BAGAIMANAKAH MANUSIA DICIPTAKAN ??
- DARI MANA
- UNTUK APA
- MAU KE MANA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk yang sangat
menarik. Oleh karena itu, manusia dan berbagai hal dalam dirinya sering menjadi
perbincangan diberbagai kalangan. Hampir semua lembaga pendidikan tinggi
mengkaji manusia, karya dan dampak karyanya terhadap dirinya sendiri,
masyarakat dan lingkungan tempat tinggalnya. Para ahli telah mencetuskan
pengertian manusia sejak dahulu kala, namun sampai saat ini belum ada kata
sepakat tentang pengertian manusia yang sebenarnya. Hal ini terbukti dari
banyaknya sebutan untuk manusia, misalnya homo sapien (manusia
berakal), homo economices (manusia ekonomi) yang kadangkala
disebut Economical Animal (binatang ekonomi), dan sebagainya.
Agama Islam sebagai agama yang paling baik
tidak pernah menggolongkan manusia kedalam kelompok binatang. Hal ini berlaku
selama manusia itu mempergunakan akal pikiran dan semua karunia Allah SWT dalam
hal-hal yang diridhai-Nya. Namun, jika manusia tidak mempergunakan semua
karunia itu dengan benar, maka derajat manusia akan turun, bahkan jauh lebih
rendah dari seekor binatang. Hal ini telah dijelaskan dalam Al-Qur’an surat
Al-A’raf ayat 179 sebagai berikut:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا
لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا
وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آَذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ
كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ (179)
Artinya:
dan
Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai
binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka itulah orang-orang yang
lalai.
Berbicara tentang manusia berarti kita
berbicara tentang dan pada diri kita sendiri makhluk yang paling unik di bumi
ini. Banyak di antara ciptaan Allah yang telah disampaikan lewat wahyu yaitu
kitab suci. Manusia merupakan makhluk yang paling istimewa dibandingkan dengan
makhluk yang lain. Manusia mempunyai kelebihan yang luar biasa. Kelebihan itu
adalah dikaruniainya akal. Dengan dikaruniai akal, manusia dapat mengembangkan
bakat dan potensi yang dimilikinya serta mampu mengatur dan mengelola alam
semesta ciptaan Allah adalah sebagai amanah.
Selain itu, manusia juga dilengkapi unsur
lain yaitu hati. Dengan hatinya, manusia dapat menjadikan dirinya
sebagai makhluk bermoral, merasakan keindahan, kenikmatan beriman dan kehadiran
ilahi secara spiritual.
Olehnya itu, kami akan mencoba menguraikan
pembahasan mengenai manusia dari perspektif Al-Qur’an.
B. Rumusan
Masalah
1. Defenisi
Manusia!
2. Bagaimana
perspektif Al-Qur’an mengenai manusia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Defenisi
Manusia
Adinegoro dalam bukunya “Ensiklopedi Umum
dalam Bahasa Indonesia” mengatakan: manusia adalah alam kecil sebahagian dari
alam yang besar yang ada di atas bumi, sebahagian dari alam yang bernyawa,
sebahagian dari bangsa Antropomorphen, binatang yang menyusui. Akan tetapi,
manusia adalah makhluk yang mengetahui kealamannya, yang mengetahui dan dapat
menguasai kekuatan-kekuatan alam baik dari dalam dirinya maupun dari luar.
Akan tetapi, Al-Qur’an sering kali menyebut
manusia dengan lafadz al-basyar, al-insan, al-nas, bani adam, dan
zuriyat adam.[1] Masing-masing
dari kata tersebut memiliki pendekatan yang berbeda-beda, berikut rinciannya:
1. Al-basyar,ditinjau
dari pendekatan biologis.
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ طِينٍ (12) ثُمَّ
جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ (13) ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً
فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ
لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آَخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
(14) [المؤمنون/12-14] [2]
Terjemahnya:
Dan
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari
tanah.Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat
yang kokoh (rahim).Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu
segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami
jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging.
kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah
Allah, Pencipta yang paling baik.
Kata البشر terdiri dari huruf
ba, syin, dan ra yang bermakna tampaknya sesuatu dengan baik dan indah. Dari
makna ini terbentuk kata kerja بشر yang berarti bergembira,
menggembirakan, menguliti, dan mengurus sesuatu. [3]
Menurut
al-Ashfahani, kata بشر adalah jamak dari kata بشرة (basyarah)
yang berarti kulit. Manusia disebut basyar karena kulit manusia tampak jelas
dan berbeda dibanding dengan kulit hewan lainnya.[4]
Penelitian terhadap kata manusia yang disebut
al-Qur’an dengan menggunakan kata بشر menyebutkan, bahwa yang
dimaksud manusia بشر adalah anak turun Adam, makhluk fisik yang suka makan dan
berjalan ke pasar. Aspek fisik itulah yang membuat pengertian بشر mencakup anak
turun Adam secara keseluruhan. Menurut Abdul Mukti Ro’uf, kata بشر disebutkan
sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan hanya sekali dalam bentuk mus\anna.
Jalaluddin mengatakan bahwa berdasarkan
konsep بشر, manusia tidak jauh
berbeda dengan makhluk biologis lainnya. Dengan demikian kehidupan manusia
terikat kepada kaidah prinsip kehidupan biologis seperti berkembang biak.
Sebagaimana halnya dengan makhluk biologis lain, seperti binatang. Mengenai
proses dan fase perkembangan manusia sebagai makhluk biologis, ditegaskan oleh
Allah SWT dalam Al-Qur’an, yaitu:
a. Prenatal
(sebelum lahir), proses penciptaan manusia berawal dari pembuahan (pembuahan
sel dengan sperma) di dalam rahim, pembentukan fisik.[5]
b. Post
natal (sesudah lahir) proses perkembangan dari bayi, remaja, dewasa dan usia
lanjut.[6]
Secara sederhana, Quraish Shihab menyatakan
bahwa manusia dinamai بشر karena kulitnya yang tampak jelas dan berbeda dengan
kulit-kulit binatang yang lain. Dengan kata lain, kata basyar senantiasa
mengacu pada manusia dari aspek lahiriahnya, mempunyai bentuk tubuh yang sama,
makan dan minum dari bahan yang sama yang ada di dunia ini. Dan oleh
pertambahan usianya, kondisi fisiknya akan menurun, menjadi tua, dan akhirnya
ajalpun menjemputnya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia
dalam البشر ini
dapat berubah fisik, yaitu semakin tua fisiknya akan semakin lemah dan akhirnya
meninggal dunia. Dan dalam konsep البشر ini juga dapat tergambar
tentang bagaimana seharusnya peran manusia sebagai makhluk biologis. Bagaimana
dia berupaya untuk memenuhi kebutuhannya secara benar sesuai tuntunan
Penciptanya. Yakni dalam memenuhi kebutuhan primer, sekunder dan tersier.
2. Al-insan, berasal
dari kata نسي (nasia) yang
berarti lupa, memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang secara fisik dan
mental spiritual, seperti berbicara, menguasai ilmu pengetahuan, kemampuan
untuk mengenal Tuhan dan mengembangkan sumber daya insaninya. Ada juga
yang berpendapat bahwa kata al-insan terambil dari akar kata uns yang berarti
jinak, harmonis, dan tampak.[7]
Kata insan bila dilihat asal kata al-nas,
berarti melihat, mengetahui, dan minta izin. Atas dasar ini, kata tersebut
mengandung petunjuk adanya kaitan substansial antara manusia dengan kemampuan
penalarannya. Manusia dapat mengambil pelajaran dari hal-hal yang dilihatnya,
dapat mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, serta dapat meminta izin
ketika akan menggunakan sesuatu yang bukan miliknya. Berdasarkan pengertian
ini, tampak bahwa manusia mampunyai potensi untuk dididik.
Potensi manusia menurut konsep al-Insan
diarahkan pada upaya mendorong manusia untuk berkreasi dan berinovasi. Jelas
sekali bahwa dari kreativitasnya, manusia dapat menghasilkan sejumlah kegiatan
berupa pemikiran (ilmu pengetahuan), kesenian, ataupun benda-benda ciptaan.
Kemudian melalui kemampuan berinovasi, manusia mampu merekayasa temuan-temuan
baru dalam berbagai bidang. Dengan demikian manusia dapat menjadikan dirinya
makhluk yang berbudaya dan berperadaban.
Menurut Quraish Shihab, kata al-Insan
digunakan al-Qur’an untuk menunjukkan kepada manusia dengan seluruh
totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang
lain akibat perbedaan fisik, mental, dan kecerdasan.[8]
3. al-nas, identik
dengan fungsi manusia sebagai mahluk sosial.
Dalam konsep al-nas pada umumnya dihubungkan
dengan fungsi manusia sebagai makhluk sosial. Tentunya sebagai makhluk sosial
manusia harus mengutamakan keharmonisan bermasyarakat. Manusia harus hidup
sosial artinya tidak boleh sendiri-sendiri. Karena manusia tidak bisa hidup
sendiri.
Jika kita kembali ke asal mula terjadinya
manusia yang bermula dari pasangan laki-laki dan wanita (Adam dan Hawa), dan
berkembang menjadi masyarakat dengan kata lain adanya pengakuan terhadap
spesies di dunia ini, menunjukkan bahwa manusia harus hidup bersaudara dan
tidak boleh saling menjatuhkan. Secara sederhana, inilah sebenarnya fungsi
manusia dalam konsep al-nas.
4. Bani
adam dan zurriyat Adam, dalam konteks ini manusia
diingatkan Allah agar tidak tergoda oleh setan, sebagaimana Nabi Adam dahulu
dikeluarkan dari neraka karena tergoda oleh rayuan setan.
Adapun kata bani adam dan zurriyat Adam, yang
berarti anak Adam atau keturunan Adam, digunakan untuk menyatakan manusia bila
dilihat dari asal keturunannya.
Menurut Thabathaba’i dalam Samsul Nizar,
penggunaan kata bani Adam menunjuk pada arti manusia secara umum. Dalam hal ini
setidaknya ada tiga aspek yang dikaji, yaitu:
Pertama, anjuran untuk berbudaya sesuai dengan ketentuan
Allah, di antaranya adalah dengan berpakaian guna manutup auratnya.
Kedua, mengingatkan pada keturunan Adam agar jangan
terjerumus pada bujuk rayu setan yang mengajak kepada keingkaran.
Ketiga, memanfaatkan semua yang ada di alam semesta dalam rangka
ibadah dan mentauhidkanNya. Kesemuanya itu adalah merupakan anjuran sekaligus
peringatan Allah dalam rangka memuliakan keturunan Adam dibanding makhluk-Nya
yang lain.
Lebih lanjut Jalaluddin mengatakan konsep Bani
Adam dalam bentuk menyeluruh adalah mengacu kepada penghormatan kepada
nilai-nilai kemanusian.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manusia dalam konsep Bani Adam, adalah
sebuah usaha pemersatu (persatuan dan kesatuan) tidak ada perbedaan sesamanya,
yang juga mengacu pada nilai penghormatan menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusian serta mengedepankan HAM karena yang membedakan hanyalah ketaqwaannya
kepada Pencipta.[9]
5. Al-Ins
yang berarti senang, jinak dan harmoni, dalam konteks ini manusia selaku hamba,
pengabdi Allah secara konsisten dengan penuh ketaatan di samping jin.
Kata al-Ins dalam Al-Qur’an disebutkan
sebanyak 18 kali, masing-masing dalam 17 ayat dan 9 surat. Muhammad Al-Baqi
dalam Jalaluddin memaparkan al-Ins adalah homonim dari al-Jins dan al-Nufur. Lebih
lanjut Quraish Shihab mengatakan bahwa dalam kaitannya dengan jin, maka manusia
adalah makhluk yang kasab mata.
Sedangkan jin adalah makhluk halus yang tidak
tampak. Sisi kemanusiaan pada manusia yang disebut dalam al-Qur’an dengan
kata al-Ins dalam arti “tidak liar” atau “tidak biadab”, merupakan kesimpulan
yang jelas bahwa manusia yang ins itu merupakan kebalikan dari jin yang menurut
dalil aslinya bersifat metafisik yang identik dengan liar atau bebas.
Dari pendapat di atas dapat dikatakan bahwa
dalam konsep al-ins manusia selalu di posisikan sebagai lawan dari kata jin
yang bebas. bersifat halus dan tidak biadab. Jin adalah makhluk bukan manusia
yang hidup di alam “antah berantah” dan alam yang tak terinderakan. Sedangkan
manusia jelas dan dapat menyesuaikan diri dengan realitas hidup dan lingkungan
yang ada.
6. Abdullah, dalam
konsep ini ternyata peran manusia harus disesuaikan dengan kedudukannya sebagai
abdi (hamba), dengan demikian berarti manusia harus tunduk dan taat kepada
ketentuan pemiliknya yaitu Allah.
M. Quraish Shihab dalam Jalaluddin, seluruh makhluk
yang memiliki potensi berperasaan dan berkehendak adalah Abd Allah dalam arti
dimiliki Allah. Selain itu, kata Abdullah juga bermakna ibadah, sebagai
pernyataan kerendahan diri.
Menurut M.Quraish Shihab dan Ja’far al-Shadiq
memandang ibadah sebagai pengabdian kepada Allah baru dapat terwujud bila
seseorang dapat memenuhi tiga hal, yaitu:
a. Menyadari
bahwa yang dimiliki termasuk dirinya adalah milik Allah dan berada di bawah
kekuasaan Allah.
b. Menjadikan
segala bentuk sikap dan aktivitas selalu mengarah pada usaha untuk memenuhi
perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
c. Dalam
mngambil keputusan selalu mengaitkan dengan restu dan izin Allah. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa dalam konsep Abd Allah, manusia merupakan hamba
yang seyogyanya merendahkan diri kepada Allah. Yaitu dengan menta’ati segala
aturan-aturan Allah.
7. Khalifah.
Melihat dari aspek etimologi, kata khalifah berasal
dari bahasa Arab yang berakar dari kata dasar خلف sebagaimana yang
disebutkan oleh Abu> H}usa>in Ah}mad ibn Fa>ris ibn
Zakari>ya dalam Maqa>yis al-Lughahnya bahwa kata tersebut terdiri
dari 3 huruf, yaituKha, lam dan fayang memiliki 3 makna yaitu :
Pertama: datangnya sesuatu setelah sesuatu
itu mengganti posisinya, arti kata ini dapat ditemukan dalam Q.S. Maryam/19: 59
:
فَخَلَفَ
مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ
يَلْقَوْنَ غَيًّا
Artinya:
“Maka datanglah sesudah mereka,
pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa
nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan”.[10]
Kedua: lawan dari kata depan/muka, dan yang
ketiga: pengganti atau perubahan”.[11]
Sementara dalam Mu’jam al-Alfaz} wa al-‘Alam
al-Qur’āni>yah
disebutkan bahwa :
جاء بعده وأقام مقامه,
وخلف الشيء : تركه وراءه وخالف خلافا : ضد وافق خالفعن كذا[12]
“Datang sesudahnya dan mengganti
posisi/tempatnya, dibelakang sesuatu, meninggalkannya, dibelakangnya, berbeda
dengan perbedaan yang sebenarnya lawan dari kata setuju dan berbeda dengan
sesuatu”.
Al-Asfaha>ni> mengatakan
bahwa kata khalifah bermakna menggantikan yang lain, baik karena yang
digantikan itu tidak ada tempat, kematian, sudah tidak memiliki kemampuan, atau
sudah lemah, suatu penghormatan yang diberikan kepada si pengganti.[13]
Dalam konsep ini manusia dibekali ilmu
pengetahuan untuk mengemban amanat yang dibebankan Allah untuk mengatur dan
memanfaatkan semua potensi yang ada di dunia, dan inilah yang menjadi pembeda
dengan mahluk-mahluk ciptaan Allah yang lain.
Pada hakikatnya eksistensi manusia dalam
kehidupan dunia ini adalah untuk melaksanakan kekhalifahan, yaitu membangun dan
mengelola dunia tempat hidupnya ini., sesuai dengan kehendak Penciptanya.
Menurut Jalaluddin, peran yang dilakonkan oleh manusia menurut statusnya
sebagai khalifah Allah setidak-tidaknya terdiri dari dua jalur, yaitu jalur
horizontal dan jalur vertikal.
Peran dalam jalur horizontal mengacu kepada
bagaimana manusia mengatur hubungan yang baik dengan sesama manusia dan alam
sekitarnya. Sedangkan peran dalam jalur vertikal menggambarkan bagaimana
manusia berperan sebagai mandataris Allah. Dalam peran ini manusia penting
menyadari bahwa kemampuan yang dimilikinya untuk menguasai alam dan sesama
manusia adalah karena penegasan dari Penciptanya.
Setelah meneliti berulang kali, penulis
menemukan kata khalifah beserta dengan perubahan-perubahannya dalam kaedah
bahasa Arab disebut sebanyak 127 kali disebut dalam al-Qur’ān
dalam 12 kata jadian.[14]Terkhusus
kepada kata yang memiliki arti atau yang bermaknakan pengganti, penguasa,
khalifah disebutkan sebanyak 21 kali.[15]
Dari penggunaan kata khalifah dari
beberapa ayat di atas dapat dirumuskan bahwa kekhalifahan mengharuskan
empat sisi yang saling berkaitan, yaitu:
a. Allah
sebagai pemberi amanah kekhalifahan atau mustakhlif.
b. Manusia
sebagai penerima amanah kekhalifahan. Dengan demikian, manusia dalam
melaksanakan amanah kekhalifahan mesti sesuai dengan ketetapan-ketetapan
Allah sebagai pemberi amanah.
c. Bumi
sebagai tempat peaksanaan atau objek kekhalifahan, sekaligus menjadi
batas wilayah kekhalifahan manusia. Bumi dan segala isinya termasuk
manusianya diciptakan untuk dikelola oleh manusia itu sendiri. Dengan demikian,
manusia sebagai khalifah dan alam semesta sebagai objek kekhalifahan
memiliki hubungan yang erat dan tak terpisahkan. Dengan kata lain, khalifah dan
alam semesta memiliki ketergantungan satu sama lain. Karena itu, manusia
sebagai khalifah harus memelihara dengan sebaik-baiknya.
d. Materi
tugas kekhalifahan adalah memakmurkan bumi dan membangun kehidupan damai
sebagai bayangan kehidupan syurgawi. Di sisi lain, manusia bertugas
menghindarkan bumi dari kerusakan dan pertumpahan darah dengan cara tidak
mengikuti hawa nafsunya.
Tugas kekhalifahan tidak akan berhasil
jika materi-materi penugasan tidak dilaksanakan atau apabila kaitan antara
penerima tugas dengan lingkungan tidak diperhatikan. Dengan demikian, agar
tugas kekhalifahan berhasil maka penjabaran tugas kekhalifahan
harus sejalan dan diangkat dari kondisi masyarakat yang menjadi sasaran tugas
itu.
Sedangkan menurut Muh}ammad Ba>qir
al-S}adr dalam karyanya “al-Suna>n al-Tarikhi>yah
fi>> al-Qura>n”, ada empat unsur juga yang membentuk kekhalifahan
sebagaimana yang telah penulis sebutkan di atas. Perbedaannya, Muh}ammad
Ba>qir menyatakan bahwa unsur yang keempat yaitu hubungan antara manusia
dan alam raya beserta segala isinya.[16]
Untuk kesuksesan tugas kekhalifahan
tersebut, maka Allah melengkapi manusia dengan potensi-potensi tertentu seperti
kemampuan untuk mengetahui sifat, fungsi, dan kegunaan segala macam benda.
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia “manusia” diartikan sebagai makhluk yang berakal budi (mampu
menguasai makhluk lain).[17]
Dengan demikian, makna manusia dalam
al-Qur’an dengan istilah al-basyar, al-insan, al-nas dan bani
Adam mencerminkan karakteristik dan kesempurnaan penciptaan Allah
terhadap makhluk manusia, bukan saja sebagai makhluk biologis dan psikologis
melainkan juga sebagai makhluk religius, makhluk sosial dan
makhluk bermoral serta makhluk kultural yang kesemuanya mencerminkan
kelebihan dan keistimewaan manusia daripada makhluk-makhluk Tuhan lainnya.
B. Manusia
dalam Perspektif Al-Qur’an
1. Hakikat
kejadian manusia
Menurut teori evolusi Darwin bahwa asal
kejadian manusia adalah dari binatang yang bernama kera. Sedangkan
menurut Rifyal Ka’bah berbendapat bahwa Al-Qur’an telah menjelaskan proses
kejadian manusia secara ilmiah dan terperinci.[18]
Al-Qur’an menguraikan proses kejadian manusia
dalam dua tahap yaitu:
Tahap pertama, proses kejadian/penciptaan manusia pertama dijelaskan
dalam surah al-Sajadah (32): 7 sebagai berikut:
الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ وَبَدَأَ خَلْقَ الْإِنْسَانِ
مِنْ طِينٍ (7) [السجدة/7]
Artinya:
yang
membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai
penciptaan manusia dari tanah.
Di ayat lain dinyatakan bahwa manusia terbuat
dari tanah liat kering sebagaimana dalam firman-Nya sebagai berikut:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ
بَشَرًا مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُونٍ (28) [الحجر/28] [19]
Artinya:
28. dan (ingatlah),
ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku akan
menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur
hitam yang diberi bentuk.
Berdasarkan dua ayat di atas, maka dapat
diketahui bahwa manusia pertama diciptakan dari tanah.
Tahap kedua, kejadian manusia keturunan dari manusia pertama yang
terbuat dari air mani. Allah berfirman dalam Q.S. Al-Sajadah (32): 8.
ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ مَاءٍ
مَهِينٍ (8) [السجدة/8] [20]
Artinya:
kemudian
Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina.
Dalam ayat lain dinyatakan:
Terjemahnya, Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari
setetes mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu
sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada
masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu
ada yang diwafatkan sebelum itu. (kami perbuat demikian) supaya kamu sampai
kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya).
2. fitrah
manusia
Al-Qur’an menyatakan bahwa agama Islam
diciptakan Allah sesuai dengan fitrah manusia.
Artinya:
30. Maka hadapkanlah
wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang
telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.[21]
Fitrah adalah bentuk dan system yang
diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Adapun fitrah yang berkaitan dengan
manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan
jasmani dan akalnya. Fitrah manusia adalah bawaannya sejak lahir.
Menurut para ahli antropologi, fitrah pokok
manusia terdiri atas tiga yakni: a) mempertahankan hidup dengan cara makan dan
minum tapi hendaknya yang halal dan baik, b) melangsungkan hidup melalui
pernikahan, dan 3) membela hidup.
3. Potensi manusia
Di dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat yang
memuji dan memuliakan manusia seperti tentang penciptaan manusia dalam bentuk
dan keadaan yang sebaik-baiknya yaitu dalam surah al-Tin (95): 5, penegasan
tentang kemulian manusia dibandingkan makhluk yang lain yakni dijelaskan dalam
surah al-Isra’ (17): 70, dan masih banyak ayat lainnya.
Manusia tidak bisa terlepas dari dua hal
yakni kelebihan/potensi dan kekurangan. Adapun potensi yang dimiliki oleh
manusia adalah mengetahui nama dan fungsi benda-benda alam,[22] pengalaman
hidup di surga baik yang berkaitan dengan kecukupan dan kenikmatannya maupun
rayuan iblis dan akibat buruknya, dan sebagainya.
Adapun kekurangan/kelamahan manusia adalah
ketika ia tidak menempatkan sesuatu pada fungsinya misalnya mata, ia tidak
menggunakan matanya untuk melihat hal-hal yang ma’ruf tapi malah hal-hal yang
berbaur maksiat. Mereka memiliki akal tetapi tidak dipergunakan untuk berfikir
pada jalan yang benar, mereka memiliki mata tetapi tidak dipakai untuk melihat
yang benar, mereka memiliki pendengaran juga tidak dipakai untuk mendengar
kalimat-kalimat Allah yang seharusnya dapat menuntun hidup mereka. Akhirnya
mereka tidak ada ubahnya seperti binatang bahkan lebih rendah daripada binatang
.
4. Akal,
hati, dan nafs
Salah satu perbedaan antara manusia dengan
binatang adalah akal. Menurut Al-Qur’an, akal adalah daya untuk memahami dan
menggambarkan sesuatu,[23] dorongan
moral,[24] dan
al-Mulk (67): 10.
Kata qalbu berasal dari
bahasa Arab yang bermakna membalik karena seringkali ia berbolak-balik,
terkadang setuju dan terkadang pula menolak. Sedangkan dalam penggunaannya
dalam bahasa Indonesia sering diartikan hati. Hati adalah wadah untuk menampung
hal-hal yang disadari oleh pemiliknya. Inilah yang membedakan antara qalbu/hati
dan nafs. Sebagaimana yang diketahui bahwa nafs adalah wadah yang menampung
hal-hal yang berada di bawah alam sadar sehingga yang diminta pertanggung
jawabannya bukan nafs tapi hati.
Adapun nafs dalam Al-Qur’an mempunyia aneka
makna di antaranya diartikan sebagai totalitas.[25]
5. Ruh
Kata ruh ketika dikaitkan dengan manusia
menggunakan konteks yang berbeda-beda maka sulit untuk menetapkan maknanya apalagi. Mengenai ruh dijelaskan dalam firman
Allah Q.S. Al-Isra’ (17): 85 sebagai berikut:
وَيَسْأَلُونَكَ
عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا
قَلِيلًا (85) [الإسراء/85]
Terjemahnya”
dan
mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan
Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa uraian makalah mengenai manusia
dalam perspektif. Al-Qur’an sering kali menyebut manusia
dengan lafadz al-basyar, al-insan, al-nas, bani adam, dan zuriyat adam.
Manusia dalam perspektif al-Qur’an memiliki
potensi yang siap untuk diasah dan dikembangkan, akal yang harus digunakan
untuk memikirkan ciptaan Alla, qalbu, meski sering berbolak-balik tapi tetap
harus ada usaha untuk tetap istiqomah dalam kebaikan, nafs adalah wadah yang
menampung pikiran manusia di bawah alam sadar, dan ruh adalah bagian terpenting
dari manusia. Jika tak ada ruh maka manusia tidak dikatakan manusia tapi mayat.
B. Saran
dan kritik
Pembahasan mengenai Manusia dalam
Perspektif Al-Qur’an sangat panjang sehingga tidak memungkinkan bagi
kami menulis secara mendalam atau keseluruhan. Olehnya itu, kami mengharap
masukan baik berupa saran maupun kritik yang bersifat membangun dari pembaca
maupun dari dosen yang bersangkutan.
[1]M. Quraish Shihab, Wawasan
Al-Quran (Cet. XVII; Bandung: 2006), h. 278.
[2]Q.S. Al-Mu’minun (23): 12-14.
[3]Muhammad ibn Mukrim ibn Mans{u>r al-Afriqy
al-Mis{ry, Lisa>n al-Arab, Juz IV (Cet. 1;
Beirut: Da>r al-S}a>dr, t. th.), h. 59.
[4] M. Quraish Shihab, et al., eds., Ensiklopedi
Al-Qur’an: Kajian Kosa-Kata (Cet. 1; Jakarta: Lentera Hati, 2007), h.
137.
[5]Q.S. Al-Mu’minun/23: 12-14.
[6]Q.S. Al-Mu’min/40: 67.
[7]M. Quraish Shihab, op. cit., h.
280.
[9]Q.S. Al-Hujurat/ 49 : 13.
[10]Departemen Agama, Al-Qur’an dan
Terjemahnya () h. 310.
[11]Abi> al-H}usa>in Ah}mad ibn
Fa>ris ibn Zakari>ya>, Maqa>is
al-Lughah, Juz II (Lebanon: Da>r al-Fikri>, 1979), h.
210.
[12]Muh}ammad Isma>il
Ibra>hi>m, Mu’jam al-Alfaz}} wa al-‘Alam al-Qur’āni>yah, (Al-Qa>hirah: Da>r al-Fikri>
al-‘Arabi>, 1968), h. 159.
[13]Abu> al-Qa>sim Abu>
al-Husa>in ibn Muhammad al-As}faha>ni> al-Raghi>b, Al-Mufradat
al-Qura>n, (Mesir: Must}afa> al-Ba>b
al-H}alabi>, 1961), h. 79.
[14]Muh}ammad Fu>’ad Abdu
Al-Ba>qi>, Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz}
al-Qur’a>n al-Kari>m (Cet. I; Kairo: Da>r
al-H}adi>s|, 1996), h. 294-296.
[15]Q.S. al-A’ra>f/7: 69, 74, 129, 142,
169 (2 kali); Q.S. Saba’/34: 39; Q.S. al-Nur/24: 55 (2 kali); Q.S.
al-An’a>m/6: 133 dan 165; Q.S. Yu>suf/12: 14 dan 73; Q.S.
Fa>t}ir/35: 39; Q.S. Hu>d/11: 57; Q.S. Maryam/19: 59 (2 kali);
Q.S. al-Baqarah/2: 30; Q.S. S}a>d/38: 26, Q.S. al-Naml/27: 62; dan Q.S.
al-H}adi>d/57: 7.
[16]M. Qurais} S}iha>b, et al.,
eds., Ensiklopedia al-Qura>n, (Cet. I; Jakarta: Lentera
Hati, 2007), h. 453.
[17]TPKP3B (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa), Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Depdikbud dan Balai Pustaka, 1997), h. 629.
[18]Syahminan Zaini, Mengenal Manusia
Lewat Al-Qur’an (t.d.), h. 9. Untuk mengetahui secara detail ayat
al-Qur’an yang membahas tentang proses kejadian manusia maka lihat Q.S.
Al-Nisa>’: 1, Q.S. Al-Sajadah: 7-8, Q.S. Al-Hijr: 28-29, Q.S.
Al-Mu’minun: 12-14, 67, Q.S. Al-Qiyamah: 37, Q.S. Al-Insa>n:
2, Q.S. Al-Najm: 45, Q.S. Nuh: 14, dan Q.S. Al-Hajj: 5.
[19]Q.S. Al-Hijr (15): 28.
[21]Adapun yang dimaksud dengan fitrah Allah
adalah ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu
agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu
tidaklah wajar. Mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantaran pengaruh
lingkungan.
[22]Q. S. Al-Baqarah/2: 31.
[23]Q.S. Al-Ankabut (29): 43.
[24]Q.S. Al-An’a>m (6): 151.
Comments
Post a Comment