KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS

KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS Pendahuluan latar belakang Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah dua sumber utama ajaran Islam. Oleh karena itu, keduanya selalu dijadikan landasan keyakinan, ritual, adat istiadat, etika, ekonomi, politik, peradaban dan seluruh aspek kehidupan umat Islam, baik yang sakral maupun duniawi, pada tataran ¥ abl minallah (vertikal) dan ¥ abl min al. -n ± s (horizontal).

STUDY ORIENTALIS

by : BASRI, M.Hum
POSTED : ZAHARUDDIN, M.TH.I

Kajian tentang Timur (orient) termasuk Islam atau yang akrab dengan sebutan orientalime sudah dimulai sejak abad ke-18. Ada dua faktor yang menjadi penyebab ketertarikan orang Barat mengkaji Islam. Pertama, motif keagamaan. Barat yang merupakan representasi Kristen, memandang Islam sebagai agama yang sejak awal kehadirannya bertentangan dan menolak beberapa ajaran agama mereka. Sebagai agama yang muncul belakangan, tentunya Islam banyak mengoreksi dan melengkapi doktrin-doktrin yang ada. Oleh karenannya, kedatangan Islam beserta ajaran dan doktrinnya sendiri dianggap sebagai suatu `ancaman` bagi eksistensi agama mereka.
Kedua, motif politik. Islam dalam pandangan Barat merupakan sebuah peradaban masa lalu yang telah tersebar ke berbagai negara dan menguasai peradaban dunia. Sementara Barat yang muncul sebagai peradaban baru, memandang Islam sebagai ancaman besar dan langsung bagi kekuatan politik agama mereka. Karena tentunya mereka menyadari bahwa Islam dengan peradabannya memiliki khazanah dan tradisi keilmuan yang sangat tinggi.[1]
Oleh karena itu beberapa usaha telah dilakoni oleh para intelektual Barat (orientalis) untuk menyerang Islam, yakni melakukan propaganda-propaganda dengan melakukan mendalam tentang kenabian Muhammad saw., otentisitas Al-Qur`an, sejarah Al-Qur`an dan sebagainya.[2] Maka muncullah beberapa `ulama` seperti Abraham Geiger, Theodore Noldeke, John Wansbrough, John Burton, dan beberapa ilmuan lain. Dan tulisan ini mencoba membahas pemikiran salah satu dari tokoh orintalis tersebut, yakni John Burton yang di antaranya berbicara mengenai masalah Nasikh Mansukh dalam bukunya “The Collection Of The Qur`an”.      
A.    Konstruk Pemikiran John Burton
Tak dapat dipungkiri bahwa Al-Qur`an yang ada sekarang, pada mulanya tumbuh dalam tradisi oral. Ia merupakan `teks verbal` (teks yang diucapkan) dalam perkembangannya bermetamorfosis menjadi `teks literal` (teks yang ditulis). Proses literalisasi teks-teks verbal Al-Qur`an yang terrekam dalam memori para sahabat pun dilakukan. Dan pada masa pemerintahan Usman bin Affan, proses pembukuan ini dilakukan secara resmi. Hal ini dilakukan karena terbunuhnya sejumlah penghafal Al-Qur`an sehingga dikhawatirkan Al-Qur`an tidak akan terselamatkan lagi. Di samping itu pula, ultimatum penulisan Al-Qur`an itu dilakukan dalam rangka menyeragamkan tulisan sekaligus bacannya, untuk menghindari kemungkinan berbedanya cara membaca di kalangan penduduk berbagai wilayah kala itu.[3]
Jadi, Mushaf Utsmani, secara doktrinal bagi umat Islam, dipandang telah mencakup keseluruhan wahyu Ilahi yang telah diterima oleh Nabi Muhammad saw. yang semestinya dimasukkan ke dalam kompilasi tersebut. Sekalipun sejumlah sarjana Muslim meragukan adanya kumpulan Al-Qur`an dalam bentuk mushaf pada saat itu, paling tidak mereka tetap meyakini bahwa seluruh bagian dari Al-Qur`an telah dipelihara ketika itu dalam bentuk fragmen-fragmen tertulis di atas bahan-bahan yang ada, seperti di pelepah kurma, tulang, dan lain-lain. Dan tentunya, terutama sekali dalam bentuk hafalan. Di samping itu pula, Rasulullah telah membuat semacam aransemen ayat dalam tiap-tiap surah yang diketahui dan diikuti secara luas oleh pengikutnya.[4]

Namun tidak demikian dengan John Burton, ia mempunyai pendekatan –sebagaimana yang diungkapkan oleh Andrew Rippin- yang sama dengan John Wansbrough, yakni skeptisisme. Mereka menampakkan sikap ketidakpercayaan atas sumber-sumber Islam. Mereka memandang bahwa ada kontradiksi dalam sumber muslim tentang pengumpulan Al-Qur`an, dan mereka menyangkal bahwa Al-Qur`an telah dikumpulkan pada masa Khalifah Usman bin Affan. Menurutnya, hal itu hanyalah ilusi atau fiksi belaka.[5]

Hal ini tentunya berseberangan dengan opini yang dikembangkan oleh kalangan ortodoksi Islam. Beberapa sarjana Barat, termasuk John Burton, justru mengemukakan teori sebaliknya bahwa Al-Qur`an telah dikumpulkan pada masa Nabi. Bell misalnya, dengan berpijak pada doktrin nasikh mansukh serta sejumlah `bukti` internal tentang revisi di dalam Al-Qur`an dan penggunaan dokumen tertulis, ia mengemukakan bahwa Nabi sendirilah yang telah “mengumpulkan” dan mengedit teks final Al-Qur`an. Sementara sarjana Barat lainnya, John Burton, dengan mengadopsi teori Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht tentang hadis, ia menilai seluruh riwayat tentang pengumpulan Al-Qur`an mulai dari masa Nabi, yang dilakukan oleh para sahabatnya, hingga ke masa Utsman dengan berbagai varian bacaannya, hanyalah merupakan rekayasa para ahli fiqh belakangan untuk mendukung teori naskh mansukh mereka dengan menyembunyikan kenyataan bahwa teks final Al-Qur`an tidak dihasilkan oleh Utsman, melainkan oleh Nabi Muhammad sendiri.[6] Oleh karena itu, dalam kesimpulan akhirnya, John Burton mengatakan secara tegas bahwa:
If the Uthmanic collection collapses, as never having occurred, this means that only one text of the Qur'an has ever existed. This is the universally acknowledged text on the basis of which alone the prayer of the Muslim can be valid. A single text has thus already always united the Muslims. We have isolated and neutralised the only motive for excluding Muhammad from the editing and promulgating of the Qur'an texts. In those processes, Muhammad at last must now be once more re-instated. What we have today in our hands is the mushaf of Muhammad.[7]           
Untuk mendukung teorinya tersebut, maka John Burton memaparkan terlebih dahulu seputar polemik  nasikh mansukh dalam tradisi Islam yang diawali dengan pembahasan bagaimana ilmu hukum Islam itu terbentuk. John Burton mengatakan bahwa pada awalnya, ilmu nasikh mansukh ini disusun bertujuan untuk memverifikasi dan mengelaborasi dari beberapa konflik atau pertentangan yang terjadi di antara para ulama fiqh di mana argumen mereka itu masing-masing bersumber dari Al-Qur`an dan sunnah. Sebab, pada saat itu, ulama ushuli dipercaya dengan kemampuan mereka untuk menilai setiap kasus pertentangan yang terjadi dalam Al-Qur`an dan sunnah mana yang lebih `benar`. Akan tetapi , mayoritas dari ulama ushuli lebih `memilih` untuk menyusun prinsip umum dan formal, yakni teori nasikh mansukh.[8]
Hal ini dilakukan sebab sejauh ini ulama ushuli dinilai berperan dalam mengelaborasi beberapa pandangan madzhab yang berbeda satu sama lain yang disebabkan karena adanya conflict of evidence dan conflict of sources. Para ulama ushuli khawatir akan terjadi pada para ulama fiqh untuk memilih `mengikuti` dan `mengamalkan` ayat-ayat Al-Qur`an saja, atau `mengikuti` dan `mengamalkan` hadis saja, atau `mengikuti` dan `mengamalkan` kedua-duanya. Ini akan menimbulkan kebingungan mana yang lebih relevan. Oleh karena itu, dalam konteks diskusi yang terjadi di antara beberapa madzhab, maka metodologi yang tepat untuk menyeragamkan pendapat mereka ialah teori nasikh mansukh tersebut atau dikenal sebagai “The Theories of Abrogation”. Yakni, jika menurut para ulama Kufa, keputusan tertentu dari Al-Qur'an telah digantikan dengan keputusan lain yang terbentuk baik oleh Al-Qur'an ataupun sunnah. Sedangkan Safi'i dan para pengikutnya menyatakan bahwa Al-Quran hanya digantikan oleh Al-Quran sendiritidak digantikan oleh sunnahdan bahwa sunnah digantikan oleh sunnah sendiritidak digantikan oleh Al-Qur'an.[9]




[1] Ahmad Farhan, Orientalisme Al-Qur`an (Studi Pemikiran Abraham Geiger) dalam Orientalisme Al-Qur`an dan Hadis (Yogyakarta: Nawesea Press, 2007), hlm. 57.
[2] Ahmad Farhan, Orientalisme Al-Qur`an… hlm. 57
[3] Ah. Fawaid, Polemik Naskh dalam kajian Ilmu Al-Qur`an dalam Suhuf: Jurnal Kajian Al-Qur`an dan Kebudayaan. Vol. II, No.2 (Jakarta, Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur`an, 2011). hlm. 248.
[4] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur`an (Ciputat: PT Pustaka Alvabet, 2013), hlm. 155.
[5] M. Alfatih Suryadilaga, Pendekatan Historis John Wansbrough dalam Studi Al-Qur`an, dalam Studi Al-Qur`an Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2002), hlm. 218.
[6] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur`an. hlm. 155.
[7] John Burton, The Collection Of The Qur`an (London: Cambridge University Press, 1977), hlm. 239-240. Adapun mengenai hubungan pembahasan nasikh mansukh dan kesimpulan akhir yang dikatakan oleh John Burton dalam bukunya tersebut, akan dibahas pada pertemuan selanjutnya.
[8] John Burton, The Collection Of The Qur`an. hlm. 17-18.
[9] John Burton, The Collection Of The Qur`an. hlm. 17-18.

Comments

BERITA TERBARU !!

Popular posts from this blog

BIL MA'TSUR ( TAFSIR AYAT DENGAN AYAT )

CARA MELAKUKAN TAKHRIJ HADIS

download TAFSIR AL-NASAFIY

cara atau Kaedah al-Jarh Wa al-Ta’dil Serta Aplikasinya

HADIS TARBAWIY DAN AKHLAK (BERKURANGNYA IMAN KARENA MAKSIAT)

kaedah 'ATAF - AL-'ATFU DALAM AL-QUR'AN

cara TAMBAHAN - kaedah ZIYADAH DALAM AL-QUR'AN

KAEDAH 'AM DAN KHAS

cara melakukan MUNASABAH AYAT

KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS