METODOLOGI MUHADDITSIN - GARIB AL-HADITS
- Get link
- Other Apps
Metodologi Muhadditsin dalam menafsirkan
“Gareb al-Hadis”
Memahami hadis-hadis
Rasulullah saw. Bukan seperti memahami karangan-karang ilmiah. Antara satu
hadis dengan hadis yang lain saling memberikan penafsiran. Di samping itu hadis
Rasulullah saw., disampaikan dalam tenggang waktu 23 tahun, itu pun pada waktu
dan tempat yang berbeda. Rasulullah saw., pun menyampaikannya dengan memakai
dialek bahasa Arab yang beragam sehingga untuk memahami sebuah hadis dengan
baik dibutuhkan ilmu dasar yang mendalam –terutama bahasa Arab-- sebagai
penopang dalam memahami maksud yang diinginkan dari sabda Rasul saw.
Hadis-hadis Rasulullah
juga bukan sebuah riwayat sejarah yang bisa disampaikan dengan berbagai konteks
bahasa, tetapi Hadis Rasulullah adalah sebuah Nash yang semestinya diriwatkan
sesuai dengan ungkapan Rasulullah Saw atau ungkapan yang disampaikan para
sahabat Rasulullah Saw.
Karena hadis Rasulullah Saw
disampaikan dalam berbagai dialek bahasa Arab sehingga kata-kata yang
diungkapkan terkadang terasa asing. Kata-kata asing ini oleh orang Arab disebut
dengan “gareb”, atau asing.
Berangkat dari problematika di atas --terutama
sekali hadis yang ungkapannya terasa gareb—membuat ulama klasik menawarkan
metodologi khusus dalam memahami dan meriwatkan hadis-hadis Rasulullah Saw. Tujuannya
agar para muhadditsin yang datang berikutnya, tidak keliru dalam memahami hadis.
Tulisan berikut ini akan mengungkap salah satu metode muhadditsin dalam
menafsirkan hadis gareb. Muhadditsin yang dimaksud adalah Abu Ubaid.
I. Sekilas tentang Gareb al-Hadis
Para ulama sejak awal memberikan perhatian yang cukup serius terhadap Ghareb al-Hadis, ini terbukti dengan ditemukannya manuskrip yang cukup memadai dalam bidang ini.([1])
Pada abad pertama
dan kedua Hijriah, banyak ulama yang menulis tentang Gareb al-Hadis,
diantaranya; Abu Ubaidah Muammar bin al-Mutsanna([2]),
kemudian usaha ini dilanjutkan oleh al-Qatrab, lalu al-Akhfas, dan Annadr bin
Syumail. Namun karya ilmiah dalam masalah gareb al-Hadis yang ditulis oleh para
ulama tersebut belum sistimatis, karena tidak menyebutkan sanad([3])
dari hadis yang diriwayatkan.
Barulah pada tahap berikutnya Adnan An-nahawy yang juga hidup dalam abad
yang sama mulai menyusun secara sistimatis Gareb al-Hadis dengan menyebutkan
sanad dari hadis yang diriwayatkan serta menyusun hadis-hadis tersebut
berdasarkan metodologi Fuqaha([4]),
tetapi karangan Adnan An-nahawy belum cukup memadai, mengingat cakupannya belum
terlalu luas.
Barulah pada abad kedua Hijriah muncul seorang ulama yang cukup populer
yang bernama Abu Ubaid, dialah yang mengumpulkan Gareb al-Hadis dan
mengkodifikasikannya dengan cara yang sangat sistimatis dan sekaligus menafsirkan
lafadz-lafadz yang terasa sulit untuk difahami([5]).
Buku ini adalah kumpulan hadis-hadis Rasulullah maupun Atsar para sahabat
ra. yang diperkirakan Abu Ubaid mencakup lafadz-lafdz yang susah dipahami.
Buku ini sebagaimana diriwatkan oleh sebagian sumber ditulis selama empat
puluh tahun, dan disaat Abu Ubaid menemukan penafsiran yang pas terhadap
kata-kata yang sulit dipahami, ia tidak tidur semalaman karena sangat senang([6]).
Sepeninggal Abu Ubaid pada tahun
224H. buku ini mendapat perhatian khusus dari ulama, terbukti dengan banyaknya
karangan yang menyempurnakan buku ini maupun mengkritik serta mengoreksinya.
Diantara karangan tersebut adalah:
- “Arraddu Ala Abi Ubaid fi Gareb al-Hadis” (
Bantahan terhadap Abu Ubaid dalam bukunya Gareb al-Hadis) , karangan hasan
bin Abdullah al-Asfahani.
- “Arraddu Ala Abi Ubaid fi Gareb al-Hadis”,
karangan Abu Said Adhariry.
- “Tahdzib Gareb al-Hadis”, karangan al-Khateb
Attabrizy.
- “Taqrib al-Muram fi Gareb al-Qasem bin Sallam”,
karangan Muhib al-ddin Ahmad bin
Abdullah.
- “Nudzum Gareb al-Hadis”, karangan Ali bin
Abdullah al-Uqaily.
II. Sekilas tentang Abu Ubaid
Abu Ubaid adalah al-Qasem bin Sallam bin Abdullah, tetapi
ia lebih populer dengan nama panggilan Abu Ubaid([7]).
Beliau lahir di Herah([8])
pada tahun 157H, dan meninggal di Mekkah pada tahun 224H, ini berarti Abu Ubaid
hidup pada periode pertama dinasti Abbasiah. Seperti diketahui, pada periode ini khilafah Islamiah membentang
luas sampai ke daerah-daerah yang pernah dikuasai Romawi, sehingga terjadi
kontak peradaban dengan negara-negara tetangga yang menyebabkan terjadinya
interaksi budaya yang begitu intens.
Kondisi ini dimanfaatkan dengan baik oleh khalifah al-Ma’mun untuk
mengembangkan pengetahuan dan peradaban Islam dengan jalan menerjemahkan
pemikiran-pemikiran klasik Yunani, India dan persia dan untuk itu beliau pun
mendirikan sebuah lembaga penerjemahan besar yang dikenal dengan baitul hikmah.
([9]).
Usaha al-Ma’mun ini memberikan dampak yang sangat positif terhadap
aktifitas keilmiahan, sehingga bukan hanya mesjid-mesjid yang menjadi aktifitas
keilmiahan pada saat itu, tetapi Istana kehalifahanpun ikut mengambil bagian,
sehingga peradaban Islam melejit dengan cepat.
Abu Ubaid yang
hidup dalam peradaban yang berkembang pesat ini mengambil kesempatan berkunjung
ke kota-kota terkenal untuk menimba ilmu pengetahun dari ulama-ulama yang
memiliki spesialisai ilmu yang berbeda-beda.
Diantara
kota-kota yang pernah dikunjungi Abu Ubaid adalah: Bagdad pada tahun 176H,
Kufah pada tahun 177H, Bashrah pada tahun yang sama, kemudian Mesir pada tahun
208H, dan terakhir beliau meninggal di Mekkah al-Mukarramah pada tahun 224H.
Abu Ubaid adalah sosok ulama yang rendah hati dan berbudi luhur, dia tidak
dendam kepada orang-orang yang memusuhinya. Sebuah riwayat menyebutkan: “ketika
Abu ubaid selesai memberikan pengajian di mesjid dan melewati sebuah rumah,
murid-muridnya menyampaikan bahwa pemilik rumah ini banyak mengkritik karangan
Abu Ubaid, beliau hanya tersenyum lantas menjawab kemungkinan ia berdasar pada
rujukan yang lain dan saya memakai rujukan yang berbeda sehingga apa yang saya
tulis dalam pandangan dia salah padahal itu hanya masalah interpretasi”([10]).
Beliau juga adalah sosok yang dikenal sebagai pelopor periwayatan ilmiah,
ia telah mewasiatkan kepada murid-muridnya agar senantiasa menjaga nilai ilmiah
dalam menyampaikan pendapat, beliau mengatakan: “Diantara rasa syukur terhadap
ilmu pengetahun adalah jika kalian menyampaikan sebuah pendapat lalu kalian
menyebutkan sumber dari pendapat tersebut” ([11]).
Abu Ubaid mendapat pujian di kalangan ulama, di samping karena kelembutan
dan keilmuannya yang tidak diragukan lagi, ia juga sangat menghormati
ulama-ulama yang semasa dengannya. Abdullah bin Taher([12])
pernah mengatakan: Ulama Islam ada empat: Abdullah bin Abbas pada Zamannya,
Assya’bi pada eranya, Ibn Muin pada masanya dan Abu Ubaid pada masa hidupnya([13]).
Karena Abu Ubaid hidup pada era dimana pemikiran keIslaman cukup berkembang
serta didukung oleh guru yang memiliki disiplin ilmu berbeda sehingga Abu Ubaid
memiliki wawasan keIslaman yang cukup luas, ia menulis buku bukan saja dalam
satu disiplin ilmu, tetapi karangan-karangannya cukup beragam, ia menulis
kurang lebih seratus judul buku, namun yang sempat terselamatkan dan
diterbitkan kembali baru beberapa buku di antaranya: al-Amtsal Assairah,
al-Amwal, al-Iman, Mawaidz al-Anbiyaa, Gareb al-Hadis, al-Gareb al-Mutsannaf,
Fadail al-Qur’an, Annasikh wa al-Mansukh([14]).
Sementara karangan-karangan yang lain masih ada dalam bentuk manuskript dan sebagian
besar lainnya telah hilang.
Dengan karangan yang beragam ini, Abu Ubaid dapat disejajarkan dengan
ulama-ulama yang populer seperti Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal dan Ibn
Muin serta sederet ulama lainnya. Terlebih lagi dengan karya ilmiahnya “Gareb
al-Hadis” ia semakin populer. Hilal bin A’la Arraqy pernah mengatakan: Allah
telah memberikan nikmat kepada umat Islam dengan empat orang ulama diantaranya
Abu Ubaid karena menafsirkan gareb al-Hadis, andaikan ini tidak dilakukan Abu
Ubaid pastilah umat ini keliru dalam memahaminya([15]).
III. Metodologi Abu Ubaid Dalam Menafsirkan Gareb al-Hadis
Para
muhadditsin memilih beberapa cara dalam menafsirkan gareb al-hadis, ini
dilakukan untuk menghindari penafsiran yang dilakukan tanpa dasar dan agar
tidak terjadi kekeliruan dalam menafsirkan nash-nash Hadis.
Diantara cara yang ditempuh muhadditsin dan lebih
khusus lagi Abu Ubaid dalam menafsirkan gareb al-hadis adalah:
A. Merujuk kepada al-Qur’an dan Hadis
Di
atas telah disinggung bahwa antara satu hadis dengan hadis yang lain saling
memberikan pemahaman, begitu pula antara hadis dengan ayat-ayat al-Qur’an
memiliki keterkaitan khusus, karena fungsi hadis terhadap ayat-ayat al-Qur’an
memiliki fungsi ganda; Pertama: Sebagai penjelasan terhadap nash al-Quran yang
sifatnya umum, atau memberikan rincian terhadap keterangan al-Quran yang
sifatnya global; Kedua: Sebagai penegas dan penguat dari apa yang telah ditetapkan dalam al-Quran.
Maka tidak mengherankan kalau para muhadditsin
menemukan kata-kata yang terasa asing pada Hadis Rasulullah saw. lantas kembali
merujuk kepada al-Qur’an dan Hadis terlebih dahulu sebelum ia mencari
penafsiran pada syair-syair Arab yang terkenal sebagai ensklopedia bahasa Arab.
Sebagai contoh hadis Rasulullah yang berbunyi:
المتشبع
بما لا يملك كلابس ثوبي زور
Kata-kata pakaian palsu (ثوبي
زور), oleh
para muhadditsin dinilai mengandung dua arti:
Pertama; berarti pakaian, dan yang dimaksud adalah orang
yang memakai pakaian yang tidak menunjukkan identitas diri dia, seperti berpakaian
Ahlu Suffah([16]) padahal dia
bukanlah seorang yang sufi, tetapi ia berpakaian demikian sekedar ingin
dikatakan sebagai seorang yang sufi dan berjiwa bersih.
Kedua; berarti jiwa, orang Arab biasa mengatakan “pakaian
dia bersih” dan yang dimaksudkan adalah berjiwa bersih dan jauh dari
perbuatan dosa.
Untuk mengetahui apa yang dimaksudkan dari
kata-kata tersebut, para Abu Ubaid
kembali merujuk ke ayat al-Qur’an, dan ditemukanlah ayat yang berbunyi :
وثيابك فطهر([17])
Artinya: Dan pakaian kamu bersihkanlah.
Kebanyakan mufassirin menafsirkan tsaub (
pakaian ) sebagai jiwa, maksudnya jiwa seorang Mu’min hendaklah selalu bersih
dari sifat-sifat yang tidak terpuji. Jadi menurut Abu Ubaid kata-kata tsaub
dinilai memiliki arti ganda, dan kedua pendapat tersebut bisa dipakai
menafsirkan kata tsaub dalam hadis tersebut.
Jika dalam menafsirkan Hadis terlebih dahulu harus
merujuk kepada al-Quran, maka sebaliknya juga demikian, dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Quran sebaiknya selalu mempertimbangkan penafsiran yang sejalan
dengan hadis-hadis Rasulullah saw., karena antara satu nash dengan nash yang
lain berasal dari sumber yang sama([18])
tidak mungkin terjadi kontradiksi([19]).
Kalau ditelusuri satu persatu hadis-hadis Rasulullah
saw., akan ditemukan begitu banyak tafsiran penjelasnya di dalam al-qur’an
demikian pula sebaliknya; penafsiran terhadap makna-makna kandungan al-qur’an
banyak terdapat dalam hadis-hadis Rasulullah saw.
Oleh karena itu sungguh sangat keliru jika di antara
umat Islam ada yang menamakan dirinya Ingkar Assunah([20])
sekedar berdalih memegang teguh al-Quran,
padahal untuk memahami dengan murni al-Quran harus merujuk kepada
penafsiran Rasulullah (Hadis) dan para
sahabatnya.
B. Meneliti dialek bahasa Arab
Dalam
upaya mencari pemahaman yang paling tepat terhadap penafsiran gareb Hadis, Abu
Ubaid meneliti dialek bahasa Arab, ia keluar masuk desa, mengembara dari satu
kota ke kota lain sekedar untuk memahami dialek suatu kabilah. Bahkan tidak
jarang seorang muhadditsin merantau dari satu negeri ke negeri lain hanya
sekedar ingin mengetahui pemahaman sebuah hadis. Maka wajar saja kalau di antara
para muhadditsin seperti Bukhari, Muslim, Abu Ubaid menemukan makna yang pas
terhadap sebuh penafsiran Hadis.
Para muhadditsin melakukan
hal yang serupa ketika berusaha menetralisir pemahaman yang keliru terhadap
ayat-ayat al-Quran serta hadis Rasulullah saw. Seperti penafsiran hadis mauquf([21])
Abdullah:
سباب المؤمن فسوق وقتاله
كفر
Artinya:
Mencaci maki
seorang Mu’min adalah perbuatan fasik dan membununya adalah perbuatan kafir .
Oleh sebagian ulama, kafir yang dimaksudkan di sini
adalah kafir terhadap nikmat Allah yang sering disebut “Kufur Ni’mat” karena
seseorang baru dianggap kafir kalau ia sudah mengingkari ke-Esaan Allah Swt
serta menafikan kerasulan Muhammad Saw. Adapun pelaku dosa besar bukanlah
seorang kafir, tetapi ia adalah seorang fasik.
Abu Ubaid mengingkari penafsiran kufur nikmat
dalam hadis tersebut, karena dalam peristilahan kufur nikmat dalam bahasa Arab
bukanlah seperti yang dimaksudkan dalam hadis di atas. Kufur nikmat yang
dimaksudkan oleh orang-orang Arab adalah suatu ungkapan pengingkaran terhadap
nikmat yang telah diberikan Allah swt. kepada hambanya, seperti mengatakan:
- saya tidak memiliki harta, padahal harta yang
dimiliki berlimpah ruah.
- atau mengeluh sakit, padahal kenyataanya
sehat-sehat saja.
Ungkapan-ungkapan seperti
inilah yang oleh Abu Ubaid dianggap sebagai kufur nikmat.
Pendapat Abu Ubaid ini dipertegas dengan dalil
dari hadis Rasulullah saw yang mengatakan :
إنّ كن تكثرن اللعنة وتكفرن
العشير وذلك أن تغضب إحداكن فتقول مارأيت منك خير قط
Artinya:
Wahai para
wanita, kalian senang sekali mencaci maki, serta mengingkari rezki yang
diberikan suamimu, jika kalian marah kalian terkadang mengatakan saya tidak
melihat secuilpun kebaikan darimu.
Kata-kata
kufur dalam hadis tersebut ( تكفرن العشير ) dijelaskan oleh ungkapan setelahnya yaitu “saya
tidak melihat secuilpun kebaikan darimu”. Inilah yang disebut kufur nikmat
menurut versi Abu Ubaid, dan bukan seperti yang dimaksudkan dalam Hadis
terdahulu.
Disamping itu dalam menafsirkan kata-kata gareb
pada hadis Rasulullah saw, Abu Ubaid kembali merujuk kepada penafsiran para
linguistic Arab terkemuka, seperti penafsiran Abu Ubaidah, atau Ashmaiy,
kemudian mengkomparatifkan antara beberapa penafsiran tersebut, setelah itu
barulah ia menarik makna yang paling cocok dengan makna yang diinginkan dalam sebuah
hadis.
Sebagai contoh,
hadis Rasulullah Saw yang berbunyi:
إن
قريشا كانوا يقولون إن محمدا صنبور
Artinya:
Oran-orang
Quraisy dulu mengatan sesungguhnya Muhammad adalah Shanbur.
Kata-kata “shanbur” dalam hadis ini dianggap Abu
Ubaid sebagai kata-kata yang gareb, dan untuk menentukan penafsiran yang
diinginkan, beliau meneliti pendapat para linguistik Arab. Dari hasil
penelitian yang ia lakukan, ia menemukan dua penafsiran:
Pertama; Versi Abu Ubaidah, yang menafsirkan kata shanbur
sebagai pohon kurma yang tumbuh dan berasal dari pohon yang lain.
Kedua; Versi al-Ashmaiy, menafsirkan Shanbur sebagai
pohon kurma yang tinggal sebatang saja tanpa ada pohon kurma yang lain.
Untuk menentukan mana penafsiran yang lebih tepat,
Abu Ubaid keluar masuk desa untuk mengetahui apa yang dimaksud oleh kata
tersebut, dari hasil penelitiannya Abu Ubaid berkesimpulan kalau pendapat
al-Ashmaiy lebih tepat sebab pada saat orang Quraisy mengungkapkan kata-kata
ini mereka sebenarnya menganalogikan Muhammad dengan sebuah pohon kurma yang
tinggal sebatang, sebab Rasulullah juga tinggal sebatang kara tanpa bapak dan
ibu, juga tanpa saudara-saudara, lagi pula tidak ditemukan satupun di antara
orang Quraisy yang mencela garis keturunan Rasulullah Saw karena keluarganya
berasal dari keluarga terhormat.
