KONTROVERSI DI DALAM HADIS - Pakar Fiqih dan Pakar Hadis
- Get link
- Other Apps
KONTROVERSI DI DALAM HADIS - Pakar Fiqih dan Pakar Hadis
Seandainya
aku menjadi Qadhi ,Pasti aku akan
memukuli
Ahli
Fiqh yang tidak belajar Hadis, Dan ahli
Hadis yang tidak belajar
Fiqh[1]
Ungkapan di atas, menunjukkan bahwa
tidak ada pendikotomian yang tajam
antara fiqhi dan hadis bahkan pada diri seorang ulama fiqhi dan ulama
hadis terintegrasikan kesemua ilmu itu, sehingga menjadi suatu hal
yang sulit untuk menemukan seorang ahli fiqh yang tidak tahu hadis atau sebaliknya.
Keharusannya seorang ulama fiqhi belajar
hadis disebabkan karena hadis merupakan rekaman verbal dari sunnah Nabi. Sedang
sunnah Nabi sendiri menjadi sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur’an,
bahkan Nabi sendiri merupakan manifestasi faktual dari ayat-ayat al-Qur’an,[2]
dengan legitimasi ma’shum dari Allah Swt.[3]
Berbagai predikat mulia yang diberikan kepada Nabi; ma’shum,
afshah al-Arab[4] dan
balig[5]
dalam berbicara, menjadi suatu hal yang “mustahil” kemudian
bila ditemukan dalam sabdanya terjadi pertentangan antara satu dengan yang
lainnya, oleh Muhaddisin kemudian
dikenal sebagai ilmu mukhtalif al-Hadis, ta’arud al-Hadis, musykil al-Hadis,
ta’wil al-Hadis, talfiq al-Hadis.
Munculnya hadis-hadis yang tampaknya saling bertentangan secara rasional
adalah suatu hal yang sulit diterima oleh akal-sehat manusia, betapa tidak
hadis-hadis tersebut berasal dari satu orang dengan klaim atau keyakinan bahwa
beliau berada dibawah bimbingan dan pengawasan Tuhan. Secara hakiki, tidak
mungkin satu kebenaran bertentangan dengan kebenaran lainnya, maka kalaupun
di belakang hari disinyalir ada
hadis-hadis yang saling bertentangan, maka hal itu hanyalah terjadi pada aspek
tekstual hadis -makna lahiriah- dan keterbatasan pengetahuan manusia akan latar belakang historis lahirnya
sebuah hadis; sifatnya yang temporal,
kondisional, lokal dan universal, termasuk disini adalah terjadinya periwayatan
bi al-ma’na disertai ketidaktahuan akan fakta-fakta historis yang
melingkupinya sehingga dari suatu generasi ke generasi terjadi simplikasi,
distorsi dan pada akhirnya tampaklah hadis-hadis tersebut bertentangan.
Ilmu mukhtaliful al-hadis merupakan bagian penting bagi ulama dan tak terbatas pada ahli
hadis dan ahli fiqih tetapi meliputi seluruh ulama. Tanpa pengetahuan ini
seseorang dapat jatuh pada penafian terhadap sebuah hadis shahih karena
dianggapnya bertentangan dengan hadis shahih
yang lain, untuk kepentingan ini, ulama telah menyusun langkah-langkah dan
metode penyelesaian terhadap hadis-hadis yang masuk dalam kategori ini.
Bagimana aplikasi langkah-langkah tersebut ? Apa secara metodologis ada perbedaan signifakan antara ulama fiqh
dan hadis ? adalah sekian banyak pertanyaan
yang akan diuraikan dalam tulisan ini.
Pengertian Judul
Untuk
memahami secara baik serta menghindarkan pemahaman yang menyimpang dari tulisan
ini, terlebih dahulu akan diuraikan
pengertian dari judul tulisan ini “ Pendekatan Integral Pakar
Fiqh dan Hadis dalam Telaah Kontroversi Hadis” Dari judul ini ada beberapa
istilah yang perlu dijelaskan, antara lain sebagai berikut:
- Pendekatan Integral
Kata “pendekatan” dalam bahasa Inggris disinonimkan
dengan kata “approah” yang berarti
jalan, metode dan cara pendekatan[6].
Sedang menurut Abuddin Nata bahwa kata pendakatan berarti:
Suatu
cara pandang yang digunakan untuk
menjelaskan suatu data yang
dihasilkan dalam penelitian. Suatu data dari hasil penelitian dapat menimbulkan pengertian dan gambaran yang berbeda-beda tergantung pada pendekatan yang digunakan.[7]
Sedangkan
“integral” adalah kata sifat yang berarti bulat atau utuh.[8]
Dengan demikian pendekatan integral berarti
cara pandang yang utuh, bulat
dalam memahami sebuah objek.
- Kontroversi Hadis
Kata “kontroversi” berarti perdebatan, persengketaan dan
pertentangan. Dengan demikian, kontroversi Hadis berarti hadis-hadis yang
memiliki makna yang tidak jelas sehingga melahirkan pertentangan; baik pertentangan itu antara satu hadis dengan hadis lainnya ataupun sebuah hadis
yang samar kemudian kesamarannya dihilangkan. Dalam hal ini penulis menyamakan
istilah kontroversi hadis dengan istilah mukhtalif al-Hadis, ta’arud
al-Hadis, musykil al-Hadis, ta’wil al-Hadis, talfiq al-Hadis. Oleh ulama
hadis didefinisikan sebagai berikut:
العلم الذى يبحث فى
الاحاديث التى ظهرها متعارض فيزيل تعارضها او يوفق بينهما كما يبحث فى الاحاديث التى يشكل فهمها او تصورها
فيدفع اشكالها ويوضح حقيقثها[9]
Ilmu yang membahas tentang
hadis-hadis yang tampaknya saling bertentangan, lalu dihilangkan pertentangan
itu atau dikompromikannya, disamping membahas hadis-hadis yang sulit dipahami
atau dimengerti, lalu dihilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya.
Jadi dari definisi ini dapat dirumuskan bahwa kontroversi hadis adalah hadis-hadis yang
lahirnya bertentangan dengan hadis lain
atau ketentuan hukum lainnya serta kaedah-kaedah baku sehingga mengesankan ambivalensi makna dan kerancuan.
- Pakar Fiqh dan Hadis
Kata
“pakar” secara leksikal berarti ahli atau cendekiawan; sosok yang memiliki
pengetahuan yang memdalam. Disini penulis mensinonimkan kata pakar dengan al-alim
atau ulama. Sedangkan kata “fiqh” disini lebih berkonotasi ahli ushul fiqh.
