KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS

KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS Pendahuluan latar belakang Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah dua sumber utama ajaran Islam. Oleh karena itu, keduanya selalu dijadikan landasan keyakinan, ritual, adat istiadat, etika, ekonomi, politik, peradaban dan seluruh aspek kehidupan umat Islam, baik yang sakral maupun duniawi, pada tataran ¥ abl minallah (vertikal) dan ¥ abl min al. -n ± s (horizontal).

CARA - KAIDAH TAFSIR NABI DAN SAHABAT

KAIDAH TAFSIR NABI DAN SAHABAT

Salam teman, sahabt, kawan-kawan. sedikit pengantar :
Dengan melihat Nabi adalah sosok rujukan jika ada makna al-Qur'an yang sulit dipahami sahabat, apakah beliau juka punya kaidah tata cara untuk memahami Ayat al-Qur'an ? sebagaimana yang dilakukan para mufassir belakangan ini sangat terbantu untuk memahami isi kandungan al-Qur'an dengan adanya metode tertentu yang mereka terapkan. apakah demikian halnya dengan Nabi begitupula dengan sahabat beliau.



A.  Tafsir Nabi dan Kaidah Tafsir Nabi
1.    Pengertian kaidah tafsir
Kaidah tafsir merupakan tarki>b id}afi> (kata majemuk) yang telah menjadi nama bagi suatu disiplin ilmu tertentu. Dari segi etimologi, kata kaidah bukan merupakan nama bagi suatu disiplin ilmu tertentu, tetapi ia mempunyai pengertian tersendiri. Sedangkan kata tafsir merupakan nama bagi suatu disiplin ilmu tertentu dan memiliki definisi tersendiri. Oleh karena itu, sebelum memberikan definisi kaidah tafsir, terlebih dahulu dikemukakan pengertian kaidah dan tafsir.
Kata kaidah berarti perumusan dari asas-asas yang menjadi hukum.[1] Dalam bahasa Arab disebut qawa>id, bentuk jamak dari qa>idah yang berarti undang-undang, aturan dan asas[2] yang menjadi pengangan.[3] Adapun pengetian kaidah menurut istilah yaitu aturan umum yang memperkenalkan serta membahas (aturan-aturan pada) bagian-bagiannya.[4]
Kata tafsir, secara bahasa, berasal dari makna dasar "keadaan nyata dan jelas". Sedangkan menurut etimologi, berarti menjelaskan sesuatu dan menerangkannya.[5] Arti ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh al-Z|ahabi> yaitu "mengungkapkan maksud lafal yang muskil (sulit dipahami).[6] Makna demikian ditemukan pada ayat QS. Al-Furqan/25: 33.[7]
Selanjutnya, para ulama tidak sependapat dalam memberikan pengertian istilah tafsir. Hal itu disebabkan perbedaan pendekatan yang mereka gunakan. Pendapat yang beragam itu dapat dikelompokkan dalam dua kelompok, pendapat ulama us}u>l tafsir dan ulama tafsir.[8]
Namun demikian, Kha>lid ibn ‘Us\ma>n al-Sabt memberikan definisi tafsir yanga lebih sempit yaitu ilmu yang mengkaji kompleksitas Alquran dalam rangka memahami firman Allah swt. sesuai kadar kemampuan manusia.[9] Jadi, objek material tafsir adalah Alquran itu, sedangkan objek formal tafsir adalah problem memberikan makna dan memproduksi makna untuk mengungkap maksud firman Allah swt.[10]
Adapun pengertian kaidah tafsir adalah dasar-dasar, asas-asas, dan aturan-aturan yang dijadikan sebagai patokan untuk memahami kandungan Alquran, baik dari segi makna-maknanya, hukum-hukumya, dan hikmah-hikmanya.