C. Fiqhu Tarikh
Yang diamaksud dengan fiqhu
Tarekh adalah pemahaman yang mendalam terhadap sejarah turunnya wahyu, serta
perundang-undangan Islam, sebab dengan memahami sejarah dengan baik maka
seorang muhadditsin bisa mengetahui keadaan yang terjadi pada saat sebuah hadis
diucapkan Rasulullah Saw.
Kesalahan dalam memahami hadis
Rasulullah Saw banyak terjadi karena kurang mendalami sejarah peletakan sebuah
hukum, atau kondisi saat sebuah hadis diungkapkan oleh Rasulullah Saw.
Oleh karena itu banyak orang menilai
antara satu Hadis dengan hadis yang lain terjadi kontradiksi, padahal
sebenarnya di sana tidak ada kontradiksi terutama sekali antara dua hadis yang
sama-sama saheh. Yang terjadi adalah kurang mengertinya seseorang terhadap
kondisi saat kedua hadis itu diucapkan Rasulullah Saw.
Salah satu contoh, para ulama
berbeda pendapat terhadap hakekat sebuah iman, perbedaan ini timbul dari
banyaknya hadis Rasulullah Saw yang mengungkapkan hakekat iman, ada yang
mengatakan iman itu adalah sekedar mengucapkan dua kalimat syahadat dengan
berdasar pada hadis Rasulullah Saw yang artinya: “Saya diperintahkan Allah
Swt untuk memerangi orang-orang kafir sampai ia mengucapkan kalimat Syahadat,
apabila ia telah mengucapkan kalimat Syahadat maka jiwa dan hartanya sudah
terpelihara”([22]).
Berarti iman itu adalah sekedar mengucapkan dua kalimat Syahadat. Sementara itu dalam beberap hadis
yang lain disebutkan bahwa iman itu ada empat, atau lima seperti hadis yang
menyebutkan iman adalah melaksanakan rukun Islam yang lima.
Di hadis yang lain disebutkan bahwa
Iman mencakup lebih tujuh puluh bentuk, yang paling tinggi adalah mengucapkan
dua kalimat Syahadat, dan yang terendah adalah menghilangkan duri dari jalanan[23].
Kalau tidak memahami secara mendalam hadis-hadis seperti diatas maka
terkesan terjadi kontradiksi antara satu hadis dengan hadis yang lain.
Oleh karena itu, Abu Ubaid dalam mencari penafsiran dari hadis-hadis yang
pemahamannya nampak gareb seperti hadis iman yang telah disinggung tadi, ia
menelusuri sejarah perundang-undangan Islam.
Dalam kajian Abu Ubaid ia menemukan bahwa ajaran Islam ini diturunkan dalam
dua periode, yaitu periode Mekah dan periode Madinah. Pada periode Mekkah, umat
Islam masih lemah, baik Iman maupun fisik, karena pemeluknya masih segolongan
kecil dari kerabat Rasulullah. Pelaksanaan syariat Islampun masih
sembunyi-sembunyi sehingga pada saat itu kewajiban sebagai seorang Muslim yang
beriman hanyalah sekedar mengucapkan dan mengimani dua kalimat Syahadat
tersebut.
Pada
fase berikutnya ketika Rasulullah sudah berada di Madinah, Islam sudah mulai
kuat, sehingga turun sedikit demi sedikit perundang-undangan Islam seperti Shalat,
Zakat, Puasa, berbuat baik kepada orang tua, Shalat menghadap ke kiblat dan
sebagainya.
Pada periode Madinah inilah menurut Abu Ubaid Islam bukan
lagi diterjemahkan sebagai dua kalimat Syahadat, tetapi cakupan Islam sudah
luas, seorang yang menamakan dirinya Muslim tidak cukup sekedar mengucapkan dua
kalimat Syahadat, tetapi ia dituntut untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam
yang lain.
Pada fase Madinah ini pula, seorang
yang menamakan dirinya Islam lantas membeda-bedakan antara satu syariat dengan
syariat yang lain menurut Abu Ubaid bukan seorang pemeluk Islam yang Murni
karena mendiskriminasian ajaran Islam antara satu dengan yang lain. Pijakan
inilah yang digunakan khalifah Abu Bakar
untuk memerangi orang-orang yang ingkar membayar zakat meskipun ia masih
mendirikan Shalat([24]).
IV. Kesimpulan
- Metode Abu Ubaid yang telah dipaparkan di atas,
hanyalah sebagian kecil dari metode yang digunakan para muhadditsin dalam
memahami hadis-hadis Rasulullah Saw terutama hadis yang gareb. Masih begitu
banyak metode yang dipakai dan ditawarkan para Muhadditsin dalam persoalan
ini.
- Penguasaan bahasa Arab yang baik menjadi prasyarat
penting dalam memaknai dan memahami hadis dengan tepat. Tanpa penguasan
yang mendalam terhadap bahasa Arab akan memberikan dampak yang buruk
terhadap pemahaman terhadap hadis-hadis Rasulullah Saw.
- Melalui metodologi tertentu yang telah disepakati
oleh para Muhadditsin dalam memahami hadis-hadis Rasulullah Saw, akan
mampu menjaga kita dari kekeliruan dalam memahami nash-nash al-Qur’an
maupun hadis rasulullah saw.
[1]Buku ini telah diterbitkan oleh Haedar Abad tahun
1964M, tahqiq Dr. Muhammad Abdul Muin, dan pada tahun 1986M. Haeah Ammah
Amiriah menerbitkan ulang dengan tahqiq Dr. Husain Muhammad Syaraf.
Kemudian diterbitkan oleh Dar el-Kutub ilmiah Vol.I pada tahun 1406H/1986M.
[19]Oleh karena itu Filosof Islam yang populer namanya di
Barat seperti Ibn Rusdi menentang keras kalau ada yang mengatakan akal bisa
berbeda dengan nash al-Qur’an dan Hadits, karena menurutnya al-Qur’an dan
Hadits bersumber dari Allah swt. Begitupula akal yang sempurna juga adalah
pemberian Allah swt. Maka mustahil antara dua kebenaran bisa bertolak belakang.
Lihat Ibn Rusd: Fasl al-Maqal fimaa bainaal-Hikmah wa Assyariah.
Hal. 31, Dar al-Maarif , Vol. II tanpa tahun.
- Get link
- Other Apps
KATEGORI UMUM
MOTIVASI IBADAH = adalah situs MOTIVASI IBADAH terkait dengan aktifitas ibadah, semangat ibadah dan kajian ibadah lainnya
MOTIVASI OLAHRAGA = adalah situs OLAH RAGA terkait dengan aktifitas atau info Olah Raga, kegiatan olah raga, jenis olah raga baik domestik maupun international
MOTIVASI TRAVELING = adalah situs MOTIVASI TRAVELING terkait dengan Objek Wisata, Info Traveling, Domestik, International, Haji dan Umrah dan Kegiatan Traveling lainnya
MAKALAH TAFSIR HADIS = adalah situs ARTIKEL ILMIYAH terkait dengan kajian keagamaan, al-Qur'an dan Hadis dan kajian ibadah lainnya
GALERI BUNGA = adalah situs BISNIS dari motivasi ibadah sebagai SPONSOR UTAMA pembuatan semua situs yang terkait. Berisi produk bunga
FORTUNE FAMILY TV = adalah Chanel Youtube terkait dengan situs MOTIVASI IBADAH yang berisi video keluarga, tutorial, bisnis, kajian keagamaan, al-Qur'an dan Hadis dan kajian ibadah lainnya
BERITA TERBARU !!
-
-
EURO 2024 - Inggris Finalis tetap dikritik, Rodri Spanyol Pemain Terbaik - *FINALIS EURO 2024 - *Berbenturan antara timnas Spanyol vs Inggris dalam partai puncak Euro 2024 yang memberikan hasil 2 - 1 , Spanyol taklukkan Inggris me...2 months ago
-
Sudah Pernah Lihat KUPU KUPU RAKSASA ?, Wajib TONTON ! - Kupu kupu tidak hanya terlihat banyak di taman, ini yang paling istimewa, kenapa ? Ukurannya hingga 1 meter x 1 meter. Bisa terbangkan manusia di pundak...5 months ago
-
VIDEO - Penyaluran Zakat Langsung Ke Mustahik YATIM DHUAFA - Sanggar Tamarunang Makassar - VIDEO - Penyaluran Zakat Langsung Ke Mustahik YATIM DHUAFA - Sanggar Tamarunang MakassarSalah satu video saat penyaluran zakat sedekah langsung ke mustahiq...5 months ago
-
RONALDO DI LAUT MERAH 'Red Sea' - Salam Traveler Pariwisata viral yang di ulas kali dalam motivasi travel adalah 'Red Sea'. Uda tahu kan red sea itu ?? Atau mungkin sudah pernah ke sana, pa...6 months ago
-
KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS - *KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS* Pendahuluan latar belakang Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah dua sumber utama ajaran Islam. Oleh karena i...1 year ago
Popular posts from this blog
BIL MA'TSUR ( TAFSIR AYAT DENGAN AYAT )
download TAFSIR AL-NASAFIY
CARA MELAKUKAN TAKHRIJ HADIS
cara atau Kaedah al-Jarh Wa al-Ta’dil Serta Aplikasinya
cara TAMBAHAN - kaedah ZIYADAH DALAM AL-QUR'AN
HADIS TARBAWIY DAN AKHLAK (BERKURANGNYA IMAN KARENA MAKSIAT)
apa contoh MUKJIZAT AL-QUR'AN (Pengertian dan Pembagiannya)
kaedah 'ATAF - AL-'ATFU DALAM AL-QUR'AN
cara melakukan MUNASABAH AYAT
QAWAIDH AL-TAHDIS (Pengertian , Ruang Lingkup dan Urgensinya )
BACA JUGA - Link Pilihan
- GALERI BUNGA - Bunga Bambu, Produk Daerah Lokal Bernilai Tinggi
- GALERI BUNGA - Bunga Hias Ruang Tamu
- GALERI BUNGA - Bunga Lampu Hias-Home Dekor
- GALERI BUNGA - Bunga Trending, Bunga Lampu Hias
- GALERI BUNGA - TRENDING, Bunga Lampu Hias Home Decor
- MAKALAH TAFSIR HADIS - Hadis Tarbawiy dan Akhlak-Berkurangnya iman karena Maksiat
- MAKALAH TAFSIR HADIS - Cara Hidup Sehat
- MAKALAH TAFSIR HADIS - Cara Melakukan Takhrij
- MAKALAH TAFSIR HADIS - Kaedah Al-Jarh Wa Al-Ta'dil
- MAKALAH TAFSIR HADIS - Manusia Dalam Perspektif Al-Qur'an
- MOTIVASI IBADAH - Contoh Mukjizat Al- Qur'an
- MOTIVASI IBADAH - CORONA VIRUS COVID 19 dalam ibadah
- MOTIVASI IBADAH - Covid 19 dan Tantangan Pendidikan
- MOTIVASI IBADAH - Larangan Menyiksa Hewan
- MOTIVASI IBADAH - Sedekah Yang Dilarang
Comments
Post a Comment