Pertentangan kedua tipe ulama ini terkadang digambarkan sebagai pertentangan
antara teoritis dan pragmatis yang terjawantahkan dalam sikap yang berbeda
secara fundamental terhadap hadis. Muhaddis sangat ketat dalam
memperpegangi keotentikan hadis berdasarkan prinsip-prinsip isnad-formal.
Sedang Fuqaha memperhatikan matan; isi, semangat, relevansi
sebuah hadis dalam konteks syari’ah secara utuh. Sehingga atribut yang
diberikan kepada yang pertama sebagai kelompok tekstualis, sedang yang kedua
sebagai kelompok kontekstual.[10]
Namun, sebagaimana penulis sebutkan dalam muqaddimah bahwa atribut
tersebut tidak sepenuhnya tepat, karena sosok seperti Imam Syafi’i, Malik, Ahmad
bin Hanbal, Abu Hanifah umpamanya, disamping mereka adalah pakar fiqh, ilmu
mereka tentang hadis tidak diragukan. Oleh karena itu, ukuran untuk
mengelompokkan mereka didasarkan pada persentase kepopuleran ulama tersebut
dalam pandangan ulama lainnya.[11]
Dengan demikian, keseluruhan judul ini
berarti cara kerja yang ditempuh oleh pakar fiqh dan hadis dalam rangka mencari
penyelesaian –titik-temu- atas
hadis-hadis yang nampak bertentangan.
Kontroversi Hadis sebagai
Objek Ulum al-Hadis
Kondisi
objektif yang terjadi dalam proses
periwayatan, pengumpulan hingga pengkodifikasian hadis[12] dalam berbagai bentuk literatur
dengan segala problematiknya, merupakan dasar pertimbangan dan argumentasi bagi
para ulama kemudian, untuk merumuskan dan memformulasikan perangkat-perangkat
metodologis studi hadis dalam bentuk yang baku dan berdiri sendiri. Dan hal itu
dimaksudkan sebagai langkah seleksi, koreksi serta purifikasi materi-materi
hadis, baik dari kualitas isnad-nya ataupun keshahihan matan-nya
dari berbagai bentuk penyelewengan dan pemalsuan yang telah terjadi sejak
periode awal kenabian.[13]
Formulasi
dari perangkat-perangkat metodologis inilah kemudian yang dikembangkan dan diperluas cakupan
bahasannya oleh ulama sehingga punya objek bahasan tersendiri dengan sudut
tinjauan dan penekanan yang berbeda
sehingga melahirkan nama tersendiri sesuai masalah yang dibahasnya.
Lahirlah
bahasan-bahasan seperti ilmu rijal al-Hadis, al-Jarh wa al-Ta’dil, tabaqat
al-Ruwah, al-Asbab al-Wurud al-Hadis,
garib al-Hadis, Ilal al-Hadis termasuk dalam hal ini ilmu
mukhtalif al-Hadis. Formulasi bahasan ini terakumulasikan dalam suatu ilmu yang diberi nama ulum al-hadis, ushul al-hadis, mushthalah
al-Hadis. Ilmu-ilmu ini tidaklah berdiri secara otonom dalam artian
terpisah dari bagian-bagian lainnya tetapi merupakan satu kesatuan yang tak
terpisahkan dalam rangka membangun sebuah konstruk pemahaman hadis yang komprehensif dan utuh.
Tak dapat dipungkiri bahwa dalam rangka menjaga
otentisitas sunnah Nabi, ulama hadis lebih banyak memberikan perhatian pada kritik isnad dari pada kritik matan
sehingga akan dengan mudah bagi pengkaji hadis menemukan bahasan yang panjang
lebar tentang studi isnad.[14]
Hal ini pula berimplikasi pada munculnya ilmu-ilmu hadis yang isnad oriented itu lebih awal dibandingkan dengan ilmu yang
content oriented.[15]
Kontroversi Hadis, sebagai sebuah ilmu
yang masuk kategori content oriented, muncul atas usaha membandingkan
antara satu matan hadis dengan
matan hadis lainnya. Menurut para ulama
ilmu ini sangat penting dibanding dengan
cabang-cabang lainnya dari ilmu-ilmu hadis.[16]
Dan usaha atau karya yang paling awal mengenai hal ini adalah ikhtilaf
al-Hadis oleh imam al-Syafi’i( w. 150-204 H), ta’wil mukhtalif al-Hadis oleh Abdullah
ibn Muslim ibn Qutaibah al-Dainuriy(w. 213-276 H), musykil al-Atsar oleh Abu Ja’far Ahmad
ibn Muhammad al-Thahawiy(w. 239-321 H) yang dicetak di India tahun 1333 H, musykil
al-Hadis wa Bayanuhu oleh Abu
Bakar Muhammad ibn al-Hasan al-Anshariy
al-Ashbahaniy(w. 406 H), telah dicetak di India, tahun 1362 H.
Dengan tersedianya berbagai
literatur-literatur hadis kontroversial
ditambah dengan, telah terkodifikasinya seluruh hadis Rasulullah, maka upaya
untuk membandingkan antara matan satu hadis dengan hadis lainnya menjadi semakin
mudah –apalagi dengan fasilitas komputerisasi-. Dan hal ini pun berimplikasi pada munculnya kritik dan
sorotan terhadap kitab-kitab hadis
shahih seperti kitab shahih al-Bukhari dan Muslim, belakangan
dinilai oleh ulama memuat banyak hadis-hadis dhaif (baca: kontroversi).[17]
Bentuk-bentuk Kontroversi
Hadis
Sebuah
hadis hanya dapat dinyatakan kontroversial apabila ia bertentangan dengan hadis
yang memiliki kualitas dan derajat yang sama.
Sehingga bila ditemukan sebuah hadis yang berkualitas shahih dan
bertentangan dengan sebuah hadis dengan kualitas dhaif, maka hal itu
tidak termasuk dalam kategori ini karena dengan sendirinya ke-dhaif-an
tersebut telah menggugurkan kehujjaan hadis itu.
Ulama
hadis dalam berbagai pembahasan mengklasifikan kontroversi hadis dalam beberapa
bentuk, yaitu :
- Al-Qur’an
bertentangan dengan Hadis
Al-Qur’an dalam
pandangan ijma’ ulama dinyatakan sebagai dalil yang qath’i al-Wurud secara
keseluruhan. Sedang hadis Nabi, sebagian kecilnya juga dinilai sebagai dalil
yang qath’i; hadis-hadis yang berstatus mutawatir. Sedang yang
lainnya yang berstatus ahad; masyhur, azis, garib, dinilai sebagai dalil
yang dzanniy.
Menurut pandangan
sekelompok fuqaha, ahli ushul seperti al-Baedawi, al-Syaukani, al-Syairazi, Ibn al-Subki, Ibn al-Hajib,
al-Amidi[18]
dan yang lainnya berpendapat bahwa pertentangan tidak dapat terjadi antara dua
dalil qath’i, baik secara hakiki ataupun lahiriah. Bahkan
al-Zarkasyi dalam kitabnya al-Bahr al-Muhith dan al-San’ani mengasumsikan pendapat itu sebagai pendapat
mayoritas ulama.
Pendapat mereka
didasarkan pada argumentasi bahwa ketika upaya kompromi; al-jam’u itu
tidak bisa dilakukan, maka otomatis beralih pada metode lainnya seperti al-tarjih,
padahal al-tarjih itu akan menyebabkan salah satunya digugurkan. Hal
itu menurut mereka adalah sebuah sikap yang semberono.
Walaupun pendapat di
atas dianut oleh sekian banyak ulama, namun pendapat ini dibantah oleh
sekelompok ulama lainnya dari mazhab
Syafi’i. Mereka menyatakan bahwa pada dalil-dalil qath’i yang terjadi
pertentangan, dapat dilakukan upaya takhyir-memilih-sedang takhyir
merupakan bagian dari al-tarjih.[19]
Sehingga demikian ayat al-Qur’an dapat saja bertentangan dengan hadis-hadis mutawatir,
sebagaimana hal ini dinyatakan oleh Abdul Wahab Khallaf[20]:
ولا يتحقق التعلرض بين نص قطعي وبين نص ظني ويمكن
التعارض آيتين او حد يثين متواترين او بين آية وحد يث متواتر
Hal lain, terkait dengan
pertentangan antara dalil qath’i dengan dalil dzanni.
Menurut mayoritas ahli ushul[21]:
tidak boleh mempertentangkan antara dalil qath’i dengan dalil dzanni.
Dalil qath’i, selalu harus diutamakan daripada dalil dzanni
karena ia lebih kuat, menunjukkan
kepastian dan keyakinan, sedang dzanni bersifat dugaan atau mengandung
keraguan. Keraguan akan gugur dengan sendirinya.
Berbeda dengan pendapat
di atas, al-Razi berpendapat bahwa pertentanganan dapat terjadi antara dalil qath’i
dengan dalil dzanni. Antara keduanya adakalanya
terdapat penjelasan bahwa salah satunya datang lebih dahulu dan adakalanya tidak. Maka, jika dalil qath’i
datang lebih kemudian, ia berfungsi sebagai nasikh, tetapi bila dalil dzanni
yang datang lebih akhir, maka ia tidak dapat menasakh dalil yang qath’i.
Bila tidak diketahui mana yang lebih awal muncul, maka wajib mengamalkan yang qath’i.
Sekalipun keduanya bertentangan, namun dalil qath’i tetap dikedepankan.[22]
Sebagian ahli ushul
mazhab Hanafiah seperti Kamal bin Hamam berpendapat bahwa pertentangan dapat
terjadi tanpa harus melihat apakah kualitas sama seperti antara dalil qath’i dengan dalil dzanni.
Pendapat ini didasarkan pada argumentasi bahwa pertentangan itu hanya dalam batas pada lahiriahnya saja,
tidak hakikatnya.[23]
Berbeda dengan Kamal,
mayoritas ulama mazhab Hanafiah memperpegangi bahwa al-Tasawaa adalah
persyaratan bagi dalil yang bertentangan. Sehingga sebuah hadis yang
berkualitas masyhur itu tidak dapat dipertentangkan dengan hadis mutawatir
ataupun garib.[24]
- Hadis
bertentangan dengan hadis
Sebagaimana
uraian di atas, kebanyakan hadis itu berstatus dzanni al-wurud sehingga pertentangan antara hadis dengan
hadis merupakan pertentangan antara dua dalil yang bersifat dzanni.
Al-Aznawi menuturkan bahwa para ahli ushul sepakat tentang kemungkinan terjadinya pertentangan antara dua dalil dzanni[25]. Namun yang menjadi perbedaan adalah apakah pertentangan itu hanya bersifat lahiriah saja atau juga hakikatnya. Ada beberapa pendapat:
a. Pertentangan dapat terjadi pada dalil-dalil dzanni secara hakiki. Pendapat ini dianut oleh al-Amidi, dan diasumsikan sebagai pendapat Abu Bakar al-Baqillani, al-Juba’i. Al-Hajib, al-Aznawi, Abu Hasyim menyatakan pendapat ini sebagai pendapat mayoritas ulama. Atas hal ini al-Baedawi menyatakan sebagian ulama membolehkan terjadinya pertentangan secara hakiki dan pendapat inilah yang lebih utama.[26]
Adapun argumentasi pendukung kelompok ini adalah sebagai berikut:
1.Jika pertentangan dapat terjadi pada batas lahiriah, maka secara hakiki pun juga dapat terjadi.
2.Secar aqliah, terjadinya pertentangan tersebut bukanlah sesuatu yang mustahil dan beberapa argumentasi lainnya.[27]
b. Pertentangan antara dalil-dalil dzanni tidak dapat terjadi secara hakiki. Pendapat ini adalah mazhab imam Ahmad bin Hanbal dan Abu Hasan al-Kurkhi juga sekelompok ulama mazhab Syafi’iyyah.
Argumentasi mereka adalah :
1.Seandainya
ada dua buah dalil dzanni yang saling
bertentangan, maka mengamalkan kedua-duanya, salah satunya atau tidak
kedua-duanya. Semuanya tidak dapat dibenarkan karena bila mengamalkan
kedua-duanya berarti mengumpulkan dua dalil yang bertentangan. Ini jelas tidak
mungkin. Jika keduanya digugurkan itu berarti dalil-dalil itu sia-sia.
Mengamalkan salah satunya berarti sewenang-wenang. Jika semua itu tidak
dibenarkan, maka yang tepat adalah sebaliknya yaitu pertentangan hanya pada
makna lahiriahnya saja.[28]
Pendapat ini pun
dibantah oleh sekelompok ulama lainnya,
sehingga mayoritas Fuqaha dan Muhaddis berpendapat bahwa
pertentangan mutlak tidak akan terjadi secara hakiki pada dalil-dalil syara’;
baik yang qath’i maupun yang dzanni. Apabila terjadi
pertentangan, itu hanya menurut pandangan dan pemikiran ulama. Pertentangan
dapat terjadi karena ketidaktahuan Mujtahid terhadap cara-cara
menghilangkan ataupun menolaknya. Pendapat ini dikemukakan oleh mayoritas
ulama seperti Ibn Qayyim, Syafi’i, Ibn
Huzaimah, Ibn Hazm, al-Syatibi dan yang lainnya.[29]
3. Hadis bertentanganm dengan Nadzhar(nalar)
Salah
satu bagian penting dari definisi kontroversi hadis yang dikemukakan oleh
Nuruddin Itr[30]
adalah terjadinya pertentangan hadis dengan
kaedah-kaedah baku. Nah, kaedah baku yang dimaksudkan disini adalah
menyalahi pandangan umum yang lazim, menyimpang dari prinsip-prinsip umum
tentang hukum dan akhlak, realitas indrawi, kebenaran aksiomatik dalam dunia
sains dan ilmu pengetahuan, sunnatullah, fakta historis yang otentik mengenai
zaman Rasulullah. Kesemua ini dapat dikategorikan sebagai nadzhar.
Pertentangan seperti ini
banyak ditemukan dalam berbagai literartur hadis termasuk pada kitab shahihaian;
hadis tentang lalat, turunya Nabi Isa, kurma ajwa dan lain sebagainya.
Metode
Ulama Fiqh dan Hadis dalam telaah Kontroversi Hadis
Ulama dalam menyelesaikan pertentangan
antara hadis yang berdimensi kontroversial menempuh banyak cara yang
berbeda-beda. Namun demikian tidaklah berarti bahwa hasil yang dicapainya harus
pula berbeda.
Ibn Hazm misalnya secara tegas
mengatakan bahwa matan-matan hadis yang bertentangan masing-masing hadis
yang harus diamalkan, ibnu Hazm menekankan perlunya penggunaan metode istisna
(pengecualian) dalam penyelesaian satu masalah.
Berbeda dengan Ibn Hazm al-Syafi’I
memberikan gambaran bahwa mungkin saja matan-matan yang nampak
bertentangan itu mengandung petunjuk bahwa matan yang satu bersifat
global (mujmal) dan yang satunya bersifat rinci, mungkin yang satu
bersifat umum, dan yang lain bersifat khusus, mungkin yang satu bersifat nasikh
dan yang lainnya mansukh atau mungkin keduanya ada kebolehan untuk
mengamalkannya.[31]
Ibnu Shalah, Fashil al-Hawariy dan yang
lainnya menempuh tiga kemungkinan cara,
yakni: 1) al-Jam’u, 2) al-Nasikh wa al-Mansukh dan al-Tarjih.[32]
Sedang al-Tahwani menempuh cara al-nasikh
wa al-mansukh, kemudian
tarjih.[33]
Salahuddin bin Ahmad al-Adlabi menempuh cara al-jam’u kemudian al-tarjih.[34]
Syihabuddin Abu ‘Abbas Ahmad bin Idris al-Qarafiy menempuh cara al-tarjih,
dengan cara al-tarjih ini mungkin penyelesaian yang dihasilkan berupa
penerapan al-nasikh wa al-mansukh atau al-jam’u, dengan melihat
seginya masing-masing.[35]
Yusuf al-Qardawi dalam kitabnya “Kaifa
Nataammal ma’a al- Sunnah al-Nabawiyyah” menyebutkan bahwa apabila
pertentangan itu dapat dihapus dengan jalan menggabungkan atau menyelesaikan
antara kedua nash, tanpa harus memaksakan atau mengada-ada, sehingga
kedua-duanya dapat diamalkan, maka demikian itu lebih utama daripada harus men-tarjih
antara keduanya. Sebab pen-tarjih-an mengabaikan salah satu dari
keduanya sementara mengutamakan yang
lainnya.[36]
Sebagian ahli Usul menetapkan bahwa yang
pertama ditempuh ialah mencari sejarah datangnya nash. Nash yang datangnya
lebih akhir menjadi nasikh (penghafus) terhadap nash yang lebih dahulu
datangnya. Apabila tidak berhasil, hendaklah diusahakan untuk men-tarjih
salah satu dari keduanya. Bila usaha pen-tarjih-an juga gagal, maka
hendaklah diusahkan men-taufiq-kannya (mengkompromikan) kedua dalil itu, yakni dengan mengamalkan
kedua-duanya sedapat mungkin. Akhirnya bila seorang mujtahid tidak mampu men-taufiq-kannya,
ia harus meninggalkan mengamalkan keduanya dan harus mencari dalil lain.
Pada umunya ahli hadis dalam menghadapi dalil-dalil yang
secara lahirnya berlawanan mengadakan penelitian lebih dahulu perihal
derajatnya dan hal-hal yang berkaitan dengannya dan apabila memiliki derajat
yang sama maka mereka menempuh cara-cara penyelesaian sebagai berikut:1)
al-Taufiq, al-Jam’u, 2) al-Tarjih, 3) al-Nasakh wa al-Mansukh, 4) al-Tawaqquf.
Contoh-contoh Aplikatif
Contoh metode al-Taufiq dan al-Nasakh wa
al-Mansukh dapat dilihat pada pertentangan antara hadis larangan penulisan hadis dengan hadis yang
membolehkannya.sebagai berikut:
لا تكتبوا عني ومن كتب عني شيئا غيرالقرأن فليمحه وحدثوا عني ولا خرج ... [37]
ااكتب, فوالذي نفسي بيده ما خرج مني الا حق[38]
Di
antara ulama ada yang menerapkan metode al-Nasakh wa al-Mansukh dalam
hadis ini, sehingga hadis yang pertama muncul itu di-nasakh oleh hadis
yang kemudian. Dalam kasus ini, hadis tentang larangan menuliskan hadis itu di-nasakh oleh
hadis yang membolehkannya. Sedangkan mayoritas ulama mnerapkan metode al-Jam’u
dengan memahami hadis tentang larangan penulisan hadis itu ditujukan pada sahabat
yang mempunyai kekuatan hafalan yang kuat sedangkan dibolehkannya menuliskan
hadis bagi mereka yang diragukan
kemantapan hafalannya. Al-Jam’u al-Takhsisi.
Sedangkan contoh metode al-Tarjih[39]
seperti hadis tentang bertemunya dua al-Khitanan. Masing-masing riwayat
Aisyah dengan Abu Said al-Khudri sebagai berikut:
حدثنا ابو موسي محمد
بن مثني حدثنا الوليد ابن مسلم عن الاوزاعي
عن عبد الرحمن ابن قاسم عن ابيه عن عائشة قالت : إذا جاوز الختان الختان
فقد وجب الغسل فعلته انا ورسول الله ص.م فاغتسلنا[40]
حدثنا أحمد بن صالح
حدثنا إبن وهب أخبر ني عمرو عن إبن شهاب عن أبي سلمة إبن عبدالرحمن عن أبي
سعيد الخدري أن رسول الله ص.م قال : الماء
من الماء وكان ابو سلمة يفعل ذلك[41]
Masing-masing
hadis diatas diriwayatkan oleh dua orang sahabat senior yang termasuk al-Muktsiruna
fi al-Hadis. Pada riwayat pertama terlihat bahwa hadis ini hanya sampai
pada Aisyah dan tidak disandarkan kepada Nabi sebagaimana yang terlihat pada
hadis yang kedua. Namun bukan berarti hadis ini tidak berasal dari Nabi. Ada
indikasi lain yang dapat membuktikan
bahwa hadis ini berasal dari Nabi; 1) Aisyah tidak menyandarkannya hadis ini
kepada Nabi karena hadis ini adalah fi’liyah, sebagaimana tersurat dalam
kata . فعلته انا ورسول الله 2) Aisyah adalah seorang periwayat yang tsiqah sehingga
riwayatnya dapat dipercaya berasal dari Nabi,3) Ternyata hadis ini juga
diriwayatkan oleh beberapa orang sahabat lainnya yaitu Abu Hurairah dan
Abdullah bin Amr. Sedangkan riwayat tentang
الماء من الماء hanya diriwayatkan oleh
sahabat Abu Said al-Khudriy. Disisi yang lain, Aisyah adalah pelaku dalam
peristiwa tersebut, sedangkan Abu Said hanyalah sebagai seorang periwayat. Bila
kedua riwayat ini dilihat dalam tinjauan i’tibar isnad maka secara
otomatis hadis Aisyah lebih rajih (kuat). Tetapi bila kedua hadis ini dilihat
dalam tinjauan matan maka hadis yang pertama mengandung lafadz-lafadz yang
jelas (hakiki) sedangkan pada hadis yang kedua mengandung makna majazi.
Menurut tinjauan matan, sebuah hadis
yang memiliki makna yang jelas lebih diutamakan dari hadis yang bermakna majazi.
Itupun bila kedua hadis ini ditempatkan
saling bertentangan seperti yang dilakukan oleh beberapa ulama. Bila tidak,
seperti pemahaman yang menempatkan hadis ini dalam bingkai yang berbeda. Hadis
yang pertama dipahami dalam kaitannya dengan hubungan suami-istri (persetubuan)
sedangkan hadis yang kedua dipahami dalam kaitannya dengan keluarnya maniy
ketika mimpi. Hadis ini juga dapat dianalisis lewat pendekatan sejarah. Menurut
data sejarah, Abu Salamah yang termaktub dalam hadis yang kedua itu wafat
ketika tidak beberapa lama setelah tibanya Nabi di Madinah (hijrat al-Rasul),
maka dengan demikian hadis ini diucapokan oleh Nabi ketika beliau masih berada
di Mekkah atau paling tidak pada masa awal dari periode Madinah. Sedangkan
perkawinan Nabi dengan Aisyah terjadi sejak mereka tinggal di Mekkah, namun
karena umur Aisyah pada saat itu masih sangat belia, maka ia tidak tinggal
bersama dengan Nabi. Ia hidup bersama dengan Nabi ketika mereka telah tinggal
di Madinah. Berdasarkan data ini, seseorang dapat saja menganggap antara hadis
yang satu dengan yang lainnya ada yang dinasakh.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas maka penulis
simpulkan bahwa:
- Munculnya
pertentangan antara hadis yang satu dengan hadis lainnya merupakan
implikasi dari metode muqaran; membandingkan antara satu matan
dengan matan lainnya.
- Pertentangan
yang terjadi pada hadis tidaklah bersumber dari Rasulullah tetapi banyak
hal yang terlibat dalam proses pembentukan tersebut, diantaranya:1)
terjadinya riwayat bi al-Ma’na, 2) tidak memahami sosio-historis
yang melingkupi lahirnya hadis,3) telah bercampur dengan berbagai unsur
budaya dan tradisi, 4) tidak memahami perkembangan bahasa, dan lain sebagainya.
- Metode
yang ditempuh oleh ulama fiqh dan hadis secara umum tidak terjadi
perbedaan yang signifikan, hanya sebatas pada skala prioritas,
sistematika. Ada yang mendahulukan al-Jam’u, ada juga yang
mendahulukan al-Nasakh wa al-Mansukh ataupun al-Tarjih.
Kepustakaan
Al-Adabi’,Salahuddin bin Ahmad. Manhaj
al-Naqd al- Matan. Beirut: Dar al-Afaqal-Jadidah, 1983.
Al-Qardawiy, Yusuf. Kaifa
Nataammal ma’a al-Sunnah al-Nabwiyyah. Diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir
dengan judul “Bagaimana Memahami Sunnah
Nabawiyah”, (Bandung: Kharisma,1995.
Yaqub,
Ali Mustafa. Peran Ilmu Hadis Dalam
Pembinaan Hukum Islam. Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.
Muslim,
Abu Husain bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, Juz.
I. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992.
Al-Shabuni,
Muhammad Ali. al-Nubuwwah wa al-Anbiya’, diterjemahkan oleh As’ad Yasin
dengan judul Membela Nabi. Cet. II; Jakarta: Gema Insani Press,
1992.
Ibn
Atsir, Al-Mubarak bin Muhammad bin Muhammad bin Abdul Karim al-Syaibani
al-Jazairiy Ibn Atsir, al-Nihayah fi
Garib al-Hadis. Beirut: Dar al-Fikir, t.th.
Salim,
Peter. The Contemporary
Inggris-Indonesia Dictionary. Jakarta:
Modern English, 1986.
Nata,
Abuddin. Metodologi Penelitian Studi Islam. Cet. I; Jakarta: Bulang Bintang,
1992.
Al-Syafi’i, Ikhtilaf al-Hadis. Cet. I; Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1986.
Al-Hakim, al-Naisabury.
al-Ma'rifah Ulum al-Hadis. Cet. II; Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyyah, 1977.
Ajjaj, Muhammad al-Khatib. Usul al-Hadis; Ulumuhu wa
Mushthalahu. Beirut: Dar al-Fikr,1989.
Al-Gazali,
Muhammad. al-Sunnah al-Nabawiyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadis, diterjemahkan
oleh Muhammad al-Baqir dengan judul Studi Kritis Atas Hadis Nabi Saw.Cet.
VI; Jakarta: Mizan,1998.
Al-Zarkasyi,Badruddin. al-Ijaabah li Iiraadi ma Astadrakathu Aisyah
ala al-Sahabah, diterjemahkan oleh
Wawan Junaedi dengan judul Aisyah
Mengoreksi para Sahabat. Cet.I; Jakarta; Pustaka al-Azzam, 2001.
Juynboll,
G. H. A. Muslim Tradition; Studies in Chronology,Provenants and Authouship
of Early Hadith. Cet.I; Leiden
:Cambrige University Press,1983.
Al-Suyuthi,
Muhammad Jalaluddin. Tadrib al-Rawi bi Syarh
Taqrib al-Nawawi, Juz.II . Cairo: Dar al-Kutub al-Haditsah,1966.
Wafaa, Muhammad. Ta’arudh
al-Adillat al-Syar’iyat min Kitab wa al-Sunnah
wa al-Tarjih Bainah, diterjemahkan oleh Muslich dengan judul
Metode Tarjih atas Kopntradiksi Dalil-dalil Syara’. Cet.I; Jatim: al-Izzah,
2001.
Khallaf, Abdul Wahhab ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Cet.
VIII; Mesir: al-Maktabah al-Da'wah,1968.
Al-Mutthalib,
Rif’at Fauzi abdul. Tausiq al-Sunnah
fi al-Qarn alTsani al-Hijri; Ususuhu wa Ittijaahaatuhu. Cet. I;
Mesir: al-Maktabah al-Khanji,1981.
Itr,
Nuruddin. Manhaj al-Naqd fi Ulum
al-Hadis, diterjemahkan oleh Mujiyo dengan judul Ulum al-Hadis,
Juz.II. Cet. II; Bandung: Remaja Rosdaya, 1997.
Siba’I,
Mustafa. al-Sunnah wa Makanatuhu fi Tasyri’ al-Islami, diterjemahkan
oleh Nurcholish Majid dengan judul Sunnah dan Perannya dalam Penetapan Hukum
Islam. Cet. III; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.
[1]Ungkapan ini berasal dari Imam Sufyan al-Tsauri(w.161
H) dan Sufyan ibn Uyainah(w. 198 H), serta Abdullah ibn Sinaen(w.213 H), yang
dialih bahasan oleh Ali Mustafa Yaqub. Lihat, Peran Ilmu Hadis Dalam Pembinaan Hukum Islam(Cet. I; Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1999), h. v.
[2]Suatu ketika sayyidatina Aisyah ditanya oleh seseorang tentang akhlak Rasulullah.
Maka ia menjawab bahwa akhlak
Rasulullah adalah al-Qur’an. Lihat, Abu
Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi
al-Naisaburi, selanjutnya disebut Muslim, Shahih Muslim, Juz. I(Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), h.512-513.
[3]Kata ma’shum berasal dari akar kata عصم secara
etimologi berarti al-Man’u ; menghalangi, mencegah atau menahan.
Sedangkan menurut terminologi berarti pengjagaan dan pemeliharaan Allah terhadap
Rasul-Nya dari perbuatan maksiat, kemungkaran dan yang diharamkan. Untuk lebih
jelasnya lihat, Muhammad Ali al-Shabuni, al-Nubuwwah wa al-Anbiya’,
diterjemahkan oleh As’ad Yasin dengan judul Membela Nabi(Cet. II;
Jakarta: Gema Insani Press, 1992), h. 37-41.
[4]Perntaan ini
disampaikan sendiri oleh Nabi dalam sebuah hadis yang berbunyi انا
افصح العرب
[5]Sebuah riwayat dari Ali bin Abi Thalib dari Nabi beliau
berkata :ا مرت ان اخاطب الناس علي قدر عقولهم
berdasar pada hadis ini ulama menjelaskan bahwa Nabi itu adalah seorang
yang paling fasih dalam bertutur, paling jelas uraiannya, paling tegas
argumennya, paling tuntas dalam mengemukakan idenya, paling efektif redaksinya,
paling mengenal situasi pembicaraan
kepada siapa menjadi lawan khitab-nya
hingga beliau mengulang-ulang materi
hadis atas objek tertentu hingga mereka benar-benar paham maksudnya. Untuk hal
ini lihat, Al-Mubarak bin Muhammad bin Muhammad bin Abdul Karim al-Syaibani
al-Jazairiy Ibn Atsir, al-Nihayah fi
Garib al-Hadis(Beirut: Dar al-Fikir, t.th), h. 4.
[6]Peter Salim, The Contemporary Inggris-Indonesia Dictionary(Jakarta: Modern English,
1986), h. 109.
[7]Abuddin Nata, Metodologi
Penelitian Studi Islam(Cet. I; Jakarta: Bulang Bintang, 1992), h. 28.
[8]Peter Salim, op., cit. h. 978.
[9]Lihat
al-Syafi’i, Ikhtilaf al-Hadis(Cet. I; Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1986),
h. . Lihat juga al-Hakim al-Naisabury, al-Ma'rifah Ulum al-Hadis(Cet.
II; Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyyah, 1977), h.
, Muhammad Ajjaj al-Khatib,
Usul al-Hadis; Ulumuhu wa Mushthalahu (Beirut: Dar al-Fikr,1989), h.
283.Subhi al-Shalih, Ushul al-Hadil,
op.cit., h.
[10]Lihat judul buku serta uraian Muhammad al-Gazali, al-Sunnah
al-Nabawiyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadis yang telah diterjemahkan
oleh Muhammad al-Baqir dengan judul Studi Kritis Atas Hadis Nabi Saw.(Cet.
VI; Jakarta: Mizan,1998).
[11]Untuk uraian menarik tentang dikotomomisasi antara ahli
fiqh dan hadis lihat, Ali Mustafa Yaqub, op. , cit.
[12]Kondisi
obyektif yang terjadi adalah kurangnya dokumnetasi tertulis, terjadinya
pemalsuan hadis; sehingga seorang pemalsu hadis bernama Ibrahim Ibnu Auja’
mengaku telah memalsukan hadis sekitar 40.000 hadis, transmisi hadis secara
makna serta interval waktu antara Nabi dan Khalifah Umar bin Abd al-Aziz
senantiasa menjadi sasaran dan obyek kontroversial serta perdebatan sengit para
sarjana tak terkeculai sarjana Barat. Mereka meniupkan rasa skeptis terhadap
otentisitas sunnah Nabi sederet nama seperti Ignaz Goldziher dengan karya
monumentalnya Muhammadanische Studien, Joseph Schacht dengan teori
Projecting Back, Juynboll, Alois Spenger, William Muir dan sebagainya.
[13]Sebenarnya
usaha seleksi, purifikasi materi hadis tidak dilakukan nanti setelah munculnya
ulum al-hadis dalam artian baku tetapi sejak awal, para sahabat telah melakukan
hal ini sebagai contoh kasus tentang tangisan keluarga atas si mayit yang diriwayatkan
oleh Umar bin Khattab telah dikoreksi oleh Aisyah Binti Abi Bakar. Begitu juga
pernyataan seorang sahabat yang datang melapor kepada Umar bin Khattab seraya
berkata bahwa Rasulullah telah menceraikan istri-istrinya, dimana Umar
melakukan konfirmasi balik atas pernyataan itu dan ternyata informasi itu tidak
valid. Untuk beberapa contoh atas kasus-kasus seperti ini lihat, Badruddin
al-Zarkasyi,al-Ijaabah li Iiraadi ma Astadrakathu Aisyah ala al-Sahabah,
diterjemahkan oleh Wawan Junaedi dengan
judul Aisyah Mengoreksi para Sahabat(Cet.I;
Jakarta; Pustaka al-Azzam, 2001).
