CAT :
MATERI INI TIDAK DI LENGKAPI REFERENSI FOOT NOTE DAN DAFTAR PUSTAKA
SILAHKAN DOWNLOAD MATERI LENGKAPNYA DI SITUS BARU KAMI
BAB II
SEGI-SEGI
KEMUKJIZATAN AL-QUR’AN
Sebagaimana
pada pertemuan yag lalu bahwa mukjizat Kata ‘ijaz berasal dari kata a’jaza
“melemahkan” atau “menjadikan tidak mampu
atau “menetapkan kelemahan”.
Terminology menurut Manna’ Al-Qatthan “Sesuatu hal luar biasa disertai
tantangan dan selamat dari perlawanan”
dan Quraish
Shihab “Suatu peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seorang yang
mengaku Nabi, sebaga bukti
kenabiannya yang di tantang orang banyak namun mereka tidak mampu melawannya”.
Defenisi yang
dikemukakan Ulama di atas, secara substansial tidak terdapat perbedaan bahkan
dapat di tarik suatu pemahaman bahwa mukjizat adalah hal luar biasa yang
menjadi salah satu cirri dari mukjizat yang tak terkalahkan. Namun, disisi mana
kemukjizatan tersebut dapat dilihat ?, olehnya itu, di antara kemukjizatan itu
dapat dilihat di Kemukjizatan Al-Qur’an dari segi kebahasaan, Kemukjizatan
Al-Qur’an Dari Segi Kandungan Pemberitaannya, Kemukjizatan Al-Qur’an Dari Segi
Kesempurnaan Tasyri’, Kemu’jizatan Al-Qur’an Dari Segi Isyarat
Keilmuan, dan lain-lain. Pada pertemuan kali ini, pembahasan penulis hanya
terbatas di sisi bahasa, balaghah dan isi kandunganya.
A. Kemukjizatan
Al-Qur’an dari Segi Kebahasaan ’Fashahah dan Balaghahnya’
Menurut para penulis Tradisional
1.
Gaya Bahasa
Gaya bahasa Al-Qur’an membuat
orang Arab pada saat itu merasa kagum dan terpesona, bukan saja orang-orang
mukmin, tetapi juga bagi orang-orang kafir. Kehalusan ungkapan bahasanya
membuat banyak diantara mereka masuk Islam. Bahkan, Umar bin Khattab pun yang
mulanya dikenal sebagai orang yang paling memusuhi nabi Muhammad SAW, dan
bahkan berusaha membunuhnya, memutuskan masuk Islam dan beriman pada kerasulan
Muhammad hanya karena membaca petikan ayat-ayat Al-Qur-an. Susunan Al-Qur-an
tidak dapat disamakan oleh karya sebaik apa pun.
Bahasa atau kalimat-kalimat al-qur’an
adalah kalimat –kalimat yang menakjubkan, yang berbeda sekali dengan
kalimat-kalimat bahasa Arab. Ia mampu mengeluarkan sesuatu yang abstrak kepada
fenomena yang dapat dirasakan sehingga didalamnya dapat dirasakan ruh dinamika.
Adapun huruf tidak lain hanya symbol makna-makna, sementara lafazh memiliki
petunjuk-petunjuk etimologis yang berkaitan dengan makna-makna tersebut.
Menuangkan makna-makna yang abstrak tersebut kepada batin seseorang dan
kepada hal-hal yang biasa dirasakan (al-mabsusat) yang bergerak didalam
imajinasi dan perasaan, bukan hal yang mudah dilakukan
Dalam hal ini susunan
bahasa yang dipergunakan Al-Qur’an berbeda dengan susunan
arab. Susunan gaya bahasa dalam Al - Qur’an tidak dapat disamakan
dengan apapun. Al-Qur’an bukanlah susunan syair dan prosa. Ini dibuktikan oleh
tokoh-tokoh sastra arab dan ahli pidato seperti Walid Bin Mughirah, Utsbah ibnu
rabi’ah dan sastrawan terkenal lainnya”. Akan
tetapi dengan turunnya Al-Qur’an diiringi gaya bahasa yang unik dan menawan
membuat mereka terpukau.
Contohnya kisah Walid Mughirah yang
datang kepada nabi Muhammad Saw lalu ia berkata bahwa ucapan Muhammad Saw
begitu indah dan ia tersentuh. Kemudian ia mendatangi kaumnya Bani Makhzum lalu
berkata kepada mereka “demi Allah Ketika aku mendatangi
Muhammad aku mendengar perkataan yang bukan perkataan dari manusia
dan jin, kata – katanya begitu manis dan indah padahal Walid adalah seorang
sastrawan terkenal dikalangan kaumnya.
Peristiwa ini memberikan gambaran bahwa
bukan tidak ada bentuk perlawanan yang dilakukan orang arab. Akan tetapi karena
memang bahasa Al –Qur’an itu begitu tinggi sehingga mereka tidak mampu
menandinginya lebih lanjut AL-baqillani menjelaskan bahwa salah satu
kemukjizata Al-Qur’an yang utama terletak dari keindahan dan susunan kalimatnya
yang jauh berbeda dengan system da tata urutannya yang jauh lebih umum dan di
kenal luas di kalangan para sastrawan arab.
Susunan bahasa dalam al – Quran tidak
bisa disamai oleh apapun. Al – Quran bukan susunan syair dan bukan pula susunan
prosa. Sejarah telah menyaksikan bahwa bangsa Arab pada saat turunnya al –
Quran telah mencapai tingkat yang belum pernah dicapai oleh bangsa satu pun
yang ada didunia ini, baik sebelum dan sesudah mereka dalam bidang kefasihan
bahasa. Mereka juga telah merambah jalan yang belum pernah diinjak orang lain
dalam kesempurnaan menyampaikan penjelasan, keserasiandalam menyusun kata –
kata, serta kelancaran logika.
Oleh karena bangsa Arab telah mencapai
taraf yang begitu jauh dalam bahasa dan seni satra, karena sebab itulah al –
Quran menantang mereka. Dan walaupun sebenarnya mereka telah mengetahui
keunikan dan keistimewaan al – Quran namun sebagian dari mereka tidak dapat
menerima al – Quran karena pesan pesan yang dikandungnya merupakan sesuatu yang
baru.
Berdsarkan sifatnya, mukjizat
(Al-Qur`an) yang diberikan kepada nabi Muhammad SAW. sangatlah berbeda dengan
mukjizat-mukjizat yang diberikan kepada nabi-nabi terdahulu. Jika para nabi
sebelumnya bersifat Hissiy-Matrial sedangkan Al-Qur`an bersifat maknawy /
immateri. Perbedaan tersebut bertolak pada dua hal mendasar yaitu pertama,
para nabi sebelum Muhammad SAW. ditugaskan pada masyarakat dan masa tertentu.
Oleh karenanya mukjizat tersebut hanya sementara. Sedangkan Al-Qur`an tidak
terbatas pada masyrakat dan masa tertentu sehingga berlaku sepanjang
masa. Kedua, secara historis-sosiologis dalam pemikirannya manusia
mengalami perkembangan. Auguste Comte(1798-1857) –sebagaimana dikutip oleh
Quraish Shihab- ia berpendapat bahwa pikiran manusia dalam perkembangannya
mengalami tiga fase. Pertama Fase keagamaan, dikarenakan keterbatasan
pengetahuan manusia ia mengembalikan penafsiran semua gejala yang terjadi pada
kekuatan Tuhan atau dewa yang diciptakan dari benaknya. Kedua fase metafisika,
yaitu manusia berusaha menafsirkan gejala yang ada dengan mengembalikan pada
sumber dasar atau awal kejadiannya. Ketiga fase ilmiah, dimana manusia dalam
menafsirkan gejala atau fenomena berdasarkan pengamatan secara teliti dan
eksperimen sehingga didapatkan hukum-hukum yang mengatur fenomena tersebut. Posisi
Al-Qur`an sebagai mukjizat adalah pada fase ketiga dimana ditengarahi bahwa
potensi pikir-rasa manusia sudah luar biasa sehingga bersifat universal dan
eternal.
Demikian tidak heran jika al-Quran
menantang mereka sambil menugaskan Nabi Muhammad Saw. untuk menyampaikan
ketidak mampuan siapapun untuk menyusun semacam al-Quran.
قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ
عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآَنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ
بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا (88) [الإسراء/88]
Katakan (sampaikanlah), “ seandainya
manusia dan jin berhimpun untuk menyusun semacam al – Quran ini, mereka tidak
akan mampu melakukannya, walaupun mereka saling membantu” . ( QS al-Isra/17 : 88 )
Dari sini kita dapat berkata bahwa
keunikan dan keistimewaan al – Quran dari segi bahasa merupakan kemukjizatan
utama dan pertama yang ditujukan kepada masyarakat Arab yang dihadapi al –
Quran lima belas abad yang lalu.
Jika pada pertemuan yang lalu sering
ditanyakan bahwa di mana letak kelebihan teks al-Qur’an itu, tulisan, bahasa
dan kosa katanya sama saja dengan bahasa orang Arab ?, Quraish shihab
berpendapat bahwa sebenarnya aspek kebahasaan ini lebih terasa bagi
orang-orang yg menguasai bahasa arab sebab sebelum orang lain
terpesona dengan keunikan atau kemukjizatan pesan kandungan Al-Qur’an terlebih
dahulu dia akan terpuaku oleh keberadaan susunan kata dan kalimatnya yang
mengandung :
a)
Nada
dan Langgamnya
Walaupun
Al-Qur’an bukan berbentuk puisi atau syair namun apabila orang
mendengarnya maka hal pertama yang terasa di telinga nada dan langgamnya.
b)
Singkat
dan Padat
Tidak
mudah menyusun kalimat yang singkat dan sarat makna akan tetapi Al-Qur’an
menghadirkannya ia memiliki keistimewaan dari segi kata dan kalimat yang sangat
singkat dan padat, dapat menampung sekian banyak makna dengan penafsira yang
bermacam – macam bentuk penafsiran .
c)
Memuaskan
para cendikiawan dan orang awam
Keberada Al-qur’an mampu
dipahami oleh semua tingkat manusia. Ketika seorang awam memahami Al-Qur’an, ia
dapat memahami sesuai tingkata dan keterbatasan kemampuannya. Kalau dipahami
oleh seseorang yang mempunyai tingkat intelektual yang tinggi, ia pun akan
memahami sesuai dengan kecerdasannya. Berbeda dengan karya lmiah dan artikel,
disaat dibaca oleh seseorang boleh jadi ia menilainya sangat dangkal
sehingga tidak sesuai dengan selera penulis dan ilmuan, bisa juga sebaliknya
sehingga ia tidak bisa dikonsumsi oleh semua orang.
d)
Memuaskan
Akal Dan Jiwa
Allah
Swt menganugrahkan kepada manusia daya piker dan rasa
atau akal dan qalbu. Akal mendorong seseorang untuk memberikan
argumentasi guna mendukung pandangannya. Sementara qalbu mengantarkannya
mengekspresikan keindahan dan mengembangkan imajinasinya. Biasanya dalam bahasa, sulit untuk memuaskan keduanya” Tanpa
mengenyampingkan yang lain salah satu diantaranya serta dirasakan secara
seimbang. Untuk memerintahkan sesuatu Al-qur’an menggunakan aneka gaya, satu
kali dengan perintah tegas bdi kesempatan lain dengan mengatakan suatu
kewajiban.
e)
Kindahan
Dan Ketetapan Maknannya
Tidak
mudah menjelaskankeindraan bahasa Al-Quar’an bagi yang tidak
memiliki rasa bahasa arab atau pengetahuan tentang tata bahasa”.
f)
Keseimbangan
Redaksi Al-qur’an
Menurut
Abdul al –Razaq Naufal, Al-Qur’an memiliki kesinambungan jumlah kata dengan
antonimnya, sinonimnya, akibatnya, penyebabnya dan keseimbangan khusus”.
·
Keseimbangan
jumlah kata dengan kata antonimnya
·
Keseimbangan kata
jumlah kata dengan kata sinonimnya
·
Keseimbangan
jumlah antara suatu kata dengan kata lain yang menunjukkan pada akibatnya.
·
Keseimbangan
jumlah kata dengan kata penyebabnya
·
Keseimbangan Yang
Bersifat Khusus
2.
Susunan kalimat
Dalam Al-qur’an , misalnya banyak ayat
yang mengandung tasybih (penyerupaan) yang disusun dalam bentuk yang sangat
indah lagi sangat mempesona, Jauh lebih indah daripada apa yang dibuat oleh
para penyair dan sastrawan .Dapat dilihat dalam contoh QS al-Qa>ri’ah/101
: 5, Allah berfirman:
وَتَكُونُ الْجِبَالُ
كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوشِ (5) [القارعة/5]
“Dan
gunung-gunung adalah seperti bulu yang dihambur-hemburkan“
Bulu yang dihambur-hamburkan ini
sebagai gambaran dari gunung gunung yang telah hancur lebur berserakan
bagian-bagiannya.
Kajian
mengenai Style Al-Qur`an, Shihabuddin menjelaskan dalam bukunya
Stilistika Al-Qur`an, bahwa pemilihan huruf dalam Al-Qur`an dan penggabungannya
antara konsonan dan vocal sangat serasi sehingga memudahkan dalam
pengucapannya. Lebih lanjut –dengan mengutip Az-Zarqoni- keserasian tersebut
adalah tata bunyi harakah, sukun, mad dan ghunnah(nasal). Dari paduan ini
bacaan Al-Qur`an akan menyerupai suatu alunan musik atau irama lagu yang
mengagumkan. Perpindahan dari satu nada ke nada yang lain sangat bervariasi
sehingga warna musik yang ditimbulkanpun beragam. Keserasian akhir ayat
melebihi keindahan puisi, hal ini dikarenakan Al-Qur`an mempunyai purwakanti
beragam sehingga tidak menjemukan. Misalnya dalam surat Al-Kahfi(18:
9-16) yang diakhiri vocal “a” dan diiringi konsonan yang berfariasi, :
أَمْ
حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَابَ الْكَهْفِ وَالرَّقِيمِ كَانُوا مِنْ آَيَاتِنَا عَجَبًا
(9) إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوا رَبَّنَا آَتِنَا مِنْ لَدُنْكَ
رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا (10) فَضَرَبْنَا عَلَى آَذَانِهِمْ
فِي الْكَهْفِ سِنِينَ عَدَدًا (11) ثُمَّ بَعَثْنَاهُمْ لِنَعْلَمَ أَيُّ الْحِزْبَيْنِ
أَحْصَى لِمَا لَبِثُوا أَمَدًا (12) نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُمْ بِالْحَقِّ
إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آَمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى (13) وَرَبَطْنَا عَلَى
قُلُوبِهِمْ إِذْ قَامُوا فَقَالُوا رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَنْ
نَدْعُوَ مِنْ دُونِهِ إِلَهًا لَقَدْ قُلْنَا إِذًا شَطَطًا (14) ………
Sehingga tak aneh kalau mereka
(masyarakat Arab) terenyuh dan mengira Muhammad berpuisi. Namun Walid
Al-mughiroh membantah karena berbeda dengan kaidah-kaidah puisi yang ada, lalu
ia mengira ucapan Muhammad adalah sihir karena mirip dengan keindahan bunyi
sihir (mantra) yang prosais dan puitis. Sebagaimana pula dilontarkan oleh
Montgomery Watt dalam bukunya “bell’s Introduction to the Qoran” bahwa style Quran
adalah Soothsayer Utterance (mantera tukang tenung),
karena gaya itu sangat tipis dengan ganyanya tukang tenung, penyair
dan orang gila.
Terkait dengan nada dan lagam bahasa
ini, Quraish Shihab mngutip pendapat Marmaduke -cendikiawan Inggris- ia
mengatakan bahwa Al-Qur`an mempunyai simponi yang tidak ada taranya dimana
setiap nada-nadanya bisa menggerakkan manusia untuk menangis dan bersuka cita.
Misalnya dalam surat An-Naazi’at ayat 1-5. Kemudian dilanjutkan
dengan lagam yang berbeda ayat 6-14, yang ternyata perpaduan lagam ini dapat
mempengaruhi psikologis seseorang.
Menurut para penulis Modern
Sebuah karya tulis yang berjudul kosa kata asing dalam al-Qur’an
yang ditulis Oleh Nasir Dimyati yang membahas tentang salah satu persoalan yang
sampai sekarang masih diperdebatkan oleh para ahli bahasa dan sastra Arab serta
mufasir al-Qur’an adalah apakah kosakata serapan Arab dari bahasa asing dipakai
dalam al-Qur’an atau tidak. Sebagaimana dalam kutipan pembahasan selanjutnya.
Para ahli bahasa Arab memaklumi bahwa jika al-Qur’an tidak turun maka
bahasa Arab akan hancur atau minimal kehilangan keasliannya. Namun, salah satu
persoalan yang sampai sekarang masih diperdebatkan oleh para ahli bahasa dan
sastra Arab serta mufasir al-Qur’an adalah apakah kosakata serapan Arab dari
bahasa asing dipakai dalam al-Qur’an atau tidak? Dengan kata lain, apakah semua
kata yang digunakan dalam al-Qur’an adalah Arab asli atau ada juga kata-kata
yang telah melalui proses pengaraban?
Semula manusia mempelajari bahasa lisan untuk berkomunikasi dengan sesama
kaumnya, kemudian ia mempelajari bahasa lain agar dapat menjalin interaksi
antar bangsa. Dan saat ini, ilmu bahasa sudah semakin luas dan modern yang
meliputi pembahasan tentang sejarah bahasa, perbandingan antar bahasa,
macam-macam dialek, kelompok-kelompok bahasa, dan lain sebagainya.
Lebih dari 2 abad yang lalu, Filologi lahir dan berkembang di Barat sedang
di dunia Islam Arab, Fiqhul Lughoh dengan artian yang baru, luas, dan
menggunakan metode modern baru muncul di universitas Mesir sejalan dengan
aktifitas orientalis di negeri itu meskipun Fiqhul Lughoh dan ilmu qiro’at
sudah ada sejak dulu.
Karya-karya ulama klasik seperti al-Khoso’ish, as-Shohibi fi Fiqhil Lughoh, al-Muzhar fi Ulumil Lughoh sampai sekarang masih terhitung sebagai referensi
berharga dalam filologi atau fiqhul lughoh Arab. Dalam perkembangannya, para
ahli bahasa melengkapi kajian-kajian klasik itu dengan pembahasan-pembahasan
baru dalam karya-karya mereka seperti Ilmul Lughoh, dan Fiqhul Lughoh, dan Fushulun fi Fiqhil Lughoh al-Arobiyah.
Para ahli bahasa Arab memaklumi bahwa jika al-Qur’an tidak turun maka
bahasa Arab akan hancur atau minimal kehilangan keasliannya. Namun, salah satu persoalan yang sampai sekarang
masih diperdebatkan oleh para ahli bahasa dan sastra Arab serta mufasir
al-Qur’an adalah apakah kosakata serapan Arab dari bahasa asing dipakai dalam
al-Qur’an atau tidak? Dengan kata lain, apakah semua kata yang digunakan dalam
al-Qur’an adalah Arab asli atau ada juga kata-kata yang telah melalui proses
pengaraban?
Secara istilah, kata-kata yang diserap dan dipinjam oleh bahasa Arab dari
bahasa-bahasa lain disebut dengan mu’arrob, dan tentunya melalui
proses perpindahan serta perubahan yang disebut dengan ta’rib atau pengaraban.
Biasanya, kata-kata asing satu bahasa masuk ke bahasa lain disebabkan oleh
faktor-faktor berikut: kedekatan letak geografis, hubungan perdagangan,
imigrasi, kekuasaan politik, kecenderungan religius, kultur, ekonomi, industri
dan lain-lain. Intinya, faktor-faktor ini adalah faktor yang berakar dari
tuntutan-tuntutan material dan spiritual manusia.
Itulah sebabnya mengapa terjadi proses bargaining kata. Sejalan dengan
perkembangan peradaban, budaya pun melalui waktu yang cukup panjang dalam
sejarah manusia dan proses bargaining meningkat luar biasa sehingga dapat
dikatakan bahwa tidak ada lagi bahasa hidup dunia yang masih murni. Tidak ada
pula bangsa beradab yang berani mengaku bahwa bahasa mereka bersih dari
unsur-unsur asing serapan atau pinjaman dari bangsa-bangsa lain.
Bahasa Arab juga tidak terhindar dari proses bargaining kata. Namun, yang
lebih menjadi persoalan adalah apakah al-Qur’an yang diwahyukan kepada
Muhammad Rasulullah saw dengan bahasa Arab fasih yang populer di kawasan Hijaz
pada waktu itu memakai kata-kata asing juga atau tidak? Harus diingat bahwa
keterbukaan sebuah bahasa untuk menerima atau menyerap kata-kata asing maupun
daerah tidak berarti mempertaruhkan kesejatian bahasa tersebut dan ini berbeda
dengan pergeseran bahasa yang kita saksikan dari satu bahasa—seperti
Indonesia ke bahasa lain seperti Inggris—sehingga terkadang pemaknaan
bahasa Arab ke bahasa Indonesia pun terpaksa harus dijembatani oleh bahasa Inggris
yang belum tentu tepat.
Terdapat tiga pandangan yang bersebarangan tentang penggunaan kata-kata
Arab serapan atau pinjaman di dalam al-Qur’an:
Kelompok pertama mengingkari penggunaan itu secara mutlak, di antara dalil
Qur’anik yang mereka kemukakan adalah:
اِنَّا اَنزَلنَاهُ قُرآنًا
عَرَبِیًّا لَعَلَّکُم تَعقِلُونَ / یوسف: 2
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya berupa
al-Qur’an yang berbahasa Arab agar kalian memahaminya”. (QS. 12: 2).
وَ لَو جَعَلنَاهُ قُرآنًا
اَعجَمِیًّا لَقَالُوا لَو لَا فُصِّلَت آیَاتُهُ أأعجَمِيٌّ وَ عَرَبيٌّ / فصلت:
44
“Dan sekiranya Kami jadikan al-Qur’an itu bacaan yang
bukan bahasa Arab, niscaya mereka berkata “mengapa tidak dijelaskan
ayat-ayatnya? Apakah patut (al-Qur’an) itu dalam bahasa ‘Ajam (bukan bahasa
Arab) sedang rasul orang arab”. (QS. 41: 44).
Menurut Abu Ubaidah (Mu’ammar bin Mutsanna), bukankah al-Qur’an diwahyukan
dengan bahasa Arab yang jelas dan menjelaskan, maka akan aneh sekali jika ada
yang berpendapat bahwa al-Qur’an juga memakai kata non Arab. Ibnu Faris (Ahmad)
mendukung pendapat ini dalam kitab Fiqhul Lughoh-nya yang berjudul as-Shohibi
dan dia menegaskan jika pemakaian itu benar-benar terjadi dalam al-Qur’an itu
akan berarti bahwa bahasa Arab tidak mampu menawarkan kata-kata padanannya, dan
pandangan seperti ini jelas-jelas tertolak. Kemudian, Fakhrur Razi dan para
pengikutnya menolak pangkategorian kata-kata seperti مشکواة، قسطاس استبرق، سجیل dan lain sebagainya sebagai kata-kata serapan atau
pinjaman dari bahasa asing, dan mereka mengklaim bahwa kata-kata tersebut
kebetulan sama dengan kata-kata dalam bahasa non Arab.
Ibnu Jarir Thabari, Qadhi Abu Bakar Baqilani, dan Syafi’i juga menolak
adanya kata Arab serapan atau pinjaman dalam al-Qur’an, demikian pula beberapa
kalangan ahli bahasa kontemporer seperti Ahmad Syakir, yang merevisi dan
mengkritisi kitab al-Mu’arrob karya Jawaliqi.
Kelompok kedua sedikit lebih terbuka dalam hal ini. Menurut mereka selain
nama-nama khusus, semua kata yang digunakan oleh al-Qur’an adalah bahasa Arab
asli. Abu Ubaid Qasim bin Sallam telah menetralisir pendapat gurunya sendiri
(Abu Ubaidah) dan menyatakan bahwa meskipun pada dasarnya nama-nama
khusush itu adalah bahasa non Arab, tetapi setelah melalui proses penyaduran
dan pengaraban nama-nama itu menjadi bagian dari bahasa Arab dan diperlakukan
sebagaimana layaknya kata-kata Arab lainnya. Ibnu Athiyyah juga cenderung
memilih pandangan ini dan menolak pendapat Thabari yang menyatakan bahwa
kebetulan ada kata-kata yang sama dengan bahasa lainnya.
Kelompok ketiga lebih terbuka dari kelompok kedua. Mereka berpendapat bukan
hanya nama-nama saja yang telah diserap, tetapi ada juga kosakata lain yang
masuk ke bahasa Arab. Ibnu Abbas yang terkenal sebagai Hibrul Ummah (tinta umat
Islam) dan murid-muridnya; Mujahid, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, dan Atthar bin
Yasar adalah mufasir-mufasir masyhur al-Qur’an yang sering menguraikan tentang
asal-usul kata Arab serapan yang dipakai oleh al-Qur’an. Kemudian Jawaliqi,
Suyuthi dan Khaffaji melanjutkan jejak mereka dalam karya-karya klasik Fiqhul
Lughoh, dan dilanjutkan oleh orientelis-orientalis seperti Arthur Geoffrey
dalam bukunya The Foreign Vocabulary of the Qur’an dan pakar-pakar kontemporer
bahasa Arab lainnya.
Agar dapat dimengerti lebih jelas, kami bawakan dua contoh kosakata Arab
yang digunakan oleh al-Qur’an:
1)
سِجِّل dalam ayat:
یَومَ نَطوِي السَّمَاءَ کَطَيِّ السِّجِلِّ / الرعد: 104
Ada berbagai pendapat tentang asal-usul kata سِجِلّ; sebagian mengatakan kata itu
berasal dari Abyssinia dan berarti رجل (lelaki) Ibnu Jinni mengartikannya dengan surat dan
menurutnya kata ini berasal dari bahasa Parsi, Khaffaji sepakat dengan pendapat yang mengatakan kata
ini berasal dari Abyssinia dan berarti surat. Sedang Arthur Geoffrey menolak dua pendapat tersebut dan
menyatakan bahwa kata ini bukan berasal dari Abyssinia dan juga bukan dari
Parsi, melainkan dari bahasa Yunani yang sepadan dengan kata Latin “sigillum”.
2)
قِرطَاس dalam ayat:
لَو نَزَّلنَا عَلَیکَ کِتَابًا فِي قِرطَاسٍ / الانعام: 7
Menurut sebagian ahli, kata قرطاس (kertas) bukan Arab asli. Penulis al-Kalimat al-Aromiyyah fil Lughotil
Arobiyyah berpendapat sama bahwa kata ini bukan bahasa Arab asli dan berasal
dari kata “charta” dalam bahasa Yunani sedang dalam bahasa Abyssinia adalah
kartas.
Namun, para mufasir dan ahli bahasa mempunyai pendapat yang berbeda dan
menurut mereka kata ini adalah bahasa Arab asli. Farra’ mengatakan bahwa
al-Qirthos adalah sahifah atau lembaran. Raghib Isfahani dalam Mufrodat dan Lisanul Arob,
menyatakan keaslian قرطاس dalam bahasa arab.
Walhasil, meskipun terjadi perbedaan Filologis atau Ffiqhul Lughoh tentang
sebagian kosakata yang digunakan oleh al-Qur’an, tapi ada satu hal yang perlu
kita cermati dan sadari untuk kemudian kita yakini bahwa perbedaan pendapat itu
sama sekali tidak mengusik kefasihan al-Qur’an sedikit pun, kefasihan yang
tidak akan tertandingi sampai akhir zaman. Itulah sebabnya mengapa orang-orang
Arab seperti Ibnu Abbas yang pakar di bidang Ulumul Qur’an dan Tafsir tidak
merasa janggal melihat kosakata itu di sela-sela ayat al-Qur’an. Apalagi sejak
dulu sampai sekarang tidak ada seorang pun yang sanggup menjawab tantangan
al-Qur’an untuk menandinginya.
قُل لَئِنِ اجتَمَعَتِ الاِنسُ وَ الجِنُّ عَلَی اَن یَأتُوا بِمِثلِ هذَا القُرآنِ
لَا یَأتُونَ بِمِثلِهِ وَ لَو کَانَ بَعضُهُم لِبَعضِهِم ظَهِیرًا / الاسراء: 88
“Katakanlah: ‘kalau sekiranya berkumpul manusia dan jin
untuk mendatangkan yang serupa dengan al-Qur’an, mereka tidak akan sanggup
mendatangkan yang serupa dengannya walaupun sebagian mereka dengan sebagian
yang lain tolong-menolong.” (QS. 17: 88).
B. Kemukjizatan
Al-Qur’an Dari Segi Kandungan Pemberitaannya
a)
Pemberitaan kisah
masa lalu
Sebagaimana contoh yang sudah tak lazim lagi
dipendengaran umat islam tentang kisah penciptaan adam sampai kepada anak
cucunya yang merupakan kisah yang sampai sekarang masih belum ditemukan bekas
peniggalan mereka. Meskipun sejarah mengatakan bahwa di bukit Arafah letak
pertemuan antara Adam dan Hawa tapi belum ada yang penelitian yang sampai
kepada jejak nabi Adam As.
b)
Pemberitaan
peristiwa yang akan terjadi masa yang akan datang.
يَوْمَ يَكُونُ النَّاسُ كَالْفَرَاشِ الْمَبْثُوثِ (4) وَتَكُونُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ
الْمَنْفُوشِ (5)
Dalam artian, hari
kiamat akan benar-benar terjadi.
c)
Isyarat-isyarat Ilmiah
Isi dan kandungan Alquran banyak menginformasi-kan
masalah-masalah ilmiah yang hanya mungkin diketahui oleh ilmuwan abad modern
ini. Ayat-ayat yang mengandung isyarat ilmiah semacam ini, semakin lama semakin
banyak ditemukan dalam Alquran, sejalan dengan semakin berkembangnya ilmu
pengetahuan. Di antara ayat-ayat tersebut yang sudah dibuktikan kebenarannya
melalui penemuan di bidang ilmu pengetahuan Alam antara lain:
1)
Hukum
Toricelly yang ditemukan pada abad XVII M, menyatakan bahwa semakin tinggi
suatu tempat, maka semakin rendah tekanan udara yang ada di tempat itu. Hukum
ini diisyaratkan al-Quran dalam QS al-An'am/6 : 125 :
فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ
صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا
كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ
لَا يُؤْمِنُونَ (125) [الأنعام/125]
2)
Siang
dan malam tidak selalu sama lama (tempo)nya. Kadangkala malam lebih panjang
daripada siang, dan kadangkala juga terjadi sebaliknya. Hal ini mengundang tanda
tanya untuk dipikirkan jawabannya, seperti tersirat pada Surat Yunus/10: 6.
إِنَّ فِي اخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ
وَمَا خَلَقَ اللَّهُ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَّقُونَ
(6) [يونس/6]
3)
Dari
hasil pemantauan satelit diperoleh bukti, bahwa Jazirah Arab beserta
gung-gunungnya bergerak mendekati Iran dengan pergerakan yang sangat lamban,
hanya beberapa sentimeter setiap tahunnya. Isyarat ini terlihat dari Alquran,
surat An-Naml/27: 88.
وَتَرَى الْجِبَالَ تَحْسَبُهَا جَامِدَةً
وَهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِ صُنْعَ اللَّهِ الَّذِي أَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ إِنَّهُ
خَبِيرٌ بِمَا تَفْعَلُونَ (88) [النمل/88]
d)
Berita
tentang Hal-hal yang Gaib
Sebagaimana ulama mengatakan bahwa
sebagian mukjizat Al-Qur'an itu adalah berita gaib. Salah satu contohnya adalah
Fir’aun, yang mengejar-ngejar Nabi Musa. Hal ini, diceritakan dalam QS Yunus/10
: 92:
فَالْيَوْمَ نُنَجِّيكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ
لِمَنْ خَلْفَكَ آَيَةً وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ عَنْ آَيَاتِنَا لَغَافِلُونَ
(92) [يونس/92]
“Maka pada
hari Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi
orang-orang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah
dari tanda-tanda kekuasaan Kami.”
Pada ayat itu ditegaskan bahwa badan
Firaun akan diselamatkan Tuhan untuk menjadi pelajaran bagi generasi
berikutnya. Tidak seorang pun mengetahui hal tersebut karena telah terjadi
sekitar 1.200 tahun SM. Pada awal abad ke-19, tepatnya pada tahun 1896 di lembah
raja-raja Luxor Mesir, seorang ahli purbakala Loret menemukan satu mumi, yang
dari data-data sejarah terbukti bahwa ia Firaun yang bernama Muniftah yang
pernah mengejar Nabi Musa a.s. selain itu pada tanggal 8 Juli 1908, Elliot
Smith mendapat izin dari pemerintah Mesir untuk membuka pembalut-pembalut
Firaun tersebut. Apa yang ditemukannya satu jasad utuh, seperti yang
diberitakan Al-Qur'an melalui Nabi yang ummy(tidak pandai membaca
dan menulis)
e)
Hukum Illahi yang
Sempurna
Al-Qur-an menjelaskan pokok-pokok
aqidah, norma-norma keutamaan, sopan-santun, undang-undang ekonomi, politik,
sosial, dan kemasyarakatan, serta hukum-hukum ibadah. Al-Qur-an menggunakan dua
cara tatkala menetapkan sebuah ketentuan hukum, yakni:
1)
Secara global
Persoalan ibadah umumnya diterangkan
secara global, sedangkan perincianya diserahkan kepada ulama melalui ijtihad.
2)
Secara terperinci
Hukum yang dijelaskan secara terperinci
adalah yang berkaitan dengan utang piutang, makanan yang halal dan yang haram,
memelihara kehormatan wanita, dan masalah perkawinan.
3)
Ketelitian Redaksinya
Ketelitian redaksi Al-Qur-an bergantung
pada hal berikut:
·
Keseimbangan antara jumlah
bilangan kata dengan antonimnya.
·
Keseimbangan jumlah
bilangan kata dengan sinonimnya/makna yang dikandungnya.
·
Keseimbangan jumlah
bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjukan akibatnya.
·
Keseimbangan jumlah
bilangan kata dengan kata penyebabnya.
·
Disamping
keseimbangan-keseimbangan tersebut, ditemukan juga keseimbangan khusus :
1.
Kata yawm (hari)
dalam bentuk tunggal sejumlah 365 kali, sebanyak hari-hari dalam setahun,
sedangkan kata hari yang menunjukan bentuk plural (ayyam) atau dua (yawmayni),
berjumlah tiga puluh, sama dengan jumnlah hari dalam sebulan. Disisi lain, kata
yang berarti bulan (syahr) hanya terdapat dua belas kali sama dengan jumlah
bulan dalam setahun.
2.
Al-Qur-an
menjelaskan bahwa langit itu ada tujuh macam. Penjelasan ini diulangi sebanyak
tujuh kali pula, yakni dalam suratAl-Baqarah [2] ayat 29,
surat Al-Isra [17] ayat 44, surat Al-Mukmin [23] ayat 86,
suratAl-Fushilat [41] ayat 12, surat Ath-Thalaq [65] ayat 12,
surat Al-Mulk [67] ayat 3, dansurat Nuh [71] ayat 15. Selain itu,
penjelasan tentang terciptanya langit dan bumi dalam enam hari dinyatakan pula
dalam tujuh ayat.
3.
Kata-kata
yang menunjukan kepada utusan Tuhan, baik rasul atau nabi
atau basyir(pembawa berita gembira) atau nadzir(pemberi peringatan),
kesemuanya berjumlah 518 kali. Jumlah ini seimbang dengan jumlah penyebutan
nama-nama nabi, rasul dan pembawa berita tersebut, yakni 518.
C. Kemukjizatan
Al-Qur’an Dari Segi Kesempurnaan Tasyri’
Petunjuk yang terdapat dalam Al-Qur’an
mengendung pokok ajaran yaitu aqidah, syari’ah dan ibadah. Rasyid Ridha
mengatakan cerara tegas bahwa petunjuk A-Qur’an tentang aqidah ,
metafisika, social dan politik merupakan pengetahuan yang sangat tinggi
nilainya”.
D. Kemu’jizatan
Al-Qur’an Dari Segi Isyarat Keilmuan
E. Dan lain-lain (akan dibahas pada pertemuan
selanjutnya)
Comments
Post a Comment