan al-fi’l.
2.      Dapat mengetahui maksud dari suatu ayat dalam al-Qur’an sekalipun menggunakan isim (kata benda) yang sama.
3.      Dapat Memberikan pemahaman yang mantap dalam memaknai setiap ayat dalam al-Qur’an


DAFTAR PUSTAKA
Al-Azadiy, Abu> Bakr Muh{ammad bin H{asan. Jamharat al-Lugah. jilid II. Cet. I; Bairut: Da>r al-‘Ilm li al-Mala>yi>n, 1987.
Baidan, Nasruddin. Wawaasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2011.
Dahlan, Abd. Rahman. Kaidah-Kaidah Penafsiran al-Qur’an. Cet. II; Bandung: Mizan, 1998.
Departemen Agama RI. Al-Qur'an dan Terjemahannya. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur'an, 1990.
Fa>ris, Abu Husain Ahmad ibn Mujam Maqa>yi>s al-Lugah. Jilid V. Mesir: Da>r al-Fikr, 1979.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2008.
Al-Qatta>n, Manna>’ Khalil. Maba>h{is\ fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Cet. XIX; Bairut: Muassat al-Risa>lah, 1973.
Al-Sabt, Kha>lid ibn 'Us|ma>n. Qawa>id al-Tafsi>r: Jam'an wa Dira>satan. jilid I. Cet. I; Saudi Arabiah: Da>r Ibn Affaa>n, 1421H.
Usman. Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras, 2009.
Al-Zarkasyiy. Al-Burha>n Fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n. jilid II. Cet. I; Bairut: Da>r Al-Ma’rifah, 1957.




[1]Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), h. 657.
[2]Abu Husain Ahmad ibn Fa>ris, Mujam Maqa>yi>s al-Lugah, Juz V (Mesir: Da>r al-Fikr, 1979), h. 108.
[3]Ibid., h. 23.
[4]Kha>lid ibn 'Us|ma>n al-Sabt, Qawa>id al-Tafsi>r: Jam'an wa Dira>satan, jilid I (Cet. I; Saudi Arabiah: Da>r Ibn Affaa>n, 1421H.), h. 421.
[5]Abu> Bakr Muh{ammad bin H{asan al-Azadiy, Jamharat al-Lugah, jilid II (Cet. I; Bairut: Da>r al-‘Ilm li al-Mala>yi>n, 1987), h. 8633>
[6]Kha>lid ibn 'Us|ma>n al-Sabt, loc.cit.
[7]Ibid.
[8]Ibid.
[9]Manna>’ al-Qatta>n, Maba>h{is\ fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Cet. XIX; Bairut: Muassat al-Risa>lah, 1973), h. 21. 
[10]Nasruddin Baidan, Wawaasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2011), h. 322.
[11]Manna>’ al-Qatta>n, op.cit.,  h. 206.
[12]Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur'an, 1990), h. 848.
[13]Manna>’ al-Qatta.n, loc. Cit.
[14] Kha>lid ibn 'Us|ma>n al-Sabt, loc.cit.
[15] Kha>lid ibn 'Us|ma>n al-Sabt, op.cit. h. 422
[16] Departemen Agama RI, op.cit. h. 612. 
[17]Kha>lid ibn 'Us|ma>n al-Sabt, loc.cit
[18] Departemen Agama RI, op.cit. h. 51.
[19] Kha>lid ibn 'Us|ma>n al-Sabt, loc.cit.
[20] Departemen Agama RI, op.cit., h. 328.
[21] Kha>lid ibn 'Us|ma>n al-Sabt, loc.cit.
[22] Departemen Agama RI, op.cit., h.  221.
[23] Kha>lid ibn 'Us|ma>n al-Sabt, loc.cit.
[24] Departemen Agama RI, op.cit., h. 985.
[25]Kha>lid ibn 'Us|ma>n al-Sabt, op.cit., h. 423
[26] Departemen Agama RI, op.cit., h. 501.
[27] Kha>lid ibn 'Us|ma>n al-Sabt, loc.cit.
[28] Departemen Agama RI, op.cit., h. 1084.
[29] Kha>lid ibn 'Us|ma>n al-Sabt, loc.cit.
[30]Departemen Agama RI, op.cit., h. 5.
[31] Kha>lid ibn 'Us|ma>n al-Sabt, op.cit., h. 424.
[32] Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-Kaidah Penafsiran al-Qur’an (Cet. II; Bandung: Mizan, 1998), h. 74.
[33] Abd. Rahman, op.cit., h. 75.
[34] Departemen Agama RI, op.cit., h. 98
[35] Abd. Rahman, loc.cit.
[36] Departemen Agama RI, op.cit., h. 1033.
[37] Abd. Rahman, op.cit., h. 76
[38] Departemen Agama RI, op.cit., h. 156.
[39] Abd. Rahman, loc.cit.
[40] Ibid., h. 77
[41] Departemen Agama RI, op.cit., h. 288.
[42] Abd. Rahman, loc.cit.
[43] Al-Zarkasyiy, Al-Burha>n Fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n, jilid II (Cet. I; Bairut: Da>r Al-Ma’rifah, 1957), h. 139-140.
[44] Departemen Agama RI, op.cit., h. 1061.
[45] Al-Zarkasyiy, loc.cit.  

Comments

BERITA TERBARU !!

Popular posts from this blog

BIL MA'TSUR ( TAFSIR AYAT DENGAN AYAT )

CARA MELAKUKAN TAKHRIJ HADIS

download TAFSIR AL-NASAFIY

cara atau Kaedah al-Jarh Wa al-Ta’dil Serta Aplikasinya

HADIS TARBAWIY DAN AKHLAK (BERKURANGNYA IMAN KARENA MAKSIAT)

kaedah 'ATAF - AL-'ATFU DALAM AL-QUR'AN

cara TAMBAHAN - kaedah ZIYADAH DALAM AL-QUR'AN

KAEDAH 'AM DAN KHAS

cara melakukan MUNASABAH AYAT

KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS