KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS

KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS Pendahuluan latar belakang Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah dua sumber utama ajaran Islam. Oleh karena itu, keduanya selalu dijadikan landasan keyakinan, ritual, adat istiadat, etika, ekonomi, politik, peradaban dan seluruh aspek kehidupan umat Islam, baik yang sakral maupun duniawi, pada tataran ¥ abl minallah (vertikal) dan ¥ abl min al. -n ± s (horizontal).

makalah ULUMUL QUR'AN


( SEKARANG.GILIRAN KAMI YANG PRESENTASI…semangat  kawan ! )

A.    Pengertian Ulum Al-Qur’an.
            Pembicaraan tentang Ulum al-Qur’an haruslah ditinjau dari makna idafah dan makna istilahnya[1]. Secara etimologi istilah ulum al-Qur’an .adalah bahasa arab berbentuk murakkab idhafi yang tersusun dari dua kata mudaf dan mudaf  ilaihi  (ùl­m al-Qur’an). Kata ùl­m adalah bentuk jamak dari ìlmu yang merupakan ma¡dar dari àlima yang berarti alfahmu (faham), al-ma’rifah (pengetahuan), al-yaq³n (kepastian)[2].
            Beberapa kalangan cendikian memberikan defenisi tentang arti dari kata ilmu itu, hal itu dapat dilihat sebagai berikut:
  • Menurut para ahli filsafat, kata ilmu sebagai gambaran sesuatu yang terdapat dalam akal.
  • Menurut Abu Musa Al-Asyari, ilmu ialah sifat yang mewajibkan pemiliknya mampu membedakan dengan panca indranya.
  • Menurut Imam Ghazali, secara umum arti ilmu dalam istilah syara adalah marifat Allah terhadap tanda-tanda kekuasaan, perbuatan, hamba-hamba dan makhluk-Nya.
  • Menurut Muhammad Abdul A§³m, ilmu menurut istilah adalah malumat-malumat yang dirumuskan dalam satu kesatuan judul atau tujuan.[3]
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kata ùl­m / ilmu adalah masalah-masalah yang telah dirumuskan dalam satu disiplin pengetahuan yang terdapat dalam akal pikiran.

         Sedangkan kata Qur’±n dari segi isytiqaq-nya adalah masdar dari qaraa yang bertimbang ful±n yang berarti membaca kemudian kata qur’±n tersebut menjadi kata khusus (ismu alat) bagi kitab yang diturunkan kepada nabi Muhammad .SAW[4]. meskipun demikian kalau kita melihat kata qur’±n yang terambil dari akar kata yang bermakna “menghimpun”. Sehingga tidak selalu harus diartikan dengan “membaca teks tertulis dengan aksara tertentu”. Dari “mengimpun” lahir aneka ragam makna, seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti mengetahui cirri sesuatu dan membaca, baik teks tertulis maupun tidak.[5]  Mann± al-Qatt±n mengungkapkan bahwa kata qur’±n bermakna al-jamù (kumpulan). Karena al-Qur’an memang merupakan kumpulan surah, ayat, perintah dan larangan dan lain-lain.[6] Sedangkan al-Qur’an menurut istilah para ulama adalah firman Allah Swt. Yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dan membacanya bernilai ibadah.[7]
                  Secara terminologis istilah ulum al-Qur’an didefenisikan oleh ulama dengat beragam. Mann± al-Qatt±n misalnya dengan: Ilmu yang mencakup pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan al-Qur’an dari segi sebab turunnya, pengumpulan dan urutan-urutannya,pengetahuan tentang ayat Makkiyah Madaniyahnya, nasikh mans­khynya, muhkam mutasy±bih-nya dan lain-lain yang berkaitan dengan al-Qur’an.[8] Sedangkan menurut alZarqaniy adalah pembahasan yang berhubungan dengan al-Qur’an dari segi turunnya, susunannya, pengumpulannya, penulisannya, bacaannya, tafsirnya, kemujizatannya, nasikh mans­khnya, dan penolakan dari hal-hal yang bisa menimbulkan keraguan terhadapnya[9]
                  Dari dua defenisi di atas tidak ada perbedaan substansial dari keduanya karena keduanya sepakat bahwa ulum al-Qur’an adalah ilmu yang obyek dan tema sentralnya  adalah al-Qur’an dan keduanya tidak membatasi kemungkinan adanya aspek ilmu lain yang bisa dikategorikan dan tergabung sebagai ulum al-Qur’±n.
B.    Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ulum Al-Qur’an.
            Sebagai ilmu yang terdiri dari berbagai cabang dan macamnya, ulum al-Qur’an tidak lahir sekaligus. ulum al-Qur’an menjelma menjadi suatu disiplin ilmu melaui proses pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan kebutuhan dan kesempatan untuk membenahi al-Qur’an dari segi keberadaanya dan segi pemahamannya.
Sebenarnya bibit ulum al-Qur’an sudah tumbuh bersamaan dengan turunnya al-Qur’an, indikasi hal itu adalah banyaknya persoalan-persoalan tertentu dalam kitab suci tersebut yang ditanyakan oleh sahabat kepada Nabi saw, karena sulit dijangkau oleh pemahan mereka, seperti yang telah disebutkan, namun istilah ùl­m ini belum  muncul kepermukaan.
Di masa Rasul saw. dan para shahabat, ulum al-Qur’an belum dikenal sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri dan tertulis. Para shahabat adalah orang-orang Arab asli yang dapat merasakan struktur bahasa Arab yang tinggi dan memahami apa yang diturunkan kepada Rasul dan bila menemukan kesulitan dalam memahami ayat-ayat tertentu, mereka dapat menanyakan langsung kepada Rasul saw.
Di zaman Khulafaur Rasyidin sampai Dinasti Umayyah, wilayah islam bertambah luas sehingga terjadi pembaruan antara orang Arab dan bangsa-bangsa yang tidak mengetahui bahasa Arab. Keadaan demikian menimbulkan kekhawatiran shahabat akan tercemarnya keistimewaan bahasa Arab, bahkan dikhawatirkan tentang bacaan al-Qur’an yang menjadi sebuah standar bacaan mereka. Untuk mencegah kekhawatiran itu, disalinlah dari tulisan-tulisan asli al-Qur’an yang disebut dengan Mushaf Imam. Dan dari salinan inilah suatu dasar ulum al-Qur’an  disebut Al-Rasm Al-U£mani.
Kemudian ulum al-Qur’an memasuki masa pembukuannya pada abad ke-2 H. Para ulama memberikan prioritas perhatian mereka terhadap ilmu tafsir karena fungsinya sebagai umm al-ùl­m al-Qur’±niyyah. Sampai saat ini bersamaan dengan masa kebangkitan modern dalam perkembangan ilmu-ilmu agama, para ulama masih memperhatikan akan ilmu Quran ini. Sehingga tokoh-tokoh ahli tafsir (Quran) masih banyak hingga saat ini di seluruh dunia.[10]
Istilah ulum al-Qur’an baru muncul pada  abad III H, dengan lahirnya kitab yang membahas masalah-masalah ulum al-Qur’an dengan judul ulum al-Qur’an oleh Ibnul Marzuban (W.430 H). Namun ulama lain berpendapat bahwa ulum al-Qur’an muncul abad V setelah munculnya buku setebal 30 jilid (al-Burhan f³ ùl­m al-Qur’±n) oleh Ali Bin Ibrahim bin Said yang terkenal dengan al Khufi[11]. Perkembangan ulum al-Qur’an kemudian berlanjut dari abad keabad hingga sekarang. Tema pembahasan yang dihasilkan ulama pada abad ini dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya di antaranya berupa penerjemahan al-Quran kedalam bahasa asing. Pada abad ini perkembangan ulum al-Qur’an diwarnai usaha menebarkan keraguan di sekitar al-Quran yang dilakukan oleh kalangan orientalis[12].
C.    Ruang Lingkup Pembahasan Ulum Al-Qur’an dan Korelasinya dengan Tafsir.
            Sesuai dengan namanya yang menggunakan kata  Jama (ùl­m ), Ilmu ini mempunyai ruang lingkup pembahasan yang sangat luas. Demikian luasnya sehingga di dalam pelbagai kitab ulum al-Quran akan ditemukan berbagai aspek pembahasan cabang-cabang ulum al-Qur’an misalnya dalm kitab al-Itqan karya Imam Sayuthi dibahas sebanyak 80 cabang bahkan Imam al-Suyu¯i menyatakan seandainya saya klasifikasi sesuai dengan penggabungan dari segi subtansinya kemungkinan sampai kepada 300 cabang lebih[13]. Lebih dari itu Abu bakar Ibn al-Arabi mengatakan bahwa ulum al-Qur’an berjumlah 77450 buah, ini apabila kita hitung menurut bilangan kosa kata al-Qur’an yang dikalikan empat, karena tiap-tiap kosa kata mempunyai Zhahir ba¯in, had dan mathla. Apabila dipandang kepada urutannya dan hubungan-hubungannya maka ilmuilmu al-Qur’an itu tidak dapat dihitung dan dihinggakan[14].
            Namun apakah semua ilmu dapat dikategorikan sebagai bahagian ulum al-Qur’an dengan alasan karena al-Qur’an menyinggung obyek tersebut ? Sebahagian ahli ilmu ini memberi batasan bahwa yang dikategorikan ilmu-ilmu al-Qur’an adalah ilmu yang ada kaitannya dengan al-Qur’an dari segi hidayah dari segi ijaznya saja. Adapun ilmu umum yang terus berkembang seperti ilmu kimia, matematika yang lain tidak dikategorikan kedalam kelompok ilmu ini alasannya karena al-Qur’an diturunkan bukan untuk memecahkan teori-teori itu walaupun pada saat yang sama al-Qur’an menyuruh kita untuk mempelajarinya [15].
Secara garis besar, ulum al-Qur’an terbagi menjadi 2 pokok bahasan, yaitu :
  1. Ilmu yang berhubungan dengan riwayat semata-mata, seperti ilmu yang membahas tentang macam-macam bacaan, tempat turun ayat-ayat al-Qur’an, waktu-waktu turunnya dan sebab-sebabnya.
  2. Ilmu yang berhubungan dengan dirayah, yaitu ilmu yang diperoleh dengan jalan penelaahan secara mendalam, seperti memahami lafadz yang ghorib (asing) serta mengetahui makna ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum.[16]
            Bekenaan dengan maslah ini Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy cenderung membagi ruang lingkup pembahasan al-Qur’an atas enam pokok [17]yaitu :
1.   Pesoalan turunnya al-Qur’an dalam hal ini terdapat tiga hal yaitu :
a)           Waktu dan tempat turunnya al-Qur’an
b)           Sebab-sebab turunnya al-Qur’an (Asbab an-nuzul-nya )
c)            Sejarah turunnya al-Qur’an
2.      Persoalan sanad (Rangkaian periwayat).Dalam hal ini terdapat enam hal
a)           Riwayat mutawatir
b)           Riwayat ahad
c)            Riwayat syadz
d)           Macam-macam qiraat Nabi
e)           Para perawidan penghafal al-Qur’an
f)              Cara-cara penyebaran riwayat ( Tahammul)
3.      Persoalan qiraat ( Cara membaca al-Qur’an ):
a)           Cara berhenti
b)           Cara memulai
c)            Imalah
d)           Bacaan yang dipanjangkan
e)           Bacaan hamzah yang diringankan
f)             Bunyi huruf yang disukun dimasukkan pada bunyi yang sesudahnya
4.      Persoalan kata-kata al-Qur’an, dalam hal ini terdapat beberapa hal, di antaranya :
a)           Kata-kata asing dalam al-Qur’an
b)           Kata-kata al-Qur’an yang berubah kata-kata akhirnya (Murab)
c)            Kata-kata al-Qur’an yang mempunyai makna serupa ( Homonim)
d)           Padanan kata ( Sinonim )
e)           Istiarah
5. Persoalan makna-makna al-Qur’an yang berkaitan dengan hukum dalam hal ini   diantaranya :
a)           Makna am
b)           Makna mujmal
c)            Makna terperinci
d)           Makna yang ditunjukkan oleh konteks
6.      Persoalan makna al-Qur’an yang berpautan dengan kata-kata al-Qur’an diantara hal ini adalah :
a)           Uraian panjang (I¯nab)
b)           Uraian singkat (Ijaz)
c)            Uraian seimbang ( Mus±wah )
        Sedangkan ruang lingkup pembahasan al-Qur’an dari segi kewahyuannya Hasbi Ash-Shiddiqy menyebutkan 17 bagian pokok yang harus dipelajari yaitu : Ìlmu mawatin an-Nuzul, Ìlmu Taw±rikh an-Nuz­l, Ìlmu asb±b an-Nuz­l, Ìlmu qiraaat, Ìlmu Tajwid, Ìlmu Ghar³b al-Qur’±n,Ìlmu Ir±b al-Qur’±n, Ìlmu Wuj­h wa al-Nazh±ir al-Qur’±n, Ìlmu Marifatil muhkam wal mutasy±bih, Ìlmu nasikh mans­kh, Ìlmu badiul qur±n, Ìlmu Ij±zul qur±n, Ìlmu tan±sub ayat al-Qur’±n, Ìlmu aqs±m al-Qur’±n, Ìlmu amtsal al-Qur’±n, Ìlmu jid±l al-Qur’±n dan Ìlmu adab til±wah al-Qur’±n.
Dalam proses pemahaman dan penafsiran selalu diasumsikan adanya tiga aspek yang terlibat yaitu dunia pengarang, dunia teks dan pembaca. Persoalan yang muncul dan menjadi rumit adalah ketika jarak waktu tempat dan budaya antara pembaca dengan pengarang dan teks demikian jauh. Al-Qur’an yang diturunkan di Arab dan berbahasa Arab akan berbeda ditangkap oleh kita bangsa Indonesia yang secara kultur dan bahasa berbeda. Akan tetapi al-Qur’an bagaimanapun adalah kitab Allah untuk semua manusia yang mengandung nilai-nilai universal yang kontekstual untuk segala zaman.
            Setiap orang yang hendak menafsirkan membutuhkan ilmu-ilmu bantu, ilmu-ilmu yang dimaksudkan adalah ulum al-Qur’an . Dengan demikian dapat dipahami bahwa al-Qur’an memiliki korelasi yang tidak dapat dipisahkan dengan tafsir.




[1]  TM Hasbi Ash Shiddiqy, Ilmu -Ilmu al-Quran. Di edit kembali .oleh HZ. Fuad Hasbi Ash shiddiqia (Cet.I, Semarang: Pustaka Rezki Putra), h.1
[2]  Lihat: Muhammad Bakri Ismail, Diras±t F³ Ulumi al-Qur±n, (Cet.1. Kairo: D±r al-Man±r, 1991), h.1
[3]Wa'idatul Hasanah,
[4]Muhammad Abdullah Darraz, Annaba al-Azh³m. Nazhar±t Jad³dah f³ al-Qur±n (Cet VIII. Kairo: D±r al-Qalam, 1996), h. 12
[5]Lihat: M. Quraisy Shihab, Wawasan  al-Quran, Tafsir MaudhuI atas Pelbagai Persoalan Ummat, (Cet.X, Bandung: Mizan, 2005), h. 6
[6] Mann± al-Qatt±n, Mab±¥is f³ Ul­m al-Qur±n (Cet 2, Riyadh: Maktabah al-Ma±rif linnashri wal Tawzi, 1996), h. 15
[7]Mann± al-Qatt±n, Mab±his f³ Ul­m al-Qur±n (Cet 2, Riyadh: Maktabah al-Ma±rif linnashri wal Tawzi, 1996), h.17
[8]Mann± al-Qatt±n, Mab±his f³ Ul­m al-Qur±n (Cet 2, Riyadh: Maktabah al-Ma±rif linnashri wal Tawzi, 1996), h. 12
[9] Muhammad Abdu al-Azim alZarqaniy, Man±hilul Irf±n f³ Ulum al-Qur±n,(Cet.I, Bairut: D±r alKutub al-Ilmiah,1988), h. 27
[10]Wa'idatul Hasanah,
[11]Lihat: Hasby Ash-Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran  ( Jakarta: Bulan Bintang, 1994 ), h. 3
[12]  Dr. Rosihan Anwar, Ulum al-Qur’an,  ( Cet.III, Bandung: Pustaka Setia,2006), h. 27
[13] Lihat: Jalaluddin Abd.Rahman Al-Suyuthi, Al-Itq±n f³ al Ùlum al-Qur±n, ( Cet.I,Beirut: Muassasah al-Kutub al-Tsaqafiyah,1996), h.30 
[14] Lihat: Badruddin Muhammad bin Abdullah  al-Zarqaasyi, al-Burh±n fi Ùl­m al-Qur±n, (Juz.I,Beirut: D±r al-Jil, 1988),  h. 17
[15] Hasby Ash-Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran  ( Jakarta: Bulan Bintang, 1994 ), h. 2
[16] Wa'idatul Hasanah,
[17]Hasby Ash-Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran  ( Jakarta: Bulan Bintang, 1994 ), h. 100-102 

Comments

BERITA TERBARU !!

Popular posts from this blog

BIL MA'TSUR ( TAFSIR AYAT DENGAN AYAT )

CARA MELAKUKAN TAKHRIJ HADIS

download TAFSIR AL-NASAFIY

cara atau Kaedah al-Jarh Wa al-Ta’dil Serta Aplikasinya

HADIS TARBAWIY DAN AKHLAK (BERKURANGNYA IMAN KARENA MAKSIAT)

kaedah 'ATAF - AL-'ATFU DALAM AL-QUR'AN

cara TAMBAHAN - kaedah ZIYADAH DALAM AL-QUR'AN

KAEDAH 'AM DAN KHAS

cara melakukan MUNASABAH AYAT

KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS