KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS

KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS Pendahuluan latar belakang Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah dua sumber utama ajaran Islam. Oleh karena itu, keduanya selalu dijadikan landasan keyakinan, ritual, adat istiadat, etika, ekonomi, politik, peradaban dan seluruh aspek kehidupan umat Islam, baik yang sakral maupun duniawi, pada tataran ¥ abl minallah (vertikal) dan ¥ abl min al. -n ± s (horizontal).

cara kaedah ISTIFHAM pertanyaan DALAM AL-QUR'AN

Salam sejahtera bang, kata orang "malu bertanya sesat di jalan", serius amat sih.hehehe, ternyata ungkapan itu bisa juga dipakai dalam memahami makna ayat Alqur'an. yakni "Pertanyaan dalam Alqur'an", 


Tuhan saja bertanya, buktinya, ada kata-kata pertanyaan di dalam Firman-Nya yang dibukukan dalam 30 JUZ (Alqur'an), masa sih sebagai hanbanya kita malu bertanya, minimal kepada yang lebih tahu. Nanti sesat di jalan loh,,heehhhe,,yang penting bukan aliran sesat yach... selamat membaca..

A. Pengertian Istifha>m
Istifha>m berasal dari bahasa Arab, mas}dar dari kata istafhama yang berarti istawd}ah}a (minta penjelasan). Akar katanya adalah fahima yang berarti paham, mengerti, jelas. Akar kata ini mendapat tambahan alif, sin dan ta’ di awal kata yang salah satu fungsinya adalah untuk meminta. Dengan demikian ia berarti permintaan penjelasan (t}alab al-fahm).
Adapun pengertian istifha>m secara istilah, sebagai berikut: menurut al-Zarkasyi> istifha>m adalah mencari pemahaman tentang suatu hal yang tidak diketahui.[1] ‘Azi>zah Fuwal menjelaskan istifha>m adalah mencari pemahaman tentang hakekat, nama, jumlah serta sifat suatu hal.[2] Menurut ‘Ali> al-Ja>rim dan Must}afa> ‘Us\ma>n, istifha>m adalah mencari pengetahuan tentang segala sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui.[3] Adapun menurut al-Suyu>t}i>, istifha>m dengan berbagai maknanya, memiliki suatu maksud pokok yaitu mencari pemahaman tentang suatu hal.[4]



B. Adawa>t al-Istifha>m  (Kata Tanya)
Adawa>t al-istifham (kata tanya) terbagi dalam dua kategori; (1) huruf istifha>m, berupa hamzah dan hal yang artinya apakah, (2) isim istifha>m, yaitu semua adatul istifha>m selain yang pertama, yakni ma> (apa), man (siapa), kayfa (bagaimana), mata> (kapan), ayya>na (bilamana), anna> (dari mana), kam (berapa), ayna (di mana), ayyu ( apa, siapa). Adapun kegunaan masing-masing, sebagai berikut:
1. Huruf hamzah, digunakan untuk menanyakan tentang apa atau siapa yang jawabannya memerlukan ya atau tidak. Contohnya, QS. Al-Ma>’idah/5: 116, Allah swt. sebagai berikut:
وَإِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَأَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَهَيْنِ مِنْ دُونِ اللَّهِ قَالَ سُبْحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَا لَيْسَ لِي بِحَقٍّ إِنْ كُنْتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلاَ أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ
Terjemahnya:
Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, "Wahai Isa putra Maryam! Engkaukah yang mengatakan kepada orang-orang, jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua tuhan selain Allah?". (Isa) menjawab, "Mahasuci Engkau, tidak patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakannya tentulah Engkau mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada-Mu. Sungguh Engkaulah maha Mengetahui segala yang ghaib".[5]
Muh}ammad T{a>hir ibn ‘A<syu>r, mengemukakan bahwa penggunaan al-istifha>m yang ditujukan kepada Nabi ‘I<sa> yakni apakah dia yang mengatakan hal itu sebagai intimidasi dan ancaman yang mengarah kepada siapapun yang mengatakan perkataan tersebut. Para pendeta-pendeta itu mengerti bahwa sesungguhnya ancaman itu tertuju pada mereka karena merekalah yang mengada-adakan ucapan itu. Sedangkan Nabi ‘I<sa> berada diluar ancaman itu.[6]
Ibn al-Jawzi> mengatakan bahwa penggunaan istifha>m pada ayat ini merupakan celaan kepada mereka yang mengatakan bahwa Nabi ‘I<sa itu Tuhan.[7]
2. Lafal hal adalah kata tanya untuk konfirmasi, yang memerlukan jawaban ya atau tidak. Contohnya, QS. Al-Insa>n/76: 1, Allah swt. sebagai berikut:
هَلْ أَتَى عَلَى الإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُورًا.
Terjemahnya:
Bukankah pernah datang kepada manusia waktu dari masa, yang ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?[8]
3. Lafal ma>, digunakan untuk menanyakan sesuatu yang tak berakal. Contohnya, QS. Al-Muddas\s\ir/74: 42-43, Allah swt. sebagai berikut:
مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ.  قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ.
Terjemahnya:
“Apa yang menyebabkan kamu masuk ke dalam (neraka) Saqar?” Mereka menjawab, “Dahulu kami tidak termasuk orang-orang yang melaksanakan salat.[9]
Maksud ayat ini untuk menambah celaan dan rasa malu mereka. Maknanya, apa yang menyebabkan kamu masuk neraka? Mereka menjawab, “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian.”[10]
4. Lafal man, untuk menanyakan makhluk berakal. Contohnya, QS. Al-Baqarah/2: 245, Allah swt. sebagai berikut:
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً ...
Terjemahnya:
Barangsiapa meminjami Allah dengan pinjaman yang baik maka Allah melipatgandakan ganti kepadanya dengan banyak …[11]
5. Lafal mata>, digunakan untuk menanyakan waktu, baik yang lampau maupun yang akan datang. Contohnya, QS. Al-Baqarah/2: 214, Allah swt. sebagai berikut:
... مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلاَ إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ.
Terjemahnya:
"Kapankah datang pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.[12]

6. Lafal ayya>na, digunakan untuk menanyakan sesuatu berkenaan dengan waktu mendatang. Contohnya, QS. Al-Qiya>mah/75: 6, Allah swt. sebagai berikut:
يَسْأَلُ أَيَّانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ
Terjemahnya:
Dia bertanya, “Kapankah hari kiamat itu?”[13]
7. Lafal kayfa, untuk menanyakan keadaan sesuatu. Contohnya, QS. A<lu ‘Imra>n/3: 101, Allah swt. sebagai berikut:
وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنْتُمْ تُتْلَى عَلَيْكُمْ آَيَاتُ اللَّهِ وَفِيكُمْ رَسُولُهُ وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Terjemahnya:
Dan bagaimana kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya (Muhammad) pun berada di tengah-tengah kamu? Barangsiapa berpegang teguh kepada (agama) Allah, maka sungguh, dia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.[14]
8. Lafal anna, untuk menanyakan asal usul. Contohnya, QS. Maryam/19: 8, Allah swt. sebagai berikut:
قَالَ رَبِّ أَنَّى يَكُونُ لِي غُلاَمٌ وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا وَقَدْ بَلَغْتُ مِنَ الْكِبَرِ عِتِيًّا.
Terjemahnya:
Dia (Zakaria) berkata, “Ya Tuhanku, bagaimana aku akan mempunyai anak, padahal isteriku seorang yang mandul dan aku (sendiri) sesungguhnya sudah mencapai usia yang sangat tua.”[15]

