KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS

KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS Pendahuluan latar belakang Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah dua sumber utama ajaran Islam. Oleh karena itu, keduanya selalu dijadikan landasan keyakinan, ritual, adat istiadat, etika, ekonomi, politik, peradaban dan seluruh aspek kehidupan umat Islam, baik yang sakral maupun duniawi, pada tataran ¥ abl minallah (vertikal) dan ¥ abl min al. -n ± s (horizontal).

INTERPRETASI TEKSTUAL QS. AS-SHAFFAT/37:101

INTERPRETASI TEKSTUAL QS. AS-SHAFFAT/37:101

A.  Kosa Kata Ayat Seputar QS. Al-S{affat/37:101
Kajian pokok penulis tentang Gula>mun Hali>m fokus dalam QS al-Shaffat/37:101, firman Allah Swt. :
فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ [الصافات/101[
Terjemahnya:
Maka kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang sangat sabar.
Potongan ayat فَبَشَّرْنَا merupakan akar kata Bahasa Arab dari pola بَشَّر yang memiki arti dasar di Lisa>n al-Arab yakni makhluk yang terdiri atas laki-laki dan perempuan, hanya saja kata tersebut berubah dan memiliki tasydid pada huruf syin, dan dijelaskan dalam beberapa potongan pembahasan Ibn Mansur di lisa>n Arabnya bahwa ketika menjadi bassyara Yubasysyiru maka kata tersebut menurut Ibn Mansur cenderung atau lebih banyak bermakna kegembiraan.[1] Penulis memahami bahwa kata dasar yang bertasydid dan yang tidak bertasydid memiliki hubungan yang sangat erat dari sisi makna kebahasaan kata itu sendiri sehingga dapat dikatakan bahwa فَبَشَّرْنَا itu merupakan berita kegembiraan yang berhubungan dengan makhluk, apakah ia laki-laki atau perempuan.
Sejalan dengan yang dikatakan Ibn Zakariya bahwa بَشَّر itu merupakan gabungan dari 3 huruf yaitu ba, Sya, dan ra yang bermakna muncul, Nampak atau jelasnya sesuatu dan disertai dengan hal kebaikan dan keindahan,[2] maka manusia itu dikatakan basyar  karena manusia itu Nampak dan memiliki bentuk yang paling indah sehingga dengan keindahan tersebut maka indikasinya adalah sebuah kegembiraan dan itulah makna dari bassyara Yubasysyiru.
Pengertian makna Bahasa di atas tentang بَشَّر akan sangat Nampak jelas terlihat jika kembali melihat QS al-Shaffat/37:101 di mana setelah kalimat فَبَشَّرْنَا langsung disambung dengan kata غلام yaitu anak, sehingga dapat dipahami dengan sebuah berita gembira tentang nampaknya ( lahirnya ) seorang anak manusia. Pemahaman lebih lanjut tentang hal ini akan dibahas lebih mendalam di penjelasan analisa ayat dan akan dilengkapi dengan penafsiran-penafsiran munasabah ayat, penjelasan hadis, ulama dan sebagainya.
Kembali kepada kosa kata غلام, menurut Ibn Mansur dalam Lisa>n al-‘Arab, berasal dari 3 huruf, (غلم ) , sebagaimana dalam kutipan teks di bawah ini :
غلم ) الغُلْمةُ بالضم شهوة الضِّرَاب غَلِمَ الرجلُ وغيرهُ بالكسر يَغْلَمُ غَلْماً واغْتَلَمَ اغْتِلاماً إذا هاجَ وفي المحكم إذا غُلبَ شهوةَ  .وفي الحديث خَيْرُ النساء الغَلِمةُ على زوجها الغْلْمةُ هَيَجان شهوة النكاح من المرأَة والرجل وغيرهما.[3]
Ketika huruf غ di dammah pada الغُلْمةُ maka kata tersebut bermakna syahwat orang yang memukul, seperti seorang laki-laki berkobar syahwatnya. Jika غ di kasrah al-gilmatu, berarti jika syahwat berkobar maka syahwat tersebut bisa tahan. seperti dalam hadis sebaik baiknya perempuan adalah perempuan yang berkobar-kobar syahwatnya kepada suaminya.
Sejalan dengan apa yang diartikan dalam kamus al-Munawwir bahwa غلام itu adalah anak muda yang  merupakan akar kata dari غلم  yang berarti yang berkobar syahwatnya.[4]
Jika kata غلام secara bahasa di atas dapat bermakna anak sebagaimana al-Munawwir, maka penulis memandang bahwa kata atau istilah “anak” dalam bahasa Indonesia perlu dibatasi juga. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, anak berarti keturunan yang ke dua, manusia yang masih kecil.[5]
Penulis menyimpulkan bahwa anak adalah buah hati dari sepasang suami-istri yang mencakup di dalamnya orang dewasa dan remaja yang wajib berbakti kepada kedua orang tua mereka apalagi yang masih remaja, anak-anak dan mumayyis yang hidupnya masih bergantung langsung pada orang tua.
kata حَلِيمٍ berasal dari kata halama yang berarti sabar, murah hati, penyantun.[6] Sebagaimana dalam kutipan langsung teks di bawah ini :

حلم : الحُلْمُ والحُلُم الرُّؤْيا والجمع أَحْلام يقال حَلَمَ يَحْلُمُ إذا رأَى في المَنام ابن سيده حَلَمَ في نومه يَحْلُمُ حُلُماً.[7]
Pada kutipan tersebut di atas, Ibn Mansur langsung memberikan contoh حَلِيمٍ ketika Nabi Ibrahim As. Melihat anaknya disembelih dengan penuh kesabaran, keramahan dan kepatuhan dalam mimpinya.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia; 1) halus dan baik itu adalah budi bahasanya, tingkah lakunya; sabar, tenang dan sopan 2) penuh rasa belas kasihan dalam artian suka menolong.[8]
Penulis memahami bahwa kata حَلِيمٍ di sini adalah sebuah sifat baik dalam diri seseorang yang  penuh kesabaran, ketaatan dan kepatuhan, kesopanan, keramahan dalam lingkup akhla>k al-Kari>mah seorang anak demi berbakti kepada orang tua dan kepatuhannya dalam agama Islam.

B.   Klausa Ayat QS. Al-S{affat/37:101
Bertolak dari pengertian kosa kata ayat yang diungkapkan di atas, dapat menjadi sebuah makna yang sangat indah jika kosa kata ayat tersebut dipahami dari sisi klausanya.
Kalimat فَبَشَّرْنَاهُ jika dipahami secara letterlate asal kata saja sebagaimana dalam penjelasan Ibn Mansur dan Ibn Zakariya di atas, maka akan sangat rancuh jika dikatakan “maka manusia makhluk laki-laki atau perempuan kami padanya”, akan tetapi kalimat tersebut adalah bentuk tashrif dalam Bahasa Arab dalam kategori fi’il madhi yang memiliki akhiran d{amir mutakallim نحن  dan d{amir gaib هو yang tersusun dengan kaedah yang sangat indah dan memiliki paduan makna yang indah juga, maka dapatlah dimaknai dengan “maka kami beri dia kabar gembira”.
Lanjutan ayat yakni بِغُلَامٍ حَلِيمٍ , sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa seorang anak yang sangat santun dan penyabar . salah satu ulama tafsir yang ahli dalam segi kebahasaan seperti al-Nai>sabu>riy dalam tafsir al-Nai>sabu>riy mengatakan bahwa :
{ ….. بغلام حليم } وصف الغلام بالعلم في سورة الحجر وبالحلم ههنا . فذهب العلماء إلى أنه أراد بغلام عليم في صغره حليم في كبره ، فإن الصبي لا يوصف بالحلم. [9]
 ومن هنا انطوت البشارة على معان ثلاثة : أحدها أن الولد ذكر ، والثاني أنه يبلغ أوان الحلم ، والثالث أنه يكون حليماً ، وأيّ حلم أعظم من استمساكه حين عرض أبوه عليه الذبح فقال { ستجدني إن شاء الله من الصابرين }[10]
Beliau memahami bahwa بغلام حليم adalah sebuah kata sifat seorang anak yang sudah berilmu dalam hal ini berilmu dalam artian sudah mampu membedakan yang baik dan yang buruk. Ulama berpendapat bahwa بغلام عليم pada saat anak tersebut masih kecil dan  غلام حليم pada saat dia sudah besar karena bayi itu tidak cocok disifatkan dengan kata الحلم  . [11]pendapat ini juga dikatakan oleh al-Syauqaniy dalam fath al-Qadirnya[12] dan juga al-Bai>d{a>wiy dalam anwar al-tanzi>lnya.[13]
الصبي لا يوصف[14]
Secara sepintas, gabungan klausa ayat dari ungkapan yang berbentuk fi’il madhi (فَبَشَّرْنَاهُ ) dengan makna diberi berita gembira dan objek fi’il tersebut terdapat dalam sambungan بغلام حليم yaitu seorang anak yang memilki sifat yang sangat santun, penyabar dan patuh maka tersusunlah sebuah ungkapan yang sangat indah فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ dalam hal ini munculnya berita gembira dengan diberinya seorang anak yang shaleh taat dan patuh , serta yang paling menakjubkan adalah klausa kalimat tersebut diabadikan dalam QS al-Shaffat/37:101 sehingga penulis penasaran akan keistimewaan apakah yang dimiliki anak tersebut sehingga diberi gelar abadi dalam al-Qur’an dengan istilah Gula>m al-Hali>m dan penjelasan ini akan dibahas dalam analisa tafsir ayat pada penjelasan berikutnya.

C.   Munasabah Ayat
Penulis kembali memandang ayat tersebut dari segi munasabahnya dengan ayat lain demi untuk menggali makna yang terkandung dalam ayat tersebut khususnya pada istilah Gula>m al-Hali>m.
Jika membaca ayat-ayat sebelumnya, ayat ini termasuk dalam kelompok ayat yang bercerita tentang kisah Nabi Ibrahim as. Sebagaimana dalam ayat 83 :
وَإِنَّ مِن شِيعَتِهِ لإِبْرَاهِيمَ
Gambaran pembahasan ayat ini dalam konteks kisah Nabi Ibrahim dan pada beberapa ayat berikutnya, penulis melihat salah satu contoh perbuatan Ibrahaim as. yakni pada QS al-Shaffat/37:100 , Allah berfirman :
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصالحين
Ayat tersebut masih dalam konteks kisah Nabi Ibrahim dimana ayat tersebut bentuk harapan Nabi Ibrahim as. kepada Allah dalam hal ini doanya kepada Allah swt. Agar beliau dikaruniai dengan anak yang shaleh. Secara logika, QS al-Shaffat/37:101 tentang Gula>m al-Hali>m adalah jawaban dari harapan atau doa Nabi Ibrahim as. kepada Allah swt. Yang dapat dilihat dari huruf فَ yang ada pada awal kata بَشَّر .
Meskipun penulis tidak menemukan referensi tertentu dan jelas tentang huruf tersebut, tapi penulis memandang bahwa dari sisi kaedah Bahasa maka huruf فَ yang ada di awal kata بَشَّر itu adalah fa> al-jawab (فاء الجواب  ) dalam hal ini jawaban dari harapan Nabi Ibrahim agar diberi anak yang shaleh sehingga beliau diberi berita gembira (فَبَشَّرْنَاهُ) dengan adanya buah hati beliau yang sangat shaleh dalam hal ini anak yang patuh, santun dan penyabar.
Penulis berpendapat demikian karena melihat tafsir fath al-Qadi>r oleh al-Syauqa>niy mengatakan :
( فبشرناه بغلام حَلِيمٍ ) يدل على أنه ما أراد بقوله : { رَبّ هَبْ لِى مِنَ الصالحين }[15]
Penulis juga memandang bahwa, dalam ayat tersebut terdapat d{amir gaib هو ( ه )  yang arah tunjuknya kepada “ Ibrahima as.” karena ayat tersebut adalah jawaban dari doa harapan Nabi Ibrahim.
Dengan keshalehan tersebut Ibn Abbas memahami ayat tersebut dengan seorang anak yang merupakan salah satu utusan Allah (Mursali>n) yang pada saat kecilnya adalah seorang yang ‘ali>m dan seorang yang hali>m pada saat besarnya  “ عليم في صغره حليم في كبره[16]
Pada pembahasan sebelumnya, Ulama berpendapat bahwa بغلام عليم pada saat anak tersebut masih kecil dan  غلام حليم pada saat dia sudah besar karena bayi itu tidak cocok disifatkan dengan kata الحلم  , pembahasan ini dapat dilihat dalam ayat :
قَالُوا لَا تَوْجَلْ إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلَامٍ عَلِيمٍ  [الحجر/53]
Ayat dalam surat al-Hijr tersebut di atas, berbicara tentang Ibrahim as. juga. Hanya saja, ayat tersebut di atas berbeda istilah dengan dengan ayat dalam QS al-Shaffat/37:101, yakni tentang بغلام عليم dan غلام حليم dalam hal ini ulama mengatakan عليم في صغره حليم في كبره . Seperti : al-Syau>ka>niy mengatakan :
إِنَّا نُبَشّرُكَ بغلام عَلِيمٍ } مستأنفة لتعليل النهي عن الوجل ، والعليم : كثير العلم . وقيل : هو الحليم كما وقع في موضع آخر من القرآن ، وهذا الغلام : هو إسحاق كما تقدّم في هود.[17]
Jadi, Salah satu hal yang membedakan kedua istilah tersebut yakni بغلام عَلِيمٍ untuk Ishaq dan غلام حليم untuk Ismail sebagaimana ungkapan di bawah ini:

فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلامٍ حَلِيمٍ } وهذا الغلام هو إسماعيل عليه السلام، فإنه أولُ ولد بشر به إبراهيم، عليه السلام، وهو أكبر من إسحاق باتفاق المسلمين وأهل الكتاب، بل في نص كتابهم أن إسماعيل وُلِدَ ولإبراهيم، عليه السلام، ست وثمانون سنة، وولد إسحاق وعمْر إبراهيم تسع وتسعون سنة. [18]

Dengan demikian, sebatas kosa kata micro dan macro ayat serta munasabah ayat bahwa Gula>m al-Hali>m di sini dapat digambarkan sebagai orang shaleh yang ketekunan, kepatuhan, kesantunan, kesopanan dan kesabarannya yang dimiliki sosok Ismail putera Nabi Ibrahim dan sudah dijelaskan di atas bahwa beliau juga salah satu dari para mursali>n utusan Allah swt.
Akan tetapi, penulis belum berhenti sejenak dan akan melanjutkan kepada tekhnik kajian dalam memahami ayat yaitu melihat pandangan hadis, sahabat, ulama tafsir yang lain dan bahkan mencoba mengkondisikan istilah tersebut dengan beberpa kondisi social kemasyarakatan yang ada agar kajian ini lebih kondisional dan dapat digunakan khususnya dengan mencapai predikat غلام حليم .


D.  Penafsiran Hadis Nabi Saw.
Berbicara tentang penafsiran hadis Nabi saw., penulis tidak banyak menemukan hadis yang menafsirkan QS al-Shaffat/37:101. Hanya saja dalam tafsir al-T{abariy, penulis menemukan sebuah riwayat tentang latar belakang turunnya ayat tersebut yang meskipun riwayat ini penulis tidak menemukan sumber rujukan asli dari kitab para ulama hadis, hadis tersebut ialah :

كما حدثنا محمد بن الحسين، قال: ثنا أحمد بن المفضل، قال: ثنا أسباط، عن السديّ، في قوله( رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ ) قال: ولدا صالحا. وقال: من الصالحين، ولم يَقُلْ: صالحا من الصالحين، اجتزاء بمن ذكر المتروك، كما قال عز وجل:( وَكَانُوا فِيهِ مِنَ الزَّاهِدِينَ ) بمعنى زاهدين من الزاهدين.القول في تأويل قوله تعالى : { فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلامٍ حَلِيمٍ (101) فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ (102) }يقول تعالى ذكره: فبشَّرنا إبراهيم بغلام حليم، يعني بغلام ذي حِلْم إذا هو كَبِر، فأما في طفولته في المهد، فلا يوصف بذلك. وذكر أن الغلام الذي بشر الله به إبراهيم إسحاق.
* ذكر من قال ذلك:
حدثنا محمد بن حميد، قال: ثنا يحيى بن واضح، قال: ثنا الحسين، عن يزيد، عن عكرمة:( فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلامٍ حَلِيمٍ ) قال: هو إسحاق.حدثنا بشر، قال: ثنا يزيد، قال: ثنا سعيد، عن قتادة( فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلامٍ حَلِيمٍ ) بشر بإسحاق، قال: لم يُثْن بالحلم على أحد غير إسحاق وإبراهيم.[19]

Hadis tersebut di atas menyebutkan bahwa yang dimaksud gula>m al-Hali>m dalam QS al-Shaffat/37:101 itu adalah Nabi Ishak, berbeda dengan pendapat Ibn Kas\i>r pada penjelasan sebelumnya yang mengatakan bahwa anak yang dimaksud gula>m al-Hali>m adalah Ismail, dalam hal ini, terdapat perbedaan pandangan di antara para ulama mengenai orang yang dimaksud dalam gula>m al-Hali>m. bahkan penulis juga memiliki asumsi pemikiran bahwa jangan sampai gula>m al-Hali>m ada juga pada masa kontemporer sekarang.

E.    Pandangan Sahabat, Tabi’in, Ulama Tafsir
Penjelasan tentang QS. al-S{affa>t / 37 : 101 tentang gula>mun hali>m sangat erat dan tidak bisa terpisahkan dengan peristiwa penyembelihan anak Nabi Ibrahim as. Oleh karena itulah, sebelum memahami makna gula>mun hali>m , hakekat dan wujudnya maka perlu juga menggali informasi tentang kisah penyembelihan karena pembahasan ini adalah dua hal yang beriringan.
Allah berfirman:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ (الصافات: 102)
Terjemahnya :
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!”. Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. (Q.S. al-Shaffat [37]: 102).

Dalam menafsirkan ayat ini, para ulama berbeda pendapat tentang siapa yang disembelih. Sebagian ulama berpendirian, bahwa yang disembelih adalah Ishak, mereka berpegang kepada riwayat yang katanya bersumber dari ulama kalangan sahabat dan tabiin. Antara lain dapat disebut al-‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthallib dan anaknya ‘Abdullah, berdasar riwayat secara marfu‘ yang mengatasnamakan keduanya oleh al-Tsawri dan Ibn Jurayj. Riwayat-riwayat seperti ini banyak bermunculan, ada yang disandarkan kepada ‘Ali, Zubayr, Jabir, dan ‘Abdullah ibn ‘Umar yang mendengar dari ayahnya ‘Umar ibn al-Khattab. Al-Qurthubi dalam tafsirnya al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an menyimpulkan, bahwa dasar pendapat ini disandarkan kepada tujuh orang sahabat di atas.
Adapun dari kalangan tabiin, pendapat ini dipegang oleh ‘Alqamah, al-Sya’bi, Mujahid, Sa‘id ibn Jubir, Ka‘ab al-Ahbar, Qatadah, Masruq, ‘Ikrimah, Qasim ibn Abi Bazzah, ‘Atha’, Muqatil, ‘Abd al-Rahman ibn Sabith, al-Zuhri, al-Sadi, ‘Abdullah ibn Abi al-Hazil, dan Malik ibn Anas. Semua mereka sependapat, bahwa yang disembelih adalah Ishak.[20]
Dari kalangan mufasir, pendapat ini diterima oleh al-Thabari, al-Nuhas, Jalal al-Suyuthi, dan lain-lain. Perlu dicatat, pendapat ulama kelompok pertama ini, sesuai dengan keyakinan di kalangan ahli kitab, baik Yahudi maupun Nasrani.
Kelompok kedua, ulama yang berkeyakinan bahwa yang disembelih adalah Ismail. Dari kalangan sahabat, pendapat ini dinyatakan bersumber dari Abu Hurayrah, Abu Thufayl, dan anehnya, pendapat ini juga dikatakan bersumber dari Ibn ‘Umar dan Ibn ‘Abbas. Jadi kedua tokoh sahabat ini terkesan tidak konsisten dalam hal ini.
Dari kalangan tabiin, pendapat ini dipegang oleh Sa‘id ibn al-Musayyab, al-Sya‘bi, Yusuf ibn Mihran, Mujahid, al-Rabi‘ ibn Anas, Muhammad ibn Ka‘ab al-Quradhi, al-Kalabi, dan ‘Alqamah. Di sini juga terdapat tokoh yang terkesan tidak konsisten, yaitu ‘Alqamah, al-Sya’bi, dan Mujahid. Namun tidak diperoleh informasi, apakah mereka membatalkan pendapat pertama mereka, atau menguatkan salah satunya, yang jelas kedua pendapat ini tidak mungkin disatukan karena kontradiksi.
Kelihatannya sumber kontradiksi muncul akibat sikap sebagian sahabat dan tabiin yang mencoba memperdetil penafsiran dengan menerima input dari ahli kitab. Hal ini disebabkan tidak adanya penjelasan dari Rasulullah yang secara tegas menyatakan siapa yang disembelih oleh Nabi Ibrahim. Itulah kenapa riwayat tentang penetapan Ishak sebagai anak yang disembelih, semuanya berakhir pada tabiin atau sahabat saja.
Demikian pula riwayat yang menyatakan Ismail sebagai anak yang disembelih oleh Nabi Ibrahim, diterima mufasir sebagai interpretasi sahabat dan tabiin, bukan penjelasan langsung dari Rasulullah. Kondisi ini tentu menyulitkan, karena masing-masing pihak berusaha menginterpretasi dari teks Alquran. Kedua kelompok berusaha menemukan alasan pembenar dari Alquran, lalu bagaimana caranya agar kita bisa menentukan sikap?
Para ulama yang berpendirian Ishak sebagai anak yang disembelih, mengambil kesimpulan berdasar analisa terhadap kata ghulam halim dalam ayat 101 surat al-Shaffat berikut ini:
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ (100) فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ (101)
Terjemahnya :
Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh (100). Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar (101). (Q.S. al-Shaffat [37]: 100-102)
Jadi kata ghulam halim menjadi kata kunci dalam mencari jawaban tentang siapa anak yang disembelih oleh Nabi Ibrahim. Menurut ulama kalangan ini, penafsiran makna ghulam halim dijelaskan oleh ayat 49 surat Maryam berikut ini:
فَلَمَّا اعْتَزَلَهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَكُلًّا جَعَلْنَا نَبِيًّا (مريم: 49)


Terjemahnya :
Maka ketika Ibrahim sudah menjauhkan diri dari mereka dan dari apa yang mereka sembah selain Allah, Kami anugerahkan kepadanya Ishak, dan Ya’qub. Dan masing-masingnya Kami angkat menjadi nabi. (Q.S. Maryam [19]: 49).

Selain menerapkan metode penafsiran ayat dengan ayat (ayat 49 surat Maryam menjadi penafsir kata ghulam halim dalam ayat 101 surat al-Shaffat), ulama kelompok ini juga melakukan kajian historis. Hal ini dimungkinkan karena adanya riwayat tentang Nabi Ibrahim dari khasanah peradaban ahli kitab. Oleh karena itu, berdasar keterangan ayat di atas, peristiwa itu dapat direkonstruksikan kembali sesuai dengan perjalanan waktu dalam sejarah.
Menurut catatan sejarah, Nabi Ibrahim dilahirkan di sekitar Urfa, Harran (sekitar daerah Turki sekarang). Lalu Nabi Ibrahim menyingkir (‘uzlah) dari kampung halaman karena ulah umatnya yang mengingkari ajaran yang ia bawa. Nabi Ibrahim menentukan tujuannya ke negeri Syam. Di tengah perjalanan ke negeri Syam, Nabi Ibrahim berdoa agar diberi anak yang saleh (Q.S. al-Shaffat [37]: 100-101). Dalam perjalanan ini pula, ia dikabari akan memperoleh anak yang dinyatakan bakal menjadi nabi, yaitu Ishak dan Ya’qub (Q.S. Maryam [19]: 49).
Cerita ini dilanjutkan sesuai dialog Bapak-anak dalam surat al-Shaffat, bahwa dialog itu merupakan ucapan Nabi Ishak, bukan Nabi Ismail. Lalu ditutup dengan pernyataan Allah, bahwa anak itu (Nabi Ishak) ditebus dengan seekor sembelihan yang besar:
وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ (107)
Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (Q.S. al-Shaffat [37]: 107).

Kesimpulan ulama kelompok pertama ini dipandang semakin kuat oleh redaksi ayat 112 surat al-Shaffat berikut:
وَبَشَّرْنَاهُ بِإِسْحَاقَ نَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِينَ (112)
Dan Kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishaq seorang nabi yang termasuk orang-orang yang saleh. (Q.S. al-Shaffat [37]: 112).

Pernyataan ayat 112 surat al-Shaffat ini, dipandang sebagai penguat bagi penafsiran kata ghulam halim pada ayat 101. Jika penjelasan dalam ayat 49 surat Maryam bercampur dengan sebutan Nabi Ya’qub, maka dalam ayat 112 surat al-Shaffat justru khusus tentang Nabi Ishak. Maka hal ini memperteguh keyakinan ulama yang berpendirian Ishak sebagai anak yang disembelih.
Penafsiran di atas diperkuat dengan penalaran logis berdasar urutan peristiwa perjalanan hidup Nabi Ibrahim. Dari catatan sejarah diketahui, bahwa saat melakukan perjalanan menuju negeri Syam, Nabi Ibrahim belum berpoligami, sebab pernikahan dengan Hajar baru dilangsungkan setelah mereka menetap di negeri Syam. Dengan demikian, saat berita akan memperoleh anak diterimanya dalam perjalanan itu, kemungkinan memperoleh anak hanya dapat terjadi dari isterinya yang bernama Sarah. Maka anak yang dimaksud dalam pemberitaan itu ada Ishak, lalu sesuai dengan rangkaian kisah dalam surat al-Shaffat, anak yang diberitakan itu diperintah sembelih.
Meski penafsiran ini terlihat cukup beralasan, namun pada tataran kebenaran, interpretasi di atas tidak bisa mencapai tingkat meyakinkan (qath‘i). Sebab, metodologi penafsiran yang sama juga digunakan oleh ulama kelompok kedua, tetapi hasilnya malah bertolak belakang.
Bagi ulama dari kelompok kedua, petunjuk tentang siapa yang disembelih terkandung dalam kalimat “…satajiduni Insya Allah min al-shabirin” dalam ayat 102 surat al-Shaffat. Kata kuncinya, adalah kata al-shabirin yang penafsirannya terkait erat dengan bunyi ayat 85 surat al-Anbiya’ berikut:
وَإِسْمَاعِيلَ وَإِدْرِيسَ وَذَا الْكِفْلِ كُلٌّ مِنَ الصَّابِرِينَ (الأنبياء: 85)
Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris, dan Zulkifli. Semua mereka termasuk orang-orang yang sabar. (Q.S. al-Anbiya’ [37]: 85).

Ayat ini secara gamblang menyebutkan nama Ismail dalam sederetan nama nabi yang digelar sebagai al-sabirin. Bagi jumhur ulama, alasan digelarnya Nabi Ismail sebagai al-sabirin adalah; karena kesabarannya dalam menerima perintah penyembelihan atas dirinya sebagaimana tergambar dalam dialog pada ayat 102 surat al-Shaffat. Penafsiran ini diperkuat oleh keterangan dalam ayat 54 surat Maryam berikut:
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولًا نَبِيًّا (مريم: 54)

Terjemahnya :
Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi. (Q.S. Maryam [19]: 54).

Sebagian ulama menyatakan bahwa yang dimaksud dalam ayat di atas adalah Ismail ibn Hazaqil, tapi bagi jumhur ulama, itu adalah Ismail ibn Ibrahim. Berdasar pendapat jumhur ulama, ulama kelompok kedua menafsirkan; bahwa alasan disebutnya Nabi Ismail sebagai orang yang benar janjinya karena ia menepati janji kepada ayahnya, yaitu akan bersabar menerima penyembelihan.
Bagi ulama kelompok kedua, penjelasan ayat 85 surat al-Anbiya’, dan ayat 54 surat Maryam, merupakan bukti yang kuat bahwa dialog dalam ayat 102 surat al-Shaffat adalah ucapan Nabi Ismail. Dengan demikian, anak yang disembelih oleh Nabi Ibrahim adalah Nabi Ismail.
Berdasarkan penafsiran ayat dengan ayat, ulama kelompok kedua membantah hujah ulama kelompok pertama. Logikanya, pemberitaan tentang Ishak yang akan menjadi nabi, menunjukkan bahwa ia tidak mungkin disembelih. Menurut ulama kelompok kedua, menyatakan Ishak sebagai anak yang disembelih, berarti mendustakan ayat yang memberitakan Ishak akan jadi nabi dan memiliki putera bernama Ya’qub. Padahal Alquran menyatakan kenabian Ishak dan puteranya dalam beberapa surat sehingga tidak mungkin ditakwil. Dengan pastinya berita ini, maka menyatakan penyembelihan Ishak, berarti membohongi perintah sembelih, atau setidaknya, perintah sembelih terlihat sebagai kepuraan saja. [21]
Logika yang dikemukakan ulama kelompok kedua ini kelihatan cukup mengena, tapi juga tidak mampu mengantarkan kepada tataran meyakinkan (qath’i). Menurut Sa‘id ibn Jubir (dari kelompok pertama), berita kenabian dan lahirnya Ya’qub dari Ishak tidak mendustakan peristiwa penyembelihan. Sebab kedua peristiwa ini tidak dikaitkan dengan waktu, jadi bisa saja penyembelihan berlangsung di masa depan setelah Ishak menjadi nabi dan punya anak. Jadi pada saat diwahyukan, perintah menyembelih tidak terkesan sebagai perintah pura-pura.
Sampai di sini, hujah dan penalaran dari kedua kelompok ulama terlihat sama kuat sehingga sulit untuk menentukan sikap. Kiranya kesan sama kuat ini dapat dilihat dari munculnya kelompok ketiga yang seorang tokohnya dapat disebut al-Zujaj. Al-Zujaj menyimpulkan, Ismail dan Ishak, kedua-duanya disembelih. Kelihatannya al-Zujaj tidak mau dipusingkan oleh masalah ini, dan pendiriannya menjadi mazhab ketiga dalam permasalahan ini.
Ulama kelompok kedua tidak berhenti pada hujah dan logika di atas, mereka juga melakukan kajian historis. Mereka menunjukkan fakta sejarah, bahwa penyembelihan terjadi di Mekah, bukan di Syam, sedangkan Ishak tidak pernah ke Mekah, maka tidak mungkin Ishak yang disembelih. Dengan demikian dapat dipastikan, bahwa anak yang disembelih adalah Ismail, sebab Ismail lah yang hidup di Mekah dan membangun Ka’bah bersama Ibrahim.
Sampai di sini masih ada satu hal yang belum terjawab, bagaimana dengan ungkapan wa basysyarnahu bi Ishaq… dalam ayat 112 surat al-Shaffat, bukankah itu mendukung penafsiran ghulam halim sebagai Ishak karena masih dalam satu surat?




