KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS

KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS Pendahuluan latar belakang Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah dua sumber utama ajaran Islam. Oleh karena itu, keduanya selalu dijadikan landasan keyakinan, ritual, adat istiadat, etika, ekonomi, politik, peradaban dan seluruh aspek kehidupan umat Islam, baik yang sakral maupun duniawi, pada tataran ¥ abl minallah (vertikal) dan ¥ abl min al. -n ± s (horizontal).

METODOLOGI MUHADDITSIN - GARIB AL-HADITS

 Metodologi Muhadditsin dalam menafsirkan

“Gareb al-Hadis”

            Memahami hadis-hadis Rasulullah saw. Bukan seperti memahami karangan-karang ilmiah. Antara satu hadis dengan hadis yang lain saling memberikan penafsiran. Di samping itu hadis Rasulullah saw., disampaikan dalam tenggang waktu 23 tahun, itu pun pada waktu dan tempat yang berbeda. Rasulullah saw., pun menyampaikannya dengan memakai dialek bahasa Arab yang beragam sehingga untuk memahami sebuah hadis dengan baik dibutuhkan ilmu dasar yang mendalam –terutama bahasa Arab-- sebagai penopang dalam memahami maksud yang diinginkan dari sabda Rasul saw.

            Hadis-hadis Rasulullah juga bukan sebuah riwayat sejarah yang bisa disampaikan dengan berbagai konteks bahasa, tetapi Hadis Rasulullah adalah sebuah Nash yang semestinya diriwatkan sesuai dengan ungkapan Rasulullah Saw atau ungkapan yang disampaikan para sahabat Rasulullah Saw.

            Karena hadis Rasulullah Saw disampaikan dalam berbagai dialek bahasa Arab sehingga kata-kata yang diungkapkan terkadang terasa asing. Kata-kata asing ini oleh orang Arab disebut dengan “gareb”, atau asing.


            Berangkat dari problematika di atas --terutama sekali hadis yang ungkapannya terasa gareb—membuat ulama klasik menawarkan metodologi khusus dalam memahami dan meriwatkan hadis-hadis Rasulullah Saw. Tujuannya agar para muhadditsin yang datang berikutnya, tidak keliru dalam memahami hadis.   

Tulisan berikut ini akan mengungkap salah satu metode muhadditsin dalam menafsirkan hadis gareb. Muhadditsin yang dimaksud adalah Abu Ubaid.

I. Sekilas tentang Gareb al-Hadis

Para ulama sejak awal memberikan perhatian yang cukup serius terhadap Ghareb al-Hadis, ini terbukti dengan ditemukannya manuskrip yang cukup memadai dalam bidang ini.([1])

Pada abad pertama dan kedua Hijriah, banyak ulama yang menulis tentang Gareb al-Hadis, diantaranya; Abu Ubaidah Muammar bin al-Mutsanna([2]), kemudian usaha ini dilanjutkan oleh al-Qatrab, lalu al-Akhfas, dan Annadr bin Syumail. Namun karya ilmiah dalam masalah gareb al-Hadis yang ditulis oleh para ulama tersebut belum sistimatis, karena tidak menyebutkan sanad([3]) dari hadis yang diriwayatkan.

Barulah pada tahap berikutnya Adnan An-nahawy yang juga hidup dalam abad yang sama mulai menyusun secara sistimatis Gareb al-Hadis dengan menyebutkan sanad dari hadis yang diriwayatkan serta menyusun hadis-hadis tersebut berdasarkan metodologi Fuqaha([4]), tetapi karangan Adnan An-nahawy belum cukup memadai, mengingat cakupannya belum terlalu luas.

Barulah pada abad kedua Hijriah muncul seorang ulama yang cukup populer yang bernama Abu Ubaid, dialah yang mengumpulkan Gareb al-Hadis dan mengkodifikasikannya dengan cara yang sangat sistimatis dan sekaligus menafsirkan lafadz-lafadz yang terasa sulit untuk difahami([5]).

Buku ini adalah kumpulan hadis-hadis Rasulullah maupun Atsar para sahabat ra. yang diperkirakan Abu Ubaid mencakup lafadz-lafdz yang susah dipahami.

Buku ini sebagaimana diriwatkan oleh sebagian sumber ditulis selama empat puluh tahun, dan disaat Abu Ubaid menemukan penafsiran yang pas terhadap kata-kata yang sulit dipahami, ia tidak tidur semalaman karena sangat senang([6]).

            Sepeninggal Abu Ubaid pada tahun 224H. buku ini mendapat perhatian khusus dari ulama, terbukti dengan banyaknya karangan yang menyempurnakan buku ini maupun mengkritik serta mengoreksinya. Diantara karangan tersebut adalah:

  1. Arraddu Ala Abi Ubaid fi Gareb al-Hadis” ( Bantahan terhadap Abu Ubaid dalam bukunya Gareb al-Hadis) , karangan hasan bin Abdullah al-Asfahani.
  2. Arraddu Ala Abi Ubaid fi Gareb al-Hadis”, karangan Abu Said Adhariry.
  3. Tahdzib Gareb al-Hadis”, karangan al-Khateb Attabrizy.
  4. Taqrib al-Muram fi Gareb al-Qasem bin Sallam”, karangan Muhib  al-ddin Ahmad bin Abdullah.
  5. Nudzum Gareb al-Hadis”, karangan Ali bin Abdullah al-Uqaily.

 

II. Sekilas tentang Abu Ubaid

Abu Ubaid adalah al-Qasem bin Sallam bin Abdullah, tetapi ia lebih populer dengan nama panggilan Abu Ubaid([7]). Beliau lahir di Herah([8]) pada tahun 157H, dan meninggal di Mekkah pada tahun 224H, ini berarti Abu Ubaid hidup pada periode pertama dinasti Abbasiah. Seperti diketahui,  pada periode ini khilafah Islamiah membentang luas sampai ke daerah-daerah yang pernah dikuasai Romawi, sehingga terjadi kontak peradaban dengan negara-negara tetangga yang menyebabkan terjadinya interaksi budaya yang begitu intens.

Kondisi ini dimanfaatkan dengan baik oleh khalifah al-Ma’mun untuk mengembangkan pengetahuan dan peradaban Islam dengan jalan menerjemahkan pemikiran-pemikiran klasik Yunani, India dan persia dan untuk itu beliau pun mendirikan sebuah lembaga penerjemahan besar yang dikenal dengan baitul hikmah. ([9]).

Usaha al-Ma’mun ini memberikan dampak yang sangat positif terhadap aktifitas keilmiahan, sehingga bukan hanya mesjid-mesjid yang menjadi aktifitas keilmiahan pada saat itu, tetapi Istana kehalifahanpun ikut mengambil bagian, sehingga peradaban Islam melejit dengan cepat.

Abu Ubaid yang hidup dalam peradaban yang berkembang pesat ini mengambil kesempatan berkunjung ke kota-kota terkenal untuk menimba ilmu pengetahun dari ulama-ulama yang memiliki spesialisai ilmu yang berbeda-beda.

Diantara kota-kota yang pernah dikunjungi Abu Ubaid adalah: Bagdad pada tahun 176H, Kufah pada tahun 177H, Bashrah pada tahun yang sama, kemudian Mesir pada tahun 208H, dan terakhir beliau meninggal di Mekkah al-Mukarramah pada tahun 224H.

Abu Ubaid adalah sosok ulama yang rendah hati dan berbudi luhur, dia tidak dendam kepada orang-orang yang memusuhinya. Sebuah riwayat menyebutkan: “ketika Abu ubaid selesai memberikan pengajian di mesjid dan melewati sebuah rumah, murid-muridnya menyampaikan bahwa pemilik rumah ini banyak mengkritik karangan Abu Ubaid, beliau hanya tersenyum lantas menjawab kemungkinan ia berdasar pada rujukan yang lain dan saya memakai rujukan yang berbeda sehingga apa yang saya tulis dalam pandangan dia salah padahal itu hanya masalah interpretasi”([10]).

Beliau juga adalah sosok yang dikenal sebagai pelopor periwayatan ilmiah, ia telah mewasiatkan kepada murid-muridnya agar senantiasa menjaga nilai ilmiah dalam menyampaikan pendapat, beliau mengatakan: “Diantara rasa syukur terhadap ilmu pengetahun adalah jika kalian menyampaikan sebuah pendapat lalu kalian menyebutkan sumber dari pendapat tersebut” ([11]).

Abu Ubaid mendapat pujian di kalangan ulama, di samping karena kelembutan dan keilmuannya yang tidak diragukan lagi, ia juga sangat menghormati ulama-ulama yang semasa dengannya. Abdullah bin Taher([12]) pernah mengatakan: Ulama Islam ada empat: Abdullah bin Abbas pada Zamannya, Assya’bi pada eranya, Ibn Muin pada masanya dan Abu Ubaid pada masa hidupnya([13]).

Karena Abu Ubaid hidup pada era dimana pemikiran keIslaman cukup berkembang serta didukung oleh guru yang memiliki disiplin ilmu berbeda sehingga Abu Ubaid memiliki wawasan keIslaman yang cukup luas, ia menulis buku bukan saja dalam satu disiplin ilmu, tetapi karangan-karangannya cukup beragam, ia menulis kurang lebih seratus judul buku, namun yang sempat terselamatkan dan diterbitkan kembali baru beberapa buku di antaranya: al-Amtsal Assairah, al-Amwal, al-Iman, Mawaidz al-Anbiyaa, Gareb al-Hadis, al-Gareb al-Mutsannaf, Fadail al-Qur’an, Annasikh wa al-Mansukh([14]). Sementara karangan-karangan yang lain masih ada dalam bentuk manuskript dan sebagian besar lainnya telah hilang.

Dengan karangan yang beragam ini, Abu Ubaid dapat disejajarkan dengan ulama-ulama yang populer seperti Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal dan Ibn Muin serta sederet ulama lainnya. Terlebih lagi dengan karya ilmiahnya “Gareb al-Hadis” ia semakin populer. Hilal bin A’la Arraqy pernah mengatakan: Allah telah memberikan nikmat kepada umat Islam dengan empat orang ulama diantaranya Abu Ubaid karena menafsirkan gareb al-Hadis, andaikan ini tidak dilakukan Abu Ubaid pastilah umat ini keliru dalam memahaminya([15]).

 

III. Metodologi Abu Ubaid Dalam Menafsirkan Gareb al-Hadis

            Para muhadditsin memilih beberapa cara dalam menafsirkan gareb al-hadis, ini dilakukan untuk menghindari penafsiran yang dilakukan tanpa dasar dan agar tidak terjadi kekeliruan dalam menafsirkan nash-nash Hadis.

Diantara cara yang ditempuh muhadditsin dan lebih khusus lagi Abu Ubaid dalam menafsirkan gareb al-hadis adalah:

 

A. Merujuk kepada al-Qur’an dan Hadis

            Di atas telah disinggung bahwa antara satu hadis dengan hadis yang lain saling memberikan pemahaman, begitu pula antara hadis dengan ayat-ayat al-Qur’an memiliki keterkaitan khusus, karena fungsi hadis terhadap ayat-ayat al-Qur’an memiliki fungsi ganda; Pertama: Sebagai penjelasan terhadap nash al-Quran yang sifatnya umum, atau memberikan rincian terhadap keterangan al-Quran yang sifatnya global; Kedua: Sebagai penegas dan penguat  dari apa yang telah ditetapkan dalam al-Quran.

Maka tidak mengherankan kalau para muhadditsin menemukan kata-kata yang terasa asing pada Hadis Rasulullah saw. lantas kembali merujuk kepada al-Qur’an dan Hadis terlebih dahulu sebelum ia mencari penafsiran pada syair-syair Arab yang terkenal sebagai ensklopedia bahasa Arab. Sebagai contoh hadis Rasulullah yang berbunyi:

المتشبع بما لا يملك كلابس ثوبي زور

 Kata-kata pakaian palsu (ثوبي زور), oleh para muhadditsin dinilai mengandung dua arti:

Pertama; berarti pakaian, dan yang dimaksud adalah orang yang memakai pakaian yang tidak menunjukkan identitas diri dia, seperti berpakaian Ahlu Suffah([16]) padahal dia bukanlah seorang yang sufi, tetapi ia berpakaian demikian sekedar ingin dikatakan sebagai seorang yang sufi dan berjiwa bersih.

