KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS

KRITERIA KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HADIS Pendahuluan latar belakang Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah dua sumber utama ajaran Islam. Oleh karena itu, keduanya selalu dijadikan landasan keyakinan, ritual, adat istiadat, etika, ekonomi, politik, peradaban dan seluruh aspek kehidupan umat Islam, baik yang sakral maupun duniawi, pada tataran ¥ abl minallah (vertikal) dan ¥ abl min al. -n ± s (horizontal).

KONTROVERSI DI DALAM HADIS - Pakar Fiqih dan Pakar Hadis

 KONTROVERSI DI DALAM HADIS - Pakar  Fiqih dan Pakar Hadis

 

Seandainya aku menjadi Qadhi ,Pasti aku akan  memukuli

Ahli Fiqh  yang tidak belajar Hadis, Dan ahli Hadis yang tidak belajar Fiqh[1]

 

        Ungkapan di atas, menunjukkan bahwa tidak ada pendikotomian yang  tajam antara fiqhi dan hadis bahkan pada diri seorang ulama fiqhi dan ulama hadis  terintegrasikan  kesemua ilmu itu, sehingga menjadi suatu hal yang sulit untuk menemukan seorang ahli fiqh yang tidak tahu  hadis atau sebaliknya.


        Keharusannya seorang ulama fiqhi belajar hadis disebabkan karena hadis merupakan rekaman verbal dari sunnah Nabi. Sedang sunnah Nabi sendiri menjadi sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur’an, bahkan Nabi sendiri merupakan manifestasi faktual dari  ayat-ayat al-Qur’an,[2] dengan legitimasi ma’shum dari Allah Swt.[3]

Berbagai predikat mulia yang diberikan kepada Nabi; ma’shum, afshah al-Arab[4] dan balig[5]  dalam berbicara,  menjadi suatu hal yang “mustahil” kemudian bila ditemukan dalam sabdanya terjadi pertentangan antara satu dengan yang lainnya,  oleh Muhaddisin kemudian dikenal sebagai ilmu mukhtalif al-Hadis, ta’arud al-Hadis, musykil al-Hadis, ta’wil al-Hadis, talfiq al-Hadis.  Munculnya hadis-hadis yang tampaknya saling bertentangan secara rasional adalah suatu hal yang sulit diterima oleh akal-sehat manusia, betapa tidak hadis-hadis tersebut berasal dari satu orang dengan klaim atau keyakinan bahwa beliau berada dibawah bimbingan dan pengawasan Tuhan. Secara hakiki, tidak mungkin satu kebenaran bertentangan dengan kebenaran lainnya, maka kalaupun di  belakang hari disinyalir ada hadis-hadis yang saling bertentangan, maka hal itu hanyalah terjadi pada aspek tekstual hadis -makna lahiriah- dan keterbatasan pengetahuan  manusia akan latar belakang historis lahirnya sebuah hadis; sifatnya yang  temporal, kondisional, lokal dan universal, termasuk disini adalah terjadinya periwayatan bi al-ma’na disertai ketidaktahuan akan fakta-fakta historis yang melingkupinya sehingga dari suatu generasi ke generasi terjadi simplikasi, distorsi dan pada akhirnya tampaklah hadis-hadis tersebut bertentangan.

        Ilmu mukhtaliful al-hadis  merupakan bagian  penting bagi ulama dan tak terbatas pada ahli hadis dan ahli fiqih tetapi meliputi seluruh ulama. Tanpa pengetahuan ini seseorang dapat jatuh pada penafian terhadap sebuah hadis shahih karena dianggapnya  bertentangan dengan hadis shahih yang lain, untuk kepentingan ini, ulama telah menyusun langkah-langkah dan metode penyelesaian terhadap hadis-hadis yang masuk dalam kategori ini. Bagimana aplikasi langkah-langkah tersebut ? Apa secara metodologis  ada perbedaan signifakan antara ulama fiqh dan hadis ? adalah sekian banyak pertanyaan  yang akan diuraikan dalam tulisan ini.

 

Pengertian Judul

          Untuk memahami secara baik serta menghindarkan pemahaman yang menyimpang dari tulisan ini, terlebih dahulu akan diuraikan  pengertian dari judul tulisan ini “ Pendekatan Integral Pakar Fiqh dan Hadis dalam Telaah Kontroversi Hadis” Dari judul ini ada beberapa istilah yang perlu dijelaskan, antara lain sebagai berikut:

  1. Pendekatan Integral

Kata “pendekatan” dalam bahasa Inggris disinonimkan dengan kata “approah” yang berarti  jalan, metode dan cara pendekatan[6]. Sedang menurut Abuddin Nata bahwa kata pendakatan berarti:

Suatu cara pandang  yang digunakan untuk menjelaskan  suatu data yang dihasilkan  dalam penelitian.  Suatu data dari hasil penelitian  dapat menimbulkan  pengertian dan gambaran  yang berbeda-beda tergantung  pada pendekatan yang digunakan.[7]

 

Sedangkan “integral” adalah kata sifat yang berarti bulat atau utuh.[8] Dengan demikian pendekatan integral berarti  cara pandang yang utuh, bulat  dalam memahami sebuah objek.

  1. Kontroversi Hadis

Kata “kontroversi” berarti perdebatan, persengketaan dan pertentangan. Dengan demikian, kontroversi Hadis berarti hadis-hadis yang memiliki makna yang tidak jelas sehingga melahirkan pertentangan;  baik pertentangan itu  antara satu hadis  dengan hadis lainnya ataupun sebuah hadis yang samar kemudian kesamarannya dihilangkan. Dalam hal ini penulis menyamakan istilah kontroversi hadis dengan istilah mukhtalif al-Hadis, ta’arud al-Hadis, musykil al-Hadis, ta’wil al-Hadis, talfiq al-Hadis. Oleh ulama hadis didefinisikan sebagai berikut:

العلم الذى يبحث فى الاحاديث التى ظهرها متعارض فيزيل تعارضها او يوفق بينهما كما يبحث فى الاحاديث التى يشكل فهمها او تصورها فيدفع اشكالها ويوضح حقيقثها[9]

 

Ilmu yang membahas tentang hadis-hadis yang tampaknya saling bertentangan, lalu dihilangkan pertentangan itu atau dikompromikannya, disamping membahas hadis-hadis yang sulit dipahami atau dimengerti, lalu dihilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya.

 

Jadi dari definisi ini dapat dirumuskan bahwa  kontroversi hadis adalah hadis-hadis yang lahirnya bertentangan  dengan hadis lain atau ketentuan hukum lainnya serta kaedah-kaedah baku  sehingga mengesankan ambivalensi  makna dan kerancuan.  

  1. Pakar Fiqh dan Hadis

Kata “pakar” secara leksikal berarti ahli atau cendekiawan; sosok yang memiliki pengetahuan yang memdalam. Disini penulis mensinonimkan kata pakar dengan al-alim atau ulama. Sedangkan kata “fiqh” disini lebih berkonotasi ahli ushul fiqh.

Pertentangan kedua tipe ulama ini  terkadang digambarkan sebagai pertentangan antara  teoritis dan pragmatis  yang terjawantahkan dalam sikap  yang berbeda  secara fundamental terhadap hadis. Muhaddis sangat ketat dalam memperpegangi keotentikan hadis berdasarkan prinsip-prinsip isnad-formal. Sedang Fuqaha memperhatikan matan; isi, semangat, relevansi sebuah hadis dalam konteks syari’ah secara utuh. Sehingga atribut yang diberikan kepada yang pertama sebagai kelompok tekstualis, sedang yang kedua sebagai kelompok kontekstual.[10] Namun, sebagaimana penulis sebutkan dalam muqaddimah bahwa atribut tersebut tidak sepenuhnya tepat, karena sosok seperti Imam Syafi’i, Malik, Ahmad bin Hanbal, Abu Hanifah umpamanya, disamping mereka adalah pakar fiqh, ilmu mereka tentang hadis tidak diragukan. Oleh karena itu, ukuran untuk mengelompokkan mereka didasarkan pada persentase kepopuleran ulama tersebut dalam pandangan ulama lainnya.[11]    

        Dengan demikian, keseluruhan judul ini berarti cara kerja yang ditempuh oleh pakar fiqh dan hadis dalam rangka mencari penyelesaian –titik-temu-   atas hadis-hadis yang nampak bertentangan.

 

Kontroversi Hadis sebagai Objek Ulum al-Hadis

        Kondisi objektif  yang terjadi dalam proses periwayatan, pengumpulan hingga pengkodifikasian hadis[12] dalam berbagai bentuk literatur dengan segala problematiknya, merupakan dasar pertimbangan dan argumentasi bagi para ulama kemudian, untuk merumuskan dan memformulasikan perangkat-perangkat metodologis studi hadis dalam bentuk yang baku dan berdiri sendiri. Dan hal itu dimaksudkan sebagai langkah seleksi, koreksi serta purifikasi materi-materi hadis, baik dari kualitas isnad-nya ataupun keshahihan matan-nya dari berbagai bentuk penyelewengan dan pemalsuan yang telah terjadi sejak periode awal kenabian.[13]

        Formulasi dari perangkat-perangkat metodologis inilah kemudian  yang dikembangkan dan diperluas cakupan bahasannya oleh ulama sehingga punya objek bahasan tersendiri dengan sudut tinjauan dan  penekanan yang berbeda sehingga melahirkan nama tersendiri sesuai masalah yang dibahasnya.

 Lahirlah bahasan-bahasan seperti ilmu rijal al-Hadis, al-Jarh wa al-Ta’dil, tabaqat al-Ruwah, al-Asbab al-Wurud al-Hadis,  garib al-Hadis, Ilal al-Hadis termasuk dalam hal ini  ilmu  mukhtalif al-Hadis. Formulasi bahasan ini terakumulasikan dalam  suatu ilmu yang diberi nama  ulum al-hadis, ushul al-hadis, mushthalah al-Hadis. Ilmu-ilmu ini tidaklah berdiri secara otonom dalam artian terpisah dari bagian-bagian lainnya tetapi merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam rangka membangun sebuah konstruk  pemahaman hadis yang komprehensif dan utuh.

Tak dapat dipungkiri bahwa dalam rangka menjaga otentisitas sunnah Nabi, ulama hadis lebih banyak memberikan  perhatian pada  kritik isnad dari pada kritik matan sehingga akan dengan mudah bagi pengkaji hadis menemukan bahasan yang panjang lebar tentang studi isnad.[14] Hal ini pula berimplikasi pada munculnya ilmu-ilmu hadis yang isnad oriented  itu lebih awal dibandingkan dengan ilmu yang content oriented.[15]   

        Kontroversi Hadis, sebagai sebuah ilmu yang masuk kategori content oriented, muncul atas usaha membandingkan antara satu matan  hadis dengan matan  hadis lainnya. Menurut para ulama ilmu ini sangat penting dibanding  dengan cabang-cabang lainnya dari ilmu-ilmu hadis.[16] Dan usaha atau karya yang paling awal mengenai hal ini adalah ikhtilaf al-Hadis oleh imam al-Syafi’i( w. 150-204 H),  ta’wil mukhtalif al-Hadis oleh Abdullah ibn Muslim ibn Qutaibah al-Dainuriy(w. 213-276 H),  musykil al-Atsar oleh Abu Ja’far Ahmad ibn Muhammad al-Thahawiy(w. 239-321 H) yang dicetak di India tahun 1333 H, musykil al-Hadis wa Bayanuhu oleh  Abu Bakar  Muhammad ibn al-Hasan al-Anshariy al-Ashbahaniy(w. 406 H), telah dicetak di India, tahun 1362 H.  

        Dengan tersedianya berbagai literatur-literatur hadis  kontroversial ditambah dengan, telah terkodifikasinya seluruh hadis Rasulullah, maka upaya untuk membandingkan antara matan satu hadis dengan hadis lainnya menjadi semakin mudah –apalagi dengan fasilitas komputerisasi-. Dan hal ini pun  berimplikasi pada munculnya kritik dan sorotan terhadap kitab-kitab hadis  shahih seperti kitab shahih al-Bukhari dan Muslim, belakangan dinilai oleh ulama memuat banyak hadis-hadis dhaif (baca: kontroversi).[17]

 

Bentuk-bentuk Kontroversi Hadis

        Sebuah hadis hanya dapat dinyatakan kontroversial apabila ia bertentangan dengan hadis yang memiliki kualitas dan derajat yang sama.  Sehingga bila ditemukan sebuah hadis yang berkualitas shahih dan bertentangan dengan sebuah hadis dengan kualitas dhaif, maka hal itu tidak termasuk dalam kategori ini karena dengan sendirinya ke-dhaif-an tersebut telah menggugurkan kehujjaan hadis itu.

        Ulama hadis dalam berbagai pembahasan mengklasifikan kontroversi hadis dalam beberapa bentuk, yaitu :

  1. Al-Qur’an bertentangan dengan Hadis   

Al-Qur’an dalam pandangan ijma’ ulama dinyatakan sebagai dalil yang qath’i al-Wurud secara keseluruhan. Sedang hadis Nabi, sebagian kecilnya juga dinilai sebagai dalil yang qath’i; hadis-hadis yang berstatus mutawatir. Sedang yang lainnya yang berstatus ahad; masyhur, azis, garib, dinilai sebagai dalil yang dzanniy.  

Menurut pandangan sekelompok fuqaha, ahli ushul seperti al-Baedawi, al-Syaukani,  al-Syairazi, Ibn al-Subki, Ibn al-Hajib, al-Amidi[18] dan yang lainnya berpendapat bahwa pertentangan tidak dapat terjadi antara dua dalil qath’i, baik secara hakiki ataupun lahiriah. Bahkan al-Zarkasyi dalam kitabnya al-Bahr al-Muhith dan al-San’ani  mengasumsikan pendapat itu sebagai pendapat mayoritas ulama.

Pendapat mereka didasarkan pada argumentasi bahwa ketika upaya kompromi; al-jam’u itu tidak bisa dilakukan, maka otomatis beralih pada metode lainnya seperti al-tarjih, padahal al-tarjih itu akan menyebabkan salah satunya digugurkan. Hal itu menurut mereka adalah sebuah sikap yang semberono.   

Walaupun pendapat di atas dianut oleh sekian banyak ulama, namun pendapat ini dibantah oleh sekelompok ulama lainnya dari  mazhab Syafi’i. Mereka menyatakan bahwa pada dalil-dalil qath’i yang terjadi pertentangan, dapat dilakukan upaya takhyir-memilih-sedang takhyir merupakan bagian dari al-tarjih.[19] Sehingga demikian ayat al-Qur’an dapat saja bertentangan dengan hadis-hadis mutawatir, sebagaimana hal ini dinyatakan oleh Abdul Wahab Khallaf[20]:

ولا يتحقق التعلرض بين نص قطعي وبين نص ظني ويمكن التعارض آيتين او حد يثين متواترين او بين آية وحد يث متواتر

 

Hal lain, terkait dengan pertentangan antara dalil qath’i dengan dalil dzanni. Menurut  mayoritas ahli ushul[21]: tidak boleh mempertentangkan antara dalil qath’i dengan dalil dzanni. Dalil qath’i, selalu harus diutamakan daripada dalil dzanni karena ia lebih kuat,  menunjukkan kepastian dan keyakinan, sedang dzanni bersifat dugaan atau mengandung keraguan. Keraguan akan gugur dengan sendirinya.

Berbeda dengan pendapat di atas, al-Razi berpendapat bahwa pertentanganan dapat terjadi antara dalil qath’i dengan dalil dzanni. Antara keduanya  adakalanya  terdapat penjelasan bahwa salah satunya datang lebih dahulu  dan adakalanya tidak. Maka, jika dalil qath’i datang lebih kemudian, ia berfungsi sebagai nasikh, tetapi bila dalil dzanni yang datang lebih akhir, maka ia tidak dapat menasakh dalil yang qath’i. Bila tidak diketahui mana yang lebih awal muncul, maka wajib mengamalkan yang qath’i. Sekalipun keduanya bertentangan, namun dalil qath’i tetap dikedepankan.[22]

Sebagian ahli ushul mazhab Hanafiah seperti Kamal bin Hamam berpendapat bahwa pertentangan dapat terjadi tanpa harus melihat apakah kualitas sama seperti   antara dalil qath’i dengan dalil dzanni. Pendapat ini didasarkan pada argumentasi bahwa pertentangan itu  hanya dalam batas pada lahiriahnya saja, tidak hakikatnya.[23]

Berbeda dengan Kamal, mayoritas ulama mazhab Hanafiah memperpegangi bahwa al-Tasawaa adalah persyaratan bagi dalil yang bertentangan. Sehingga sebuah hadis yang berkualitas masyhur itu tidak dapat dipertentangkan dengan hadis mutawatir ataupun  garib.[24]

  1. Hadis bertentangan dengan hadis

Sebagaimana uraian di atas, kebanyakan hadis itu berstatus dzanni al-wurud  sehingga pertentangan antara hadis dengan hadis merupakan pertentangan antara dua dalil yang bersifat dzanni.

Al-Aznawi menuturkan bahwa para ahli ushul sepakat tentang kemungkinan terjadinya pertentangan antara dua dalil dzanni[25]. Namun yang menjadi perbedaan adalah apakah pertentangan itu hanya bersifat lahiriah saja atau juga hakikatnya. Ada beberapa pendapat:

a.   Pertentangan dapat terjadi  pada dalil-dalil  dzanni secara hakiki. Pendapat ini dianut oleh al-Amidi, dan diasumsikan  sebagai pendapat  Abu Bakar al-Baqillani, al-Juba’i. Al-Hajib, al-Aznawi, Abu Hasyim menyatakan pendapat ini sebagai pendapat mayoritas ulama. Atas hal ini al-Baedawi menyatakan sebagian ulama  membolehkan terjadinya pertentangan secara hakiki dan pendapat inilah yang lebih utama.[26]

Adapun argumentasi pendukung kelompok ini adalah sebagai berikut:

1.Jika pertentangan dapat terjadi pada batas lahiriah, maka  secara hakiki pun juga dapat terjadi.

2.Secar aqliah, terjadinya pertentangan tersebut  bukanlah sesuatu yang mustahil dan beberapa argumentasi lainnya.[27]

 

 b. Pertentangan antara dalil-dalil dzanni  tidak dapat terjadi secara hakiki. Pendapat ini adalah mazhab imam Ahmad bin Hanbal dan Abu Hasan al-Kurkhi juga sekelompok ulama mazhab Syafi’iyyah. 

    Argumentasi mereka adalah :

1.Seandainya ada dua buah dalil dzanni  yang saling bertentangan, maka mengamalkan kedua-duanya, salah satunya atau tidak kedua-duanya. Semuanya tidak dapat dibenarkan karena bila mengamalkan kedua-duanya berarti mengumpulkan dua dalil yang bertentangan. Ini jelas tidak mungkin. Jika keduanya digugurkan itu berarti dalil-dalil itu sia-sia. Mengamalkan salah satunya berarti sewenang-wenang. Jika semua itu tidak dibenarkan, maka yang tepat adalah sebaliknya yaitu pertentangan hanya pada makna lahiriahnya saja.[28]  

Pendapat ini pun dibantah oleh  sekelompok ulama lainnya, sehingga mayoritas Fuqaha dan Muhaddis berpendapat bahwa pertentangan mutlak tidak akan terjadi secara hakiki pada dalil-dalil syara’; baik yang qath’i maupun yang dzanni. Apabila terjadi pertentangan, itu hanya menurut pandangan dan pemikiran ulama. Pertentangan dapat terjadi karena ketidaktahuan Mujtahid terhadap cara-cara menghilangkan ataupun menolaknya. Pendapat ini dikemukakan oleh mayoritas ulama  seperti Ibn Qayyim, Syafi’i, Ibn Huzaimah, Ibn Hazm, al-Syatibi dan yang lainnya.[29]

3. Hadis bertentanganm dengan Nadzhar(nalar)

        Salah satu bagian penting dari definisi kontroversi hadis yang dikemukakan oleh Nuruddin Itr[30] adalah terjadinya pertentangan hadis dengan  kaedah-kaedah baku. Nah, kaedah baku yang dimaksudkan disini adalah menyalahi pandangan umum yang lazim, menyimpang dari prinsip-prinsip umum tentang hukum dan akhlak, realitas indrawi, kebenaran aksiomatik dalam dunia sains dan ilmu pengetahuan, sunnatullah, fakta historis yang otentik mengenai zaman Rasulullah. Kesemua ini dapat dikategorikan sebagai nadzhar.

Pertentangan seperti ini banyak ditemukan dalam berbagai literartur hadis termasuk pada kitab shahihaian; hadis tentang lalat, turunya Nabi Isa, kurma ajwa dan lain sebagainya.

 

Metode Ulama Fiqh dan Hadis dalam telaah Kontroversi Hadis

 

        Ulama dalam menyelesaikan pertentangan antara hadis yang berdimensi kontroversial menempuh banyak cara yang berbeda-beda. Namun demikian tidaklah berarti bahwa hasil yang dicapainya harus pula berbeda.

        Ibn Hazm misalnya secara tegas mengatakan bahwa matan-matan hadis yang bertentangan masing-masing hadis yang harus diamalkan, ibnu Hazm menekankan perlunya penggunaan metode istisna (pengecualian) dalam penyelesaian satu masalah.

        Berbeda dengan Ibn Hazm al-Syafi’I memberikan gambaran bahwa mungkin saja matan-matan yang nampak bertentangan itu mengandung petunjuk bahwa matan yang satu bersifat global (mujmal) dan yang satunya bersifat rinci, mungkin yang satu bersifat umum, dan yang lain bersifat khusus, mungkin yang satu bersifat nasikh dan yang lainnya mansukh atau mungkin keduanya ada kebolehan untuk mengamalkannya.[31] Ibnu Shalah,  Fashil al-Hawariy dan yang lainnya menempuh tiga  kemungkinan cara, yakni: 1) al-Jam’u, 2) al-Nasikh wa al-Mansukh dan al-Tarjih.[32] Sedang  al-Tahwani menempuh cara al-nasikh wa al-mansukh, kemudian  tarjih.[33] Salahuddin bin Ahmad al-Adlabi menempuh cara al-jam’u kemudian  al-tarjih.[34] Syihabuddin Abu ‘Abbas Ahmad bin Idris al-Qarafiy menempuh cara al-tarjih, dengan cara al-tarjih ini mungkin penyelesaian yang dihasilkan berupa penerapan al-nasikh wa al-mansukh atau al-jam’u, dengan melihat seginya masing-masing.[35]

        Yusuf al-Qardawi dalam kitabnya “Kaifa Nataammal ma’a al- Sunnah al-Nabawiyyah” menyebutkan bahwa apabila pertentangan itu dapat dihapus dengan jalan menggabungkan atau menyelesaikan antara kedua nash, tanpa harus memaksakan atau mengada-ada, sehingga kedua-duanya dapat diamalkan, maka demikian itu lebih utama daripada harus men-tarjih antara keduanya. Sebab pen-tarjih-an mengabaikan salah satu dari keduanya sementara  mengutamakan yang lainnya.[36]

        Sebagian ahli Usul menetapkan bahwa yang pertama ditempuh ialah mencari sejarah datangnya nash. Nash yang datangnya lebih akhir menjadi nasikh (penghafus) terhadap nash yang lebih dahulu datangnya. Apabila tidak berhasil, hendaklah diusahakan untuk men-tarjih salah satu dari keduanya. Bila usaha pen-tarjih-an juga gagal, maka hendaklah diusahkan men-taufiq-kannya (mengkompromikan)  kedua dalil itu, yakni dengan mengamalkan kedua-duanya sedapat mungkin. Akhirnya bila seorang mujtahid tidak mampu men-taufiq-kannya, ia harus meninggalkan mengamalkan keduanya dan harus mencari dalil lain.

Pada umunya ahli hadis dalam menghadapi dalil-dalil yang secara lahirnya berlawanan mengadakan penelitian lebih dahulu perihal derajatnya dan hal-hal yang berkaitan dengannya dan apabila memiliki derajat yang sama maka mereka menempuh cara-cara penyelesaian sebagai berikut:1) al-Taufiq, al-Jam’u, 2) al-Tarjih, 3) al-Nasakh wa al-Mansukh, 4) al-Tawaqquf.

Contoh-contoh Aplikatif

        Contoh  metode al-Taufiq dan al-Nasakh wa al-Mansukh dapat dilihat pada  pertentangan antara hadis  larangan penulisan hadis dengan hadis yang membolehkannya.sebagai berikut:

 

لا تكتبوا عني ومن كتب عني شيئا غيرالقرأن فليمحه وحدثوا عني ولا خرج ... [37]

 

ااكتب, فوالذي نفسي بيده ما خرج مني الا حق[38]

 

 

 

        Di antara ulama ada yang menerapkan metode al-Nasakh wa al-Mansukh dalam hadis ini, sehingga hadis yang pertama muncul itu di-nasakh oleh hadis yang kemudian. Dalam kasus ini, hadis tentang larangan  menuliskan hadis itu di-nasakh oleh hadis yang membolehkannya. Sedangkan mayoritas ulama mnerapkan metode al-Jam’u dengan memahami hadis tentang larangan penulisan hadis itu ditujukan pada sahabat yang mempunyai kekuatan hafalan yang kuat sedangkan dibolehkannya menuliskan hadis bagi mereka yang  diragukan kemantapan hafalannya. Al-Jam’u al-Takhsisi.

Sedangkan contoh metode al-Tarjih[39] seperti hadis tentang bertemunya dua al-Khitanan. Masing-masing riwayat Aisyah dengan Abu Said al-Khudri sebagai berikut:

 

حدثنا ابو موسي محمد بن مثني حدثنا الوليد ابن مسلم عن الاوزاعي  عن عبد الرحمن ابن قاسم عن ابيه عن عائشة قالت : إذا جاوز الختان الختان فقد وجب الغسل فعلته انا  ورسول الله ص.م  فاغتسلنا[40]

 

          حدثنا أحمد بن صالح  حدثنا إبن وهب أخبر ني عمرو عن إبن شهاب عن أبي سلمة إبن عبدالرحمن عن أبي سعيد الخدري أن رسول الله ص.م  قال : الماء من الماء وكان ابو سلمة يفعل ذلك[41]

 

        Masing-masing hadis diatas diriwayatkan oleh dua orang sahabat senior yang termasuk al-Muktsiruna fi al-Hadis. Pada riwayat pertama terlihat bahwa hadis ini hanya sampai pada Aisyah dan tidak disandarkan kepada Nabi sebagaimana yang terlihat pada hadis yang kedua. Namun bukan berarti hadis ini tidak berasal dari Nabi. Ada indikasi lain  yang dapat membuktikan bahwa hadis ini berasal dari Nabi; 1) Aisyah tidak menyandarkannya hadis ini kepada Nabi karena hadis ini adalah fi’liyah, sebagaimana tersurat dalam kata . فعلته انا ورسول الله 2) Aisyah adalah seorang periwayat yang tsiqah sehingga riwayatnya dapat dipercaya berasal dari Nabi,3) Ternyata hadis ini juga diriwayatkan oleh beberapa orang sahabat lainnya yaitu Abu Hurairah dan Abdullah bin Amr. Sedangkan riwayat tentang  الماء من الماء  hanya diriwayatkan oleh sahabat Abu Said al-Khudriy. Disisi yang lain, Aisyah adalah pelaku dalam peristiwa tersebut, sedangkan Abu Said hanyalah sebagai seorang periwayat. Bila kedua riwayat ini dilihat dalam tinjauan i’tibar isnad maka secara otomatis hadis Aisyah lebih rajih (kuat). Tetapi bila kedua hadis ini dilihat dalam tinjauan matan maka hadis yang pertama mengandung lafadz-lafadz yang jelas (hakiki) sedangkan pada hadis yang kedua mengandung makna majazi. Menurut tinjauan matan,  sebuah hadis yang memiliki makna yang jelas lebih diutamakan dari hadis yang bermakna majazi. Itupun bila  kedua hadis ini ditempatkan saling bertentangan seperti yang dilakukan oleh beberapa ulama. Bila tidak, seperti pemahaman yang menempatkan hadis ini dalam bingkai yang berbeda. Hadis yang pertama dipahami dalam kaitannya dengan hubungan suami-istri (persetubuan) sedangkan hadis yang kedua dipahami dalam kaitannya dengan keluarnya maniy ketika mimpi. Hadis ini juga dapat dianalisis lewat pendekatan sejarah. Menurut data sejarah, Abu Salamah yang termaktub dalam hadis yang kedua itu wafat ketika tidak beberapa lama setelah tibanya Nabi di Madinah (hijrat al-Rasul), maka dengan demikian hadis ini diucapokan oleh Nabi ketika beliau masih berada di Mekkah atau paling tidak pada masa awal dari periode Madinah. Sedangkan perkawinan Nabi dengan Aisyah terjadi sejak mereka tinggal di Mekkah, namun karena umur Aisyah pada saat itu masih sangat belia, maka ia tidak tinggal bersama dengan Nabi. Ia hidup bersama dengan Nabi ketika mereka telah tinggal di Madinah. Berdasarkan data ini, seseorang dapat saja menganggap antara hadis yang satu dengan yang lainnya ada yang dinasakh.

 

 

Kesimpulan

        Berdasarkan uraian di atas maka penulis simpulkan bahwa:

  1. Munculnya pertentangan antara hadis yang satu dengan hadis lainnya merupakan implikasi dari metode muqaran; membandingkan antara satu matan dengan matan lainnya.
  2. Pertentangan yang terjadi pada hadis tidaklah bersumber dari Rasulullah tetapi banyak hal yang terlibat dalam proses pembentukan tersebut, diantaranya:1) terjadinya riwayat bi al-Ma’na, 2) tidak memahami sosio-historis yang melingkupi lahirnya hadis,3) telah bercampur dengan berbagai unsur budaya dan tradisi, 4) tidak memahami perkembangan bahasa, dan lain sebagainya.
  3. Metode yang ditempuh oleh ulama fiqh dan hadis secara umum tidak terjadi perbedaan yang signifikan, hanya sebatas pada skala prioritas, sistematika. Ada yang mendahulukan al-Jam’u, ada juga yang mendahulukan al-Nasakh wa al-Mansukh ataupun al-Tarjih.  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kepustakaan

 

Al-Adabi’,Salahuddin bin Ahmad. Manhaj al-Naqd al- Matan. Beirut: Dar al-Afaqal-Jadidah, 1983.