[1] Abu al-Fad{l Jama>l al-Din Muhammad Ibn Mukrim Ibn Mans{ur al-Afri>qiy al-Mis{riy, Lisa>n al-Arab, juz 4(Beyrut : Da>r S{a>dr, t.th), h. 59
[2] Abu al-Husain Ahmad Ibn Fa>ris Ibn Zakariya, Maqa>yis al-Lugah, Juz I (Beirut : Ittihad Kitab al-Arab, 2002), h. 237
[3] Abu al-Fad{l Jama>l al-Din Muhammad Ibn Mukrim Ibn Mans{ur al-Afri>qiy al-Mis{riy, Lisa>n al-Arab, juz 12(Beyrut : Da>r S{a>dr, t.th), h. 439
[4] Achmad Warson Munawwir, al-Munawwir-Kamus Arab Indonesia (Surabaya; Pustaka Progressi, 1997), h.1015
[5] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia ( Jakarta;  pusat bahasa ,2008 ). H.75
[6] Ibn Mans{ur al-Afri>qiy al-Mis{riy, Lisa>n al-Arab juz 12, h.145. Lihat juga,  Achmad Warson Munawwir, al-Munawwir-Kamus Arab Indonesia. 292
[7]  Ibn Mans{ur al-Afri>qiy al-Mis{riy, Lisa>n al-Arab , juz 12 , h.145
[8]  Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, h. 1122
[9] Al-Nai>sabu>riy, Tafsi>r al-Nai>sabu>riy, juz 6 (al-Maktabah al-Syamilah : http://www.altafsir.com, t.th ), h. 353
[10] Al-Nai>sabu>riy, Tafsi>r al-Nai>sabu>riy, juz 6, h. 353
[11] Al-Nai>sabu>riy, Tafsi>r al-Nai>sabu>riy, juz 6, h. 353
[12] Al-Syau>ka>niy, Fath al-Qadi>r, Juz 6 (al-Maktabah al-Syamilah : http://www.altafsir.com, t.th ), h. 207
[13] Na>s{ir al-Di>n Abu al-Khai>r Abdullah Ibn Umar Ibn Muhammad al-Bai>d{a>wiy (ditulis al- Bai>d{a>wiy), Anwa>r al-Tanzi>l Wa Asra>r al-Ta’wi>l, Juz 5 (al-Maktabah al-Syamilah : http://www.altafsir.com, t.th ), h. 75
[14] al- Bai>d{a>wiy, Anwa>r al-Tanzi>l Wa Asra>r al-Ta’wi>l, Juz 5, h. 75
[15] Al-Syau>ka>niy, Fath al-Qadi>r, Juz 6, h. 207
[16] Yansib li Ibn ‘Abbas ra., Tanwi>r al-Miqba>s Min Tafsi>r Ibn Abba>s, Juz I (al-Maktabah al-Syamilah : http://www.altafsir.com, t.th ), h. 469
[17] Al-Syau>ka>niy, Fath al-Qadi>r, Juz 4, h. 183
[18] Abu al_Fida> Isma>il Ibn ‘Amr Ibn Kats\i>r al-Kurasyi al-Damsyiqiy (ditulis Ibn Kas\i>r), Tafsi>r al-Qur’an al-‘Ads{i>m Cet. II, Juz 7 (www.qurancomplex.com : Da>r al-T}ayyibah, 1999 ), h. 27
[19] Muhammad Ibn Jari>r Ibn Ibn Kas\i>r Ibn Ga>lib al-Amaliy Abu Ja’far al-T{abariy, Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l al-Qur’an, Cet I, Juz 21 (www.qurancomplex.com : Mu’assah al-Risalah : 2000), h. 72 - 73
[20] Jaya Muhammad, Kisah Nabi Dalam Al-Qur’an dan Injil, (Kemilau Publika. Kuala Lumpur: 2002). h.105  

Comments

  1. Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong

    ReplyDelete

Post a Comment

BERITA TERBARU !!

Popular posts from this blog

BIL MA'TSUR ( TAFSIR AYAT DENGAN AYAT )

CARA MELAKUKAN TAKHRIJ HADIS

download TAFSIR AL-NASAFIY

cara atau Kaedah al-Jarh Wa al-Ta’dil Serta Aplikasinya

HADIS TARBAWIY DAN AKHLAK (BERKURANGNYA IMAN KARENA MAKSIAT)

kaedah 'ATAF - AL-'ATFU DALAM AL-QUR'AN

cara TAMBAHAN - kaedah ZIYADAH DALAM AL-QUR'AN

KAEDAH 'AM DAN KHAS

cara melakukan MUNASABAH AYAT

KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS