A. Latar Belakang Masalah
Alquran seperti
diyakini kaum muslimin merupakan kitab hidayah, petunjuk bagi manusia dalam
membedakan yang hak dengan yang batil. Dalam berbagai versinya alquran sendiri
menegaskan beberapa sifat dan ciri yang melekat dalam dirinya, di antaranya
bersifat transformatif. Yaitu membawa misi perubahan untuk mengeluarkan manusia
dari kegelapan-kegelapan, Z{uluma>t
(di bidang akidah, hukum, politik, ekonomi, sosial budaya dan lain-lain) kepada
sebuah cahaya, Nur petunjuk ilahi
untuk menciptakan kebahagiaan dan kesentosaan hidup manusia di dunia dan
akhirat. Dari prinsip yang diyakini kaum muslimin inilah usaha-usaha manusia
muslim dikerahkan untuk menggali format-format petunjuk yang dijanjikan bakal
mendatangkan kebahagiaan bagi manusia. Dalam upaya penggalian prinsip dan
nilai-nilai qur'a>ni yang berdimensi keilahian dan kemanusiaan itulah
penafsiran dihasilkan.
Secara umum, metode
yang digunakan oleh para mufassir dalam menafsirkan alquran terbagi kepada
empat macam, yaitu metode tah}lili>,
maud{u>’i, muqa>ran dan ijma>li>.
Keempat metode ini mewarnai seluruh karya tafsir, sejak dulu sampai sekarang.
Metode tafsir tahli>li>>
merupakan metode tafsir paling tua. Para
mufassir klasik menyusun kitab tafsir dengan menggunakan metode tersebut. Mereka
menjelaskan ayat-ayat alquran berdasarkan urutannya dalam mushaf Usmani dan
seluruh aspek di dalamnya, baik dari segi kosa kata, asba>b al-Nuzu>l, munasa>bah
dan hal-hal yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat.
Di samping itu, tafsir dilihat dari
segi sumbernya, sebagaimana yang dikemukakan oleh ulama mutaqaddimin, mempunyai
tiga macam corak, yaitu: al-Ma’tsu>r,
al-Ra’yu dan al-Isya>ri.
Boleh dikatakan bahwa seluruh kitab
tafsir yang disusun oleh mufassir klasik adalah kitab tafsir al-Ma’tsu>r. Setelah ilmu
pengetahuan berkembang dengan pesat dan
para ulama telah menguasai berbagai disiplin ilmu, mereka menyusun kitab tafsir
dengan lebih mengedepankan ra’yu
(pendapat) dan diwarnai oleh latar belakang pendidikan mereka.
Salah satu kitab tafsir yang muncul
dengan corak al-ra’yu dan diwarnai
oleh berbagai disiplin ilmu pengetahuan adalah tafsir Mafa>tih al-Ghaib. Kitab ini disusun oleh Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, beliau seorang
mufassir yang sangat rasional dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan,
baik agama maupun umum, seperti ilmu kalam, ushul fiqhi, ilmu alam, astronomi,
perbintangan dan agronomi. Ilmu-ilmu ini sangat berpengaruh kepadanya dalam
menafsirkan ayat-ayat alquran.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut,
maka penulis merumuskan beberapa permasalahan pada pembahasan ini sebagai
berikut:
1.
Bagaimana
profil Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>?
2.
Bagaimana
manhaj Fakhr al-Di>n al-Ra>zi> dalam kitab tafsirnya?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi
al-Ra>zi>
- Riwayat
Hidup al-Ra>zi>
Nama lengkap al-Ra>zi> adalah Muh}ammad
bin ‘Umar bin al-H}usain bin al-H}asan bin ‘Ali al-Timiy> al-Bakariy>
al-Thabariy> al-Ashl,
dan memiliki nasab sampai kepada Abu Bakar Shiddiq ra. Beliau memiliki banyak
julukan, di antaranya Abu ‘Abdullah, Abu al-Ma’a>li, Abu al-Fad}il, Ibn Kha>t}ib
al-Ray, Fakhr al-Di>n al-Ra>zi> dan Syaikh al-Islam.
Gelaran-gelaran ini diberikan kepadanya karena beliau telah menguasai berbagai
bidang ilmu pengetahuan, baik pengetahuan agama maupun umum. Ia lahir di kota Ray
pada tanggal 25 Ramadhan 544 H/ 543 H dan wafat pada hari raya Idul Fitri tahun
606 H di kota Herat.
Sejak
kecil, al-Ra>zi> dididik oleh ayahnya, Kha>t}ib al-Ray. Dialah yang mula-mula mengajarinya ilmu keislaman,
terutama ushul fiqhi. Setelah ia
wafat, al-Ra>zi> belajar kepada
al-Simnany kemudian pada al-Majd al-Ji>liy
(murid al-Gaza>li) tentang ilmu kalam dan hikmah dalam waktu yang cukup
lama. Bahkan ia telah menguasai risalah teologi al-Sya>mil fi Ushul al-Di>n (karya Imam Haramain), al-Musthashfa> (karya al-Gazali) dan al-Mu’tamad (karya Abu Hasan al-Bishri).
Di samping itu, ia juga menaruh perhatian yang sangat besar terhadap kitab al-Mufashshal (karya al-Zamakhsyari>)
dalam ilmu nahwu dan kitab al-Waji>z
(karya al-Gazali) dalam ilmu fiqhi. Kedua kitab tersebut telah disyarahnya.
Kemudian ia juga mempelajari dua buah kitab karya ‘Abdul Qa>hir dalam ilmu
balagah dan meringkasnya dalam sebuah kitab yang diberi judul: Niha>yat al-I>jaz fi Dira>yat al-I>’jaz.
Selanjutnya,
al-Ra>zi> mempelajari ilmu filsafat dari buku-buku Aristoteles dan Plato
serta filosof-filosof muslim, seperti Ibnu Sina, al-Farabi dan Abu al-Barakat
al-Bagda>di. Dalam bidang
ini, ia memberi syarah kitab al-Isya<rat
karya Ibnu Sina, kemudian menyusun buku
dalam ilmu kedokteran dengan judul Syarh
al-Kulliat li al-Qanu>n.
Setelah
menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti ilmu kalam, filsafat, ushul fiqhi dan ilmu-ilmu keislaman
lainnya, ia melakukan rihlah ke beberapa daerah sekitar Ray, seperti Khawarizm.
Di tempat ini, ia berdialog dengan
tokoh-tokoh masyarakat dan penduduk setempat tentang persoalan mazhab dan
akidah. Penduduk setempat tidak dapat menerima pendapat al-Ra>zi> yang
sangat rasional, sehingga ia diusir dari tempat tersebut. Kemudian ia menuju
Transoksiana. Di tempat ini pula, penduduk tidak bisa menerima pandangannya
sehingga perdebatan yang seru terjadi lagi. Akhirnya, al-Ra>zi>
memutuskan untuk kembali ke al-Ray.
Setibanya
di tempat kelahirannya, al-Ra>zi> menghadap kepada Sulta>n Syiha>b
al-Di>n al-Ghou>ri kemudian menghadap kepada Sulta>n Ala’ al-Di>n Muh}ammad bin Tuksy
Khawarizm dan mendapat sambutan yang
hangat serta kedudukan yang tinggi.
Hubungannya dengan penguasa setempat sangat harmonis, namun tidak mempengaruhi
kegiatan intelektualnya. Ia terus bergelut dengan berbagai ilmu pengetahuan dan
menghasilkan sejumlah karya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Kemampuan
al-Ra>zi> menguasai berbagai disiplin ilmu sangat menakjubkan,
melihat situasi dan kondisi dunia Islam
saat itu sedang mengalami disintegrasi politik dan labilnya keamanan. Dalam hal
ini, Sayyid H}usain Nashr mengatakan bahwa jarang sekali seorang pemikir Islam
dapat menguasai berbagai disiplin ilmu seperti yang dialami oleh al-Ra>zi>>.
Karena pada saat itu, biasanya para mutakallimin sunni dan ahli fikihnya telah
menjauhkan diri dari cabang-cabang pengetahuan di luar bidang agama.
Al-Ra>zi>
memiliki keunggulan dalam bidang ilmu agama maupun umum dibanding para ilmuan
pada masanya. Ia juga dikenal ahli debat, selalu mengungguli lawan-lawannya
dengan argumen-argumen yang logis dan bahasa yang fasih. Kritikan-kritikannya
tidak hanya ditujukan kepada ilmuan pada masanya tapi juga imam-imam terdahulu, seperti Imam Asy’ari>, Ibnu Faruq, Qadhi
Abu Bakar dan Imam Haramain. Meskipun dalam fikhi, ia bermazhab Syafi’i> dan
dalam ilmu kalam menggunakan pemahaman Asy’ari>.
Menjelang
akhir hayatnya, al-Ra>zi> mengalami skeptis terhadap kemampuan rasio
sebagaimana yang telah dialami juga oleh al-Gazali.
Kepercayaannya kepada kemampuan akal mulai menurun dan tergoncang. Karena itu,
ia berpesan kepada salah seorang muridnya yang setia, yaitu Ibrahi>m bin Abu
Bakar al-Asfaha>ni agar di dalam mencari kebenaran tidak hanya melalui
perdebatan akal semata, tetapi yang terpenting adalah menelusuri kandungan alquran.
Delapan bulan setelah berpesan, ia sakit keras dan menghembuskan nafasnya yang
terakhir dalam usia 57 tahun.
Berita kematian al-Ra>zi>
sangat kontroversial, ada yang mengatakan bahwa ia meninggal karena diracun oleh
lawan-lawannya dari kelompok Karamiyah, dan ada yang mengatakan bahwa ia
meninggal secara wajar akibat sakit keras yang dideritanya.
2. Guru-Guru dan Murid-Murid
Guru-guru
al-Ra>zi> antara lain adalah Dhiya>’u al-Di>n ‘Umar bin al-Hasan
Khathi>b al-Ray (ayah al-Ra>zi>), Muhiy> al-Sunnah Abi Muh}ammad
al-Baghawiy>, Abu al-Qa>sim al-Aushariy, al-Kama>l al-Sim’aniy, dan
Al-Majd al-Ji>liy
Adapun
murid-murid al-Ra>zi>, antara lain
Ibrahi>m bin ‘Ali bin Muh}ammad al-Quthub al-Salamiy> al-Maghribiy>,
Qa>dhi al-Qudhat Ahmad bin al-Khali>l bin ‘Isa al-Barmakiy>, ‘Abdul
al-Hami>d bin ‘Isa bin ‘Amwaiyh bin Yu>nus bin Khali>l al-Khasru
Syahiy, Ibrahim bin Abi Bakr bin ‘Ali al-Ashbahaniy, Syarf al-Di>n bin
‘Unayn ‘Abu al-Maha>sin Muhammad bin Nashir bin Gha>lib, Zayn al-Din
al-Kasysyi, Ta>j al-Din al-Armawiy dan Ahmad bin Muh}ammad bin Abi>
al-Hazm al-Makky Najm al-Di>n al-Mahzumy al-Qamuly.
