by : BASRI, M.Hum
POSTED : ZAHARUDDIN, M.TH.I
Kajian tentang Timur (orient)
termasuk Islam atau yang akrab dengan sebutan orientalime sudah dimulai sejak
abad ke-18. Ada dua faktor yang menjadi penyebab ketertarikan orang Barat
mengkaji Islam. Pertama, motif keagamaan. Barat yang merupakan
representasi Kristen, memandang Islam sebagai agama yang sejak awal
kehadirannya bertentangan dan menolak beberapa ajaran agama mereka. Sebagai
agama yang muncul belakangan, tentunya Islam banyak mengoreksi dan melengkapi
doktrin-doktrin yang ada. Oleh karenannya, kedatangan Islam beserta ajaran dan
doktrinnya sendiri dianggap sebagai suatu `ancaman` bagi eksistensi agama
mereka.
Kedua, motif
politik. Islam dalam pandangan Barat merupakan sebuah peradaban masa lalu yang
telah tersebar ke berbagai negara dan menguasai peradaban dunia. Sementara
Barat yang muncul sebagai peradaban baru, memandang Islam sebagai ancaman besar
dan langsung bagi kekuatan politik agama mereka. Karena tentunya mereka
menyadari bahwa Islam dengan peradabannya memiliki khazanah dan tradisi
keilmuan yang sangat tinggi.
Oleh karena itu beberapa usaha
telah dilakoni oleh para intelektual Barat (orientalis) untuk menyerang Islam,
yakni melakukan propaganda-propaganda dengan melakukan mendalam tentang
kenabian Muhammad saw., otentisitas Al-Qur`an, sejarah Al-Qur`an dan sebagainya.
Maka muncullah beberapa `ulama` seperti Abraham Geiger, Theodore Noldeke, John
Wansbrough, John Burton, dan beberapa ilmuan lain. Dan tulisan ini mencoba
membahas pemikiran salah satu dari tokoh orintalis tersebut, yakni John Burton
yang di antaranya berbicara mengenai masalah Nasikh Mansukh dalam
bukunya “The Collection Of The Qur`an”.
A.
Konstruk Pemikiran John Burton
Tak dapat
dipungkiri bahwa Al-Qur`an yang ada sekarang, pada mulanya tumbuh dalam tradisi
oral. Ia merupakan `teks verbal` (teks yang diucapkan) dalam
perkembangannya bermetamorfosis menjadi `teks literal` (teks yang ditulis).
Proses literalisasi teks-teks verbal Al-Qur`an yang terrekam dalam memori para
sahabat pun dilakukan. Dan pada masa pemerintahan Usman bin Affan, proses
pembukuan ini dilakukan secara resmi. Hal ini dilakukan karena terbunuhnya
sejumlah penghafal Al-Qur`an sehingga dikhawatirkan Al-Qur`an tidak akan
terselamatkan lagi. Di samping itu pula, ultimatum penulisan Al-Qur`an itu dilakukan
dalam rangka menyeragamkan tulisan sekaligus bacannya, untuk menghindari
kemungkinan berbedanya cara membaca di kalangan penduduk berbagai wilayah kala
itu.
Jadi, Mushaf
Utsmani, secara doktrinal bagi umat Islam, dipandang telah mencakup keseluruhan
wahyu Ilahi yang telah diterima oleh Nabi Muhammad saw. yang semestinya
dimasukkan ke dalam kompilasi tersebut. Sekalipun sejumlah sarjana Muslim
meragukan adanya kumpulan Al-Qur`an dalam bentuk mushaf pada saat itu, paling
tidak mereka tetap meyakini bahwa seluruh bagian dari Al-Qur`an telah
dipelihara ketika itu dalam bentuk fragmen-fragmen tertulis di atas bahan-bahan
yang ada, seperti di pelepah kurma, tulang, dan lain-lain. Dan tentunya, terutama
sekali dalam bentuk hafalan. Di samping itu pula, Rasulullah telah membuat
semacam aransemen ayat dalam tiap-tiap surah yang diketahui dan diikuti secara
luas oleh pengikutnya.

Namun tidak
demikian dengan John Burton, ia mempunyai pendekatan –sebagaimana yang
diungkapkan oleh Andrew Rippin- yang sama dengan John Wansbrough, yakni skeptisisme.
Mereka menampakkan sikap ketidakpercayaan atas sumber-sumber Islam. Mereka
memandang bahwa ada kontradiksi dalam sumber muslim tentang pengumpulan
Al-Qur`an, dan mereka menyangkal bahwa Al-Qur`an telah dikumpulkan pada masa
Khalifah Usman bin Affan. Menurutnya, hal itu hanyalah ilusi atau fiksi belaka.
Hal ini tentunya
berseberangan dengan opini yang dikembangkan oleh kalangan ortodoksi Islam.
Beberapa sarjana Barat, termasuk John Burton, justru mengemukakan teori
sebaliknya bahwa Al-Qur`an telah dikumpulkan pada masa Nabi. Bell misalnya,
dengan berpijak pada doktrin nasikh mansukh serta sejumlah `bukti`
internal tentang revisi di dalam Al-Qur`an dan penggunaan dokumen tertulis, ia
mengemukakan bahwa Nabi sendirilah yang telah “mengumpulkan” dan mengedit teks
final Al-Qur`an. Sementara sarjana Barat lainnya, John Burton, dengan
mengadopsi teori Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht tentang hadis, ia menilai
seluruh riwayat tentang pengumpulan Al-Qur`an mulai dari masa Nabi, yang
dilakukan oleh para sahabatnya, hingga ke masa Utsman dengan berbagai varian
bacaannya, hanyalah merupakan rekayasa para ahli fiqh belakangan untuk
mendukung teori naskh mansukh mereka dengan menyembunyikan kenyataan
bahwa teks final Al-Qur`an tidak dihasilkan oleh Utsman, melainkan oleh Nabi
Muhammad sendiri.
Oleh karena itu, dalam kesimpulan akhirnya, John Burton mengatakan secara tegas
bahwa:
If the Uthmanic collection
collapses, as never having occurred, this means that only one text of the
Qur'an has ever existed. This is the universally acknowledged text on the basis
of which alone the prayer of the Muslim can be valid. A single text has thus
already always united the Muslims. We have isolated and neutralised the only
motive for excluding Muhammad from the editing and
promulgating of the Qur'an texts. In those processes, Muhammad at
last must now be once more re-instated. What we have
today in our hands is the mushaf of
Muhammad.
Untuk
mendukung teorinya tersebut, maka John Burton memaparkan terlebih dahulu
seputar polemik nasikh mansukh
dalam tradisi Islam yang diawali dengan pembahasan bagaimana ilmu hukum Islam
itu terbentuk. John Burton mengatakan bahwa pada awalnya, ilmu nasikh mansukh
ini disusun bertujuan untuk memverifikasi dan mengelaborasi dari beberapa
konflik atau pertentangan yang terjadi di antara para ulama fiqh di mana
argumen mereka itu masing-masing bersumber dari Al-Qur`an dan sunnah. Sebab,
pada saat itu, ulama ushuli dipercaya dengan kemampuan mereka untuk
menilai setiap kasus pertentangan yang terjadi dalam Al-Qur`an dan sunnah mana
yang lebih `benar`. Akan tetapi , mayoritas dari ulama ushuli lebih
`memilih` untuk menyusun prinsip umum dan formal, yakni teori nasikh mansukh.
Hal ini
dilakukan sebab sejauh ini ulama ushuli dinilai berperan dalam
mengelaborasi beberapa pandangan madzhab yang berbeda satu sama lain yang
disebabkan karena adanya conflict of evidence dan conflict of sources.
Para ulama ushuli khawatir akan terjadi pada para ulama fiqh untuk
memilih `mengikuti` dan `mengamalkan` ayat-ayat Al-Qur`an saja, atau
`mengikuti` dan `mengamalkan` hadis saja, atau `mengikuti` dan `mengamalkan`
kedua-duanya. Ini akan menimbulkan kebingungan mana yang lebih relevan. Oleh
karena itu, dalam konteks diskusi yang terjadi di antara beberapa madzhab, maka
metodologi yang tepat untuk menyeragamkan pendapat mereka ialah teori nasikh
mansukh tersebut atau dikenal sebagai “The Theories of Abrogation”.
Yakni, jika menurut para ulama Kufa, keputusan tertentu dari Al-Qur'an
telah digantikan
dengan keputusan lain yang terbentuk baik oleh
Al-Qur'an ataupun sunnah. Sedangkan Safi'i dan
para pengikutnya menyatakan bahwa Al-Quran
hanya digantikan oleh Al-Quran
sendiri, tidak digantikan
oleh sunnah; dan
bahwa sunnah
digantikan oleh sunnah
sendiri, tidak digantikan
oleh Al-Qur'an.
Comments
Post a Comment