Kedua; berarti jiwa, orang Arab biasa mengatakan “pakaian dia bersih” dan yang dimaksudkan adalah berjiwa bersih dan jauh dari perbuatan dosa.

Untuk mengetahui apa yang dimaksudkan dari kata-kata tersebut,  para Abu Ubaid kembali merujuk ke ayat al-Qur’an, dan ditemukanlah ayat yang berbunyi :

وثيابك فطهر([17])

Artinya: Dan pakaian kamu bersihkanlah.

Kebanyakan mufassirin menafsirkan tsaub ( pakaian ) sebagai jiwa, maksudnya jiwa seorang Mu’min hendaklah selalu bersih dari sifat-sifat yang tidak terpuji. Jadi menurut Abu Ubaid kata-kata tsaub dinilai memiliki arti ganda, dan kedua pendapat tersebut bisa dipakai menafsirkan kata tsaub dalam hadis tersebut.

Jika dalam menafsirkan Hadis terlebih dahulu harus merujuk kepada al-Quran, maka sebaliknya juga demikian, dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran sebaiknya selalu mempertimbangkan penafsiran yang sejalan dengan hadis-hadis Rasulullah saw., karena antara satu nash dengan nash yang lain berasal dari sumber yang sama([18]) tidak mungkin terjadi kontradiksi([19]).

Kalau ditelusuri satu persatu hadis-hadis Rasulullah saw., akan ditemukan begitu banyak tafsiran penjelasnya di dalam al-qur’an demikian pula sebaliknya; penafsiran terhadap makna-makna kandungan al-qur’an banyak terdapat dalam hadis-hadis Rasulullah saw.

Oleh karena itu sungguh sangat keliru jika di antara umat Islam ada yang menamakan dirinya Ingkar Assunah([20]) sekedar berdalih memegang teguh al-Quran,  padahal untuk memahami dengan murni al-Quran harus merujuk kepada penafsiran Rasulullah  (Hadis) dan para sahabatnya.

B. Meneliti dialek bahasa Arab

            Dalam upaya mencari pemahaman yang paling tepat terhadap penafsiran gareb Hadis, Abu Ubaid meneliti dialek bahasa Arab, ia keluar masuk desa, mengembara dari satu kota ke kota lain sekedar untuk memahami dialek suatu kabilah. Bahkan tidak jarang seorang muhadditsin merantau dari satu negeri ke negeri lain hanya sekedar ingin mengetahui pemahaman sebuah hadis. Maka wajar saja kalau di antara para muhadditsin seperti Bukhari, Muslim, Abu Ubaid menemukan makna yang pas terhadap sebuh penafsiran Hadis.

            Para muhadditsin melakukan hal yang serupa ketika berusaha menetralisir pemahaman yang keliru terhadap ayat-ayat al-Quran serta hadis Rasulullah saw. Seperti penafsiran hadis mauquf([21]) Abdullah:

سباب المؤمن فسوق وقتاله كفر

Artinya:

Mencaci maki seorang Mu’min adalah perbuatan fasik dan membununya adalah perbuatan kafir .

 

Oleh sebagian ulama, kafir yang dimaksudkan di sini adalah kafir terhadap nikmat Allah yang sering disebut “Kufur Ni’mat” karena seseorang baru dianggap kafir kalau ia sudah mengingkari ke-Esaan Allah Swt serta menafikan kerasulan Muhammad Saw. Adapun pelaku dosa besar bukanlah seorang kafir, tetapi ia adalah seorang fasik.

Abu Ubaid mengingkari penafsiran kufur nikmat dalam hadis tersebut, karena dalam peristilahan kufur nikmat dalam bahasa Arab bukanlah seperti yang dimaksudkan dalam hadis di atas. Kufur nikmat yang dimaksudkan oleh orang-orang Arab adalah suatu ungkapan pengingkaran terhadap nikmat yang telah diberikan Allah swt. kepada hambanya, seperti mengatakan:

- saya tidak memiliki harta, padahal harta yang dimiliki berlimpah ruah.

- atau mengeluh sakit, padahal kenyataanya sehat-sehat saja.

Ungkapan-ungkapan seperti inilah yang oleh Abu Ubaid dianggap sebagai kufur nikmat.

Pendapat Abu Ubaid ini dipertegas dengan dalil dari hadis Rasulullah saw yang mengatakan :

 إنّ كن تكثرن اللعنة وتكفرن العشير وذلك أن تغضب إحداكن فتقول مارأيت منك خير قط

Artinya:

Wahai para wanita, kalian senang sekali mencaci maki, serta mengingkari rezki yang diberikan suamimu, jika kalian marah kalian terkadang mengatakan saya tidak melihat secuilpun kebaikan darimu.

            Kata-kata kufur dalam hadis tersebut ( تكفرن العشير ) dijelaskan oleh ungkapan setelahnya yaitu “saya tidak melihat secuilpun kebaikan darimu”. Inilah yang disebut kufur nikmat menurut versi Abu Ubaid, dan bukan seperti yang dimaksudkan dalam Hadis terdahulu.

Disamping itu dalam menafsirkan kata-kata gareb pada hadis Rasulullah saw, Abu Ubaid kembali merujuk kepada penafsiran para linguistic Arab terkemuka, seperti penafsiran Abu Ubaidah, atau Ashmaiy, kemudian mengkomparatifkan antara beberapa penafsiran tersebut, setelah itu barulah ia menarik makna yang paling cocok dengan makna yang diinginkan dalam sebuah hadis.

Sebagai contoh,  hadis Rasulullah Saw yang berbunyi:

إن قريشا كانوا يقولون إن محمدا صنبور

Artinya:

Oran-orang Quraisy dulu mengatan sesungguhnya Muhammad adalah Shanbur.

 

Kata-kata “shanbur” dalam hadis ini dianggap Abu Ubaid sebagai kata-kata yang gareb, dan untuk menentukan penafsiran yang diinginkan, beliau meneliti pendapat para linguistik Arab. Dari hasil penelitian yang ia lakukan, ia menemukan dua penafsiran:

Pertama; Versi Abu Ubaidah, yang menafsirkan kata shanbur sebagai pohon kurma yang tumbuh dan berasal dari pohon yang lain.

Kedua; Versi al-Ashmaiy, menafsirkan Shanbur sebagai pohon kurma yang tinggal sebatang saja tanpa ada pohon kurma yang lain.

Untuk menentukan mana penafsiran yang lebih tepat, Abu Ubaid keluar masuk desa untuk mengetahui apa yang dimaksud oleh kata tersebut, dari hasil penelitiannya Abu Ubaid berkesimpulan kalau pendapat al-Ashmaiy lebih tepat sebab pada saat orang Quraisy mengungkapkan kata-kata ini mereka sebenarnya menganalogikan Muhammad dengan sebuah pohon kurma yang tinggal sebatang, sebab Rasulullah juga tinggal sebatang kara tanpa bapak dan ibu, juga tanpa saudara-saudara, lagi pula tidak ditemukan satupun di antara orang Quraisy yang mencela garis keturunan Rasulullah Saw karena keluarganya berasal dari keluarga terhormat.

                       

C. Fiqhu Tarikh

            Yang diamaksud dengan fiqhu Tarekh adalah pemahaman yang mendalam terhadap sejarah turunnya wahyu, serta perundang-undangan Islam, sebab dengan memahami sejarah dengan baik maka seorang muhadditsin bisa mengetahui keadaan yang terjadi pada saat sebuah hadis diucapkan Rasulullah Saw.

            Kesalahan dalam memahami hadis Rasulullah Saw banyak terjadi karena kurang mendalami sejarah peletakan sebuah hukum, atau kondisi saat sebuah hadis diungkapkan oleh Rasulullah Saw.

            Oleh karena itu banyak orang menilai antara satu Hadis dengan hadis yang lain terjadi kontradiksi, padahal sebenarnya di sana tidak ada kontradiksi terutama sekali antara dua hadis yang sama-sama saheh. Yang terjadi adalah kurang mengertinya seseorang terhadap kondisi saat kedua hadis itu diucapkan Rasulullah Saw.

            Salah satu contoh, para ulama berbeda pendapat terhadap hakekat sebuah iman, perbedaan ini timbul dari banyaknya hadis Rasulullah Saw yang mengungkapkan hakekat iman, ada yang mengatakan iman itu adalah sekedar mengucapkan dua kalimat syahadat dengan berdasar pada hadis Rasulullah Saw yang artinya: “Saya diperintahkan Allah Swt untuk memerangi orang-orang kafir sampai ia mengucapkan kalimat Syahadat, apabila ia telah mengucapkan kalimat Syahadat maka jiwa dan hartanya sudah terpelihara”([22]).

 

Berarti iman itu adalah sekedar mengucapkan dua kalimat Syahadat. Sementara itu dalam beberap hadis yang lain disebutkan bahwa iman itu ada empat, atau lima seperti hadis yang menyebutkan iman adalah melaksanakan rukun Islam yang lima.

            Di hadis yang lain disebutkan bahwa Iman mencakup lebih tujuh puluh bentuk, yang paling tinggi adalah mengucapkan dua kalimat Syahadat, dan yang terendah adalah menghilangkan duri dari jalanan[23].

Kalau tidak memahami secara mendalam hadis-hadis seperti diatas maka terkesan terjadi kontradiksi antara satu hadis dengan hadis yang lain.

Oleh karena itu, Abu Ubaid dalam mencari penafsiran dari hadis-hadis yang pemahamannya nampak gareb seperti hadis iman yang telah disinggung tadi, ia menelusuri sejarah perundang-undangan Islam.

Dalam kajian Abu Ubaid ia menemukan bahwa ajaran Islam ini diturunkan dalam dua periode, yaitu periode Mekah dan periode Madinah. Pada periode Mekkah, umat Islam masih lemah, baik Iman maupun fisik, karena pemeluknya masih segolongan kecil dari kerabat Rasulullah. Pelaksanaan syariat Islampun masih sembunyi-sembunyi sehingga pada saat itu kewajiban sebagai seorang Muslim yang beriman hanyalah sekedar mengucapkan dan mengimani dua kalimat Syahadat tersebut.

            Pada fase berikutnya ketika Rasulullah sudah berada di Madinah, Islam sudah mulai kuat, sehingga turun sedikit demi sedikit perundang-undangan Islam seperti Shalat, Zakat, Puasa, berbuat baik kepada orang tua, Shalat menghadap ke kiblat dan sebagainya.

Pada periode Madinah inilah menurut Abu Ubaid Islam bukan lagi diterjemahkan sebagai dua kalimat Syahadat, tetapi cakupan Islam sudah luas, seorang yang menamakan dirinya Muslim tidak cukup sekedar mengucapkan dua kalimat Syahadat, tetapi ia dituntut untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam yang lain.

            Pada fase Madinah ini pula, seorang yang menamakan dirinya Islam lantas membeda-bedakan antara satu syariat dengan syariat yang lain menurut Abu Ubaid bukan seorang pemeluk Islam yang Murni karena mendiskriminasian ajaran Islam antara satu dengan yang lain. Pijakan inilah yang digunakan  khalifah Abu Bakar untuk memerangi orang-orang yang ingkar membayar zakat meskipun ia masih mendirikan Shalat([24]).

 

 

IV. Kesimpulan

  1. Metode Abu Ubaid yang telah dipaparkan di atas, hanyalah sebagian kecil dari metode yang digunakan para muhadditsin dalam memahami hadis-hadis Rasulullah Saw terutama hadis yang gareb. Masih begitu banyak metode yang dipakai dan ditawarkan para Muhadditsin dalam persoalan ini.
  2. Penguasaan bahasa Arab yang baik menjadi prasyarat penting dalam memaknai dan memahami hadis dengan tepat. Tanpa penguasan yang mendalam terhadap bahasa Arab akan memberikan dampak yang buruk terhadap pemahaman terhadap hadis-hadis Rasulullah Saw.
  3. Melalui metodologi tertentu yang telah disepakati oleh para Muhadditsin dalam memahami hadis-hadis Rasulullah Saw, akan mampu menjaga kita dari kekeliruan dalam memahami nash-nash al-Qur’an maupun hadis rasulullah saw.


[1]Buku ini telah diterbitkan oleh Haedar Abad tahun 1964M, tahqiq Dr. Muhammad Abdul Muin, dan pada tahun 1986M. Haeah Ammah Amiriah menerbitkan ulang dengan tahqiq Dr. Husain Muhammad Syaraf. Kemudian diterbitkan oleh Dar el-Kutub ilmiah Vol.I pada tahun 1406H/1986M.

 [2]Yaitu Abu Ubaidah Muammar bin al-Mutsanna al-Bisry, Annahawy, sebagian riwayat menyebutkan bahwa belisau lahir pada tahun 110H, pada malam wafatnya Hasan al-Bisry, beliau meninggal dalam umur 93 tahun tepatnya pada tahun 209H. Lihat Tarekh Bagdad 12/401, Siar A’lam Annubala 10/491.

 [3]Sanad adalah rentetan nama-nama perawi sebelum sampai ke matan hadits.

 [4]Fuqaha dalam menulis buku biasanya memulai dengan pembahasan Thaharah, kemudian Shalat, Puasa dan seterusnya.

 [5]Al-Qifthi: Inbahurruwah Ala Anba Annuha 2/14, Tahqiq Muhammad Abu Fadl Ibrahim, cet. Dar al-Kutub al-Misriah. Cairo th. 1337H/1995M.

 [6]Lihat, Inbah Arruwah 3/16.

 [7]Lihat biografinya dalam buku: Ibn Abi Hatim: al-Jarh Watta’dil 7/111, cet. Majlis Dairatul Ma’arif al-Utsmaniah, Khaedr Abad-India. al-Khateb al-Bagdadiy: Tarekh Bagdad 12/401, tahqiq Musthafa Abdul Qader Atha, cet. Dar al-Kutub al-Ilmiah Beirut th. 1417H/1997M. Adzahabiy: Ma’rifah al-Qurraa al-Kibar 1/170, cet. Dar al-Kutub al-Haditsah vol. I tanpa tahun. Tajuddin Assubki: Thabaqat Assyafiiyah al-Kubra 2/153, tahqiq Abdul Fattah Muhammad Helw, cet. Hijr lithabah Geza Mesir vol.II th.1992M. Ibn Hajar al-Asqalaniy: Tahdzib attahdzib 4/517, cet. Dar Ihya Turats al-Arabiy vol.I th. 1410H/1990M. Yusuf elyan:  Mu’jam al-Matbuat al-arabiah wa al-Muarrabah hal. 121, cet. Maktabah Atsaqafah Addiniah, Cairo-Mesir.

 [8]Yaitu sebuah kota yang terbilang maju di Khurasan, kota ini dibangun oleh Alexander Macedonia kemudian dibebaskan oleh Ahnaf bin Qaes pada masa pemerintahan Umar bia Khattab. Lihat  Inbah arruwah 3/12.

 [9]Yayasan ini disebut Darul Hikmah, dan didirikan pada masa pemerintahan         al-Ma’mun, sebagian pendapat mengatakan sudah dirintis sejak pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid, bapak Khalifah al-Ma’mun-, kehadiran yayasan terjemahan ini bertujuan mengaktifkan aktifitas keilmiahan dengan menerjemahkan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab, baik buku yang berbahasa Yunani, persia maupun yang berbahasa Urdu, oleh Khalifah para penterjemah diberikan gaji yang cukup tinggi supaya mereka benar-benar berkonsentrasi dalam menerjemahkan pemikiran-pemikiran asing tanpa harus mencari pekerjaan lain. Lihat Muhammad Amin: Duhaa al-Islam 1/35.

 [10]Ibn Khalkan: Wafayatul A’yan 1/202.

 [11]Al-Khateb al-Bagdady: al-Jami’ al-Akhlak Arrawiy 2/154.

 [12]Abdullah bin Taher adalah salah seorang Amir yang hidup semasa dengan Abu Ubaid, di samping Amir, beliau juga sangat akrab dengan ulama-ulama yang semasa dengannya di antaranya Abu Ubaid al-Qasem bin Sallam.

 [13]Yaqut al-Hamawiy: Mu’jam al-Udabaa 16/256, cet. Isa Babul Halabiy Cairo.

 [14]Buku al-Amtsal Assairah dan al-Gareb al-Musannaf adalah karangan Abu Ubaid yang berorientasi ke Sastra dan bahasa Arab. Sementara buku Fadhail al-Qur’an dan Annasikh wal-Mansukh adalah buku yang berwawasan Ulum al-Quran. Adapun buku Gareb al-Hadits, al-Iman, dan Mawaidz al-Anbiyaa, ketiga-tiganya adalah buku yang mengumpulkan hadits-hadits meskipun pembahasannya berbeda-beda, misalnya buku al-Iman adalah buku yang membahas tentang Akidah dan keimanan, sementara buku Gareb al-Hadits mencakup semua unsur meski yang yang diprioritaskan adalah masalah penafsiran kata-kata yang terasa susah untuk dipahami. Sementara buku al-Amwal adalah karangan Abu Ubaid  yang memberikan teori umum tentang perekonomian Islam.

 [15]Tarekh Bagdad 12/407.

 [16]Ahlu suffah adalah orang-orang sufi yang tidak mementingkan lagi kehidupan dunia sehingga pakaiannya sangat sederhana.

 [17]QS. Al-Mudatsir : 4 , lihat : Abu Ubaid : Gareb al-Hadits 1/347.

 [18]Maksudnya berasal dari Allah Swt. Karena al-Quran berasal dari Allah Swt. Begitu pula Hadits Rasulullah adalah manifestasi dari wahyu Allah Swt.

[19]Oleh karena itu Filosof Islam yang populer namanya di Barat seperti Ibn Rusdi menentang keras kalau ada yang mengatakan akal bisa berbeda dengan nash al-Qur’an dan Hadits, karena menurutnya al-Qur’an dan Hadits bersumber dari Allah swt. Begitupula akal yang sempurna juga adalah pemberian Allah swt. Maka mustahil antara dua kebenaran bisa bertolak belakang. Lihat Ibn Rusd: Fasl al-Maqal fimaa bainaal-Hikmah wa Assyariah. Hal. 31, Dar al-Maarif , Vol. II tanpa tahun.

 [20]Inkar Assunah adalah golongan yang mengingkari keabsahan hadits-hadits Rasulullah saw. Sehingga sumber yang benar-benar ia pegang hanyalah al-Quran semata, padahal al-Quran sendiri telah menegaskan bahwa Allahlah yang telah menurunkan al-Quran supaya djelaskan oleh Rasulullah saw. Lihat QS. Annahl ayat 44, dan ayat 64.

 [21]Hadits Mauquf adalah hadits yang dinisbahkan kepada para sahabat.

 [22]Hadits ini diriwatkan oleh Bukhari dari Anas. Lihat Saheh Bukhari kitab al-Iman bab jika kamu tobat dan mendirikan Shalat.

 [23]Lihat Abu Ubaid: al-Iman hal. 13

 [24]ibid.

Comments

BERITA TERBARU !!

Popular posts from this blog

BIL MA'TSUR ( TAFSIR AYAT DENGAN AYAT )

download TAFSIR AL-NASAFIY

cara atau Kaedah al-Jarh Wa al-Ta’dil Serta Aplikasinya

CARA MELAKUKAN TAKHRIJ HADIS

HADIS TARBAWIY DAN AKHLAK (BERKURANGNYA IMAN KARENA MAKSIAT)

kaedah 'ATAF - AL-'ATFU DALAM AL-QUR'AN

cara TAMBAHAN - kaedah ZIYADAH DALAM AL-QUR'AN

apa contoh MUKJIZAT AL-QUR'AN (Pengertian dan Pembagiannya)

cara melakukan MUNASABAH AYAT

QAWAIDH AL-TAHDIS (Pengertian , Ruang Lingkup dan Urgensinya )