- Karya-karya
al-Ra>zi>
Sungguh al-Ra>zi> telah
mewariskan perbendaharaan keilmuan yang besar dengan karya-karyanya yang bermanfaat
semasa hidupnya dan setelah wafatnya, disambut baik oleh banyak orang. Mereka
mempelajarinya, memanfaatkan peninggalan ulama besar ini yang karangannya
mencapai 200 kitab. Diantara karya-karya beliau yang terkenal antara lain: Mafa>tih al-Ghaib (tafsir al-Kabi>r),
Ikhtisa>r Dala>il al-I’jaz, Asas al-Taqdi>s, Asra>r al-Tanzi>l
wa Anwa>r al-Ta’wi>l, I’tiq>ada>t Faeq al-Muslimi>n wa
al-Musyriki>n, al-Baya>n wa al-Burha>n fi> al-Rad ‘Ala Ahl al-Zayan wa al-Thughya>n, Al-Tanbih ala
Ba’dhi al-Asra>r al-Maudhi’ah fi Ba’dhi Suwa>r alquran, Syifa>’
al-Ayyi’ wa al-Ikhtila>f, Al-Thari>q fi> al-Jadl, Ashamah al-Anbiya’,
Fadha>’il al-Shaha>bah, Luba>b al-Isya>ra>t dan masih banyak lagi karya-karyanya yang
lain, namun yang sempat dicetak dan sampai ke tangan kita hanya sedikit.
B. Metodologi
Kitab Tafsir Mafa>tih al-Gaib
- Identifikasi
Kitab
Kitab ini bernama tafsir
Mafa>ti>h al-Gaib, terdiri dari XXXII jilid bersama fihrisnya, dikarang oleh Muhammad bin ‘Umar bin al-Husain bin
al-Hasan bin ‘Ali al-Timiy al-Bakariy al-T}abariy al-Ashl. Yang dikenal dengan
al-Ra>zi>, Cetakan pertama, Beirut:
Da>r al-Fikr, 1401 H/1981 M.
Untuk lebih jelasnya
pembahasan pada setiap jilid kitab tersebut akan di uraikan sebagai berikut:
1)
Jilid
I: Menafsirkan surah al-Fa>tih}ah
dengan menjelaskan 5 Bab pembahasan
2)
Jilid
II: Menafsirkan surah al-Baqarah
disertai dengan permasalahannya
3)
Jilid
III, IV, V, VI : Kelanjutan penafsiran surah al-Baqarah dengan
permasalahannya
4)
Jilid
VII, VIII: Menafsirkan surah al-‘Imran dengan permasalahannya
5)
Jilid
IX: Kelanjutan
penafsiran surah al-‘Imran dan memulai penafsiran surah an-Nisa>’ dengan
permasalahannya
6)
Jilid
X: Kelanjutan
penafsiran surah an-Nisa>’ dengan permasalahannya
7)
Jilid
XI: Kelanjutan
penafsiran surah an-Nisa>’ dan memulai penafsiran surah al-Ma>idah dengan permasalahannya
8)
Jilid
XII: Kelanjutan
penafsiran surah al-Ma>idah dan memulai penafsiran surah al-An’a>m dengan
permasalahannya
9)
Jilid
XIII: Kelanjutan
penafsiran surah al-An’a>m dengan permasalahannya
10)Jilid XIV: Kelanjutan penafsiran
surah al-An’a>m dan memulai penafsiran surah al-A’ra>f dengan
permasalahannya
11)Jilid XV: Kelanjutan
penafsiran surah al-A’ra>f dan memulai surah al-Anfa>l, at-Taubah
disertai dengan permasalahan pada masing-masing surah.
12)Jilid XVI: Kelanjutan surah at-Taubah
dengan permasalahannya
13)Jilid XVII: Menafsirkan surah
Yu>nus dan Hu>d serta permasalahannya
14)Jilid XVIII: Kelanjutan penafsiran surah Hu>d dan memulai penafsiran surah
Yu>suf, Ra>d serta permasalahan pada masing-masing surah.
15)Jilid XIX: Kelanjutan penafsiran
surah Ra>d dan memulai penafsiran surah Ibrahi>m, Hijr, dan Nah}l
disertai dengan permasalahan masing-masing surah
16)Jilid XX: Menafsirkan
surah al-Isra>’ dan permasalahannya
17)Jilid XXI: Kelanjutan
surah al-Isra>’ dan memulai menafsirkan surah al-Kahfi, Maryam serta
permasalahan masing-masing surah
18)Jilid XXII: Menafsirkan surah
Tha>ha dan al-Anbiya’ serta permasalahannya
19)Jilid XXIII: Menafsirkan surah al-H}a>j, al-Mu’minun, dan an-Nu>r disertai
dengan permasalahan masing-masing surah
20)Jilid XXIV: Kelanjutan penafsiran surah an-Nu>r dan memulai penafsiran surah
al-Furqa>n, al-Syu’ara>’, an-Naml, al-Qasas, al-‘Ankabut disertai dengan
permasalahan masing-masing surah
21)Jilid XXV: Kelanjutan penafsiran
surah al-‘Ankabut dan memulai penafsiran surah ar-Ru>m, Lukma>n,
as-Sajadah, al-Ah}za>b, Saba>’ disertai dengan permasalahan masing-masing
surah
22)Jilid XXVI: Menafsirkan surah Fa>tir, Ya>sin, ash-Sha>ffat, Shad dan
az-Zumar disertai dengan pemasalahan masing-masing surah
23)Jilid XXVII: Kelanjutan penafsiran surah az-Zumar dan memulai penafsiran surah
al-Mu’min, Fushshilat, Asy-Syu’ara>’, Az-Zukhruf, ad-Dukha>n,
al-Ja>tsiyah disertai dengan permasalahan masing-masing surah
24)Jilid XXVIII: Menafsirkan surah al-Ah}qa>f, Muh}ammad, al-Fath, al-Hujura>t, Qaf,
adz-Dza>riyat, ath-Thu>r dan an-Najm disertai dengan permasalahan
masing-masing surah
25)Jilid XXIX: Kelanjutan penafsiran surah an-Najm dan memulai penafsiran surah
al-Qamar, ar-Rah}ma>n, al-Wa>qi’ah, al-H}adi>d, al-Muja>dilah,
al-H}asyr, al-Muntahanah, dan ash-Shaf disertai dengan permasalahan
masing-masing surah
26)Jilid XXX: Menafsirkan surah al-Jum’ah, al-Muna>fiqun, at-Tagha>bun,
ath-Thalaq, at-Tah}ri>m, al-Mulk, al-Qalam, al-H}aqqah, al-Ma’a>rij,
Nu>h, al-Jin, al-Muzammil, al-Mudatsir, al-Qiya>mah, al-Insa>n, dan al-Mursalat
disertai dengan permasalahan masing-masing surah.
27)Jilid XXXI: Menafsirkan surah an-Naba>’, an-Na>zi’at, ‘Abasa, at-Takwir,
al-Infitha>r, al-Muthaffifi>n, al-Insyiqa>q, al-Buruj, ath-Thari>q,
al-A’la, al-Gha>syiah, al-Fajr, al-Balad, asy-Syams, al-Lail dan
adh-Dhuha> disertai dengan
permasalahan masing-masing surah
28)Jilid XXXII: Menafsirkan surah Alam Nasyrah, at-Ti>n, al-Alaq, al-Qadr,
al-Bayyinah, al-Zalzalah, al-A>diyat, al-Qa>riah, at-Taka>tsur,
al-Asr, al-Humazah, al-Fi>l, Quraisy, al-Ma>’un, al-Kautsar,
al-Ka>firun, an-Nasr, al-Lahab, al-Ikhla>s, al-Falaq, dan an-Na>s
disertai dengan permasalahan masing-masing surah.
- Manhaj
al-Ra>zi> dalam kitab Mafa>tih al-Gaib
Kitab
tafsir ini mempunyai tiga nama , yaitu tafsir al-Kabi>r, tafsir al-Ra>zi> dan Mafa>ti>h al-Gaib. Penamaan kitab tafsir al-Kabi>r didasarkan pada kebesarannya, kebesaran yang dimaksud
ialah kelengkapan dan keluasan pembahasan yang dijelaskan di dalam kitab tafsir
ini. sedangkan nama al-Ra>zi>
disandarkan pada julukan pengarangnya dan Mafa>ti>h
al-Gaib diilhami oleh sebuah istilah dalam alquran surat al-An’am ayat 59
yang berbunyi: و عنده مفاتح الغيب لا يعلمها الا الله. Penyebutan
ketiga nama tersebut sama-sama populer di kalangan umat Islam. Menurut sejarah,
tafsir ini disusun oleh al-Ra>zi>
setelah menguasai berbagai disiplin ilmu, seperti ilmu kalam dan logika. Kitab
tafsir ini menjadi lebih populer lagi setelah adanya usaha dari ulama untuk
melakukan kajian dari berbagai aspek yang terdapat di dalamnya.
Ada
perbedaan di kalangan ulama mengenai penulisan kitab ini. al-©ahabiy> mengemukakan pendapat Ibnu
Ha>jar al-Asqalani> bahwa yang
menyempurnakan tafsir Fakhr al-Di>n al-Ra>zi> adalah Ah}mad bin Muh}ammad
bin Abi> al-H}azm Makkiy Najm al-Di>n al-Mahzumiy al-Qamu>li> (w. 727
H). Sedangkan Musthafa Ibnu Abdullah (pengarang kitab Kasyf al-Zunu>n)
berkata bahwa Syiha>b al-Din bin Khalil al-Khufi al-Dimasyqi (w. 639) yang
melanjutkan penulisan kitab tafsir al-Ra>zi>,
kemudian al-Syaikh Najm al-Di>n Ah}mad bin Muh}ammad al-Qamu>li (w. 727
H) yang menyelesaikannya.
Berdasarkan
pendapat ulama di atas dapat disimpulkan bahwa sebenarnya al-Ra>zi> tidak sempat menyelesaikan
tulisannya secara lengkap. Ia hanya mampu menyelesaikannya sampai surat
al-Anbiya’. Kemudian dilanjutkan oleh murid-muridnya yang setia, yaitu Syiha>b
al-Di>n bin Khalil al-Khufi dan Najm al-Din al-Qamuli. Karena sang murid
betul-betul telah menguasai metodologi dan idiom gurunya sedemikian tepatnya
sehingga gaya
penulisan keduanya dalam kitab tafsir al-Kabi>r
tersebut tidak dapat dibedakan.
a. Metode
Tafsir al-Ra>zi>
Tafsir
al-Ra>zi> yang berjudul Mafa>ti>h al-Gaib atau al-Tafsir al-Kabi>r mendapatkan
popularitas yang luas di kalangan ahli
ilmu karena pembahasan-pembahasannya yang mengalir dalam berbagai bidang ilmu.
Karena itu Ibnu Khalkan berkata, Fakhruddin al-Ra>zi> telah menghimpun di dalam
kitabnya ini setiap yang Gari>b.
Demikianlah, wawasan al-Imam telah terpengaruh oleh Imam-imam pada masanya,
seperti al-Gaza>li>y, al-Juwainiy> dan al-Baqillani>y. wawasannya
yang luas tampak di dalam kitab tafsirnya. Metode yang ditempuh oleh Beliau
adalah sebagai berikut:
- Memulai menyebutkan muna>sabat antar ayat dan antar
surat. Umumnya ia menyebutkan lebih banyak mengenai munasabah antar ayat
dan surat, di samping menyebutkan asbab
an-Nuzu>l bila ada.
- Menafsirkan ayat atau beberapa
ayat dengan menyebutkan segi bahasa, I’rab,
balagah dan masalah-masalah fiqh,
menguraikan secara panjang lebar ayat-ayat akidah untuk berdalil atas
keesaan Allah dan qudrahNya, sambil menunjukkan kedalaman kebijaksanaanNya
dan keindahan ciptaanNya dari sela-sela ayat-ayat kauniyyah.
- Banyak berkonsentrasi untuk
membela akidah Ahli Sunnah wal Jama’ah, melancarkan perlawanan sengit
dalam berbagai kesempatan terhadap para Ahli bid’ah dan penyimpang akidah.
- Banyak mengemukakan ilmu-ilmu
fisika, elsakta, dan astronomi, masalah-masalah yang kurang mendasar,
banyak penggalian hukum, yang sebagian besarnya tidak begitu dibutuhkan di dalam ilmu tafsir.
Abu Hayyan berkata, didalam tafsirnya ia menghimpun banyak hal secara
panjang lebar yang tidak diperlukan dalam ilmu tafsir. Sehingga sebagian
ulama berkata, di dalamnya ada segala sesuatu, kecuali tafsir.
- Kalau ia menemui sebuah ayat
hukum, maka ia selalu menyebutkan semua mazhab fuqaha. Akan tetapi, ia
lebih cenderung kepada mazhab Syafi’i> yang merupakan pegangannya dalam
ibadah dan muamalat.
- Al-Ra>zi> menambahkan dari
apa-apa yang telah disebutkan di atas banyak masalah tentang ilmu Us}ul, Balagah, Nahwu dan yang
lainnya, sekalipun masalah ini dibahas tidak secara panjang lebar
sebagaimana halnya pembahasan ilmu biologi, matematika dan filsafat.
- Menggunakan metode tanya jawab
dalam menjelaskan berbagai macam persoalan yang ada dalam tiap-tiap surah.
Dan memunculkan berbagai macam persoalan pada tiap-tiap pembahasan. Dapat
dilihat contoh pada halaman yang lain.
b. Corak Tafsir al-Ra>zi>
Tafsir
al-Ra>ziy> diwarnai dengan corak
teologis-filosofis dan fiqh. Ayat-ayat yang bernuansa teologis ia gunakan visi
kalam Asy’ari. Dan ayat-ayat fiqhi, ia terapkan elaborasi fiqhi Syafi’i.
c. Sumber-sumber Tafsir al-Ra>zi>
Tafsir
al-Ra>zi> memuat
pandangan-pandangan para mufassir, seperti Ibnu ‘Abbas, Ibnu al-Kalabi>,
Muja>hid, Qatadah, al-Suddi>, dan Sa’id bin Jubair. Dan dalam bidang
bahasa, al-Ra>zi> menukil pendapat
dari perawi-perawi besar, seperti al-Ashamiy, Abu Ubaidah, dan dari golongan
ulama seperti al-Farra, al-ªajjaj, dan al-Mubarrid. Sedangkan dalam
bidang tafsir beliau menukil pendapat Muqatil bin Sulaiman al-Marwaziy, Abu
Ishak al-Tsa’labiy, Abu al-Hasan ‘Ali bin Ahmad al-Wahidi, Ibnu Qutaibah,
Muhammad bin Jarir al-Thabari>, Abu Bakar al-Baqillani>, Ibnu Furak (guru
al-Ra>zi>), al-Qaffal al-Syasyi
al-kabir, dan Ibnu Urfah.
Adapun
Ulama Mu’tazilah yang dinukil pendapatnya oleh al-Ra>zi>, diantaranya Abu Muslim
al-Isfahaniy, al-Qadiy ‘Abd al-Jabba>r, al-Zamakhsyari. Adapun pandangan
al-Zamakhsyari, al-Ra>zi>
menukilnya dalam rangka menolaknya dan membatalkan kehujjahannya.
Pendapat-pendapat para ulama tersebut memperkaya kitab tafsir al-Ra>zi>.
d. Pujian ulama dan kritikan terhadap al-Ra>zi>
dan Kitabnya
adapun Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>
di mata para ulama memiliki kedudukan yang tinggi, derajat yang mulia,
mendapatkan kehormatan dan penghargaan dari seluruh lapisan masyarakat seperti
ulama, masyarakat awam, para pelajar penuntut ilmu, dan penguasa.
As-Subki mengatakan bahwa Imam al-Ra>zi>
adalah seorang Imam mutakallimin yang memiliki pengetahuan yang luas dalam
menerangkan suatu bidang ilmu dan memberikan manfaat yang lebih banyak.
Ibnu al-Hima>d al-Hambali>
mengatakan bahwa Imam Fakhr al-Di>n al-Ra>zi> adalah seorang Mufassir
Mutakallim, yang tidak ada ulama yang menandinginya di zamannya.
Ibnu Khilkan berkata, dia adalah ilmuan
yang tiada duanya pada masanya. Kepopulerannya menjadikan tidak perlu menyebut
keutamaan-keutamaan dan karya-karyanya di bidang ilmu kalam dan ilmu-ilmu
rasional lainnya.
Dikatakan bahwa kitab tafsir
al-Ra>zi> mempunyai kedudukan yang tinggi di kalangan para ulama, karena
memiliki kelebihan dibanding kitab-kitab tafsir yang lainnya, dengan pembahasan
yang mendalam dan luas dalam segala bidang ilmu pengetahuan. Sebagaimana
disifatkan oleh Ibnu khilkan, bahwa sesungguhnya beliau (al-Ra>zi>) mengumpulkan
berbagai macam persoalan yang asing dalam kitabnya.
Berkata Abu Hayan bahwa Imam Fakhr
al-Di>n al-Ra>zi> banyak mengumpulkan berbagai macam persoalan dalam
kitabnya, yang sebenarnya tidak berkaitan langsung dengan pembahasan ilmu tafsir. Oleh karena itu
sebagian ulama berkata bahwa dalam tafsirnya terdapat segala sesuatu kecuali
tafsir.
e.
Contoh penafsiran al-Razi dalam Kitabnya
1)
adapun contoh yang berkaitan dengan pambahasan
kebahasaan, tilawah dan teologi sebagai berikut:
قوله تعالى : {لا رَيْبَا فِيه } فيه مسألتان :
المسألة الأولى : الريب قريب من الشك ، . وفيه زيادة ، كأنه ظن سوء
تقول رابني أمر فلان إذا ظننت به سوء ، ومنها قوله عليه السلام : "دع ما يريبك
إلى ما لا يريبك" فإن قيل : قد يستعمل الريب في قولهم : "ريب الدهر"
و"ريب الزمان" أي حوادثه قال الله تعالى : {نَّتَرَبَّصُ بِه رَيْبَ الْمَنُونِ}
(الطور : 30) ويستعمل أيضاً في معنى ما يختلج في القلب من أسباب الغيظ كقول الشاعر
:
فقضينا من تهامة كل ريب
وخيبر ثم أجمعنا السيوفا قلنا : هذان قد يرجعان إلى معنى الشك ، لأن ما
يخاف من ريب المنون محتمل ، فهو كالمشكوك / فيه ، وكذلك ما اختلج بالقلب فهو غير متيقن
، فقوله تعالى : {لا رَيْبَا فِيه } المراد منه نفي كونه مظنة للريب بوجه من الوجوه
، والمقصود أنه لا شبهة في صحته ، ولا في كونه من عند الله ، ولا في كونه معجزاً. ولو
قلت : المراد لا ريب في كونه معجزاً على الخصوص كان أقرب لتأكيد هذا التأويل بقوله
: {وَإِن كُنتُمْ فِى رَيْبٍ مِّمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا} (البقرة : 23) وها
هنا سؤالات : السؤال الأول : طعن بعض الملحدة فيه فقال : إن عني أنه لا شك فيه عندنا
فنحن قد نشك فيه ، وإن عني أنه لا شك فيه عنده فلا فائدة فيه. الجواب : المراد أنه
بلغ في الوضوح إلى حيث لا ينبغي لمرتاب أن يرتاب فيه ، والأمر كذلك ؛ لأن العرب مع
بلوغهم في الفصاحة إلى النهاية عجزوا عن معارضة أقصر سورة من القرآن ، وذلك يشهد بأنه
بلغت هذه الحجة في الظهور إلى حيث لا يجوز للعاقل أن يرتاب فيه. السؤال الثاني : لم
قال ههنا : {لا رَيْبَا فِيه } وفي موضع آخر {لا فِيهَا غَوْلٌ} (الصافات : 47) ؟
الجواب : لأنهم يقدمون الأهم فالأهم ، وههنا الأهم
نفي الريب بالكلية عن الكتاب ، ولو قلت : لا فيه ريب لأوهم أن هناك كتاباً آخر حصل
الريب فيه لا ها هنا ، كما قصد في قوله : {لا فِيهَا غَوْلٌ} تفضيل خمر الجنة على خمور
الدنيا ، فإنها لا تغتال العقول كما تغتالها خمرة الدنيا السؤال الثالث : من أين يدل
قوله : {لا رَيْبَا فِيه } على نفي الريب بالكلية ؟
الجواب : قرأ أبو الشعثاء {لا رَيْبَا فِيه } بالرفع.
واعلم أن القراءة المشهورة توجب ارتفاع الريب بالكلية ، والدليل عليه أن قوله : {لا
رَيْبَ } نفي لماهية الريب ونفي الماهية يقتضي نفي كل فرد من أفراد الماهية ، لأنه
لو ثبت فرد من أفراد الماهية لثبتت الماهية ، وذلك يناقض نفي الماهية ، ولهذا السر
كان قولنا : "لا إله إلا الله" نفياً لجميع الآلهة سوى الله تعالى. وأما
قولنا : "لا ريب فيه" بالرفع فهو نقيض لقولنا : "ريب فيه" وهو
يفيد ثبوت فرد واحد/ فذلك النفي يوجب انتفاء جميع الأفراد ليتحقق التناقض.
الوقف على "فيه"
:
المسألة الثانية : الوقف على
{فِيه } هو المشهور ، وعن نافع وعاصم أنهما وقفا على {لا رَيْبَ } ولا بدّ للواقف من
أن ينوي خبراً ، ونظيره قوله : {قَالُوا لا ضَيْرَ } وقول العرب : لا بأس ، وهي كثيرة
في لسان أهل الحجاز ؛ والتقدير : {لا رَيْبَا فِيه } {فِيه هُدًى} . واعلم أن القراءة
الأولى أولى ؛ لأن على القراءة الأولى يكون الكتاب نفسه هدى ، وفي الثانية لا يكون
الكتاب نفسه هدى بل يكون فيه هدى ، والأول أولى لما تكرر في القرآن من أن القرآن نور
وهدى والله أعلم
2)
Adapun
contoh yang berkaitan dengan pembahasan filsafat, fiqih, dan fisika yaitu
sebagai berikut:
أما قوله تعالى : {الرَّحْمَـانُ عَلَى الْعَرْشِ
اسْتَوَى } ففيه مسائل :
المسألة الأولى : قرىء الرحمن مجروراً صفة لمن خلق والرفع أحسن لأنه
إما أن يكون رفعاً على المدح والتقدير هو الرحمن وإما أن يكون مبتدأ مشاراً بلامه إلى
من خلق فإن قيل الجملة التي هي على العرش استوى ما محلها إذا جررت الرحمن أو رفعته
على المدح ؟
قلنا : إذا جررت فهو خبر
مبتدأ محذوف لا غير وإن رفعت جاز أن يكون كذلك وأن يكون مع الرحمن خبرين للمبتدأ.
المسألة الثانية : المشبهة تعلقت بهذه الآية في أن معبودهم جالس على
العرش وهذا باطل بالعقل والنقل من وجوه. أحدها : أنه سبحانه وتعالى كان ولا عرش ولا
مكان ، ولما خلق الخلق لم يحتج إلى مكان بل كان غنياً عنه فهو بالصفة التي لم يزل عليها
إلا أن يزعم زاعم أنه لم يزل مع الله عرش. وثانيها : أن الجالس على العرش لا بد وأن
يكون الجزء الحاصل منه في يمين العرش غير الحاصل في يسار العرش فيكون في نفسه مؤلفاً
مركباً وكل ما كان كذلك احتاج إلى المؤلف والمركب وذلك محال. وثالثها : أن الجالس على
العرش إما أن يكون متمكناً من الإنتقال والحركة أو لا يمكنه ذلك فإن كان الأول فقد
صار محل الحركة والسكون فيكون محدثاً لا محالة وإن كان الثاني كان كالمربوط بل كان
كالزمن بل أسوأ منه فإن الزمن إذا شاء الحركة في رأسه وحدقته أمكنه ذلك وهو غير ممكن
على معبودهم.
3)
Pada persoalan fiqih pada Q.S al-Maidah :6 sebagai
berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ
فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ
وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ
كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ
لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا
بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ
حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُونَ
المسألة الرابعة : اختلفوا في أن هذه الآية هل تدل على كون الوضوء
شرطاً لصحة الصلاة ؟
والأصح أنها تدل عليه من
وجيهن : الأول : أنه تعالى علق فعل الصلاة على الطهور بالماء ، ثم بيّن أنه متى عدم
لا تصح إلا بالتيمم ، ولو لم يكن شرطاً لما صح ذلك. الثاني : أنه تعالى إنما أمر بالصلاة
مع الوضوء ، فالآتي بالصلاة بدون الوضوء تارك للمأمور به ، وتارك المأمور به يستحق
العقاب ، ولا معنى للبقاء في عهدة التكليف إلا ذلك ، فإذا ثبت هذا ظهر كون الوضوء شرطاً
لصحة الصلاة بمقتضى هذه الآية.
المسألة الخامسة : قال الشافعي رحمه الله : النيّة شرط لصحة الوضوء
والغسل. وقال أبو حنيفة رحمه الله : ليس كذلك.
وأعلم أن كل واحد منهما يستدل لذلك بظاهر هذه الآية.
أما الشافعي رحمه الله فإنه قال : الوضوء مأمور به ، وكل مأمور به
يجب أن يكون منوياً فالوضوء يجب أن يكون منوياً ، وإذا ثبت هذا وجب أن يكون شرطاً لأنه
لا قائل بالفرق ، وإنما قلنا : إن الوضوء مأمور به لقوله {فاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ
إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
} (المائدة : 6) ولا شك أن قوله {فاغْسِلُوا } {وَامْسَحُوا } أمر ، وإنما قلنا : إن
كل مأمور به أن يكون منوياً لقوله تعالى : {وَمَآ أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ
مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ} (البينة : 5) واللام في قوله {لِيَعْبُدُوا } ظاهر للتعليل
، لكن تعليل أحكام الله تعالى محال ، فوجب حمله على الباء لما عرف من جواز إقامة حروف
الجر بعضها مقام بعض ، فيصير التقدير : وما أمروا إلا بأن يعبدوا الله مخلصين له الدين/
والإخلاص عبارة عن النية الخالصة ، ومتى كانتالنية الخالصة معتبرة كان أصل النية معتبراً.
وقد حققنا الكلام في هذا الدليل في تفسير قوله تعالى : {وَمَآ أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا
اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ} فليرجع إليه في طلب زيادة الاتقان ، فثبت بما ذكرنا
أن كل وضوء مأمور به ، وثبت أن كل مأمور به يجب أن يكون منوياً مخصوص في بعض الصور
، لكنا إنما أثبتنا هده المقدمة بعموم النص ، والعام حجة في غير محل التخصيص.
4) Pada persoalan
fisika, dan astronomi dalam Q.S al-Imran: 189-190 sebagai berikut:
ثم قال : {وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَـاوَاتِ وَالارْضِا وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ
قَدِيرٌ} أي لهم عذاب أليم ممن له ملك السموات والأرض ، فكيف يرجو النجاة من كان معذبه
هذا القادر الغالب.
جزء : 9 رقم الصفحة : 456
اعلم أن المقصود من هذا الكتاب الكريم جذب القلوب والأرواح عن الاشتغال بالخلق
الى الاستغراق في معرفة الحق ، فلما طال الكلام في تقرير الاحكام والجواب عن شبهات
المبطلين عاد الى إنارة القلوب بذكر ما يدل على التوحيد والالهية والكبرياء والجلال
، فذكر هذه الآية. قال ابن عمر : قلت لعائشة : أخبريني بأعجب ما رأيت من رسول الله
صلى الله عليه وسلّم ، فبكت وأطالت ثم قالت : كل أمره عجب ، أتاني في ليلتي فدخل في
لحافي حتى ألصق جلده بجلدي ، / ثم قال لي : يا عائشة هل لك أن تأذني لي الليلة في عبادة
ربي ، فقلت : يا رسول الله إني لأحب قربك وأحب مرادك قد أذنت لك. فقام الى قربة من
ماء في البيت فتوضأ ولم يكثر من صب الماء ، ثم قام يصلي ، فقرأ من القرآن وجعل يبكي
، ثم رفع يديه فجعل يبكي حتى رأيت دموعه قد بلت الارض ، فأتاه بلال يؤذنه بصلاة الغداة
فرآه يبكي ، فقال له : يا رسول الله أتبكي وقد غفر الله لك ما تقدم من ذنبك وما تأخر
، فقال : يا بلال أفلا أكون عبدا شكورا ، ثم قال : ما لي لا أبكي وقد أنزل الله في
هذه الليلة : {إِنَّ فِى خَلْقِ السَّمَـاوَاتِ وَالارْضِ} ثم قال : ويل لمن قرأها
ولم يتفكر فيها. وروي : ويل لمن لاكها بين فكيه ولم يتأمل فيها. وعن علي رضي الله عنه
: أن النبي صلى الله عليه وسلّم كان اذا قام من الليل يتسوك ثم ينظر الى السماء ويقول
: إن في خلق السموات والارض. وحكى أن الرجل من بني إسرائيل كان اذا عبد الله ثلاثين
سنة أظلته سحابة. فعبدها فتى من فتيانهم فما اظلته السحابة ، فقالت له أمه : لعل فرطة
صدرت منك في مدتك ، قال : ما أذكر ، قالت : لعلك نظرة مرة الى السماء ولم تعتبر قال
نعم ، قالت : فما أتيت إلا من ذلك.
واعلم أنه تعالى ذكر هذه الآية في سورة البقرة ، وذكرها هنا أيضا ، وختم هذه الآية
في سورة البقرة بقوله : {لايَـاتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ} (البقرة : 164) وختمها ههنا
بقوله : {لايَـاتٍ لاوْلِى الالْبَـابِ} وذكر في سورة البقرة مع هذه الدلائل الثلاثة
خمسة أنواع أخرى ، حتى كان المجموع ثمانية أنواع من الدلائل ، وههنا اكتفى بذكر هذه
الأنواع الثلاثة : وهي السموات والأرض ، والليل والنهار ، فهذه أسئلة ثلاثة :
جزء : 9 رقم الصفحة : 456
السؤال الأول : ما الفائدة في إعادة الآية الواحدة باللفظ الواحد في سورتين ؟
والسؤال الثاني : لم اكتفي ههنا باعادة ثلاثة أنواع من الدلائل وحذف الخمسة الباقية
؟
والسؤال الثالث
: لم قال هناك : {لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ} (البقرة : 164) وقال ههنا : {لاوْلِى الالْبَـابِ}
.
DAFTAR PUSTAKA
Jibril, Muhammad al-Sayyid, Madkhal ila Manahij
al-Mufassirin. Kairo: t.p, t.th
Mahmud, Mani’ Abd Halim. Manhaj al-Mufassirin, diterj. Oleh
Syahdianor dan Faisal Saleh, dengan Judul Metodologi Tafsir; Kajian
Komprehensif Metode Para Ahli tafsir. Jakarta,
PT. Rajagrafindo Persada, 2006.
Comments
Post a Comment