KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS

KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS Pendahuluan latar belakang Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah dua sumber utama ajaran Islam. Oleh karena itu, keduanya selalu dijadikan landasan keyakinan, ritual, adat istiadat, etika, ekonomi, politik, peradaban dan seluruh aspek kehidupan umat Islam, baik yang sakral maupun duniawi, pada tataran ¥ abl minallah (vertikal) dan ¥ abl min al. -n ± s (horizontal).

download MAKALAH AL-RAZI


A.  Latar Belakang Masalah

Alquran seperti diyakini kaum muslimin merupakan kitab hidayah, petunjuk bagi manusia dalam membedakan yang hak dengan yang batil. Dalam berbagai versinya alquran sendiri menegaskan beberapa sifat dan ciri yang melekat dalam dirinya, di antaranya bersifat transformatif. Yaitu membawa misi perubahan untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan-kegelapan, Z{uluma>t (di bidang akidah, hukum, politik, ekonomi, sosial budaya dan lain-lain) kepada sebuah cahaya, Nur petunjuk ilahi untuk menciptakan kebahagiaan dan kesentosaan hidup manusia di dunia dan akhirat. Dari prinsip yang diyakini kaum muslimin inilah usaha-usaha manusia muslim dikerahkan untuk menggali format-format petunjuk yang dijanjikan bakal mendatangkan kebahagiaan bagi manusia. Dalam upaya penggalian prinsip dan nilai-nilai qur'a>ni yang berdimensi keilahian dan kemanusiaan itulah penafsiran dihasilkan.
Secara umum, metode yang digunakan oleh para mufassir dalam menafsirkan alquran terbagi kepada empat macam, yaitu metode tah}lili>, maud{u>’i, muqa>ran dan ijma>li>. Keempat metode ini mewarnai seluruh karya tafsir, sejak dulu sampai sekarang. Metode tafsir tahli>li>> merupakan metode tafsir paling tua. Para mufassir klasik menyusun kitab tafsir dengan menggunakan metode tersebut. Mereka menjelaskan ayat-ayat alquran berdasarkan urutannya dalam mushaf Usmani dan seluruh aspek di dalamnya, baik dari segi kosa kata, asba>b al-Nuzu>l, munasa>bah dan hal-hal yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat.         
Di samping itu, tafsir dilihat dari segi sumbernya, sebagaimana yang dikemukakan oleh ulama mutaqaddimin, mempunyai tiga macam corak, yaitu: al-Ma’tsu>r, al-Ra’yu dan al-Isya>ri.[1] Boleh dikatakan bahwa seluruh  kitab tafsir yang disusun oleh mufassir klasik adalah kitab tafsir al-Ma’tsu>r. Setelah ilmu pengetahuan  berkembang dengan pesat dan para ulama telah menguasai berbagai disiplin ilmu, mereka menyusun kitab tafsir dengan lebih mengedepankan ra’yu (pendapat) dan diwarnai oleh latar belakang pendidikan mereka.
Salah satu kitab tafsir yang muncul dengan corak al-ra’yu dan diwarnai oleh berbagai disiplin ilmu pengetahuan adalah tafsir Mafa>tih al-Ghaib. Kitab ini disusun oleh  Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, beliau seorang mufassir yang sangat rasional dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan, baik agama maupun umum, seperti ilmu kalam, ushul fiqhi, ilmu alam, astronomi, perbintangan dan agronomi. Ilmu-ilmu ini sangat berpengaruh kepadanya dalam menafsirkan ayat-ayat alquran.
B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis merumuskan beberapa permasalahan pada pembahasan ini sebagai berikut:
1.      Bagaimana profil Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>?
2.      Bagaimana manhaj Fakhr al-Di>n al-Ra>zi> dalam kitab tafsirnya?
BAB II
PEMBAHASAN
A.  Biografi al-Ra>zi>
  1. Riwayat Hidup  al-Ra>zi>
Nama lengkap al-Ra>zi> adalah Muh}ammad bin ‘Umar bin al-H}usain bin al-H}asan bin ‘Ali al-Timiy> al-Bakariy> al-Thabariy> al-Ashl,[2] dan memiliki nasab sampai kepada Abu Bakar Shiddiq ra. Beliau memiliki banyak julukan, di antaranya Abu ‘Abdullah, Abu al-Ma’a>li, Abu al-Fad}il, Ibn Kha>t}ib al-Ray, Fakhr al-Di>n al-Ra>zi> dan Syaikh al-Islam[3]. Gelaran-gelaran ini diberikan kepadanya karena beliau telah menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan, baik pengetahuan agama maupun umum. Ia lahir di kota Ray[4] pada tanggal 25 Ramadhan 544 H/ 543 H dan wafat pada hari raya Idul Fitri tahun 606 H di kota Herat.[5]     
 Sejak kecil, al-Ra>zi> dididik oleh ayahnya, Kha>t}ib al-Ray. Dialah  yang mula-mula mengajarinya ilmu keislaman, terutama ushul fiqhi. Setelah ia wafat,  al-Ra>zi> belajar kepada al-Simnany  kemudian pada al-Majd al-Ji>liy (murid al-Gaza>li) tentang ilmu kalam dan hikmah dalam waktu yang cukup lama. Bahkan ia telah menguasai risalah teologi al-Sya>mil fi Ushul al-Di>n (karya Imam Haramain), al-Musthashfa> (karya al-Gazali) dan al-Mu’tamad (karya Abu Hasan al-Bishri).[6] Di samping itu, ia juga menaruh perhatian yang sangat besar terhadap kitab al-Mufashshal (karya al-Zamakhsyari>) dalam ilmu nahwu dan kitab al-Waji>z (karya al-Gazali) dalam ilmu fiqhi. Kedua kitab tersebut telah disyarahnya. Kemudian ia juga mempelajari dua buah kitab karya ‘Abdul Qa>hir dalam ilmu balagah dan meringkasnya dalam sebuah kitab yang diberi judul: Niha>yat al-I>jaz fi Dira>yat al-I>’jaz.
            Selanjutnya, al-Ra>zi> mempelajari ilmu filsafat dari buku-buku Aristoteles dan Plato serta filosof-filosof muslim, seperti Ibnu Sina, al-Farabi dan Abu al-Barakat al-Bagda>di.[7] Dalam bidang ini, ia memberi syarah kitab al-Isya<rat karya Ibnu Sina,  kemudian menyusun buku dalam ilmu kedokteran dengan judul Syarh al-Kulliat li al-Qanu>n.
            Setelah menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti ilmu kalam, filsafat, ushul fiqhi dan ilmu-ilmu keislaman lainnya, ia melakukan rihlah ke beberapa daerah sekitar Ray, seperti Khawarizm. Di tempat ini, ia berdialog  dengan tokoh-tokoh masyarakat dan penduduk setempat tentang persoalan mazhab dan akidah. Penduduk setempat tidak dapat menerima pendapat al-Ra>zi> yang sangat rasional, sehingga ia diusir dari tempat tersebut. Kemudian ia menuju Transoksiana. Di tempat ini pula, penduduk tidak bisa menerima pandangannya sehingga perdebatan yang seru terjadi lagi. Akhirnya, al-Ra>zi> memutuskan untuk kembali ke al-Ray. 
            Setibanya di tempat kelahirannya, al-Ra>zi> menghadap kepada Sulta>n Syiha>b al-Di>n al-Ghou>ri kemudian menghadap kepada Sulta>n Ala’ al-Di>n Muh}ammad bin Tuksy Khawarizm dan  mendapat sambutan yang hangat serta kedudukan yang tinggi.[8] Hubungannya dengan penguasa setempat sangat harmonis, namun tidak mempengaruhi kegiatan intelektualnya. Ia terus bergelut dengan berbagai ilmu pengetahuan dan menghasilkan sejumlah karya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.
            Kemampuan al-Ra>zi> menguasai berbagai disiplin ilmu sangat menakjubkan, melihat  situasi dan kondisi dunia Islam saat itu sedang mengalami disintegrasi politik dan labilnya keamanan. Dalam hal ini, Sayyid H}usain Nashr mengatakan bahwa jarang sekali seorang pemikir Islam dapat menguasai berbagai disiplin ilmu seperti yang dialami oleh al-Ra>zi>>. Karena pada saat itu, biasanya para mutakallimin sunni dan ahli fikihnya telah menjauhkan diri dari cabang-cabang pengetahuan di luar bidang agama.[9]
            Al-Ra>zi> memiliki keunggulan dalam bidang ilmu agama maupun umum dibanding para ilmuan pada masanya. Ia juga dikenal ahli debat, selalu mengungguli lawan-lawannya dengan argumen-argumen yang logis dan bahasa yang fasih. Kritikan-kritikannya tidak hanya ditujukan kepada ilmuan pada masanya tapi juga imam-imam terdahulu,  seperti Imam Asy’ari>, Ibnu Faruq, Qadhi Abu Bakar dan Imam Haramain. Meskipun dalam fikhi, ia bermazhab Syafi’i> dan dalam ilmu kalam menggunakan pemahaman Asy’ari>.
            Menjelang akhir hayatnya, al-Ra>zi> mengalami skeptis terhadap kemampuan rasio sebagaimana yang telah dialami juga oleh al-Gazali.[10] Kepercayaannya kepada kemampuan akal mulai menurun dan tergoncang. Karena itu, ia berpesan kepada salah seorang muridnya yang setia, yaitu Ibrahi>m bin Abu Bakar al-Asfaha>ni agar di dalam mencari kebenaran tidak hanya melalui perdebatan akal semata, tetapi yang terpenting adalah menelusuri kandungan alquran. Delapan bulan setelah berpesan, ia sakit keras dan menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam usia 57 tahun.
            Berita kematian al-Ra>zi> sangat kontroversial, ada yang mengatakan bahwa ia meninggal karena diracun oleh lawan-lawannya dari kelompok Karamiyah, dan ada yang mengatakan bahwa ia meninggal secara wajar akibat sakit keras yang dideritanya.[11]  

2.    Guru-Guru dan Murid-Murid

            Guru-guru al-Ra>zi> antara lain adalah Dhiya>’u al-Di>n ‘Umar bin al-Hasan Khathi>b al-Ray (ayah al-Ra>zi>), Muhiy> al-Sunnah Abi Muh}ammad al-Baghawiy>, Abu al-Qa>sim al-Aushariy, al-Kama>l al-Sim’aniy, dan Al-Majd al-Ji>liy
            Adapun murid-murid  al-Ra>zi>, antara lain Ibrahi>m bin ‘Ali bin Muh}ammad al-Quthub al-Salamiy> al-Maghribiy>, Qa>dhi al-Qudhat Ahmad bin al-Khali>l bin ‘Isa al-Barmakiy>, ‘Abdul al-Hami>d bin ‘Isa bin ‘Amwaiyh bin Yu>nus bin Khali>l al-Khasru Syahiy, Ibrahim bin Abi Bakr bin ‘Ali al-Ashbahaniy, Syarf al-Di>n bin ‘Unayn ‘Abu al-Maha>sin Muhammad bin Nashir bin Gha>lib, Zayn al-Din al-Kasysyi, Ta>j al-Din al-Armawiy dan Ahmad bin Muh}ammad bin Abi> al-Hazm al-Makky Najm al-Di>n al-Mahzumy al-Qamuly.[12]
  1. Karya-karya  al-Ra>zi>
Sungguh al-Ra>zi> telah mewariskan perbendaharaan keilmuan yang besar dengan karya-karyanya yang bermanfaat semasa hidupnya dan setelah wafatnya, disambut baik oleh banyak orang. Mereka mempelajarinya, memanfaatkan peninggalan ulama besar ini yang karangannya mencapai 200 kitab. Diantara karya-karya beliau yang terkenal antara lain: Mafa>tih al-Ghaib (tafsir al-Kabi>r), Ikhtisa>r Dala>il al-I’jaz, Asas al-Taqdi>s, Asra>r al-Tanzi>l wa Anwa>r al-Ta’wi>l, I’tiq>ada>t Faeq al-Muslimi>n wa al-Musyriki>n, al-Baya>n wa al-Burha>n fi> al-Rad ‘Ala Ahl  al-Zayan wa al-Thughya>n, Al-Tanbih ala Ba’dhi al-Asra>r al-Maudhi’ah fi Ba’dhi Suwa>r alquran, Syifa>’ al-Ayyi’ wa al-Ikhtila>f, Al-Thari>q fi> al-Jadl, Ashamah al-Anbiya’, Fadha>’il al-Shaha>bah, Luba>b al-Isya>ra>t  dan masih banyak lagi karya-karyanya yang lain, namun yang sempat dicetak dan sampai ke tangan kita hanya sedikit.[13]

B.   Metodologi Kitab Tafsir Mafa>tih al-Gaib
  1. Identifikasi Kitab
Kitab ini bernama tafsir Mafa>ti>h al-Gaib, terdiri dari XXXII jilid bersama fihrisnya, dikarang oleh Muhammad bin ‘Umar bin al-Husain bin al-Hasan bin ‘Ali al-Timiy al-Bakariy al-T}abariy al-Ashl. Yang dikenal dengan al-Ra>zi>, Cetakan pertama, Beirut: Da>r al-Fikr, 1401 H/1981 M.
Untuk lebih jelasnya pembahasan pada setiap jilid kitab tersebut akan di uraikan sebagai berikut:
1)   Jilid I:            Menafsirkan surah al-Fa>tih}ah dengan menjelaskan 5 Bab pembahasan
2)   Jilid II:        Menafsirkan surah al-Baqarah disertai dengan permasalahannya
3)   Jilid III, IV, V, VI : Kelanjutan penafsiran surah al-Baqarah dengan permasalahannya
4)   Jilid VII, VIII: Menafsirkan surah al-‘Imran dengan permasalahannya
5)   Jilid IX:       Kelanjutan penafsiran surah al-‘Imran dan memulai penafsiran surah an-Nisa>’ dengan permasalahannya
6)   Jilid X:        Kelanjutan penafsiran surah an-Nisa>’ dengan permasalahannya
7)   Jilid XI:       Kelanjutan penafsiran surah an-Nisa>’ dan memulai penafsiran surah  al-Ma>idah dengan permasalahannya
8)   Jilid XII:      Kelanjutan penafsiran surah al-Ma>idah dan memulai penafsiran surah al-An’a>m dengan permasalahannya  
9)   Jilid XIII:    Kelanjutan penafsiran surah al-An’a>m dengan permasalahannya
10)Jilid XIV:    Kelanjutan penafsiran surah al-An’a>m dan memulai penafsiran surah al-A’ra>f dengan permasalahannya
11)Jilid XV:     Kelanjutan penafsiran surah al-A’ra>f dan memulai surah al-Anfa>l, at-Taubah disertai dengan permasalahan pada masing-masing surah.
12)Jilid XVI:    Kelanjutan surah at-Taubah dengan permasalahannya
13)Jilid XVII:   Menafsirkan surah Yu>nus dan Hu>d serta permasalahannya
14)Jilid XVIII: Kelanjutan penafsiran surah Hu>d dan memulai penafsiran surah Yu>suf, Ra>d serta permasalahan pada masing-masing surah.
15)Jilid XIX:    Kelanjutan penafsiran surah Ra>d dan memulai penafsiran surah Ibrahi>m, Hijr, dan Nah}l disertai dengan permasalahan masing-masing surah
16)Jilid XX:     Menafsirkan surah al-Isra>’ dan permasalahannya
17)Jilid XXI:    Kelanjutan surah al-Isra>’ dan memulai menafsirkan surah al-Kahfi, Maryam serta permasalahan masing-masing surah
18)Jilid XXII:   Menafsirkan surah Tha>ha dan al-Anbiya’ serta permasalahannya
19)Jilid XXIII: Menafsirkan surah al-H}a>j, al-Mu’minun, dan an-Nu>r disertai dengan permasalahan masing-masing surah
20)Jilid XXIV: Kelanjutan penafsiran surah an-Nu>r dan memulai penafsiran surah al-Furqa>n, al-Syu’ara>’, an-Naml, al-Qasas, al-‘Ankabut disertai dengan permasalahan masing-masing surah
21)Jilid XXV:   Kelanjutan penafsiran surah al-‘Ankabut dan memulai penafsiran surah ar-Ru>m, Lukma>n, as-Sajadah, al-Ah}za>b, Saba>’ disertai dengan permasalahan masing-masing surah
22)Jilid XXVI: Menafsirkan surah Fa>tir, Ya>sin, ash-Sha>ffat, Shad dan az-Zumar disertai dengan pemasalahan masing-masing surah
23)Jilid XXVII: Kelanjutan penafsiran surah az-Zumar dan memulai penafsiran surah al-Mu’min, Fushshilat, Asy-Syu’ara>’, Az-Zukhruf, ad-Dukha>n, al-Ja>tsiyah disertai dengan permasalahan masing-masing surah
24)Jilid XXVIII: Menafsirkan surah al-Ah}qa>f, Muh}ammad, al-Fath, al-Hujura>t, Qaf, adz-Dza>riyat, ath-Thu>r dan an-Najm disertai dengan permasalahan masing-masing surah
25)Jilid XXIX: Kelanjutan penafsiran surah an-Najm dan memulai penafsiran surah al-Qamar, ar-Rah}ma>n, al-Wa>qi’ah, al-H}adi>d, al-Muja>dilah, al-H}asyr, al-Muntahanah, dan ash-Shaf disertai dengan permasalahan masing-masing surah
26)Jilid XXX: Menafsirkan surah al-Jum’ah, al-Muna>fiqun, at-Tagha>bun, ath-Thalaq, at-Tah}ri>m, al-Mulk, al-Qalam, al-H}aqqah, al-Ma’a>rij, Nu>h, al-Jin, al-Muzammil, al-Mudatsir, al-Qiya>mah, al-Insa>n, dan al-Mursalat disertai dengan permasalahan masing-masing surah.
27)Jilid XXXI: Menafsirkan surah an-Naba>’, an-Na>zi’at, ‘Abasa, at-Takwir, al-Infitha>r, al-Muthaffifi>n, al-Insyiqa>q, al-Buruj, ath-Thari>q, al-A’la, al-Gha>syiah, al-Fajr, al-Balad, asy-Syams, al-Lail dan adh-Dhuha>  disertai dengan permasalahan masing-masing surah
28)Jilid XXXII: Menafsirkan surah Alam Nasyrah, at-Ti>n, al-Alaq, al-Qadr, al-Bayyinah, al-Zalzalah, al-A>diyat, al-Qa>riah, at-Taka>tsur, al-Asr, al-Humazah, al-Fi>l, Quraisy, al-Ma>’un, al-Kautsar, al-Ka>firun, an-Nasr, al-Lahab, al-Ikhla>s, al-Falaq, dan an-Na>s disertai dengan permasalahan masing-masing surah.
  1. Manhaj al-Ra>zi> dalam kitab Mafa>tih al-Gaib
            Kitab tafsir ini mempunyai tiga nama , yaitu tafsir al-Kabi>r, tafsir  al-Ra>zi> dan Mafa>ti>h al-Gaib. Penamaan kitab tafsir al-Kabi>r didasarkan pada kebesarannya, kebesaran yang dimaksud ialah kelengkapan dan keluasan pembahasan yang dijelaskan di dalam kitab tafsir ini. sedangkan nama  al-Ra>zi> disandarkan pada julukan pengarangnya dan Mafa>ti>h al-Gaib diilhami oleh sebuah istilah dalam alquran surat al-An’am ayat 59 yang berbunyi: و عنده مفاتح الغيب لا يعلمها الا الله. Penyebutan ketiga nama tersebut sama-sama populer di kalangan umat Islam. Menurut sejarah, tafsir ini disusun oleh  al-Ra>zi> setelah menguasai berbagai disiplin ilmu, seperti ilmu kalam dan logika. Kitab tafsir ini menjadi lebih populer lagi setelah adanya usaha dari ulama untuk melakukan kajian dari berbagai aspek yang terdapat di dalamnya.
             Ada perbedaan di kalangan ulama mengenai penulisan kitab ini.  al-©ahabiy> mengemukakan pendapat Ibnu Ha>jar al-Asqalani>  bahwa yang menyempurnakan tafsir Fakhr al-Di>n al-Ra>zi> adalah Ah}mad bin Muh}ammad bin Abi> al-H}azm Makkiy Najm al-Di>n al-Mahzumiy al-Qamu>li> (w. 727 H). Sedangkan Musthafa Ibnu Abdullah (pengarang kitab Kasyf al-Zunu>n) berkata bahwa Syiha>b al-Din bin Khalil al-Khufi al-Dimasyqi (w. 639) yang melanjutkan penulisan kitab tafsir  al-Ra>zi>, kemudian al-Syaikh Najm al-Di>n Ah}mad bin Muh}ammad al-Qamu>li (w. 727 H) yang menyelesaikannya.[14]
            Berdasarkan pendapat ulama di atas dapat disimpulkan bahwa sebenarnya  al-Ra>zi> tidak sempat menyelesaikan tulisannya secara lengkap. Ia hanya mampu menyelesaikannya sampai surat al-Anbiya’. Kemudian dilanjutkan oleh murid-muridnya yang setia, yaitu Syiha>b al-Di>n bin Khalil al-Khufi dan Najm al-Din al-Qamuli. Karena sang murid betul-betul telah menguasai metodologi dan idiom gurunya sedemikian tepatnya sehingga gaya penulisan keduanya dalam kitab tafsir al-Kabi>r tersebut tidak dapat dibedakan.[15]

a. Metode Tafsir  al-Ra>zi>

            Tafsir  al-Ra>zi> yang berjudul Mafa>ti>h al-Gaib atau al-Tafsir al-Kabi>r mendapatkan popularitas yang luas  di kalangan ahli ilmu karena pembahasan-pembahasannya yang mengalir dalam berbagai bidang ilmu. Karena itu Ibnu Khalkan berkata, Fakhruddin  al-Ra>zi> telah menghimpun di dalam kitabnya ini setiap yang Gari>b. Demikianlah, wawasan al-Imam telah terpengaruh oleh Imam-imam pada masanya, seperti al-Gaza>li>y, al-Juwainiy> dan al-Baqillani>y. wawasannya yang luas tampak di dalam kitab tafsirnya. Metode yang ditempuh oleh Beliau adalah sebagai berikut:
  1. Memulai menyebutkan muna>sabat antar ayat dan antar surat. Umumnya ia menyebutkan lebih banyak mengenai munasabah antar ayat dan surat, di samping menyebutkan asbab an-Nuzu>l bila ada.
  2. Menafsirkan ayat atau beberapa ayat dengan menyebutkan segi bahasa, I’rab, balagah dan masalah-masalah fiqh, menguraikan secara panjang lebar ayat-ayat akidah untuk berdalil atas keesaan Allah dan qudrahNya, sambil menunjukkan kedalaman kebijaksanaanNya dan keindahan ciptaanNya dari sela-sela ayat-ayat kauniyyah.
  3. Banyak berkonsentrasi untuk membela akidah Ahli Sunnah wal Jama’ah, melancarkan perlawanan sengit dalam berbagai kesempatan terhadap para Ahli bid’ah dan penyimpang akidah.
  4. Banyak mengemukakan ilmu-ilmu fisika, elsakta, dan astronomi, masalah-masalah yang kurang mendasar, banyak penggalian hukum, yang sebagian besarnya tidak  begitu dibutuhkan di dalam ilmu tafsir. Abu Hayyan berkata, didalam tafsirnya ia menghimpun banyak hal secara panjang lebar yang tidak diperlukan dalam ilmu tafsir. Sehingga sebagian ulama berkata, di dalamnya ada segala sesuatu, kecuali tafsir.[16]
  5. Kalau ia menemui sebuah ayat hukum, maka ia selalu menyebutkan semua mazhab fuqaha. Akan tetapi, ia lebih cenderung kepada mazhab Syafi’i> yang merupakan pegangannya dalam ibadah dan muamalat.
  6. Al-Ra>zi> menambahkan dari apa-apa yang telah disebutkan di atas banyak masalah tentang ilmu Us}ul, Balagah, Nahwu dan yang lainnya, sekalipun masalah ini dibahas tidak secara panjang lebar sebagaimana halnya pembahasan ilmu biologi, matematika dan filsafat.[17]
  7. Menggunakan metode tanya jawab dalam menjelaskan berbagai macam persoalan yang ada dalam tiap-tiap surah. Dan memunculkan berbagai macam persoalan pada tiap-tiap pembahasan. Dapat dilihat contoh pada halaman yang lain.
b. Corak Tafsir  al-Ra>zi>
            Tafsir  al-Ra>ziy> diwarnai dengan corak teologis-filosofis dan fiqh. Ayat-ayat yang bernuansa teologis ia gunakan visi kalam Asy’ari. Dan ayat-ayat fiqhi, ia terapkan elaborasi fiqhi Syafi’i.
c. Sumber-sumber Tafsir  al-Ra>zi>
            Tafsir  al-Ra>zi> memuat pandangan-pandangan para mufassir, seperti Ibnu ‘Abbas, Ibnu al-Kalabi>, Muja>hid, Qatadah, al-Suddi>, dan Sa’id bin Jubair. Dan dalam bidang bahasa,  al-Ra>zi> menukil pendapat dari perawi-perawi besar, seperti al-Ashamiy, Abu Ubaidah, dan dari golongan ulama seperti al-Farra, al-ªajjaj, dan al-Mubarrid. Sedangkan dalam bidang tafsir beliau menukil pendapat Muqatil bin Sulaiman al-Marwaziy, Abu Ishak al-Tsa’labiy, Abu al-Hasan ‘Ali bin Ahmad al-Wahidi, Ibnu Qutaibah, Muhammad bin Jarir al-Thabari>, Abu Bakar al-Baqillani>, Ibnu Furak (guru  al-Ra>zi>), al-Qaffal al-Syasyi al-kabir, dan Ibnu Urfah.[18]
            Adapun Ulama Mu’tazilah yang dinukil pendapatnya oleh  al-Ra>zi>, diantaranya Abu Muslim al-Isfahaniy, al-Qadiy ‘Abd al-Jabba>r, al-Zamakhsyari. Adapun pandangan al-Zamakhsyari,  al-Ra>zi> menukilnya dalam rangka menolaknya dan membatalkan kehujjahannya. Pendapat-pendapat para ulama tersebut memperkaya kitab tafsir  al-Ra>zi>.
d. Pujian ulama dan kritikan terhadap al-Ra>zi> dan Kitabnya
adapun Fakhr al-Di>n al-Ra>zi> di mata para ulama memiliki kedudukan yang tinggi, derajat yang mulia, mendapatkan kehormatan dan penghargaan dari seluruh lapisan masyarakat seperti ulama, masyarakat awam, para pelajar penuntut ilmu, dan penguasa.
As-Subki mengatakan bahwa Imam al-Ra>zi> adalah seorang Imam mutakallimin yang memiliki pengetahuan yang luas dalam menerangkan suatu bidang ilmu dan memberikan manfaat yang lebih banyak.
Ibnu al-Hima>d al-Hambali> mengatakan bahwa Imam Fakhr al-Di>n al-Ra>zi> adalah seorang Mufassir Mutakallim, yang tidak ada ulama yang menandinginya di zamannya.[19]

Ibnu Khilkan berkata, dia adalah ilmuan yang tiada duanya pada masanya. Kepopulerannya menjadikan tidak perlu menyebut keutamaan-keutamaan dan karya-karyanya di bidang ilmu kalam dan ilmu-ilmu rasional lainnya.[20]
Dikatakan bahwa kitab tafsir al-Ra>zi> mempunyai kedudukan yang tinggi di kalangan para ulama, karena memiliki kelebihan dibanding kitab-kitab tafsir yang lainnya, dengan pembahasan yang mendalam dan luas dalam segala bidang ilmu pengetahuan. Sebagaimana disifatkan oleh Ibnu khilkan, bahwa sesungguhnya beliau (al-Ra>zi>) mengumpulkan berbagai macam persoalan yang asing dalam kitabnya.[21]
Berkata Abu Hayan bahwa Imam Fakhr al-Di>n al-Ra>zi> banyak mengumpulkan berbagai macam persoalan dalam kitabnya, yang sebenarnya tidak berkaitan langsung dengan  pembahasan ilmu tafsir. Oleh karena itu sebagian ulama berkata bahwa dalam tafsirnya terdapat segala sesuatu kecuali tafsir.[22]
e. Contoh penafsiran al-Razi dalam Kitabnya[23]
1)    adapun contoh yang berkaitan dengan pambahasan kebahasaan, tilawah dan teologi sebagai berikut:
قوله تعالى : {لا رَيْبَا فِيه } فيه مسألتان :
المسألة الأولى : الريب قريب من الشك ، . وفيه زيادة ، كأنه ظن سوء تقول رابني أمر فلان إذا ظننت به سوء ، ومنها قوله عليه السلام : "دع ما يريبك إلى ما لا يريبك" فإن قيل : قد يستعمل الريب في قولهم : "ريب الدهر" و"ريب الزمان" أي حوادثه قال الله تعالى : {نَّتَرَبَّصُ بِه رَيْبَ الْمَنُونِ} (الطور : 30) ويستعمل أيضاً في معنى ما يختلج في القلب من أسباب الغيظ كقول الشاعر :
فقضينا من تهامة كل ريب
وخيبر ثم أجمعنا السيوفا قلنا : هذان قد يرجعان إلى معنى الشك ، لأن ما يخاف من ريب المنون محتمل ، فهو كالمشكوك / فيه ، وكذلك ما اختلج بالقلب فهو غير متيقن ، فقوله تعالى : {لا رَيْبَا فِيه } المراد منه نفي كونه مظنة للريب بوجه من الوجوه ، والمقصود أنه لا شبهة في صحته ، ولا في كونه من عند الله ، ولا في كونه معجزاً. ولو قلت : المراد لا ريب في كونه معجزاً على الخصوص كان أقرب لتأكيد هذا التأويل بقوله : {وَإِن كُنتُمْ فِى رَيْبٍ مِّمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا} (البقرة : 23) وها هنا سؤالات : السؤال الأول : طعن بعض الملحدة فيه فقال : إن عني أنه لا شك فيه عندنا فنحن قد نشك فيه ، وإن عني أنه لا شك فيه عنده فلا فائدة فيه. الجواب : المراد أنه بلغ في الوضوح إلى حيث لا ينبغي لمرتاب أن يرتاب فيه ، والأمر كذلك ؛ لأن العرب مع بلوغهم في الفصاحة إلى النهاية عجزوا عن معارضة أقصر سورة من القرآن ، وذلك يشهد بأنه بلغت هذه الحجة في الظهور إلى حيث لا يجوز للعاقل أن يرتاب فيه. السؤال الثاني : لم قال ههنا : {لا رَيْبَا فِيه } وفي موضع آخر {لا فِيهَا غَوْلٌ} (الصافات : 47) ؟
 الجواب : لأنهم يقدمون الأهم فالأهم ، وههنا الأهم نفي الريب بالكلية عن الكتاب ، ولو قلت : لا فيه ريب لأوهم أن هناك كتاباً آخر حصل الريب فيه لا ها هنا ، كما قصد في قوله : {لا فِيهَا غَوْلٌ} تفضيل خمر الجنة على خمور الدنيا ، فإنها لا تغتال العقول كما تغتالها خمرة الدنيا السؤال الثالث : من أين يدل قوله : {لا رَيْبَا فِيه } على نفي الريب بالكلية ؟
 الجواب : قرأ أبو الشعثاء {لا رَيْبَا فِيه } بالرفع. واعلم أن القراءة المشهورة توجب ارتفاع الريب بالكلية ، والدليل عليه أن قوله : {لا رَيْبَ } نفي لماهية الريب ونفي الماهية يقتضي نفي كل فرد من أفراد الماهية ، لأنه لو ثبت فرد من أفراد الماهية لثبتت الماهية ، وذلك يناقض نفي الماهية ، ولهذا السر كان قولنا : "لا إله إلا الله" نفياً لجميع الآلهة سوى الله تعالى. وأما قولنا : "لا ريب فيه" بالرفع فهو نقيض لقولنا : "ريب فيه" وهو يفيد ثبوت فرد واحد/ فذلك النفي يوجب انتفاء جميع الأفراد ليتحقق التناقض.
الوقف على "فيه" :
المسألة الثانية : الوقف على {فِيه } هو المشهور ، وعن نافع وعاصم أنهما وقفا على {لا رَيْبَ } ولا بدّ للواقف من أن ينوي خبراً ، ونظيره قوله : {قَالُوا لا ضَيْرَ } وقول العرب : لا بأس ، وهي كثيرة في لسان أهل الحجاز ؛ والتقدير : {لا رَيْبَا فِيه } {فِيه هُدًى} . واعلم أن القراءة الأولى أولى ؛ لأن على القراءة الأولى يكون الكتاب نفسه هدى ، وفي الثانية لا يكون الكتاب نفسه هدى بل يكون فيه هدى ، والأول أولى لما تكرر في القرآن من أن القرآن نور وهدى والله أعلم
2)      Adapun contoh yang berkaitan dengan pembahasan filsafat, fiqih, dan fisika yaitu sebagai berikut:
أما قوله تعالى : {الرَّحْمَـانُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى } ففيه مسائل :
المسألة الأولى : قرىء الرحمن مجروراً صفة لمن خلق والرفع أحسن لأنه إما أن يكون رفعاً على المدح والتقدير هو الرحمن وإما أن يكون مبتدأ مشاراً بلامه إلى من خلق فإن قيل الجملة التي هي على العرش استوى ما محلها إذا جررت الرحمن أو رفعته على المدح ؟
 قلنا : إذا جررت فهو خبر مبتدأ محذوف لا غير وإن رفعت جاز أن يكون كذلك وأن يكون مع الرحمن خبرين للمبتدأ.
المسألة الثانية : المشبهة تعلقت بهذه الآية في أن معبودهم جالس على العرش وهذا باطل بالعقل والنقل من وجوه. أحدها : أنه سبحانه وتعالى كان ولا عرش ولا مكان ، ولما خلق الخلق لم يحتج إلى مكان بل كان غنياً عنه فهو بالصفة التي لم يزل عليها إلا أن يزعم زاعم أنه لم يزل مع الله عرش. وثانيها : أن الجالس على العرش لا بد وأن يكون الجزء الحاصل منه في يمين العرش غير الحاصل في يسار العرش فيكون في نفسه مؤلفاً مركباً وكل ما كان كذلك احتاج إلى المؤلف والمركب وذلك محال. وثالثها : أن الجالس على العرش إما أن يكون متمكناً من الإنتقال والحركة أو لا يمكنه ذلك فإن كان الأول فقد صار محل الحركة والسكون فيكون محدثاً لا محالة وإن كان الثاني كان كالمربوط بل كان كالزمن بل أسوأ منه فإن الزمن إذا شاء الحركة في رأسه وحدقته أمكنه ذلك وهو غير ممكن على معبودهم.

3)      Pada persoalan fiqih pada Q.S al-Maidah :6 sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
المسألة الرابعة : اختلفوا في أن هذه الآية هل تدل على كون الوضوء شرطاً لصحة الصلاة ؟
 والأصح أنها تدل عليه من وجيهن : الأول : أنه تعالى علق فعل الصلاة على الطهور بالماء ، ثم بيّن أنه متى عدم لا تصح إلا بالتيمم ، ولو لم يكن شرطاً لما صح ذلك. الثاني : أنه تعالى إنما أمر بالصلاة مع الوضوء ، فالآتي بالصلاة بدون الوضوء تارك للمأمور به ، وتارك المأمور به يستحق العقاب ، ولا معنى للبقاء في عهدة التكليف إلا ذلك ، فإذا ثبت هذا ظهر كون الوضوء شرطاً لصحة الصلاة بمقتضى هذه الآية.
المسألة الخامسة : قال الشافعي رحمه الله : النيّة شرط لصحة الوضوء والغسل. وقال أبو حنيفة رحمه الله : ليس كذلك.
وأعلم أن كل واحد منهما يستدل لذلك بظاهر هذه الآية.
أما الشافعي رحمه الله فإنه قال : الوضوء مأمور به ، وكل مأمور به يجب أن يكون منوياً فالوضوء يجب أن يكون منوياً ، وإذا ثبت هذا وجب أن يكون شرطاً لأنه لا قائل بالفرق ، وإنما قلنا : إن الوضوء مأمور به لقوله {فاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ } (المائدة : 6) ولا شك أن قوله {فاغْسِلُوا } {وَامْسَحُوا } أمر ، وإنما قلنا : إن كل مأمور به أن يكون منوياً لقوله تعالى : {وَمَآ أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ} (البينة : 5) واللام في قوله {لِيَعْبُدُوا } ظاهر للتعليل ، لكن تعليل أحكام الله تعالى محال ، فوجب حمله على الباء لما عرف من جواز إقامة حروف الجر بعضها مقام بعض ، فيصير التقدير : وما أمروا إلا بأن يعبدوا الله مخلصين له الدين/ والإخلاص عبارة عن النية الخالصة ، ومتى كانتالنية الخالصة معتبرة كان أصل النية معتبراً. وقد حققنا الكلام في هذا الدليل في تفسير قوله تعالى : {وَمَآ أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ} فليرجع إليه في طلب زيادة الاتقان ، فثبت بما ذكرنا أن كل وضوء مأمور به ، وثبت أن كل مأمور به يجب أن يكون منوياً مخصوص في بعض الصور ، لكنا إنما أثبتنا هده المقدمة بعموم النص ، والعام حجة في غير محل التخصيص.
4)      Pada persoalan fisika, dan astronomi dalam Q.S al-Imran: 189-190 sebagai berikut:
ثم قال : {وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَـاوَاتِ وَالارْضِا وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ} أي لهم عذاب أليم ممن له ملك السموات والأرض ، فكيف يرجو النجاة من كان معذبه هذا القادر الغالب.
جزء : 9 رقم الصفحة : 456
اعلم أن المقصود من هذا الكتاب الكريم جذب القلوب والأرواح عن الاشتغال بالخلق الى الاستغراق في معرفة الحق ، فلما طال الكلام في تقرير الاحكام والجواب عن شبهات المبطلين عاد الى إنارة القلوب بذكر ما يدل على التوحيد والالهية والكبرياء والجلال ، فذكر هذه الآية. قال ابن عمر : قلت لعائشة : أخبريني بأعجب ما رأيت من رسول الله صلى الله عليه وسلّم ، فبكت وأطالت ثم قالت : كل أمره عجب ، أتاني في ليلتي فدخل في لحافي حتى ألصق جلده بجلدي ، / ثم قال لي : يا عائشة هل لك أن تأذني لي الليلة في عبادة ربي ، فقلت : يا رسول الله إني لأحب قربك وأحب مرادك قد أذنت لك. فقام الى قربة من ماء في البيت فتوضأ ولم يكثر من صب الماء ، ثم قام يصلي ، فقرأ من القرآن وجعل يبكي ، ثم رفع يديه فجعل يبكي حتى رأيت دموعه قد بلت الارض ، فأتاه بلال يؤذنه بصلاة الغداة فرآه يبكي ، فقال له : يا رسول الله أتبكي وقد غفر الله لك ما تقدم من ذنبك وما تأخر ، فقال : يا بلال أفلا أكون عبدا شكورا ، ثم قال : ما لي لا أبكي وقد أنزل الله في هذه الليلة : {إِنَّ فِى خَلْقِ السَّمَـاوَاتِ وَالارْضِ} ثم قال : ويل لمن قرأها ولم يتفكر فيها. وروي : ويل لمن لاكها بين فكيه ولم يتأمل فيها. وعن علي رضي الله عنه : أن النبي صلى الله عليه وسلّم كان اذا قام من الليل يتسوك ثم ينظر الى السماء ويقول : إن في خلق السموات والارض. وحكى أن الرجل من بني إسرائيل كان اذا عبد الله ثلاثين سنة أظلته سحابة. فعبدها فتى من فتيانهم فما اظلته السحابة ، فقالت له أمه : لعل فرطة صدرت منك في مدتك ، قال : ما أذكر ، قالت : لعلك نظرة مرة الى السماء ولم تعتبر قال نعم ، قالت : فما أتيت إلا من ذلك.
واعلم أنه تعالى ذكر هذه الآية في سورة البقرة ، وذكرها هنا أيضا ، وختم هذه الآية في سورة البقرة بقوله : {لايَـاتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ} (البقرة : 164) وختمها ههنا بقوله : {لايَـاتٍ لاوْلِى الالْبَـابِ} وذكر في سورة البقرة مع هذه الدلائل الثلاثة خمسة أنواع أخرى ، حتى كان المجموع ثمانية أنواع من الدلائل ، وههنا اكتفى بذكر هذه الأنواع الثلاثة : وهي السموات والأرض ، والليل والنهار ، فهذه أسئلة ثلاثة :
جزء : 9 رقم الصفحة : 456
السؤال الأول : ما الفائدة في إعادة الآية الواحدة باللفظ الواحد في سورتين ؟
والسؤال الثاني : لم اكتفي ههنا باعادة ثلاثة أنواع من الدلائل وحذف الخمسة الباقية ؟
والسؤال الثالث : لم قال هناك : {لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ} (البقرة : 164) وقال ههنا : {لاوْلِى الالْبَـابِ} .

DAFTAR PUSTAKA
Abidu, Yunus Hasan Dirasat wa Mabahits fi tarikh al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirin, diterj. Oleh Qodirun Nur dan Ahmad Musayafiq, dengan Judul Sejarah Tafsir dan Metode Mufasir. Cet. I, Tangerang: Gaya Media Pratama, 2007
Al-ªahabi, Muhammad Husayn. al-Tafsir wa al-MufassirunKairo: Maktabah Wahbah, t.th.
Al-Rahman, Muhammad Ibrahim. ‘Abd Manhaj al-Fakhral-Razy fiy al-Tafsir Nashr: al-Shadr Likhidmati ath-Thaba’ah, 1989
Al-Umariy, Muhammad Hasan. al-Imam Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>. t.tp: tp, t.th
Jibril, Muhammad al-Sayyid, Madkhal ila Manahij al-Mufassirin. Kairo: t.p, t.th
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jil.I. ttp: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, tth.
Mardan, Alquran; Sebuah Pengantar Memahami alquran Secara Utuh, Cet. I. Makassar: CV. Berkah Utami, 2009.
Muhammad  al-Ra>zi> Fakhr al-Din, Tafsir al-Fakhr  al-Ra>zi>, Juz I. Beirut: Dar al-Fikr, 1981
Muhammad, S}i>rah Ahmad. Tafsi>r bi-Ra’yi> wa Mana>hij al-Mufassirin, al-Mansourah: Dar al-azhar, 1992
Mahmud, Mani’ Abd Halim. Manhaj al-Mufassirin, diterj. Oleh Syahdianor dan Faisal Saleh, dengan Judul Metodologi Tafsir; Kajian Komprehensif Metode Para Ahli tafsir. Jakarta, PT. Rajagrafindo Persada, 2006.
Gashib, Ali Husain Fahd. Tesis al-Mafahimu al-Tarbawiyah ‘inda al-Imam Fakhr al-Din ar-Ra>zi> min Khilali Kita>bihi at-Tafsir al-Kabir al-Musamma> Mafa>tih al-Gaib. Makkahtul al-Mukarramah: Universitas Ummul Qura’, 1411H.




[1]Mardan, Alquran; Sebuah Pengantar Memahami alquran Secara Utuh, Cet. I (Makassar: CV. Berkah Utami, 2009), h. 226
[2]Muhammad  al-Ra>zi Fakhr al-Din, Tafsir al-Fakhr al-Ra>zi, Juz I (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), h. 3
[3]Orang yang bergelar dengan al-Ra>zi banyak, di antaranya adalah Abu bakar Muhammad bin Zakaria  al-Ra>zi (seorang Dokter dan Filosof terkenal, w. 311/313 H); Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria al-Ra>zi (Ahli Bahasa dan Fiqih, w. 360 H); Quthb al-Din  al-Ra>zi> (Pengarang kitab risalah al-Quthbiah, w. 766 H).
[4]Ray adalah sebuah kota yang terletak di wilayah bagian dari daerah-daerah terkenal di negeri al-Dailan (kini Afghanistan), letaknya dekat dengan wilayah Badghis, Ghot dan Farah. Untuk lebih jelasnya, lihat peta provinsi-provinsi di Afghanistan. Selanjutnya, penisbahan  al-Ra>zi> sebagai julukan yang diberikan kepadanya merupakan term yang dimodifikasi dari kata al-Ray. Sebagaimana pula kota Marwa dimodifikasi menjadi Marwazi. Lihat Muhammad Hasan al-Umariy, al-Imam Fakhr al-Din  al-Ra>zi (t.tp: tp, t.th), h. 18
[5]Muhammad Ibrahim ‘Abd al-Rahman, Manhaj al-Fakhral-Razy fiy al-Tafsir (Nashr: al-Shadr Likhidmati ath-Thaba’ah, 1989), h. 25. Lihat juga, Muhammad al-Sayyid Jibril, Madkhal ila Manahij al-Mufassirin (Kairo: t.p, t.th), h. 114
[6]Ibid.
[7]Muhammad Ibrahim Abd al-Rahman, op.cit., h. 26.
[8]Al-Umary, op.cit., h. 20.
[9]Sayyid Husain Nashr, Fakhr al-Din  al-Ra>ziy>, dalam M.M. Syarif, “a History of Muslim Philosophy (td), h. 54.
[10]Skeptis yang dialami oleh  al-Ra>ziy> mengarahkannya kepada asketik atau gnostik. Namun dalam hal ini, ia berbeda  dengan al-Gazali. Al-Gazali lebih tulus (ashdaq) dari pada dia, karena tampaknya  al-Ra>ziy> tidak sesuai dengan keadaan seorang sufi. Ia mati dengan meninggalkan kekayaan yang banyak dan hubungannya dengan raja-raja tidak diputuskan (tetap harmonis), sementara al-Gazali tidak demikian. Lebih lanjut dapat dilihat pada, al-Umary, op.cit., h. 87)
[11]Muhammad Husayn al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun,  Jilid I (Kairo: Maktabah Wahbah, t.th), h. 206
[12]‘Ali Husain Fahd Gashib, Tesis al-Mafahimu al-Tarbawiyah ‘inda al-Imam Fakhr al-Din ar-Ra>zi> min Khilali Kita>bihi at-Tafsir al-Kabir al-Musamma> Mafa>tih al-Ghaib (Makkahtul al-Mukarramah: Universitas Ummul Qura’, 1411H), h. 25-26
[13]Al-Umary, op.cit., h. 209.
[14]Muhammad Husayn al-Dzahabi, Jil. I, op. cit.,  h. 207
                [15]Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jil.I(ttp: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, tth), h. 175-176. 
[16]Yunus Hasan Abidu, Dirasat wa Mabahits fi tarikh al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirin, diterj. Oleh Qodirun Nur dan Ahmad Musayafiq, dengan Judul Sejarah Tafsir dan Metode Mufasir, Cet. I (Tangerang: Gaya Media Pratama, 2007), h. 108
[17]Mani’ Abd Halim Mahmud, Manhaj al-Mufassirin, diterj. Oleh Syahdianor dan Faisal Saleh, dengan Judul Metodologi Tafsir; Kajian Komprehensif Metode Para Ahli tafsir (Jakarta, PT. Rajagrafindo Persada, 2006), h.323  
[18]Muhammad  al-Ra>zi Fakhr al-Din, Jil. I, op. cit., h. 9
[19]‘Ali Husain Fahd Gashib, op. cit., h. 49-50
[20]Yunus Hasan Abidu, op. cit., h. 107
[21]Muhammad Husayn al-Dzahabi, Jil. I. h. 208-209
[22]Ibid.
[23]Muhammad  al-Ra>zi Fakhr al-Din,  Jil. II, op. cit.,  h. 21-22

Comments

BERITA TERBARU !!

Popular posts from this blog

BIL MA'TSUR ( TAFSIR AYAT DENGAN AYAT )

CARA MELAKUKAN TAKHRIJ HADIS

download TAFSIR AL-NASAFIY

HADIS TARBAWIY DAN AKHLAK (BERKURANGNYA IMAN KARENA MAKSIAT)

cara atau Kaedah al-Jarh Wa al-Ta’dil Serta Aplikasinya

apa contoh MUKJIZAT AL-QUR'AN (Pengertian dan Pembagiannya)

cara TAMBAHAN - kaedah ZIYADAH DALAM AL-QUR'AN

cara melakukan MUNASABAH AYAT

QAWAIDH AL-TAHDIS (Pengertian , Ruang Lingkup dan Urgensinya )

kaedah 'ATAF - AL-'ATFU DALAM AL-QUR'AN