[14]Beberapa tokoh orientalis merasa kagum dan
appresiatif terhadap kinerja ulama yang
mampu mengumpulkan biografi periwayat
hadis yang tidak sedikit jumlahnya dengan dukungan fasilitas yang tak secanggih sekarang, suatu hal yang
sedikit mustahil bagi kita. Namun, walau demikian, mereka tetap melakuklan
kritik terhadap kitab-kitab rijal al-Hadis. Menurut mereka terdapat perbedaan jumlah periwayat yang
tercantum dalam kitab-kitab rijal.
Semakin belakangan kitab tersebut semakin banyak periwayat yang mereka
cantumkan. Juynboll; seorang Orientalis barat setelah melakukan penelitian
dengan mengambil sampel sebanyak 7300 periwayat yang hidup antara tahun 200 -
250 H yang terdapat di dalam kitab tahdzib al-Tahdzib karya ibn Hajar.
Ia berkesimpulan bahwa banyak periwayat yang disebutkan dalam kitab tersebut
meerupakan figur-figur yang “fiktif” dimana nama mereka mengalami perkembangan
dari segi jumlah dan panjang nama bila
dibandingkan antara berbagai kitab rijal.
Untuk lebih jelasnya lihat, G. H. A. Juynboll, Muslim Tradition; Studies in
Chronology,Provenants and Authouship of Early Hadith (Cet.I; Leiden
:Cambrige University Press,1983)., h.134-160.
[15]Lihat beberapa pernyataan ulama hadis tentang
signifikansi isnad hadis dalam periwayatan, seperti Ibn Sirin, al-Auza’I, al-Tsauriy, Ibn
al-Mubarak dan lain serbagainya. Namun pernyataan yang sama untuk matan hadis
jarang ditemukan.
[16]Pernyataan ini dikemukakan oleh Muhammad Jalaluddin
al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi bi Syarh
Taqrib al-Nawawi, Juz.II (Cairo: Dar al-Kutub al-Haditsah,1966),
h.196. Ungkapan yang sama juga disampaikan oleh al-Syakawiy, Fath al-Mughits
h. 362-363.
[17] Seperti hadis-hadis tentang malaikat maut dan Nabi
Musa, turunnya Nabi Isa di akhir zaman, perdebatan Adam dan Musa.
[18]Dikutip dari kutipan Muhammad Wafaa, Ta’arudh al-Adillat al-Syar’iyat min Kitab wa al-Sunnah wa al-Tarjih Bainah, diterjemahkan oleh Muslich dengan judul Metode Tarjih atas Kopntradiksi Dalil-dalil Syara’(Cet.I; Jatim: al-Izzah, 2001), h. 41.
[19]Ibid. , h. 42.
[20]Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh(Cet. VIII; Mesir: al-Maktabah al-Da'wah,1968), h.230.
[21]Diantaranya: al-Aznawi, Ibn al-Hajib, al-Syaukani, al-Amidi dan yang lainnya.
[22]Muhammad Wafaa, op.,cit, h.38-39.
[23]Ibid. , h.39.
[24]Rif’at Fauzi abdul al-Mutthalib, Tausiq al-Sunnah fi al-Qarn alTsani al-Hijri; Ususuhu wa Ittijaahaatuhu(Cet. I; Mesir: al-Maktabah al-Khanji,1981), h.289- seterusnya.
[25]Muhammad Wafaa, op. , cith.
[26]Ibid. , h.46.
[27]Ibid. ,h. 47-48.
[28]Ibid. ,h. 51.
[29] Ibid. ,h.52-57.
[30]Untuk lebih jelasnya definisi itu lihat Nuruddin Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadis, diterjemahkan oleh Mujiyo dengan judul Ulum al-Hadis, Juz.II(Cet. II; Bandung: Remaja Rosdaya, 1997), h. 114. Bandingkan dengan Mustafa Siba’I, al-Sunnah wa Makanatuhu fi Tasyri’ al-Islami, dioterjemahkan oleh Nurcholish Majid dengan judul Sunnah dan Perannya dalam Penetapan Hukum Islam(Cet. III; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h.
[31]Lihat al- Syafi’i, Ikhtilaf al-Hadis, op. cit., h.
348-349.
[32]Lihat, Ibn Shalah, Ulum al-Hadis al-MadinaH
al-Munawwarah( al-Maktabah al- Ilmiyyah,172), h. 257-258.
[33]Lihat al-Tahwaniy,Qawa’id fi Ulum al-Hadis(
Beirut: Dar al-Qalam,1972) , h.288 dan seterusnya.
[34]Lihat, Salahuddin bin Ahmad al-Adabi’, Manhaj al-Naqd
al- Matan( Beirut: Dar al-Afaqal-Jadidah, 1983), h.273 dan seterusnya.
[35]Lihat, al-Qarafiy,Syarh Tanqih al-Fusul ( Beirut:
Dar al-Fikr,1973), h.420-425.
[36]Lihat, Yusuf al-Qardawiy, Kaifa Nataammal ma’a
al-Sunnah al-Nabwiyyah. Diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dengan
judul “Bagaimana Memahami Sunnah
Nabawiyah”, (Bandung: Kharisma,1995), h.118.
[37]Imam Muslim, Shahih
Muslim,Juz. IV(Cet. I; beirut: Ihya’
Tiras1965), h. 298.
[38] Al-Darimi, Sunan
al-Darimi,Juz.I(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th), h.125.
[39]Ulama dalam aplikasi
metode al-Tarjih menggunakan beberapa tinjauan, yaitu ;
1. Tinjauan
Isnad:
a. Mengutamakan
hadis yang memiliki isnad yang bayak dari hadis yang memiliki isnad sedikit.
b. Mengutamakan
hadis yang diriwayatkan oleh sahabat besar dari
sahabat kecil.
c. Mengutamakan
hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang faqih dari yang tidak faqih.
d. Mengutamakan
hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang ahli bahasa dari yang tidak ahli bahasa.
e. Mengutamakan
hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang tsiqah dari yang tidak tsiqah.
f. Mengutamakan
hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang lebih kuat hafalannya dari yang
tidak kuat hafalannya.
g. Mengutamakan
hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang terlibat lansung dalam peristiwa
terjadinya hadis dari yang tidak terlibat.
h. Mengutamakan
hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang menyebut asbab al-Wurud al-Hadis
dari yang tidak menyebutkannya. Dan ada beberapa lagi yang lainnya.
2. Tinjauan Matan
al-Hadis
a. Mengutamakan
hadis yang diriwayatkan dengan matan yang mengandung makna hakiki dari
yang majazi.
b. Mengutamakan
hadis yang diriwayatkan dengan matan yang nampak (mudmar) dilalahnya
dari yang tersembunyi (mustatir).
c. Mengutamakan
hadis yang diriwayatkan dengan matan yang mafhum muwafaqah dari yang
mafhum mukhalafah.
d. Mengutamakan
hadis yang diriwayatkan dengan matan yang pelarangan (nahy) dari yang
memerintahkan (amr).
e. Mengutamakan
hadis yang diriwayatkan dengan matan yang mengandung perintah (amr) dari yang kebolehan (ibahat).
f. Mengutamakan
hadis yang diriwayatkan dengan matan yang diiringi penguat (ta’kid) dari
yang tidak memiliki ta’kid. Dan beberapa lagi yang l;ainnya.
3 Tinjauan Madlul(indikasi)
a. mengutamakan hadis yang menetapkan hukum asal dari hadis
yang datang untuk menjelaskannya.
b. Mengutamakan
hadis yang lebih dekat pada kehati-hatian dari yang tidak.
c. Mengutamakan
yang mutsbit dari yang nafiy .
d. Mengutamakan
yang hadis yang menggugurkan hukuman dari yang menetapkannya.
4 Tinjauan faktor eksternal
a. Mengutamakn
hadis yang memiliki penguat dari yang tidak.
b. Mengutamakan
yang qaul dari yang fi’lun.
c. Mengutamakan yang lebih dekat kepada makna al-Qur’an.
[40]Turmudzi, Sunan
al-Turmudzi, Juz. I(Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h.
[41] Abu Daud, Sunan
Abu Daud(Dimasyqi: Dar al-Fikr, t.th), h.
- Get link
- Other Apps
KATEGORI UMUM
MOTIVASI IBADAH = adalah situs MOTIVASI IBADAH terkait dengan aktifitas ibadah, semangat ibadah dan kajian ibadah lainnya
MOTIVASI OLAHRAGA = adalah situs OLAH RAGA terkait dengan aktifitas atau info Olah Raga, kegiatan olah raga, jenis olah raga baik domestik maupun international
MOTIVASI TRAVELING = adalah situs MOTIVASI TRAVELING terkait dengan Objek Wisata, Info Traveling, Domestik, International, Haji dan Umrah dan Kegiatan Traveling lainnya
MAKALAH TAFSIR HADIS = adalah situs ARTIKEL ILMIYAH terkait dengan kajian keagamaan, al-Qur'an dan Hadis dan kajian ibadah lainnya
GALERI BUNGA = adalah situs BISNIS dari motivasi ibadah sebagai SPONSOR UTAMA pembuatan semua situs yang terkait. Berisi produk bunga
FORTUNE FAMILY TV = adalah Chanel Youtube terkait dengan situs MOTIVASI IBADAH yang berisi video keluarga, tutorial, bisnis, kajian keagamaan, al-Qur'an dan Hadis dan kajian ibadah lainnya
BERITA TERBARU !!
-
-
EURO 2024 - Inggris Finalis tetap dikritik, Rodri Spanyol Pemain Terbaik - *FINALIS EURO 2024 - *Berbenturan antara timnas Spanyol vs Inggris dalam partai puncak Euro 2024 yang memberikan hasil 2 - 1 , Spanyol taklukkan Inggris me...2 months ago
-
Sudah Pernah Lihat KUPU KUPU RAKSASA ?, Wajib TONTON ! - Kupu kupu tidak hanya terlihat banyak di taman, ini yang paling istimewa, kenapa ? Ukurannya hingga 1 meter x 1 meter. Bisa terbangkan manusia di pundak...6 months ago
-
VIDEO - Penyaluran Zakat Langsung Ke Mustahik YATIM DHUAFA - Sanggar Tamarunang Makassar - VIDEO - Penyaluran Zakat Langsung Ke Mustahik YATIM DHUAFA - Sanggar Tamarunang MakassarSalah satu video saat penyaluran zakat sedekah langsung ke mustahiq...6 months ago
-
RONALDO DI LAUT MERAH 'Red Sea' - Salam Traveler Pariwisata viral yang di ulas kali dalam motivasi travel adalah 'Red Sea'. Uda tahu kan red sea itu ?? Atau mungkin sudah pernah ke sana, pa...7 months ago
-
KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS - *KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS* Pendahuluan latar belakang Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah dua sumber utama ajaran Islam. Oleh karena i...1 year ago
Popular posts from this blog
BIL MA'TSUR ( TAFSIR AYAT DENGAN AYAT )
download TAFSIR AL-NASAFIY
CARA MELAKUKAN TAKHRIJ HADIS
cara atau Kaedah al-Jarh Wa al-Ta’dil Serta Aplikasinya
cara TAMBAHAN - kaedah ZIYADAH DALAM AL-QUR'AN
HADIS TARBAWIY DAN AKHLAK (BERKURANGNYA IMAN KARENA MAKSIAT)
apa contoh MUKJIZAT AL-QUR'AN (Pengertian dan Pembagiannya)
kaedah 'ATAF - AL-'ATFU DALAM AL-QUR'AN
cara melakukan MUNASABAH AYAT
QAWAIDH AL-TAHDIS (Pengertian , Ruang Lingkup dan Urgensinya )
BACA JUGA - Link Pilihan
- GALERI BUNGA - Bunga Bambu, Produk Daerah Lokal Bernilai Tinggi
- GALERI BUNGA - Bunga Hias Ruang Tamu
- GALERI BUNGA - Bunga Lampu Hias-Home Dekor
- GALERI BUNGA - Bunga Trending, Bunga Lampu Hias
- GALERI BUNGA - TRENDING, Bunga Lampu Hias Home Decor
- MAKALAH TAFSIR HADIS - Hadis Tarbawiy dan Akhlak-Berkurangnya iman karena Maksiat
- MAKALAH TAFSIR HADIS - Cara Hidup Sehat
- MAKALAH TAFSIR HADIS - Cara Melakukan Takhrij
- MAKALAH TAFSIR HADIS - Kaedah Al-Jarh Wa Al-Ta'dil
- MAKALAH TAFSIR HADIS - Manusia Dalam Perspektif Al-Qur'an
- MOTIVASI IBADAH - Contoh Mukjizat Al- Qur'an
- MOTIVASI IBADAH - CORONA VIRUS COVID 19 dalam ibadah
- MOTIVASI IBADAH - Covid 19 dan Tantangan Pendidikan
- MOTIVASI IBADAH - Larangan Menyiksa Hewan
- MOTIVASI IBADAH - Sedekah Yang Dilarang
Comments
Post a Comment