9. Lafal kam, digunakan untuk menanyakan jumlah atau bilangan. Contohnya, QS. Al-Baqarah/2: 259, Allah swt. sebagai berikut:
... فَأَمَاتَهُ اللَّهُ مِئَةَ عَامٍ ثُمَّ بَعَثَهُ قَالَ كَمْ لَبِثْتَ قَالَ لَبِثْتُ يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ ...
Terjemahnya:
... Lalu Allah mematikannya (orang itu) selama seratus tahun, kemudian membangkitkannya (menghidupkannya) kembali. Dan (Allah) bertanya, "Berapa lama engkau tinggal (di sini)?" Dia (orang itu) menjawab, "Aku tinggal (di sini) sehari atau setengah hari …"[16]
10. Lafal ayna, digunakan untuk menanyakan tempat. Contohnya, QS. Al-Takwi>r/81: 26, Allah swt. sebagai berikut:
فَأَيْنَ تَذْهَبُونَ.
Terjemahnya:
Maka ke manakah kamu akan pergi?[17]
11. Lafal ayyu, untuk menanyakan apa atau siapa. Contohnya, QS. Al-An‘a>m/6: 81, Allah swt. sebagai berikut:
... فَأَيُّ الْفَرِيقَيْنِ أَحَقُّ بِالأَمْنِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ.
Terjemahnya:
… manakah dari kedua golongan itu yang lebih berhak mendapatkan keamanan (dari malapetaka), jika kamu mengetahui?[18]
C. Kaedah-kaedah Istiha>m
1.      Kaedah pertama, sebagai berikut:
الإِسْتِفْهَامُ عَقِيْبُ ذِكْرُ الْمَعَايِبِ أَبْلَغُ مِنَ الأَمْرِ بِتَرْكِهَا.[19]
Artinya:
Ungkapan al-istifha>m merupakan penekanan agar meninggalkan hal-hal yang tercela lebih fasih dari ungkapan al-amr (perintah).
Contoh penerapan terhadap kaedah pertama, dapat ditelusuri dalam QS. Al-Ma>’idah/5: 91 Allah swt. berfirman, sebagi berikut:
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلاَةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ.
Terjemahnya:
Dengan minuman keras dan judi itu, setan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan shalat maka tidakkah kamu mau berhenti.[20]
Pada ayat sebelumnya (QS. Al-Ma>’idah/5: 90) Allah swt. memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar meninggalkan hal-hal yang memabukkan, perjudian, berkorban untuk berhala, mengundi nasib karena semua itu adalah perbuatan kotor setan.
Pada QS. Al-Ma>’idah/5: 91 ini, menunjukkan bahwa perbuatan tercela itu mengakibatkan permusuhan dan kebencian serta menghalangi mengingat Allah swt. dan sembahyang. Ayat ini diakhiri dengan ungkapan istifha>m (فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ). “Hal” merupakan salah satu huruf istifha>m.
Menurut al-Syinqi>t}i>, larangan terhadap hal-hal tercela tersebut dipertegas dengan memakai s}i>gat (ungkapan) istifha>m, sebab ungkapan istifha>m lebih tegas dari ungkapan perintah yaitu (انْتَهُوْا).[21]
Contoh yang kedua dari kaedah pertama dapat dilihat dalam QS. A<lu ‘Imra>n/3: 20, Allah swt. berfirman sebagai berikut:
فَإِنْ حَاجُّوكَ فَقُلْ أَسْلَمْتُ وَجْهِيَ لِلَّهِ وَمَنِ اتَّبَعَنِ وَقُلْ لِلَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَالأُمِّيِّينَ أَأَسْلَمْتُمْ فَإِنْ أَسْلَمُوا فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْكَ الْبَلاَغُ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ.
Terjemahnya:
Kemudian jika mereka membantah engkau (Muhammad) katakanlah, “Aku berserah diri kepada Allah (dan demikian pula) orang-orang yang mengikutiku.” Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Kitab dan kepada orang-orang yang buta huruf, “Sudahkah kamu masuk Islam?” Jika mereka masuk Islam, berarti mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajibanmu hanyalah menyampaikan. Dan Allah Mahamelihat akan hamba-hamba-Nya.[22]
Pada ayat tersebut terdapat ungkapan أَأَسْلَمْتُمْ yang secara harfiah diartikan apakah kalian mau masuk Islam. Dalam hal ini Abu> Bakar al-Jaza>’iri> memberi penjelasan, sebagai berikut:
(أَأَسْلَمْتُمْ): الْهَمْزَةُ اْلأُوْلى لِلإِسْتِفْهَامِ وَالْمُرَادُ بِهِ اْلأَمْرُ أَيْ أَسْلِمُوْا خَيْراً لَكُمْ لِظُهُوْرِ الْحَقِّ وَانْبِلاَجِ نُوْرِهِ بَيْنَكُمْ بِوَاسِطَةِ كِتَابِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.[23]
Artinya:
Hamzah yang pertama untuk al-istifha>m dan tujuannya adalah perintah yaitu masuk Islamlah, (hal itu) lebih baik untuk kalian agar kebenaran itu nampak dan cahayanya terang benerang di antara kalian dengan perantaraan kitab Allah dan utusan-Nya.
Ketika al-Zamakhsyari> menafsirkan QS. A<lu ‘Imra>n/3: 20, ia menerangkan sebagai berikut:
(ءأَسْلَمْتُمْ): يَعْنِي أَنَّهُ قَدْ أَتَاكُمْ مِنَ الْبَيِّنَاتِ مَا يُوْجَبُ الإِسْلاَمُ وَيَقْتَضِيْ حُصُوْلُهُ لاَ مَحَالَةَ؛ فَهَلْ أَسْلَمْتُمْ أَمْ أَنْتُمْ بَعْد عَلَى كُفْرِكُمْ؟ وَهَذَا كَقَوْلِكَ لِمَنْ لَخَّصْتَ لَهُ الْمَسْأَلَةَ وَلَمْ تَبْقَ مِنْ طُرُقِ الْبَيَانِ وَالْكَشْفِ طَرِيْقاً إِلاَّ سَلَكْتَهُ: هَلْ فَهِمْتَهَا لاَ أَمْ لَكَ، وَمِنْهُ قَوْلُهُ عَزَّ وَعَلاَ (فَهَلْ أَنْتُمْ مُّنتَهُونَ) بَعْدَ مَا ذَكَرَ الصَّوَارِفُ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ. وَفِي هَذَا اْلإِسْتِفْهَامِ إِسْتِقْصَارٌ وَتَعْيِيْرٌ بِالْمُعَانَدَةِ وَقِلَّةِ اْلإِنْصَافِ، لأَنَّ الْمُنْصِفَ إِذَا تَجَلَّتْ لَهُ الْحُجَّةُ لَمْ يَتَوَقَّفْ إِذْعَانُهُ لِلْحَقِّ، وَلِلْمُعَانِدِ بَعْد تَجَلَّى الْحُجَّةُ مَا يَضْرِبُ أَسْدَاداً بَيْنَهُ وَبَيْنَ اْلإِذْعَانِ، وَكَذَلِكَ فِي: هَلْ فَهِمْتَهَا؟ تَوْبِيْخٌ بِالْبَلاَدَةِ وكَلَّةِ الْقَرِيْحَةِ.[24]
Artinya:
Sungguh dia telah memberikan kalian keterangan tentang hal-hal yang diwajibkan oleh Islam dan menuntut buktinya, la> mah}a>lah (tidak boleh tidak); maka sudahkah kalian berislam atau kalian tetap kufur sesudah menerima keterangan? Dan ungkapan (ءأَسْلَمْتُمْ)  ini seperti ucapan anda terhadap orang yang anda beri suatu kesimpulan mengenai permasalahan tertentu dan tidak ada lagi cara lain dalam memberi keterangan dan penjelasan kecuali anda menempuh cara itu. Kamu sudah faham belum? Contoh lain adalah firman Allah ‘azza wa ‘ala> (فَهَلْ أَنْتُمْ مُّنتَهُونَ) sesudah menyebut tentang pelarangan hal-hal yang memabukkan dan perjudian. Dalam ungkapan istifham ini pun merupakan ringkasan serta celaan sebab penentangan dan ketidakadilan, karena orang yang adil itu apabila sudah jelas baginya suatu hujjah (alasan/bukti) dia tidak akan berhenti tunduk kepada kebenaran itu, dan orang yang menentang itu walaupun alasan atau bukti sudah jelas tetap saja tidak akan mau membuka sumbatan-sumbatan antara dia dengan ketundukan itu. Demikian pula ungkapan “Sudahkah engkau memahaminya? merupakan celaan yang keras terhadap kebodohan dan kedunguan  tabiat/pembawaan.
2.      Kaedah kedua, sebagai berikut:
إِسْتِفْهَامُ الإِنْكَارِ يَكُوْنُ مُضْمَنًا مَعْنَى النَّفْيُ.
Artinya:
Istifha>m al-inka>r mengandung makna meniadakan.
Contoh pertama dari kaedah ini, dapat dilihat pada QS. Fus}s}ilat/41: 33, sebagai berikut:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ.
Terjemahnya:
Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan kebajikan dan berkata, "Sungguh, aku termasuk orang-orang muslim (yang berserah diri)?"[25]
‘Abd al-Rah}ma>n ibn Na>s}ir al-Sa‘di> mengemukakan bahwa ayat ini adalah istifaha>m yang bermakna al-nafyu (peniadaan) yang tetap, yakni tidak ada orang yang lebih baik perkataannya atau jalannya dan keadaannya.[26] Al-Razi> menyebutkan beberapa perbedaan penafsiran tentang siapa mereka, (1) Nabi Muhammad saw., (2) al-mu’az\z\inu>n, (3) para Nabi, dan (4) para Ulama.[27]
Contoh kedua, dapat dilihat dalam QS. Al-Baqarah/2: 114, sebagai berikut:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ مَنَعَ مَسَاجِدَ اللَّهِ أَنْ يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ وَسَعَى فِي خَرَابِهَا أُولَئِكَ مَا كَانَ لَهُمْ أَنْ يَدْخُلُوهَا إِلاَّ خَائِفِينَ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الآَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ.
Terjemahnya:
Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang melarang masjid-masjid Allah untuk menyebut nama-Na, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak pantas memasuknya kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka mendapat kehinaan di dunia dan di akhirat mendapat azab yang berat.[28]
Pada ayat ini, menurut al-Syawka>ni>, penggunaan istifaha>m menunjukkan bahwa kezaliman yang mereka lakukan telah mencapai puncaknya, dan posisi seperti itu mengandung segala macam kezaliman. Maknanya, tidak ada yang lebih zalim dari orang yang melarang orang lain untuk beribadah kepada Allah di masjid-masjidnya.[29]
3.      Kaedah ketiga, sebagai berikut:
إِذَا أَخْبَرَ اللهُ تَعَالَى عَنْ نَفْسِهِ بِلَفْظِ "كَيْفَ" فَهُوَ إِسْتِخْبَارٌ عَلَى طَرِيْقِ التَّنْبِيْهِ لِلْمُخَاطَبِ أَوْ التَّوْبِيْخِ.
Artinya:
Apabila Allah memberi khabar tentang dirinya dengan menggunakan lafal “kayfa” maka hal tersebut merupakan pemberitahuan dengan cara peringatan atau celaan kepada al-mukha>t}ab.
Contoh kaedah ini, dapat dibaca dalam QS. A<li ‘Imra>n/3: 86, sebagai berikut:
كَيْفَ يَهْدِي اللَّهُ قَوْمًا كَفَرُوا بَعْدَ إِيمَانِهِمْ وَشَهِدُوا أَنَّ الرَّسُولَ حَقٌّ وَجَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَاللَّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ.
Terjemahnya:
Bagaimana Allah akan memberi petunjuk kepada kaum yang kafir setelah mereka beriman, serta mengakui bahwa Rasul (Muhammad) itu benar-benar (rasul), dan bukti-bukti yang jelas telah sampai kepada mereka? Allah tidak memberi petunjuk orang-orang yang zalim.[30]
Menurut Ibn ‘A<syu>r, istifha>m inka>ri> pada ayat ini maksudnya mengingkari bahwa mereka akan mendapat hidayah secara khusus, yaitu hidayah yang timbul dari pertolongan atau ke-Mahalembut-an Allah kepada hambanya …, selanjutnya Ibn ‘A<syu>r mengemukakan, sebagai berikut: 
وَيَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ الإِسْتِفْهَامُ مُسْتَعْمَلاً فِي الإِسْتِبْعَادِ.[31]
Artinya:
Boleh menggunakan istifaha>m untuk menunjukkan hal yang tidak mungkin (terjadi).
Contoh kedua dari kaedah ini dapat pula dilihat dalam QS. Al-Tawbah/9: 7, sebagai berikut:
كَيْفَ يَكُونُ لِلْمُشْرِكِينَ عَهْدٌ عِنْدَ اللَّهِ وَعِنْدَ رَسُولِهِ إِلاَّ الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ فَمَا اسْتَقَامُوا لَكُمْ فَاسْتَقِيمُوا لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ.
Terjemahnya:
Bagaimana mungkin ada perjanjian (aman) di sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyrik, kecuali dengan orang-orang yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidilharaam (Hudaibiyah), maka selama mereka berlaku jujur terhadapmu, hendaklah kamu berlaku jujur (pula) terhadap mereka. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.[32]
Al-Zamakhsyari> mengemukan bahwa kata “kayfa” pada ayat ini bermakna al-istinka>r wa al-istib‘a>d terhadap janji kaum musyrikin terhadap Rasulullah saw. Mereka adalah lawan dan membohongi hati mereka sendiri.[33]
4.      Kaedah keempat, sebagai berikut:
إِذَا دَخَلَتْ هَمْزَةُ الإِسْتِفْهَام عَلَى "رَأَيْتَ" إِمْتَنَعَ أَنْ تَكُوْنَ مِنْ رُؤْيَةِ البَصَرِ أَوْ القَلْبِ وَ صَارَ بِمَعْنَي "أَخْبِرْنِي"
Artinya:
Jika hamzah istifaha>m masuk pada kata “رأيت”, maka artinya berubah menjadi “beritakanlah padaku”.
Contoh penerapan terhadap kaedah keempat ini, dapat ditelusuri dalam QS. Maryam/19: 77 Allah swt. berfirman, sebagi berikut:
أَفَرَأَيْتَ الَّذِي كَفَرَ بِآَيَاتِنَا وَقَالَ لأُوْتَيَنَّ مَالاً وَوَلَدًا.
Terjemahnya:
Lalu apakah engkau telah melihat orang yang menginkari ayat-ayat kami dan ia mengatakan, "Pasti aku akan diberi harta dan anak".[34]
Al-Syawka>ni> menjelaskan bahwa kata أفرأيت pada ayat di atas bermakna terangkalah kepadaku.[35] Yaitu meminta penjelasan tentang kisah orang yang mengingkari ayat-ayat Tuhan.
Contoh kedua dari kaedah ini dapat pula dilihat dalam QS. Al-Syu’ara>/26: 205, sebagai berikut:
أَفَرَأَيْتَ إِنْ مَتَّعْنَاهُمْ سِنِينَ.
Terjemahnya:
Maka bagaimana pendapatmu jika kepada mereka kami berikan kenikmatan hidup beberapa tahun.[36]
5.      Kaidah Kelima, sebagai berikut:
إِذَا دَخَلَ حَرْفُ الإِسْتِفْهَامِ عَلَى فِعْلِ التَّرَجِّيْ أَفَادَ تَقْرِيْرُ مَا هُوَ مُتَوَقِّعٌ وَأَشْعر بِأَنَّهُ كَائِنٌ.
Artinya:
Jika huruf istifaha>m masuk pada kata kerja raja> (harapan) maka menunjukkan sesuatu hal yang sudah dan pasti terjadi.
Adapun kata kerja raja> (harapan) berupa (عَسَى – حَرَى – إِخْلَوْلَقَ). Kata tersebut mengandung makna keinginan kuat pada perkara yang dicintai. Yaitu keinginan pada kebaikan dan takut pada keburukan.
Makna raja> (harapan) pada perkatan manusia atau makluk lainnya menunjukkan kepada sebagaimana arti aslinya, karena keterbatasan ilmu mereka. Dan jika dihubungkan dengan atau digunakan dalam firman Allah, maka penisbahannya mengandung kepastian dan keyakinan.
Oleh karena itu, jika huruf istifaha>m bergandengan dengan kata kerja raja> (harapan) berubah makna menjadi yang lebih tinggi yaitu makna kepastian dan keyakinan.
Contoh penerapan terhadap kaedah kelima, dapat ditelusuri dalam QS. Al-Baqarah/2: 246. Allah swt. berfirman, sebagi berikut:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الْمَلإِ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ بَعْدِ مُوسَى إِذْ قَالُوا لِنَبِيٍّ لَهُمُ ابْعَثْ لَنَا مَلِكًا نُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ هَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ أَلاَّ تُقَاتِلُوا …
Terjemahnya:
Tidakkah kamu perhatikan para pemuka Bani Israil setelah Musa wafat, ketika mereka berkata kepada seorang nabi mereka, "Angkatlah seorang raja untuk kami, niscaya kami berperang di jalan Allah". Nabi mereka menjawab, “Jangan-jangan jika diwajibkan atasmu berperang, kamu tidak akan berperang juga?” …[37]
Lafal (عَسَيْتُمْ) berasal dari kata kerja (عَسَى), yang bermakna raja> (harapan). Kemudian lafal tersebut disisipkan dengan huruf istifaha>m yaitu (هل). Maka tafsiran lafal tersebut menunjukkan sesuatu hal yang sudah dan pasti terjadi.
Contoh kedua dari kaedah ini dapat pula dilihat dalam QS. Muhammad/47: 22, sebagai berikut:
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ.
Terjemahnya:
Maka apakah sekiranya kamu berkuasa, kamu akan berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?[38]
Sebagaimana keterangan pada contoh pertama dari kaidah kelima, bahwa tafsiran lafal (عَسَيْتُمْ) menunjukkan makna yang lebih tinggi yaitu makna kepastian dan keyakinan.
6.      Kaidah Kenam, sebagai berikut:
جَمْعُ الأَسْئِلَةِ الْمُتَعَلَّقَةُ بِتَوْحِيْدِ الرُّبُوْبِيَّةِ إِسْتِفْهَامَات تَقْرِيْر.
Artinya:
Seluruh pertanyaan yang ada kaitannya dengan tauhid rububiah adalah pertanyaan bersifat statemen.
Pembicaraan tauhid yang menekankan tinjauan bahwa hanya Allah yang memberi segala nikmat dan rahmat kepada hamba-hamba-Nya disebut tauhid rubu>biyyah. Tauhid ini tidak menjadi soal di kalangan bangsa Arab ketika Muhammad diutus. Oleh karena itu, Allah tidak menempatkannya pada wilayah perdebatan dan mendasarkan pada dalil dan bukti.
Berbeda pada bidang tauhid ulu>hiyyah yang menekankan sisi keesaan Allah swt. Tauhid ini mendasarkan pada dalil dan bukti bagi orang yang menentang dan mengingkari predikat zat yang satu-satunya yang wajib diyakini. Dengan demikian, tauhid rubu>biyyah mengharuskan pada tauhid ulu>hiyyah.
Oleh karena itu, Allah men­-khat}ab (berbicara) pada orang-orang musyrik tentang tauhid rubu>biyyah dengan pertanyaan bersifat statemen. Contoh penerapan terhadap kaedah keenam, dapat ditelusuri dalam QS. Yunus/10: 31, sebagai berikut:
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ أَمْ مَنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلاَ تَتَّقُونَ. فَذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمُ الْحَقُّ فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلاَّ الضَّلاَلُ فَأَنَّى تُصْرَفُونَ.
Terjemahnya:
Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab, “Allah”. Maka katakanlah, “Mangapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” Maka itulah Allah, Tuhan kamu yang sebenarnya; maka tidak ada setelah kebenaran itu melainkan kesesatan. Maka mengapa kamu berpaling.[39]
Istifha>m pada ayat ini merupakakan statemen karena membahas rubu>biyyah Allah sebagai pemberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, dan seterusnya sebagaimana apa yang disebutkan pada ayat tersebut.