2     Tafsir Nabi saw.
Bahasa Alquran tidak selalu mudah difahami oleh kaum muslim. Oleh karena itu, Rasulullah sebagai pembawa risalah berusaha mempermudah pemahaman firman-firman Allah tersebut melalui tafsir-tafsirnya. Penafsiran Nabi inilah yang dianggap ide ketuhanan yang disampaikan secara utuh dan tidak menyimpang.
Rasulullah saw. adalah penafsir pertama dan pemberi penjelasan utama terhadap Alquran. Pada saat Alquran diturunkan, Nabi saw. menjelaskan arti dan kandungan Alquran kepada sahabat-sahabatnya, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya. Keadaan ini berlangsung hingga wafatnya Nabi saw., walaupun diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui, sebagai akibat tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang Nabi saw. sendiri tidak menjelaskan semua kandungan Alquran.[11]
Pemahaman Nabi saw. terhadap Alquran bersifat global dan terperinci.[12] Pemahaman ini selalu dikaitkan dengan fungsi pertama dan utama Nabi saw. yaitu tablig (tugas menyampaikan). Pemahaman ini tidak berbanding lurus dengan penjelasan Nabi saw. terhadap arti dan kandungan Alquran kepada sahabatnya.
Ibnu Khaldun menyebutkan bahwa Nabi saw. menjelaskan makna Alquran secara umum, membedakan ayat-ayat yang na>si>kh dan mansu>kh, kemudian memberitahukan hal itu kepada sahabatnya hingga mereka memahami asba>b al-nuzu>l. Misalnya ayat QS. Al-Nasr/110: 1[13] diturunkan guna untuk menghibur Nabi Muhammad saw.
Penjelasan Nabi terhadap arti dan kandungan Alquran diketahui melalui riwayat-riwayat., baik dari kitab hadis, kitab tafsir, kitab si>rah (sejarah Nabi), kitab ulu>m al-Quran (ilmu-ilmu Alquran), dan sebagainya. Oleh karena itu, tafsir Nabi saw. adalah riwayat Rasulullah saw. tentang tafsir Alquran.

3.    Kaidah Tentang Tafsir Nabi
إذا عُرفَ التفسيرُ من جهةِ النبي صلي الله عليه وسلم فلا حاجة إلى قولٍ من بعده[14]
Artinya:
Jika diketahui (ada) tafsir (penjelasan Alquran) dari Nabi saw. maka perkataan (penjelasan) selain Nabi saw. tidak dibutuhkan.

Maksud dari kaidah di atas yaitu penjelasan/keterangan sya>ri' (Allah swt.) terhadap lafaz-lafaz (yang tertulis dalam Alquran) dan tafsirannya lebih didahulukan dari keterangan/penjelasan selain Allah swt.
Ketika Nabi saw. didukung oleh wahyu dan maksum dari perkara tablig, maka penafsiran beliau memiliki keistimewaan dari yang lain, yaitu pasti dan benar. Menurut al-sayu>t}i, penafsiran Nabi saw. maknanya jelas dan terang. Oleh karena itu, tidak perlu lagi mengadakan ijtihad pada ayat yang telah ditafsirkan Nabi saw. Terima saja makna yang sudah ada dan jangan melewatinya[15] selama riwayat tafsir tersebut sahih.
Nabi menjelaskan arti kata Alquran dengan tidak menggunakan/memakai petunjuk etimologi (asal usul kata) dan syair-syair Arab. Oleh karena itu, penamaan/anatonim kosa kata Alquran harus dikembalikan kepada keterangan Allah swt. (ayat dengan ayat) dan keterangan Nabi saw. (ayat dengan hadis).
Metode inilah yang baik dan benar dalam menafsirkan Alquran, yang sangat berbeda dengan ahli bidah. Mereka menafsirkan Alquran dengan menggunakan logika, kebahasaan dan kesusastraan saja, tanpa melihat keterangan Allah swt. dan rasul-Nya.[16]
Untuk menerapkan kaidah di atas, maka penulis mengambil sebuah contoh kata "al-i>ma>n". Kata ini berasal dari sya>ri. Jika kata tersebut ditafsirkan berdasarkan sya>ri, maka arti sesungguhnya adalah pembenaran/pembuktian. Namun, jika dikaitkan dengan perbuatan, maka arti iman beralih menjadi kiasan. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw.[17]
Contoh lain dari penafsiran Nabi saw. pada ayat QS. Al-'An'am/6: 82.[18] Yaitu lafal "z}ulm" dengan "syirk" pada ayat QS. Lukman/31: 13.[19] Arti kedua lafal tersebut sangat berbeda bila dirujuk arti kebahasaan, yaitu aniaya[20] dengan syirik. Jika metode penafsiran ini (tafsir Nabi) tidak digunakan dan mengambil arti kebahasaan saja, maka penafsiran pada ayat tersebut dapat keliru.
Jika ada penafsiran yang sahih dari Nabi saw. maka kita harus mengikutinya, lalu mengedepankannya dari yang lain. Namun, tafsir Nabi saw. yang sahih hanya terdapat pada beberapa ayat saja dari seluruh ayat Alquran. Hal ini tidak ada ulama yang mempertengtangkan.[21]
Kaidah selanjutnya yaitu:
أَلفاظ الشارع محمولة على المعاني الشرعية  فان لم تكن فالعرفية فإنْ لم تكن فاللغوية[22]
Artinya:
Lafaz-lafaz al-Sya>ri mengandung (pengertian) makna-makna syariat. Jika tidak ada (pengetian makna syariat), maka makna adat lebih dulu kemudian makna bahasa.

Kaidah di atas sangat berkaitan dengan kaidah sebelumnya. Mengingat kosa kata al-sya>ri menjadi kata kunci. Kosa kata al-sya>ri sebagaian penggunaanya bersifat khusus dan bemakna tertentu. Inilah yang dimaksud makna-makna syariat.
Misalnya kata shalat, puasa dan haji mengandung makna ibadah tertentu. Kata-kata tersebut memiliki definisi dan makna menurut syari'ah. Meskipun ada makna lain, misalnya makna kebahasaan. Kata salat menurut arti bahasa adalah doa, kata puasa bermakna menahan, dan kata haji berarti maksud/sengaja.
Sebagai contoh ayat QS. Ali Imran/3: 97.[23] Makna haji pada ayat tersebut bermakna khusus (menurut syara') yaitu sengaja mengunjungi ka'bah dan makna ini tidak merubah arti bahasanya.
Penjelasan kaidah selanjutnya bahwa apabila kosa kata syara' tidak dijumpai makna khusus (makna syara'), maka berpedoman kepada makna adat kebiasaan (urf). Yaitu menurut adat kebiasaan pada masa Nabi saw. Seperti kata al-dabbah, menurut urf adalah hewan yang berkaki empat, sedangkan menurut bahasa bermakna hewan yang merangkak dan merayap. Dan apabila tidak dijumpai makna urf, maka dikembalikan kepada arti bahasanya.
B.   Tafsir Sahabat dan Kaidah Tentang Tafsir Sahabat
1.    Tafsir Sahabat
Tafsir Alquran pada masa sahabat dikenal dikenal pendek-pendek dan tampak ringkas. Penafsiran tersebut senantiasa mengacu kepada inti dan kandungan Alquran. Para sahabat banyak merujuk kepada pengetahuan mereka tentang sebab-sebab turunnya ayat dan peristiwa-peristiwa yang menjadi sebab turunnya ayat.
Tafsir sahabat termasuk tafsir yang mutamad (dapat diterima)[24] dan menempati urutan kedua setelah tafsir Nabi saw.[25] Mengingat sahabat pernah menyertai Nabi saw. dalam kehidupan sehari-hari. Mereka menyaksikan kondisi dan peristiwa yang melingkupi turunnya ayat-ayat Alquran, mengetahui asba>b al-nuzu>l, menerima langsung pemahaman akan soal-soal syariat serta rahasianya dan lain sebagainya.
Al-Hakim dalam kitab al-mustadra>k menerangkan bahwa tafsir seorang sahabat yang menyaksikan wahyu dan turunnya Alquran dipandang sebagai tafsir marfu'.[26] Sahabat dianggap seakan-akan meriwayatkan dari Nabi saw. Pendapat ini dirinci Ibnu Shalah sebatas asba>b al-nuzu>l serta pada perkara samiya>t (perkara gaib).[27]
Keterlibatan sahabat dalam menafsirkan Alquran disebabkan tidak semua ayat Alquran ditafsirkan oleh Nabi saw. Meskipun demikian, sahabat memahami Alquran dengan tetap menjadikan penjelasan Nabi saw. sebagai rujukan utama. Oleh karena itu, penafsiran terhadap Alquran barulah dilakukan ketika mereka tidak menemukan penjelasan Nabi saw.
Ketika sahabat melakukan penafsiran, mereka banyak merujuk kepada penggunaan bahasa dan syair-syair Arab. Sebagai contoh Umar bin Khattab pernah bertanya tentang arti takhawwufu (تخوف). Seorang Arab dari kabilah Huzail menjelaskan bahwa artinya adalah "pengurangan". Arti ini berdasarkan penggunaan bahasa yang dibuktikan dengan syair pra-Islam.[28] Selain itu, sahabat juga bertanya kepada ahlulkiab yang telah masuk Islam, seperti Kaab al-Ahba>r dan Abdullah bin Salla>m.
Keterangan tersebut menunjukkan bahwa sahabat dalam menafsirkan Alquran disamping menggunakan Alquran dan hadis Nabi saw. sebagai acuan dasarnya, juga menggunakan sumber-sumber lain seperti pengetahuan bahasa, pengetahuan tentang kultur dan kebiasaan bangsa Arab, pengetahuan tentang fenomena sosial orang-orang yahudi pada saat turunnya Alquran dan kecerdasan daya nalar mereka masing-masing.[29]
Tradisi penafsiran di era sahabat juga masih besifat oral dengan menggunakan metode periwayatan. Hasil pengajaran Nabi itulah yang ditransmisikan kepada generasi berikutnya.[30]

2.    Kaidah Tentang Tafsir Sahabat
قول الصحابي مقدم على غيره في التفسير وان كان ظاهر السياق لا يدل عليه[31]
Artinya:
Perkataan sahabat tentang tafsir (Alquran) lebih didahulukan dari (perkataan) yang lain, sekalipun tidak menunjuk pada yang sebenarnya.


Maksud dari kaidah di atas yaitu tafsir sahabat lebih didahulukan (selain tafsir Nabi saw.), meskipun makna redaksinya tidak menunjuk demikian, selama makna tersebut tidak bertetangan dengan tafsir Nabi saw. Jika tafsir sahabat bertentangan dengan tafsir Nabi saw, maka tafsir sahabat ditolak.
Penafsiran dari sahabat yang sahih: tafsir itu adalah dari kosa kata yang telah diubah pengertiannya oleh syariat kepada makna yang berbeda dengan makna bahasa dari satu segi, maka ia dikedepankan dari yang lain.
Jika ia adalah dari kosa kata yang tidak diubah pengertian oleh syariat, maka ia berkedudukan sebagai pendapat salah seorang ahli bahasa Arab yang dipercayai kearabannya. Dan, jika ia menyalahi pengertian yang masyhur dan jelas maka tidak ada hujah bagi kita untuk mengikuti tafsirnya yang semata diungkapkan sesuai dengan pengertian bahasa Arab. Juga banyak sahabat yang hanya mengambil satu kemungkinan makna bahasa redaksional Alquran.[32]
Sebagai contoh dari penerapan kaidah di atas, tafsir pada ayat QS. Al-Ahqaf/46: 10  وَشَهِدَ شَاهِدٌ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى مِثْلِه.[33] Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang maksud kata sya>hid (seorang saksi). Sebagian berpendapat: Nabi Musa a.s. Pendapat ini dikemukakan oleh Masru>q. Nabi Musa a.s. menyaksikan kebenaran Taurat yang diturunkan kepadanya, seperti halnya Nabi Muhammad saw. menyaksikan Alquran yang diturunkan kepadanya.
Sebagainnya lagi mengatakan: Abdulla>h bin Salla>m.[34] Ia sebagai pemuka agama Yahudi menyatakan keimanannya kepada Nabi Muhammad saw. sesudah memperhatikan bahwa di antara Alquran, isi-isinya ada yang sesuai dengan Taurat seperti soal tauhid, ancaman dan janji Allah, kerasulan Muhammad, adanya hari kebangkitan serta kehidupan akhirat.[35]
Ada juga yang berpendapat bahwa kesaksian tersebut belum lagi mereka nyatakan ketika diturunkannya ayat ini di Mekah, tetapi kelak di Madinah. Seakan-akan ayat tersebut menyatakan seorang saksi dari Bani> Isra>'il kelak di Madinah pasti akan bersaksi. Penganut pendapat ini memahami bentuk kata kerja masa lampau (شهد) dalam arti akan bersaksi, dan bahwa penggunaan bentuk itu untuk menunjukkan kepastian.[36]
Menurut Ibnu Jari>r, bahwa pendapat yang lebih tepat adalah apa yang dikemukakan oleh Masru>q. Tafsir tersebut berdasarkan z}a>hir-nya (redaksinya) ayat bahwa sungguh aneh sikap kaum musyrikin bangsa Quraisy yang menolak risalah kenabian Muhammad saw. serta mengingkari kehadiran wahyu kepada beliau. Ayat ini seperti apa yang digambarkan oleh ayat-ayat sebelumnya dan tidak dimaksudkan pada ahlulkitab dan orang Yahudi. Meskipun terdapat riwayat dari sahabat-sahabat Nabi saw. yang menyebutkan tentang Abdulla>h bin Salla>m dan sebab turunnya ayat tersebut.[37]
Oleh karena itu, perkataan sahabat Nabi saw. tentang tafsir (Alquran) yang tidak berdasarkan redaksi ayat, seperti contoh di atas, lebih didahulukan dari perkataan yang lain, selama tidak bertentangan penjelasan dan tafsir Nabi saw. Namun, jika bertentangan dengan tafsir Nabi saw, maka tafsir sahabat ditolak.



[1]Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), h. 657.

[2]Abu Husain Ahmad ibn Fa>ris, Mujam Maqa>yi>s al-Lugah, Juz V (Mesir: Da>r al-Fikr, 1979), h. 108.

[3]Kha>lid ibn Usman al-Sabt, Qawa>id al-Tafsi>r; Jam an wa Dira>satan, Jilid I (Cet. I; Saudi Arabia: Da>r Ibnu Affa>n, 1996), h. 22.
[4]Ibid., h. 23.

[5]Abu Husain Ahmad ibn Fa>ris, Mujam Maqa>yi>s al-Lugah, Juz IV (Beirut: Da>r al-Jayl, 1991), h. 504.

[6]Muhammad Husain al-Z|ahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Juz I (Kairo: Maktabah Wahbah, 2003), h. 12.

[7]Firman Allah swt berbunyi: وَلاَ يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلاَّ جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
Terjemahnya:
Dan mereka (orang-orang kafir itu) tidak datang kepadamu (membawa) sesuatu yang aneh, melainkan Kami datangkan kepadamu yang benar dan penjelasan yang lebih baik.

[8]Abd. Muin Salim, Metodologi Tafsir Sebuah Rekonstruksi Epistemologi. Orasi pengukuhan guru besar, pada tanggal 28 April 1999. h. 6.

[9]Kha>lid ibn ‘Us\ma>n al-Sabt, op. cit., h. 29.
[10]Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir (Cet.I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 3.

[11]M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an (Cet. XIX; Bandung: Mizan, 1999), h. 71.
[12]Muhammad Husain al-D|ahabi>, op. cit., h. 25.

[13]Firman Allah: إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ
Terjemahnya: "Bila datang pertolongan Allah swt. niscaya kemenangan telah tiba".

[14]Kha>lid bin Usman al-Sabt, Mukhtas}ar fi Qawa>id al-Tafsi>r (Cet. I; Saudi Arabia: Da>r Ibnu Affa>n, 1996), h. 5.
[15]Lihat Ahmad al-Syirbashi, Sejarah Tafsir Qur'an (Cet. IV; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), h. 68-69.

[16]Kha>lid ibn Usman al-Sabt, Qawa>id al-Tafsi>r (Cet. I; Saudi Arabia: Da>r Ibn Affa>n, 1996), h. 150.
[17]Hadis tersebut berbunyi: الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ شُعْبَةً وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَان. Lihat Muslim ibn al-Hajjaj, S}ah}ih} Musli>m bisyarh} al-Nawawi>, Juz III (Cet. I; Kairo: al-Maktabah al-S|aqafi>, 2001), h. 6.

[18]الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
Terjemahnya:
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapatkan rasa aman dan mereka mendapat petunjuk.

[19] وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لإِبْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لاَ تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Terjemahnya:
Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, "Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesuangguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.

[20]Mardan, "Penafsiran Nabi saw. terhadap Kosa Kata Alquran", Jurnal Adabiyah, Edisi IV, Tahun 2002.

[21]Yusuf Qardhawi, Kai>fa Nataamal maa Al-Quran (Cet. I; Kairo: Da>r al-Syuru>q, 1999), h. 313.
[22]Kha>lid ibn Usman al-Sabt, op. cit., h. 5.

[23]Firman Allah swt.  وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً
Terjemahnya:
Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu.
[24]Muhammad Ali al-S{abu>ni>, al-Tibya>n fi Ulum Al-Quran (Cet. I; Bairut: Dar al-Irsyad, 1984), h. 210.

[25]Ahmad al-Syirbashi, op. cit., h. 67.

[26]Ibid., h. 69. Lihat Muhammad al-Zarqa>ni>, Mana>h al-Urfa>n fi Ulu>m al-Qur'an, Juz II (Cet. I; Bairut: Dar al-Kutub al-'Ilmiah, 1988), h. 16.
[27]Muh. Husain al-Z|ahabi>, Buhus\ fi> Ulu>m al-Tafsi>r (Kairo: Da>r al-H{adi>s, 2005), h. 339.

[28]Lihat M. Quraish  Shihab, op. cit., h. 83-84.

[29]Lihat Abdul Djalal HA, Urgensi Tafsir Maudhu’i Pada Masa Kini (Jakarta; Kalam Mulia, 1990), h. 25.

[30]Abdul Mustaqim, op. cit., h. 50.

[31]Khalid bin Usman al-Sabat, op. cit., h. 5.
[32]Yusuf Qardhawi, op. cit., h.313.

[33] قُلْ أَرَأَيْتُمْ إِنْ كَانَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَكَفَرْتُمْ بِهِ وَشَهِدَ شَاهِدٌ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى مِثْلِهِ فَآَمَنَ وَاسْتَكْبَرْتُمْ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Terjemahnya:
Katakanlah, "Terangkan kepadaku, sebagaimana pendapatmu, jika sebenarnya (Alquran) ini datang dari Allah, dan kamu menginkarinya, padahal ada seorang saksi dari Bani Israil yang mengakui (kebenaran) yang serupa dengan (yang disebut dalam) Alquran lalu dia beriman; kamu menyombongkan diri. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kapada orang-orang zalim.

[34]Lihat Khalid ibn Usman al-Sabat, op. cit., h. 186-187.

[35]Ibnu Kas}ir, Mukhtas}ar Tafsi>r Ibnu Kas}ir, terj. Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, Jilid VII (Kuala Lumpur: Victory Agencie, 2003), h. 261.
[36]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishba>h, Volume 13 (Cet. II; Jakarta: Lentera Hati, 2004), h. 80-81.

[37]Khalid bin Usman al-Sabat, op. cit., h. 187.

Comments

BERITA TERBARU !!

Popular posts from this blog

BIL MA'TSUR ( TAFSIR AYAT DENGAN AYAT )

CARA MELAKUKAN TAKHRIJ HADIS

download TAFSIR AL-NASAFIY

cara atau Kaedah al-Jarh Wa al-Ta’dil Serta Aplikasinya

HADIS TARBAWIY DAN AKHLAK (BERKURANGNYA IMAN KARENA MAKSIAT)

kaedah 'ATAF - AL-'ATFU DALAM AL-QUR'AN

cara TAMBAHAN - kaedah ZIYADAH DALAM AL-QUR'AN

KAEDAH 'AM DAN KHAS

cara melakukan MUNASABAH AYAT

KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS