KAIDAH TAFSIR NABI DAN SAHABAT
Salam teman, sahabt, kawan-kawan. sedikit pengantar :
Dengan melihat Nabi adalah sosok rujukan jika ada makna al-Qur'an yang sulit dipahami sahabat, apakah beliau juka punya kaidah tata cara untuk memahami Ayat al-Qur'an ? sebagaimana yang dilakukan para mufassir belakangan ini sangat terbantu untuk memahami isi kandungan al-Qur'an dengan adanya metode tertentu yang mereka terapkan. apakah demikian halnya dengan Nabi begitupula dengan sahabat beliau.
A. Tafsir Nabi dan Kaidah Tafsir
Nabi
1. Pengertian kaidah tafsir
Kaidah tafsir merupakan
tarki>b id}afi> (kata majemuk) yang telah menjadi nama bagi suatu
disiplin ilmu tertentu. Dari segi etimologi, kata kaidah bukan merupakan nama
bagi suatu disiplin ilmu tertentu, tetapi ia mempunyai pengertian tersendiri. Sedangkan kata tafsir merupakan nama bagi suatu disiplin ilmu tertentu dan
memiliki definisi tersendiri. Oleh karena itu, sebelum memberikan definisi kaidah
tafsir, terlebih dahulu dikemukakan pengertian kaidah dan tafsir.
Kata kaidah berarti perumusan dari asas-asas yang menjadi hukum. Dalam bahasa Arab disebut qawa>‘id, bentuk jamak dari qa>‘idah yang berarti undang-undang, aturan dan asas yang menjadi pengangan.
Adapun
pengetian kaidah menurut istilah yaitu aturan umum yang memperkenalkan serta
membahas (aturan-aturan pada) bagian-bagiannya.
Kata tafsir, secara
bahasa, berasal dari makna dasar "keadaan nyata dan jelas". Sedangkan
menurut etimologi, berarti menjelaskan sesuatu dan
menerangkannya. Arti ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh al-Z|ahabi> yaitu
"mengungkapkan maksud lafal yang muskil (sulit dipahami). Makna
demikian ditemukan pada ayat QS. Al-Furqan/25: 33.
Selanjutnya,
para ulama tidak sependapat dalam memberikan pengertian istilah tafsir. Hal itu
disebabkan perbedaan pendekatan yang mereka gunakan. Pendapat yang beragam itu
dapat dikelompokkan dalam dua kelompok, pendapat ulama us}u>l tafsir
dan ulama tafsir.
Namun demikian, Kha>lid
ibn ‘Us\ma>n al-Sabt memberikan definisi tafsir yanga
lebih sempit yaitu ilmu yang mengkaji kompleksitas Alquran dalam rangka
memahami firman Allah swt. sesuai kadar kemampuan manusia.
Jadi, objek material tafsir adalah Alquran itu, sedangkan objek formal tafsir
adalah problem memberikan makna dan memproduksi makna untuk mengungkap maksud
firman Allah swt.
Adapun pengertian kaidah tafsir adalah dasar-dasar,
asas-asas, dan aturan-aturan yang dijadikan sebagai patokan untuk memahami
kandungan Alquran, baik dari segi makna-maknanya, hukum-hukumya, dan
hikmah-hikmanya.
2
Tafsir Nabi
saw.
Bahasa
Alquran tidak selalu mudah difahami oleh kaum muslim. Oleh karena itu,
Rasulullah sebagai pembawa risalah berusaha mempermudah pemahaman firman-firman
Allah tersebut melalui tafsir-tafsirnya. Penafsiran Nabi inilah yang dianggap
ide ketuhanan yang disampaikan secara utuh dan tidak menyimpang.
Rasulullah
saw. adalah penafsir pertama dan pemberi penjelasan utama terhadap Alquran. Pada
saat Alquran diturunkan, Nabi saw. menjelaskan arti dan kandungan Alquran
kepada sahabat-sahabatnya, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami
atau samar artinya. Keadaan ini berlangsung hingga wafatnya Nabi saw., walaupun
diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui, sebagai akibat tidak
sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang Nabi saw. sendiri tidak
menjelaskan semua kandungan Alquran.
Pemahaman
Nabi saw. terhadap Alquran bersifat global dan terperinci.
Pemahaman ini selalu dikaitkan dengan fungsi pertama dan utama Nabi saw. yaitu
tablig (tugas menyampaikan). Pemahaman ini tidak berbanding lurus dengan penjelasan
Nabi saw. terhadap arti dan kandungan Alquran kepada sahabatnya.
Ibnu
Khaldun menyebutkan bahwa Nabi saw. menjelaskan makna Alquran secara umum,
membedakan ayat-ayat yang na>si>kh dan mansu>kh,
kemudian memberitahukan hal itu kepada sahabatnya hingga mereka memahami asba>b
al-nuzu>l. Misalnya ayat QS. Al-Nasr/110: 1
diturunkan guna untuk menghibur Nabi Muhammad saw.
Penjelasan
Nabi terhadap arti dan kandungan Alquran diketahui melalui riwayat-riwayat.,
baik dari kitab hadis, kitab tafsir, kitab si>rah (sejarah Nabi),
kitab ‘ulu>m al-Qur’an (ilmu-ilmu
Alquran), dan sebagainya. Oleh karena itu, tafsir Nabi saw. adalah riwayat
Rasulullah saw. tentang tafsir Alquran.
3. Kaidah Tentang Tafsir Nabi
إذا عُرفَ التفسيرُ من جهةِ النبي صلي الله عليه وسلم فلا حاجة إلى قولٍ من
بعده
Artinya:
Jika
diketahui (ada) tafsir (penjelasan Alquran) dari Nabi saw. maka perkataan (penjelasan)
selain Nabi saw. tidak dibutuhkan.
Maksud
dari kaidah di atas yaitu penjelasan/keterangan sya>ri' (Allah swt.) terhadap
lafaz-lafaz (yang tertulis dalam Alquran) dan tafsirannya lebih didahulukan
dari keterangan/penjelasan selain Allah swt.
Ketika
Nabi saw. didukung oleh wahyu dan maksum dari perkara tablig, maka penafsiran
beliau memiliki keistimewaan dari yang lain, yaitu pasti dan benar. Menurut al-sayu>t}i,
penafsiran Nabi saw. maknanya jelas dan terang. Oleh karena itu, tidak perlu
lagi mengadakan ijtihad pada ayat yang telah ditafsirkan Nabi saw. Terima saja
makna yang sudah ada dan jangan melewatinya
selama riwayat tafsir tersebut sahih.
Nabi
menjelaskan arti kata Alquran dengan tidak menggunakan/memakai petunjuk
etimologi (asal usul kata) dan syair-syair Arab. Oleh karena itu, penamaan/anatonim
kosa kata Alquran harus dikembalikan kepada keterangan Allah swt. (ayat dengan
ayat) dan keterangan Nabi saw. (ayat dengan hadis).
Metode inilah yang baik dan benar dalam menafsirkan
Alquran, yang sangat berbeda dengan ahli bidah. Mereka menafsirkan Alquran
dengan menggunakan logika, kebahasaan dan kesusastraan saja, tanpa melihat
keterangan Allah swt. dan rasul-Nya.
Untuk
menerapkan kaidah di atas, maka penulis mengambil sebuah contoh kata "al-i>ma>n".
Kata ini berasal dari sya>ri‘. Jika kata tersebut ditafsirkan berdasarkan sya>ri‘, maka arti sesungguhnya adalah
pembenaran/pembuktian. Namun, jika dikaitkan dengan perbuatan, maka arti iman
beralih menjadi kiasan. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw.
Contoh
lain dari penafsiran Nabi saw. pada ayat QS. Al-'An'am/6: 82. Yaitu
lafal "z}ulm"
dengan "syirk" pada ayat QS. Lukman/31: 13.
Arti kedua lafal tersebut sangat berbeda bila dirujuk arti kebahasaan,
yaitu aniaya
dengan syirik. Jika metode penafsiran ini (tafsir Nabi) tidak digunakan dan
mengambil arti kebahasaan saja, maka penafsiran pada ayat tersebut dapat
keliru.
Jika ada
penafsiran yang sahih dari Nabi saw. maka kita harus mengikutinya, lalu
mengedepankannya dari yang lain. Namun, tafsir Nabi saw. yang sahih hanya terdapat
pada beberapa ayat saja dari seluruh ayat Alquran. Hal ini tidak ada ulama yang
mempertengtangkan.
Kaidah
selanjutnya yaitu:
أَلفاظ الشارع محمولة على المعاني
الشرعية فان لم تكن فالعرفية فإنْ لم تكن
فاللغوية
Artinya:
Lafaz-lafaz al-Sya>r‘i
mengandung (pengertian) makna-makna syariat. Jika tidak ada (pengetian makna
syariat), maka makna adat lebih dulu kemudian makna bahasa.
Kaidah
di atas sangat berkaitan dengan kaidah sebelumnya. Mengingat kosa kata al-sya>r‘i menjadi kata kunci. Kosa kata al-sya>r‘i sebagaian penggunaanya bersifat khusus dan bemakna tertentu.
Inilah yang dimaksud makna-makna syariat.
Misalnya
kata shalat, puasa dan haji mengandung makna ibadah tertentu. Kata-kata tersebut memiliki definisi
dan makna menurut syari'ah. Meskipun ada makna lain, misalnya makna
kebahasaan. Kata salat menurut arti bahasa adalah doa, kata puasa bermakna
menahan, dan kata haji berarti maksud/sengaja.
Sebagai contoh ayat QS. Ali
Imran/3: 97. Makna
haji pada ayat tersebut bermakna khusus (menurut syara') yaitu sengaja
mengunjungi ka'bah dan makna ini tidak merubah arti bahasanya.
Penjelasan
kaidah selanjutnya bahwa apabila kosa kata syara' tidak dijumpai makna khusus
(makna syara'), maka berpedoman kepada makna adat kebiasaan (urf). Yaitu
menurut adat kebiasaan pada masa Nabi saw. Seperti kata al-dabbah,
menurut urf adalah hewan yang berkaki empat, sedangkan menurut bahasa
bermakna hewan yang merangkak dan merayap. Dan apabila tidak dijumpai makna urf,
maka dikembalikan kepada arti bahasanya.
B.
Tafsir Sahabat dan Kaidah Tentang Tafsir Sahabat
1. Tafsir Sahabat
Tafsir
Alquran pada masa sahabat dikenal dikenal pendek-pendek dan tampak ringkas.
Penafsiran tersebut senantiasa mengacu kepada inti dan kandungan Alquran. Para sahabat banyak merujuk kepada pengetahuan mereka
tentang sebab-sebab turunnya ayat dan peristiwa-peristiwa yang menjadi sebab
turunnya ayat.
Tafsir
sahabat termasuk tafsir yang mu‘tamad (dapat
diterima)
dan menempati urutan kedua setelah tafsir Nabi saw.
Mengingat sahabat pernah menyertai Nabi saw. dalam
kehidupan sehari-hari. Mereka menyaksikan kondisi dan peristiwa yang melingkupi
turunnya ayat-ayat Alquran, mengetahui asba>b al-nuzu>l, menerima
langsung pemahaman akan soal-soal syariat serta rahasianya dan lain sebagainya.
Al-Hakim
dalam kitab al-mustadra>k menerangkan bahwa tafsir seorang sahabat
yang menyaksikan wahyu dan turunnya Alquran dipandang sebagai tafsir marfu'.
Sahabat dianggap seakan-akan meriwayatkan dari Nabi saw. Pendapat ini dirinci Ibnu
Shalah sebatas asba>b al-nuzu>l serta pada perkara sam‘iya>t (perkara gaib).
Keterlibatan
sahabat dalam menafsirkan Alquran disebabkan tidak semua ayat Alquran ditafsirkan
oleh Nabi saw. Meskipun demikian, sahabat memahami Alquran dengan tetap
menjadikan penjelasan Nabi saw. sebagai rujukan utama. Oleh karena itu,
penafsiran terhadap Alquran barulah dilakukan ketika mereka tidak menemukan
penjelasan Nabi saw.
Ketika
sahabat melakukan penafsiran, mereka banyak merujuk kepada penggunaan bahasa
dan syair-syair Arab. Sebagai
contoh Umar bin Khattab pernah bertanya tentang arti takhawwufu (تخوف). Seorang Arab dari kabilah
Huzail menjelaskan bahwa artinya adalah "pengurangan". Arti
ini berdasarkan penggunaan bahasa yang dibuktikan dengan syair pra-Islam. Selain itu, sahabat juga bertanya kepada ahlulkiab yang
telah masuk Islam, seperti Ka‘ab al-Ahba>r dan ‘Abdullah bin Salla>m.
Keterangan
tersebut menunjukkan bahwa sahabat dalam menafsirkan Alquran disamping menggunakan Alquran dan hadis Nabi saw. sebagai acuan dasarnya, juga
menggunakan sumber-sumber lain seperti pengetahuan bahasa, pengetahuan tentang
kultur dan kebiasaan bangsa Arab, pengetahuan tentang fenomena sosial
orang-orang yahudi pada saat turunnya Alquran dan
kecerdasan daya nalar mereka masing-masing.
Tradisi
penafsiran di era sahabat juga masih besifat oral dengan menggunakan metode
periwayatan. Hasil pengajaran Nabi itulah yang ditransmisikan kepada generasi
berikutnya.
2. Kaidah Tentang
Tafsir Sahabat
قول الصحابي مقدم على غيره في التفسير وان كان ظاهر السياق لا يدل عليه
Artinya:
Perkataan
sahabat tentang tafsir (Alquran) lebih didahulukan dari (perkataan) yang lain,
sekalipun tidak menunjuk pada yang sebenarnya.
Maksud
dari kaidah di atas yaitu tafsir sahabat lebih didahulukan (selain tafsir Nabi
saw.), meskipun makna redaksinya tidak menunjuk demikian, selama makna tersebut
tidak bertetangan dengan tafsir Nabi saw. Jika tafsir sahabat bertentangan
dengan tafsir Nabi saw, maka tafsir sahabat ditolak.
Penafsiran
dari sahabat yang sahih: tafsir itu adalah dari kosa kata yang telah diubah
pengertiannya oleh syariat kepada makna yang berbeda dengan makna bahasa dari
satu segi, maka ia dikedepankan dari yang lain.
Jika ia
adalah dari kosa kata yang tidak diubah pengertian oleh syariat, maka ia
berkedudukan sebagai pendapat salah seorang ahli bahasa Arab yang dipercayai
kearabannya. Dan, jika ia menyalahi pengertian yang masyhur dan jelas maka
tidak ada hujah bagi kita untuk mengikuti tafsirnya yang semata diungkapkan
sesuai dengan pengertian bahasa Arab. Juga banyak sahabat yang hanya mengambil
satu kemungkinan makna bahasa redaksional Alquran.
Sebagai
contoh dari penerapan kaidah di atas, tafsir pada ayat QS. Al-Ahqaf/46: 10 وَشَهِدَ
شَاهِدٌ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى مِثْلِه.
Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang
maksud kata sya>hid (seorang saksi). Sebagian berpendapat: Nabi Musa
a.s. Pendapat ini dikemukakan oleh Masru>q. Nabi Musa a.s. menyaksikan
kebenaran Taurat yang diturunkan kepadanya, seperti halnya Nabi Muhammad saw.
menyaksikan Alquran yang diturunkan kepadanya.
Sebagainnya
lagi mengatakan: ‘Abdulla>h bin Salla>m.
Ia sebagai pemuka agama Yahudi menyatakan keimanannya kepada Nabi Muhammad saw.
sesudah memperhatikan bahwa di antara Alquran, isi-isinya ada yang sesuai
dengan Taurat seperti soal tauhid, ancaman dan janji Allah, kerasulan Muhammad,
adanya hari kebangkitan serta kehidupan akhirat.
Ada juga
yang berpendapat bahwa kesaksian tersebut belum lagi mereka nyatakan ketika
diturunkannya ayat ini di Mekah, tetapi kelak di Madinah. Seakan-akan ayat
tersebut menyatakan seorang saksi dari Bani> Isra>'il kelak di Madinah
pasti akan bersaksi. Penganut pendapat ini memahami bentuk kata kerja masa
lampau (شهد) dalam arti akan bersaksi, dan bahwa penggunaan
bentuk itu untuk menunjukkan kepastian.
Menurut
Ibnu Jari>r, bahwa pendapat yang lebih tepat adalah apa yang dikemukakan
oleh Masru>q. Tafsir tersebut berdasarkan z}a>hir-nya (redaksinya)
ayat bahwa sungguh aneh sikap kaum musyrikin bangsa Quraisy yang menolak
risalah kenabian Muhammad saw. serta mengingkari kehadiran wahyu kepada beliau.
Ayat ini seperti apa yang digambarkan oleh ayat-ayat sebelumnya dan tidak
dimaksudkan pada ahlulkitab dan orang Yahudi. Meskipun terdapat riwayat dari
sahabat-sahabat Nabi saw. yang menyebutkan tentang ‘Abdulla>h
bin Salla>m dan sebab turunnya ayat tersebut.
Oleh
karena itu, perkataan sahabat Nabi saw. tentang tafsir (Alquran) yang tidak
berdasarkan redaksi ayat, seperti contoh di atas, lebih didahulukan dari
perkataan yang lain, selama tidak bertentangan penjelasan dan tafsir Nabi saw.
Namun, jika bertentangan dengan tafsir Nabi saw, maka tafsir sahabat ditolak.
Comments
Post a Comment