[1]Badr al-Di>n Muh}ammad ibn ‘Abdilla>h al-Zarkasyi>, al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Juz II (Cet. III; al-Qa>hirah: Maktab Da>r al-Turas\, 1404 H./1984 M.), h. 326-327.
[2]‘Azi>zah Fuwa>l, al-Mu‘jam al-Mufas}s}al, Juz I (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992 M.), h. 87.

[3]‘Ali> al-Ja>rim dan Must}afa> Ami>n, al-Bala>gat al-Wa>d}ih}ah (t.t.: Da>r al-Ma ‘a>rif, 1999 M.), h. 194.

[4]Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>, al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Juz I (Beirut: Da>r al- Fikr, t.th.), h. 148.
[5]Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya (Cet. X; Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2005 M.), h. 127.
[6]Muh}ammad al-T{a>hir ibn ‘A<syu>r, Tafsi>r al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r, Juz I (t.t.: Da>r al-Tunisiyah li al-Nasyr, 1984 M.), h. 402.
[7]Abu> al-Faraj Jama>l al-Di>n ‘Abd al-Rah}ma>n ibn ‘Ali> ibn Muh}ammad al-Jawzi>, Za>d al-Masi>r fi> ‘Ilm al-Tafsi>r, Juz II (Cet. III; Beiru>t: al-Maktab al-Isla>mi>, 1404 H./1984 M.), h. 463.
[8]Departemen Agama RI., op. cit., h. 578.
[9]Ibid., h. 576.
[10]Lebih lanjut lihat Muh}ammad Fakhr al-Di>n ibn D{iya>’ al-Di>n ‘Umar al-Ra>zi>, Tafsi>r al-Fakhr al-Ra>zi> aw Tafsi>r al-Kabi>r wa Mafa>ti>h} al-Gayb, Juz XXX (Cet. I; Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1401 H./1981 M.), h. 211.
[11]Departemen Agama RI., op. cit., h. 39.
[12]Ibid., h. 33.
[13]Ibid., h. 577.
[14]Ibid., h. 63.
[15]Ibid., h. 305.
[16]Ibid., h. 43.
[17]Ibid., h. 586.
[18]Ibid., h. 137.
[19]Kha>lid ibn ‘Us\ma>n al-Sabt, Mukhtas}ar fi> Qawa>‘id al-Tafsi>r (Cet. I; KSA: Da>r Ibn ‘Affa>n, 1417 H./ 1996 M.), h. 17. Kha>lid ibn ‘Us\ma>n al-Sabt, Qawa>‘id al-Tafsi>r: Jam‘an wa Dira>satan, Jilid II (Cet. I; t.t.: Da>r Ibn ‘Affa>n, 1421 H.), h. 541.
[20]Departemen Agama RI., op. cit., h. 123.
[21]Muh}ammad al-Ami>n ibn Al-Mukhta>r al-Syinqi>t}i>, Ad}wa>’ al-Baya>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n bi al-Qur’an (Cet. I; Beiru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1424 H./2003 M.), h. 479.
[22]Departemen Agama RI., op. cit., h. 52.
[23]Abu> Bakar al-Jaza>’iri>, Aysar al-Tafa>si>r, dalam al-Maktabat al-Sya>milah Versi 2 [CD-ROM]. Tafsir QS. A<lu ‘Imra>n/3: 20. 
[24]Abu> al-Qa>sim Ja>rulla>h Mah}mu>d ibn ‘Umar al-Zamakhsyari>, al-Kasysya>f ‘an H{aqa>’iq Gawa>mid} al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-Aqa>wi>l fi> Wuju>h al-Ta’wi>l, di-tah}qi>q oleh ‘A<dil Ah}mad ‘Abd al-Mawju>d, et al., Juz I, (Cet. I; Riya>d}: Maktabat al-‘Abi>ka>n, 1418 H./1998 M.), h. 539.
[25]Departemen Agama RI., op. cit., h. 480.
[26]‘Abd al-Rah}ma>n ibn Na>s}ir al-Sa‘di>, Taysi>r al-Kari>m al-Rah}ma>n fi> Tafsi>r Kala>m al-Manna>n (Cet. I; Beiru>t: Da>r Ibn H{azm, 1424 H./2003 M.), h. 715.
[27]Uraian lebih lanjut lihat Muh}ammad Fakhr al-Di>n ibn D{iya>’ al-Di>n ‘Umar al-Ra>zi>, op. cit., Juz XXVII, h. 124.
[28]Departemen Agama RI., op. cit., h. 18.
[29]Muhammad ibn ‘Ali> al-Syawka>ni>, Tafsi>r Fath} al-Qadi>r, dalam al-Maktabat al-Sya>milah Versi 2 [CD-ROM]. Tafsi>r QS. Al-Baqarah/2: 114.
[30]Departemen Agama RI., op. cit., h. 61.
[31]Lebih lanjut lihat Muh}ammad al-T{a>hir ibn ‘A<syu>r, op. cit., Juz III, h. 303. Pernyataan senada juga diungkapkan oleh ‘Abd al-Rah}ma>n ibn Na>s}ir al-Sa‘di>, op. cit., h. 121.
[32]Departemen Agama RI., op. cit., h. 188.
[33]Abu> al-Qa>sim Ja>rulla>h Mah}mu>d ibn ‘Umar al-Zamakhsyari>, op. cit., Juz III, h. 15.
[34]Departemen Agama RI., op. cit., h. 311.
[35]Muh}ammad ibn ‘Ali> al-Syawka>ni>, op. cit., Tafsi>r QS. Maryam/19: 77.
[36]Departement Agama RI, op. cit., h. 528.
[37]Ibid., h. 40.
[38]Ibid., h. 509.
[39]Ibid., h. 212. 

Comments

BERITA TERBARU !!

Popular posts from this blog

BIL MA'TSUR ( TAFSIR AYAT DENGAN AYAT )

CARA MELAKUKAN TAKHRIJ HADIS

download TAFSIR AL-NASAFIY

HADIS TARBAWIY DAN AKHLAK (BERKURANGNYA IMAN KARENA MAKSIAT)

cara atau Kaedah al-Jarh Wa al-Ta’dil Serta Aplikasinya

apa contoh MUKJIZAT AL-QUR'AN (Pengertian dan Pembagiannya)

cara TAMBAHAN - kaedah ZIYADAH DALAM AL-QUR'AN

cara melakukan MUNASABAH AYAT

QAWAIDH AL-TAHDIS (Pengertian , Ruang Lingkup dan Urgensinya )

kaedah 'ATAF - AL-'ATFU DALAM AL-QUR'AN