Revisi Makalah;
MANHAJ IBN KATSI<>R DALAM
KITAB TAFSI<R AL-QUR’A<N AL-‘ADZI<M
Mata Kuliah Mana>hij al-Mufassiri>n
Semester III Konsentrasi Tafsir Hadis
Program Pascasarjana Tahun Akademik 2014/2015
Oleh:
ZAHARUDDIN
N I M: 80100213124
Dosen Pemandu :
Prof. Dr. Ahmad Abu Bakar, M.Ag
Dr. Firdaus, M.Ag
Program Pascasarjana (PPs)
Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar
2014/2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kitabullah (al-Qur’an) merupakan salah satu di antara dua kunci (di samping al-Sunnah) dan bekal kehidupan manusia yang mengantarkan mereka menuju gerbang kebahagiaan. Hal ini bukanlah sesuatu yang berlebihan bahkan menjadi sebuah kewajaran dan kemestian, sebab manusia ibarat sebuah perahu, sekuat dan secanggih apapun perahu tersebut bila tidak dinahkodai oleh orang yang profesional terkadang bahkan hampir dipastikan perahu tersebut tidak mampu mencapai dan bersandar di pulau tujuannya. Demikian pula al-Qur’an, diturunkan oleh Allah SWT. sebagai petunjuk yang dapat menuntun manusia menuju pelabuhan ridha Ilahi dan melindungi mereka dari berbagai macam bahaya ombak dan gelombang yang dihadapi.
Al-Qur’an lahir sebagaimana digambarkan oleh Allah SWT. :
... هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
Terjemahnya :
“Sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan bagi pentunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil)”.
Al-Qur’an adalah lautan yang tidak bertepi, kedalamannya tidak terbatas penuh dengan mutiara ilmu dan pelajaran yang memancarkan cahaya Ilahi menerangi kegelapan. Al-Qur’an mengajak kepada setiap pembacanya untuk menyelami kedalamannya guna mencari mencari intan mutiara yang tak ternilai harganya.
Akan tetapi, keterbatasan manusia terkadang ada yang tidak mampu menemukan dasar lautan al-Qur’an. Di sisi lain, manusia adalah makhluk sosial yang diantara kebutuhannya tidak dapat terpenuhi tanpa bantuan pihak lain. Manusia juga makhluk individu yang memiliki kepentingan beraneka ragam yang terkadang saling bertentangan, maka diperlukan pengaturan agar perbedaan tersebut tidak melahirkan percekcokan. Pengatur yang pantas mengatur adalah yang paling mengetahui tentang sifat dan kebutuhan manusia serta tidak memiliki kepentingan pribadi. Dan itu tak lain kecuali Allah swt..
Namun, karena manusia memiliki potensi kejiwaan dan kemampuan berpikir yang berbeda-beda, maka Allah di samping menghamparkan mutiara petunjuk berupa al-Qur’an juga memilih orang-orang tertentu untuk menerima dan menyampaikan informasi serta menjelaskan kandungan-kandungannya. Itulah sebabnya Rasulullah saw di samping sebagai seorang seorang Nabi juga merupakan mubayyin dan mufassir al-Qur’an. Begitu pula para ulama yang menjadi pewaris para nabi memiliki tugas dan kewajiban untuk mengungkapkan maksud firman Tuhan, menafsirkannya, mempelajari dan mengajarkannya.
Akan tetapi para ulama dalam menafsirkan al-Qur’an memiliki metodologi tersendiri. Hal ini disebabkan beberapa hal, salah satunya adalah perbedaan latar belakang ilmu pengetahuan mereka. Sehingga muncullah berbagai macam metodologi penafsiran.
Metode penafsiran yang digunakan oleh Ibn Katsir misalnya, sebuah metode penafsiran yang dikenal dengan istilah “tafsi>r bil ma’tsu>r” yaitu suatu cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan riwayat. Adapun manhaj tersebut secara terperinci, akan dipaparkan dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah.
Dari latar belakang yang sudah dipaparkan, maka pokok permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah bagaimana metodologi Ibn Katsir dalam menyusun kitab tafsirnya? Kemudia pokok masalah ini dirumus dalam sub masalah sebagai berikut ;
1. Bagaimana pendekatan dan corak tafisr Ibn Katsir \?
2. Bagaimana sumber dan metode tafsir Ibn Katsir ?
3. Bagaimana tekhnik interpretasi tafsir Ibn Katsir ?
4. Apa saja kelebihan dan keterbatasan kitab tafsir karya Ibn Katsir tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Ibn Katsir.
1. Nama dan Masa hidup Ibn Katsir.
Nama lengkap Ibn Katsir adalah Ima>duddin Abu al-Fida> Isma>’i>l Ibn ‘Umar> Ibn Katsir al-Bashri ad-Dimisyqi>. Dia lahir di kampung Majdi>l, bagian dari kota Bushra yang masih termasuk wilayah Damaskus. Ayahnya sendiri adalah penduduk Bushra sedang ibunya berasal dari Majdi>l.
Para sejarawan berbeda pendapat mengenai kapan tepatnya ibn Katsir dilahirkan, akan tetapi semua perbedaan tersebut hanya berkisar antara tahun 700 H dan 701 H. Hal ini dapat dilihat di antaranya dari komentar imam az-Zahaby dan Ibn Hajar bahwa Ibn Katsir dilahirkan tahun 700 H atau beberapa waktu setelahnya. Dan inilah pendapat yang rajih jika didasarkan pada biografi ayahnya.
Ibn Katsir hidup di tengah suasana keilmuwan yang tinggi, ayahnya Abu Hafshah ‘Umar Ibn Katsir merupakan cendikiawan yang faqih, mahir dalam ilmu bahasa dan menghafal banyak syair-syair Arab. Tidak mengherankan, jika Ibn Katsir pun sangat berkompeten dalam bidang itu. Ditambah lagi kondisi keilmuwan pada masanya yang sangat menggemari ilmu bahasa dan sastra.
Allah menganugerahkan Ibn katsir kecerdasan dan pemahaman yang luas. Sejak usia yang sangat muda, dia sudah menamatkan hafalan Qur’annya, membaca shahih muslim kepada Syekh Najm ad-Di>n al-Asyqala>ni> dalam sembilan pertemuan, dan menghafal berbagai kitab lainnya.
Mula-mula dia belajar dari saudaranya Abdul Wahab, selain itu dia juga menuntut berbagai macam ilmu seperti tafsir, hadis, fiqhi, nahwu, ushul dan sebagainya pada ulama-ulama besar di masanya. Bahkan karena kecerdasan dan wawasannya yang luas mengenai qira’at, dia kemudian hari dikenal sebagai salah satu qurra’ atau ahli qira’at.
Di antara guru-guru Ibn Katsir yang terkenal dan memberikan pengaruh kepadanya adalah : Burhan ad-Di>n ‘Abdul Mu’min Ibn Khalf ad-Dimya>ti> ( w.705 H ), ‘Abdullah az-Zu>bandi> an-Nawhyyi> (w.723 H ), Baha’ ad-Di>n al-Qa>sim Ibn ‘Asa>kir (w.723 H ), Kamal ad-Di>n Ibn az-Zamalka>ni> (w.727 ), Ibn Taimiyah (w.728 H ), Ibn ad-Dawa>lybi> al-Bagda>di> Muhammad Ibn Abu al-Muhsin al-Hanbali> ( w.728 H ), Abu Muhammad al-Qa>sim al-Barza>li> (w.739 H ), Jamal ad-Di>n Yu>suf al-Mizzi> (w.742 H ), Abu ‘Abdullah Syams ad-Di>n az-Zahabi> (w. 748 H ), Abu Bakr Ibn Ayyu>b Ibn al-Qayyim al-Jauziyah (w.751 H ) dan sebagainya.
Selanjutnya dalam masyarakat, Ibn Katsir senantiasa menjadi guru dan rujukan terhadap berbagai permasalahan dan bidang ilmu. Dia memberikan pelajaran di sekolah dan majlis-majlis ilmu . kepakarannya dalam bidang bidang sejarah, tafsir dan hadis menempatkannya sebagai Syaikh di Um al-Sha>leh setelah az-Dzahabi wafat. Tidak selang beberapa waktu, dia juga memimpin Da>r al-Hadi>ts al-Asyrafiyyah sepeninggal al-Subki.
Murid-murid Ibn Katsir yang terkenal diantaranya adalah : Abu al-Maha>sin ad-Dimasyqi>, masyhur dengan al-Husaini> (w.765), Badar ad-Di>n Ibn ‘Abdullah az-Zarkasyi> (w.794 H ), Zainuddi>n al-‘Ira>qi> (w.706), Syihab ad-Di>n Ahmad Ibn Muhammad ad-Dimasyqi>, masyhur dengan as-Sala>wy (w. 813 H ), Abu Zar’i> al-‘Ira>qi> ( w.762 H ), Muhammad Ibn ‘Ali Ibn al-Jazari> (w.833 H ).
Mengenai wafatnya, ada yang mengatakan bahwa Ibn Katsir wafat di umur 74 tahun, hari Kamis pertengahan Sya’ban, tanggal 26 tahun 774 H/ 1373 M. Sesuai wasiatnya, Dia dimakamkan di pekuburan Sufiyah di luar ba>b an-Nashr Damaskus.
2. Mazhab Aqidah dan Fiqihnya.
Dalam masalah Aqidah, Ibn Katsir berpaham salafi. Hal itu tampak dari sikap dan karya-karyanya, khususnya dalam bidang tafsir. Ibn Katsir menafsirkan ayat-ayat yang terkait dengan persoalan aqidah, nama dan sifat-sifat Allah bertolak pada ushu>l sittah sebagaimana pemahaman ahlus sunnah dan salafus shaleh. Hal ini tidak mengherankan, karena Ibn Katsir merupakan murid Syekh al-Islam Ibn Taimiyah yang juga sangat berpegang teguh pada aqidah salaf dan menolak bid’ah.
Adapun berkaitan dengan ranah fiqhi, Ibn Katsir bukanlah sosok yang senang bertaklid begitu saja, melainkan memiliki karakter tersendiri yang kuat. Dia merupakan salah satu ulama mujtahidin yang senantiasa melihat dan mendasarkan pendapatnya pada dalil-dalil. Selain itu, jika terdapat perbedaan pendapat diantara ulama, maka dia merajihkan diantara pendapat tersebut sesuai dengan dalil-dalil yang ada.
Ibn Katsir meski dalam tafsirnya tampak jelas bahwa dia berpegang pada mazhab Syafi’iyah, tetapi tidak menjadikan dia ta’assub pada mazhabnya. Ini bisa dibuktikan dengan perhatian dan pendapatnya yang tidak selalu mengedepankan pendapat mazhabnya, melainkan juga terkadang mengambil pendapat dari mazhab yang lain. Sebagai contoh, pendapat beliau tentang disyaratkannya nisab dalam pelaksanaan hukum potong tangan bagi pelaku pencurian.
3. Akhlak Ibn Katsir dan Apresiasi Ulama terhadapnya.
Ibn Katsir adalah tokoh yang terkenal adil,wara’, memiliki pemikiran yang cemerlang serta ilmu yang mendalam dalam berbagai bidang ilmu. Oleh karena itu, sangat wajar jika dia mendapat penghargaan dan tempat yang tinggi di hati para muridnya dan orang-orang yang semasa dengannya.
Mengenai Ibn Katsir, Imam az-Dzahabi dalam kitab Mu’jam mengatakan : “Seorang imam, mufti, pakar hadis. Ahli fiqih, spesialis hadis yang cermat dan mufassir yang kritis.”
Sedang Ibn Hubaib, salah satu muridnya mengungkapkan sosok ibn Katsir sebagai : “Pemimpin para ahli tafsir, menghimpun dan menulis buku. Fatwa-fatwa dan ucapannya banyak didengar hampir di seluruh pelosok. Terkenal dengan kecermatan dan tulisannya. Dia merupakan pakar sejarah, hadis dan tafsir.”
Syiha>b ad-Di>n Ibn H<aji, murid Ibn Katsir yang lain menyatakan, “Tidak ada seorang pun yang kami ketahui lebih memiliki kekuatan memori dengan matan-matan hadis, mengenali tokoh-tokohnya, menyatakan kesahihan dan ketidakshahihannya selain Ibn Katsir. Guru-gurunya mengenalnya dengan sosoknya yang demikian. Dia menguasai banyak tentang fiqih dan sejarah, jarang sekali lupa. Dia juga memiliki kemampuan memahami yang baik dan didukung dengan rasionalitas yang cerdas.”
Sedang mengenai kitab Tafsirnya, as-Suyuthi berkomentar , “Tidak ada karangan yang menandinginya.”
4. Karya-karya Ibn Katsir.
Ibn Katsir memiliki kontribusi besar terhadap dunia pengetahuan Islam, baik itu dalam bidang tafsir, sejarah ataupun hadis. karya-karyanya dikonsumsi banyak orang semasanya maupun sepeninggalnya.
Walau begitu, tidak semua karyanya bisa kita dapati langsung, melainkan sebagian saja, sebagian karyanya yang lain tidak diketahui keberadaannya dan adapula yang masih berupa manuskrip dan belum dicetak dengan baik.
Diantara karya-karya Ibn Katsir, sebagai berikut :
a. Tafsi>r al-Qur’a>n al-Adzhi>m.
b. Al-Bida>yah wa al-Niha>yah, termasuk dalam kitab rujukan sejarah yang utama. Dimulai dari awal penciptaan manusia sampai kepada penjelasan mengenai hari akhir dan tanda-tandanya.
c. Ikhtishar ulu>m al-Hadi>ts, yang merupakan ringkasan dari Muqaddimah Ibn Shala>h.
d. Al-Si>rah al-Nabawiyah.
e. Al-Si>rah al-Mukhtasarah, dicetak dengan nama al-Fushu>l Fi> Ikhtisha>r Si>rah al-Rasu>l.
f. Ja>mi’ al-Masa>nid Wa al-Suna>n al-Ha>di> li Aqwam Sunan, kitab yang menghimpun kutub as-Sittah, Musnad Imam Ahmad, Musnad Abu Bakr al-Bazza>r, Musnad Abu Ya’la al-Maushili dan Mu’jam al-Kabir li at-Tabra>ni>. Akan tetapi, karangan ini belum selesai dan masih berbentuk makhtuta>t.
g. Al-Takmi>l Fi> Ma’rifah al-Tsiqa>h wa al-Dha’fa’ wa al-Maja>hi>l, didalamnya Ibn Katsir mengumpulkan Tahzi>b al-Kama>l karya al-Mizzi dan Miza>n al-I’tidha>l karya al-Dzahabi> serta memberikan beberapa tambahan terkait permasalahan jarh wa ta’di>l.
h. Musna>d al-Syaikhaini, berisikan hadis dan riwayat Abu Bakr dan ‘Umar al-Faru>q.
i. Irsya>d al-Faqi>h ila Ma’rifah Adillah al-Tanbi>h, memuat hukum-hukum furu’ Syafi’iyyah.
j. Aha>dis al-Tauhi>d wa al-Rad ‘Ala al-Syirk.
k. Karangan-karangan Ibn Katsir lainnya yang berupa ajza’ dan risa>lah, kebanyakan berbicara mengenai tafsir dan hadis. Seperti Juz’un Jam’ahu Fi> Fadhl Yaum ‘Arafah, Juz’un Jam’ahu wa Afradahu Fi> Hukm al-Tasmiyah wa Hukm Tarkuha wa al-Kala>m Fi>ha> dan lain sebagainya.
B. Profil Kitab Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Adzhi>m.
1. Karakteristik Kitab Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Adzhim.
Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Adzhi>m karya Ibn Katsir merupakan salah satu kitab rujukan utama dalam bidang tafsir. Bahkan para ulama mendudukkannya di posisi kedua di antara kitab tafsir yang paling baik dan shahih setelah kitab tafsir karya al-Thabari>. Penilaian ini sebenarnya tidak terlepas dari manhaj yang digunakan Ibn Katsir dalam tafsir tersebut.
Sebagaimana Tafsir al-Thabari, Tafsir Ibn Katsir adalah tafsir yang menggunakan bentuk penafisran bil Ma’tsu>r, yaitu menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan riwayat. Sedang jika melihat metode pembahasannya, maka Tafsir Ibn Katsir termasuk kitab dengan metode tahli>li>.
Adapun karakteristik fisik kitab ini sebagai berikut :
a. Tafsir ini pertama kali dicetak di Mesir tahun 1302 H, akan tetapi masih sangat terbatas dari segi kualitasnya. Kemudian Sayyid Muhammad Rasyid Ridha menerbitkannya bersama tafsir al-Baghawi>, Ma’alim al-Tanzi>l dalam 6 jilid, dengan cetakan al-Mana>r pada tahun 1343-1347 H atas perintah Malik Abdul ‘Aziz.
b. Da>r al-Sya’ab selanjutnya mentahqiq dan mencetak Tafsir ini kedalam 8 jilid pada tahun 1390 H/1971 M. Tahqiq dilakukan oleh ‘Abdul Azi>z al-Ghanim, Muhammad Ahmad ‘A<syur dan Muhammad Ibrahim al-Banna’. Cetakan inilah yang kemudian dianggap paling baik. Di masa berikutnya, kitab Tafsir ini senantiasa mendapat perhatian dari banyak orang dan dicetak berulang kali.
c. Diantara Mukhtashar terbaik dari Tafsir Al-Qur’an al-‘Adzhim adalah ‘Umdah al-Tafsi>r ‘an al-Ha>fidz Ibn Katsi>r yang ditahqiq oleh Syekh Ahmad Syakir pada tahun 1376-1377 H/1956-1958 M dan diterbitkan Da>r al-Ma’arif Mesir dalam 5 jilid. Dikatakan terbaik karena kitab inilah yang dinilai paling sesuai dengan ruh tafsir Ibn Katsir sendiri, baik itu dari sisi lafadz, makna, tahqiq dan takhrijnya hingga memberikan informasi yang lebih bagi pembacanya.
2. Sumber Rujukan Tafsi>r Al-Qur’a>n Al’Adzhim.
Ibn Katsir dalam mengarang kitab tafsirnya senantiasa merujuk kepada kitab-kitab tafsir yang telah ada sebelumnya, khususnya tafsir-tafsir yang menggunakan riwayat dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini tidak terlepas dari kedalaman ilmu yang dimilikinya karena memang kondisi dan situasi serta perkembangan ilmu, bawaan, dan kecenderungan penafsir sangat berpengaruh pada cara berpikir dan berargumentasinya. Kitab tafsir yang menjadi rujukan Ibn Katsir diantaranya adalah :
a. Tafsir al-Imam Abi> Ja’far Muhammad Ibn Jari>r al-Thabari>, dari Kitab ini Ibn Katsir banyak menukil hadis, atsar, lughah, qira’at dan sebagainya.
b. Tafsir Ibn Abi Kha>tim, Kitab kedua yang menjadi rujukan utama Ibn Katsir mengarang tafsirnya, dari sini Ibn Katsir banyak menukil hadis dan kisah-kisah Isra’iliyat.
c. Tafsir al-Ha>fidz Abi> Bakr Ahmad Ibn Mu>sa Ibn Mardawi>h.
d. Ma’a>lim al-Tanzi>l karya al-Baghawi>.
e. Al-Kasyya>f karya al-Zamakhsyari>
f. Tafsir Ibn ‘Athiyah.
g. Tafsir al-Ra>zi>
h. Tafsir al-Qurthu>bi>
Selain dari kitab tafsir, Ibn Katsir juga merujuk kepada kitab –kitab lain seperti kitab hadis, fiqhi, aqidah, lughah, sejarah dan lain sebagainya. Di antara kitab-kitab tersebut adalah :
a. Kitab Hadis : Shahi>h Bukhari, shahi>h Muslim, Kutub al-Sittah, Shahi>h Ibn Khuzaimah dan lain sebagainya.
b. Kitab Lughah : al-Shahhah li al-Jauhari>, al-Za>hir li Ibn al-Anba>ri>.
c. Kitab Aqidah : al-Tazkirah bi al-Ahwa>l al-Mauti> wa Ahwa>l al-A<khirah li al-Qurthu>bi>. Kitab al-Rad ‘ala al-Jahmiyah li Imam Ahmad wa Sa’i>d al-Da>rimi>. Kitab al-I’tiqa>d li al-Baihaqi>.
d. Kitab Fiqih dan Ushul : al-Umm li al-Sya>fi’i>, al-Istizka>r li Ibn ‘Abd al-Barr.
e. Kitab Sirah : Sirah li Abi Ishaq, Maga>zi> li al-Wa>qidi>, al-Syifa>’ li al-Qa>dhi> al-Iya>dh .
f. Kitab Tarajum : Tarikh Dimasq li Abi ‘Asa>kir, al-Isti’a>b, Tarikh al-Bagda>di>.
g. Kitab pengetahuan umum lainnya : Kitab al-Zuhd karya Imam Ahmad, al-Ma’a>rif karya Ibn Qutaibah.
C. Metodologi Ibn Katsi>r dalam Tafsi>r Al-Qur’a>n Al-‘Adzhi>m.
Tafsir Ibn Katsir dinilai sebagai salah satu tafsir yang paling baik dalam bidang tafsir. Bahkan menempati posisi kedua terbaik setelah tafsir al-Thabari>. Hal ini tidak terlepas dari manhaj Ibn Katsir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an itu sendiri.
Adapun metodologi yang digunakan oleh Ibn Katsir secara umum bisa disimpulkan sebagai berikut :
1. Menafsirkan Al-Qur’an dengan ayat.
2. Menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah
3. Menafsirkan al-Qur’an dengan asba>b nuzu>l
4. Menafsirkan al-Qur’an dengan riwayat/perkataan sahabat dan tabi’in.
5. Menafsirkan al-Qur’an dengan pendapat para fuqaha>’ dan mujtahidi>n
6. Menafsirkan al-Qur’an dengan sejarah dan kisah isra’iliyya>t.
7. Menafsirkan al-Qur’an dengan memperhatikan sisi kebahasaannya.
Sedang secara terperincinya, bisa diuraikan sebagai berikut :
1. Menafsirkan al-Qur’an dengan ayat.
Cara penafsiran seperti inilah yang dinilai paling baik, karena layaknya sebuah kalam (perkataan), tidak ada yang paling mengetahui maksudnya kecuali yang mengeluarkan kalam tersebut. Sebab itulah, untuk mengetahui maksud dan tujuan ayat-ayat al-Qur’an sudah seharusnya merujuk pada ayat-ayat yang lain karena keduanya berasal dari satu sumber, yaitu Allah.
Selain itu diantara ayat-ayat Al-Qur’an banyak ditemui ayat yang bersifat umum, yang kemudian dijelaskan oleh ayat lain. menjelaskan mutlaq dan muqayyadnya, khas dan ‘amnya, na>sikh dan mansukhnya, menjelaskan ayat-ayat yang nampak bertentangan, sehingga jelas bahwa ayat-ayat dalam al-Qur’an terhindar dari pertentangan antara satu ayat dengan ayat lainnya.
Ibn Katsir dalam menguraikan sebuah ayat dan memberikan penafsiran terhadap ayat tersebut, senantiasa merujuk kepada ayat-ayat yang lain yang berkenaan dengan ayat yang ditafsirkan. Baik itu untuk menjelaskan, menguatkan atau memiliki hubungan lain. Hal ini bisa dilihat dalam tafsirnya, ketika menyebutkan sebuah ayat yang akan ditafsirkan, maka setelah itu biasanya akan ditemukan penjelasan ibn Katsir : (هذه كقوله تعالى كذا.....وكقوله كذا ......).
Lebih jelasnya, bisa dilihat dari contoh-contoh berikut :
Contoh menjelaskan yang mujmal dan mubayyan:
قوله تعالى ( مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلا يُجْزَى إِلا مِثْلَهَا وَهُمْ لا يُظْلَمُونَ )
وهذه الآية الكريمة مفصلة لما أجمل في الآية الأخرى، وهي قوله: ( مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ خَيْرٌ مِنْهَا )
قوله تعالى ( وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ )
هذا تحريم من الله عزّ وجل على المؤمنين أن يتزوّجوا المشركات من عبدة الأوثان. ثم إن كان عمومُها مرادًا، وأنَّه يدخل فيها كل مشركة من كتابية ووثنية، فقد خَص من ذلك نساء أهل الكتاب بقوله: ( وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ ) [المائدة: 5].
Contoh na>sikh dan mansukh:
قوله تعالى وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لأزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ فَإِنْ خَرَجْنَ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِي مَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ مِنْ مَعْرُوفٍ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
قال الأكثرون: هذه الآية منسوخة بالتي قبلها وهي قوله:( يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا )
Selain dari yang disebutkan diatas, ada beberapa hal yang tampak dari manhaj Ibn Katsir ketika menafsirkan ayat al-Qur’an, yaitu :
a. Ketika menafsirkan sebuah ayat, Ibn Katsir terkadang tidak sekedar menyebutkan ayat-ayat lain yang berkaitan dengan itu, tetapi juga memberikan penjelasan mengenai ayat-ayat yang disebutkan. Contohnya ketika menafsirkan firman Allah QS. Al-Baqarah/02 : 108.
Selain menafsirkan ayat diatas dengan ayat 101 dari surah al-Ma’idah, Ibn Katsir juga menjelaskan :
(( اي وان تسالوا عن تفصيلها بعد نزولها تبين لكم ولا تسالوا عن الشيء قبل كونه فلعله ان يحرم من اجل تلك المسالة ,ولهذا جاء في الصحيح : ((ان اعظم المسلمين جرما من سال عن الشيء لم يحرم فحرم من اجل مسالثه )).
b. Terkadang Ibn Katsir juga mendatangkan ayat-ayat penjelas bagi ayat yang menjadi penafsiran tersebut.
c. Menyebutkan semua penjelasan yang dikandung oleh ayat yang ingin ditafsirkan dengan menguraikan ayat-ayat lain yang terkait, kemudian mengambil kesimpulan dari semua penjelasan tersebut.
d. Dalam menafsirkan sebuah ayat, Ibn Katsir terkadang menyebutkan maudhu’ (pokok pembahasan) ayat tersebut dan menyebutkan ayat-ayat lain yang juga membahas masalah yang sama.
e. Memberikan penjelasan mengenai hal-hal yang sering dibandingkan atau disebutkan beriringan didalam Al-Qur’an. Seperti targhi>b wa tarhi>b dan lain sebagainya.
2. Menafsirkan al-Qur’an dengan Sunnah.
Sebagaimana dengan al-Qur’an, hadis juga ada yang berfungsi sebagai tafsir, takhsi>s bagi yang ‘am, taqyi>d dan ta’kid terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Maka, dalam menafsirkan sebuah ayat Ibn Katsir juga senantiasa menyebutkan hadis-hadis yang berkenaan dengan itu sehingga jelas maksudnya.
Adapun aspek-aspek yang diperhatikan ibn Katsi>r dalam penafsiran al-Qur’an dengan sunnah diantaranya adalah :
a. aspek sanad dan matan hadis. Dari aspek ini, Ibn Katsir menjelaskan kualitas hadis yang disebutkan serta memberikan komentarnya, tidak terbatas pada itu saja, tetapi dia juga menjelaskan keadaan para rawi yang meriwayatkan hadis tersebut dari segi jarh dan ta’dilnya. Meski terkadang dia juga tidak berkomentar, jika tidak mengetahui perihal rawi yang dimaksud.
b. Menyebutkan Mukharrij hadis-hadis tersebut dari kitab-kitab shahi>h, sunan dan masa>nid.
c. Memperingatkan dan menjelaskan kesalahan dan iltibas yang terjadi dalam sanad dan matan hadis.
d. Menerangkan bahwa tidak adanya pertentangan antara ayat al-Qur’an dan sunnah dan juga antara hadis yang satu dengan hadis yang lain.
e. Menerangkan makna yang terkandung dalam hadis dan kehujjahannya.
3. Menafsirkan al-Qur’an dengan asba>b al-nuzu>l
Ibn Katsir dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an juga menguraikan asba>b nuzulnya. Tidak hanya sebatas itu, tapi dia juga membandingkan antara riwayat-riwayat yang ada dari segi sanad dan matannya, kemudian menjelaskan riwayat yang rajih beserta sebabnya.
4. Menafsirkan Al-Qur’an dengan perkataan para sahabat dan tabi’in.
Ibn Katsir dalam hal ini menjelaskan kualitas riwayat yang bersumber dari sahabat dan tabi’in, mengompromikan antara riwayat tersebut dengan Al-Qur’an, hadis serta riwayat lainnya, merajihkan riwayat yang sesuai dengan al-Qur’an dan sunnah. Dan tidak jarang memberikan komentar terhadap riwayat/pendapat yang ada.
5. Menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat para fuqaha dan mujtahidin.
a. Dalam menjelaskan sebuah ayat, Ibn Katsir menguraikan berbagai pendapat dari para fuqaha dan mujtahidin, selain itu, dia juga memberikan perhatian yang besar terhadap pendapat imam mazhab yang empat, khususnya pendapat dari mazhab Syafi’i.
Meski begitu, Ibn Katsir tidak ta’assub kepada mazhab yang dipegangnya dan tetap membandingkan pendapat-pendapat yang ada kemudian merajihkan pendapat yang dianggapnya kuat dan sesuai.
hal ini bisa dilihat jelas dalam tafsirnya, terkadang Ibn Katsir tidak selalu mengambil pendapat yang dianut oleh mazhab Syafi’i, seperti dalam masalah syarat nisab yang mengharuskan hukum potong tangan bagi orang yang mencuri. Dalam masalah ini, Ibn Katsir merajihkan pendapat jumhur dan tidak mengambil pendapat mazhab Syafi’i.
ketidakfanatikannya juga terlihat ketika membahas suatu ayat hukum, maka Ibn Katsir menyebutkan semua pendapat yang ada berikut dengan dalil-dalil yang menjadi landasan hukumnya.
b. Terkadang jika membahas sebuah ayat yang mengandung hukum, Ibn Katsir tidak terlalu banyak berkomentar, jika dia sudah memberikan penjelasan yang memadai pada ayat lain yang juga membahas permasalahan yang sama.
c. Terkadang jika membahas ayat-ayat yang berkenaan dengan hukum ushul, Ibn Katsir juga menyebutkan kaidah-kaidah fiqih yang terkait.
d. Ibn Katsir tidak banyak memberikan penjelasan terhadap ayat-ayat yang berhubungan dengan ilmu eksakta, astronomi dan sebagainya.
e. Ibn Katsir menerima Ijtihad dan pendapat dari para fuqaha yang sejalan dengan apa yang ada didalam Al-Qur’an dan sunnah.
6. Menafsirkan Al-Qur’an dengan Sejarah dan kisah-kisah Israiliyya>t.
Tidak jarang Ibn Katsir menguraikan sejarah dan peristiwa yang terjadi ketika menafsirkan sebuah ayat yang berbicara tentang peperangan dan sebuah kejadian, dalam hal ini dia merujuk kepada kitab-kitab hadis, magazi> (peperangan) dan sejarah. Setelah itu, Ibn Katsir juga mentahqiq kisah-kisah tersebut dan merajihkan kisah yang memiliki landasan kuat.
Begitu pula dengan kisah-kisah Israiliyyat, Ibn Katsir dalam tafsirnya banyak menyebutkan kisah-kisah tersebut, merujuk kepada kitab-kitab tafsir sebelumnya. Hanya saja, Ibn Katsir dalam menukilkannya tidak sebatas menyebutkannya, tetapi juga memberikan penjelasan dan menghukumi kisah-kisah tersebut dari segi diterima tidaknya.
وقد روي عن بعض السلف أنهم قالوا ( ق ) : جبل محيط بجميع الأرض، يقال له جبل قاف. وكأن هذا -والله أعلم-من خرافات بني إسرائيل التي أخذها عنهم بعض الناس، لما رأى من جواز الرواية عنهم فيما لا يصدق ولا يكذب. وعندي أن هذا وأمثاله وأشباهه من اختلاق بعض زنادقتهم، يلبسون به على الناس أمر دينهم، كما افترى في هذه الأمة -مع جلالة قدر علمائها وحفاظها وأئمتها-أحاديث عن النبي صلى الله عليه وسلم وما بالعهد من قدم، فكيف بأمة بني إسرائيل مع طول المدى، وقلة الحفاظ النقاد فيهم، وشربهم الخمور ، وتحريف علمائهم الكلم عن مواضعه، وتبديل كتب الله وآياته! وإنما أباح الشارع الرواية عنهم في قوله: "وحدثوا عن بني إسرائيل، ولا حرج" فيما قد يجوزه العقل، فأما فيما تُحيله العقول ويحكم عليه بالبطلان، ويغلب على الظنون كذبه، فليس من هذا القبيل -والله أعلم.
7. Menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan bahasa.
Dalam menafsirkan Al-Qur’an, Ibn Katsir juga memakai pendekatan bahasa, hal ini bisa dilihat dari beberapa aspek :
a. Tidak jarang dia merujuk kepada syair-syair dan peribahasa Arab serta menjelaskan pendapat para pakar bahasa.
b. Menjelaskan kosakata dan makna ayat secara umum berdasar pada aspek bahasanya.
c. Menjelaskan qira>’at-qira>’at yang terdapat dalam kitab tafsirnya dengan menunjukkan qira>’at yang benar, masyhur serta menngompromikan antara qira>’at yang satu dengan yang lainnya
d. Memberikan perhatian kepada aspek bahasa yang lain seperti, nahwu, sharf, balaghah dan lainnya.
D. Kelebihan dan Keterbatasan Tafsi>r Al-Qur’a>n al-‘Adzhim karya Ibn Katsir.
Pada dasarnya, kelebihan Tafsi>r Ibn Katsir sudah bisa disimpulkan dari metodologi yang digunakannya dalam menafsirkan Al-Qur’an. Akan tetapi, tidak ada salahnya jika penulis menyebutkannya kembali. Diantara kelebihan dan keistimewaan tersebut adalah :
1. Memilih (menggunakan) metode yang baik dalam menafsirkan al-Qur’an, yaitu dengan menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an, dengan sunnah Nabi saw., perkataan para sahabat dan tabi’in. (bil ma’tsu>r).
2. Perhatiannya terhadap bahasa dan kaidah-kaedahnya yang merupakan dasar yang paling penting dalam menafsirkan al-Qur’an.
3. Merujuk pada pendapat al-Salaf al-S{a>lih}, ahlu al-Sunnah wa al-Jama>’ah, dalam mengomentari ayat-ayat yang berkaitan aqidah, asma>’ ada al-s}ifa>t.
4. Menyebutkan sanad-sanad hadis dan mengkritisinya serta menjelaskan akan ke s}ah}ih}an dan ke d}a’ifannya. Ini dikarenakan kepakarannya dalam bidang hadis sendiri.
5. Menyebutkan macam-macam qira>at dan asba>b nuzulnya ayat serta merajihkan antara riwayat tersebut.
6. Menjelaskan perkataan dan pendapat para mufassir serta merajihkan diantara pendapat tersebut.
7. Perhatiannya yang besar terhadap hukum ushul dan kaidah fiqhi, sikapnya dalam menyikapi perbedaan pendapat dalam masalah hukum, mentarjih pendapat-pendapat tersebut dan ketidakfanatikannya terhadap satu mazhab.
8. Ketegasannya dalam menyikapi kisah-kisah israiliyyat dan menjelaskan pendapatnya berkenaan dengan itu. Sekalipun ketegasan yang dimaksud itu tidak secara menyeluruh.
9. Uslub yang digunakan oleh Ibn Katsir dalam tafsirnya mudah dipahami dan senantiasa dibarengi d engan contoh dan ibarat yang sesuai.
10. Sikap amanahnya dalam menukil setiap riwayat dan pendapat dengan menyebutkan sumber dari setiap nukilan yang disampaikan.
Dari sekian banyak kelebihan yang dimiliki tafsir Ibn Kasir bukan berarti ia luput dari keterbatasan. Sekalipun keterbatasan yang dimaksud bisa saja menjadi salah satu karakter dari kitab tafsir tersebut sekaligus khazanah kelimuan bagi generasi berikutnya. Di antara keterbatasan yang dimaksud, yaitu
1. Masih terdapat kisah-kisah israiliyyat yang tidak berlandaskan pada al-Qur’an dan hadis serta bertolak belakang dengan akal, sehingga terkesan seperti khayalan-khayalan dan cerita-cerita masa lampau.
2. Banyaknya pendapat-pendapat yang diutarakan dalam masalah fiqhiyyah, terkadang tidak menyebutkan pernyataan para mufassir yang menjadi rujukan kitab tafsirnya, hanya sekedar mengindikasikan.
3. Terkadang juga dalam menafsirkan beberapa ayat tidak berlandaskan pada rujukan yang jelas.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan berbagai macam keterangan di atas yang berbicara tentang Ibn Kasir dan metodologi yang dipergunakan dalam menyusun kitab tafsirnya maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Ibn Kasir memiliki nama lengkap Ima>duddin Abu al-Fida> Isma>’i>l Ibn ‘Umar> Ibn Katsi>r al-Bashri ad-Dimisyqi>. Ia lahir sebagai seorang ulama yang terkenal dalam ilmu tafsir, hadis, sejarah dan fiqih. Keluasan ilmunya dalam berbagai bidang itu dapat dilihat pada beberapa karyanya yang sekali merupakan bukti kepakarannya dalam keempat bidang tersebut. Dengan keuletan dan keluasan ilmunya sehingga Ibn Kasir mencapai kedudukan tinggi dalam bidang keilmuan dan ia pun mendapat banyak pujian dari para ulama dan cendekiawan.
2. Tafsir Ibn Katsir adalah tafsir yang menggunakan bentuk penafisran bil Ma’tsu>r, yaitu menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan riwayat. Sedang jika melihat metode pembahasannya, maka Tafsir Ibn Katsir termasuk kitab dengan metode tahli>li>. Dan secara umum metodologi yang dipergunakan Ibn Kasir dalam tafsirnya yaitu Menafsirkan Al-Qur’an dengan al-Qur’an, menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah, menafsirkan al-Qur’an dengan asba>b nuzu>l, menafsirkan al-Qur’an dengan riwayat/perkataan sahabat dan tabi’in, menafsirkan al-Qur’an dengan pendapat para fuqaha>’ dan mujtahidi>n, menafsirkan al-Qur’an dengan sejarah dan kisah isra’iliyya>t, menafsirkan al-Qur’an dengan memperhatikan sisi kebahasaannya.
3. Tafsir Ibn Kasir merupakan salah satu warisan intelektual keislaman yang menjadi rujukan para pengkaji dan peneliti tafsir. Keistimewaan dan kelebihan tafsir ini tercermin lewat metodologinya dalam menafsirkan al-Qur’an. Karena metodologi ini pula, tafsir ini digelar sebagai tafsir terbaik setelah tafsir al-Thabari. Meskipun demikian, tafsir ini sebagai sebuah karya, tidak terlepas pula dari keterbatasan-keterbatasan.
B. Implikasi
Cara dan metode yang telah ditempuh para mufassir pada dasarnya menjadi pedoman bagi calon-calon mufassir yang datang kemudian. Sehingga dengan mempelajari dan mengetahuinya, setidaknya memberikan kontroling kepada para pengkaji al-Qur’an agar tidak terjebak dalam pemahaman yang keliru serta menjadi tolak ukur untuk mengevaluasi diri.
Sebagai sebuah implikasi atas urgensi mengetahui manhaj al-mufassiri>n adalah seorang pengkaji al-Qur’an hendaknya menjadikan manhaj tersebut sebagai petunjuk dan pedoman sehingga misi keuniversalan al-Qur’an tetap terpelihara. Dan yang lebih penting etika serta kewibawaan sebagai pengkaji al-Qur’an tetap dijaga sehingga al-Qur’an senantiasa indah, bukan sebatas teori tapi praktek pun demikian.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Comments
Post a Comment