Al-Qardawiy, Yusuf. Kaifa Nataammal ma’a al-Sunnah al-Nabwiyyah. Diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dengan judul  “Bagaimana Memahami Sunnah Nabawiyah”, (Bandung: Kharisma,1995.

Yaqub, Ali Mustafa. Peran Ilmu Hadis Dalam  Pembinaan Hukum Islam. Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999. 

Muslim, Abu Husain bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, Juz. I. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992.

Al-Shabuni, Muhammad Ali. al-Nubuwwah wa al-Anbiya’, diterjemahkan oleh As’ad Yasin dengan judul Membela Nabi. Cet. II; Jakarta: Gema Insani Press, 1992.  

Ibn Atsir, Al-Mubarak bin Muhammad bin Muhammad bin Abdul Karim al-Syaibani al-Jazairiy  Ibn Atsir, al-Nihayah fi Garib al-Hadis. Beirut: Dar al-Fikir, t.th.

Salim, Peter. The Contemporary  Inggris-Indonesia  Dictionary. Jakarta: Modern English, 1986.

 

Nata, Abuddin. Metodologi Penelitian Studi Islam. Cet. I; Jakarta: Bulang Bintang, 1992.

Al-Syafi’i, Ikhtilaf al-Hadis. Cet. I; Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1986.

Al-Hakim, al-Naisabury. al-Ma'rifah Ulum al-Hadis. Cet. II; Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyyah, 1977.

Ajjaj, Muhammad al-Khatib. Usul al-Hadis; Ulumuhu wa Mushthalahu. Beirut: Dar al-Fikr,1989.

 

Al-Gazali, Muhammad. al-Sunnah al-Nabawiyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadis, diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dengan judul Studi Kritis Atas Hadis Nabi Saw.Cet. VI; Jakarta: Mizan,1998.

 

Al-Zarkasyi,Badruddin.  al-Ijaabah li Iiraadi ma Astadrakathu Aisyah ala al-Sahabah, diterjemahkan oleh  Wawan Junaedi dengan judul  Aisyah Mengoreksi para Sahabat. Cet.I; Jakarta; Pustaka al-Azzam, 2001.       

 

Juynboll, G. H. A. Muslim Tradition; Studies in Chronology,Provenants and Authouship of Early Hadith.  Cet.I; Leiden :Cambrige University Press,1983.

 

Al-Suyuthi, Muhammad Jalaluddin. Tadrib al-Rawi bi Syarh  Taqrib al-Nawawi, Juz.II . Cairo: Dar al-Kutub al-Haditsah,1966.

 

Wafaa, Muhammad. Ta’arudh al-Adillat al-Syar’iyat min Kitab wa al-Sunnah  wa al-Tarjih Bainah, diterjemahkan oleh Muslich dengan judul Metode Tarjih atas Kopntradiksi Dalil-dalil Syara’. Cet.I; Jatim: al-Izzah, 2001.

 

Khallaf,  Abdul Wahhab ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Cet. VIII; Mesir: al-Maktabah al-Da'wah,1968.

 

Al-Mutthalib, Rif’at Fauzi abdul. Tausiq al-Sunnah  fi al-Qarn alTsani al-Hijri; Ususuhu wa Ittijaahaatuhu. Cet. I; Mesir: al-Maktabah al-Khanji,1981.

 

Itr, Nuruddin.  Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadis, diterjemahkan oleh Mujiyo dengan judul Ulum al-Hadis, Juz.II. Cet. II; Bandung: Remaja Rosdaya, 1997.

 

Siba’I, Mustafa. al-Sunnah wa Makanatuhu fi Tasyri’ al-Islami, diterjemahkan oleh Nurcholish Majid dengan judul Sunnah dan Perannya dalam Penetapan Hukum Islam. Cet. III; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.

 

 

 



[1]Ungkapan ini berasal dari Imam Sufyan al-Tsauri(w.161 H) dan Sufyan ibn Uyainah(w. 198 H), serta Abdullah ibn Sinaen(w.213 H), yang dialih bahasan oleh Ali Mustafa Yaqub. Lihat, Peran Ilmu Hadis Dalam  Pembinaan Hukum Islam(Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. v.

  

[2]Suatu ketika sayyidatina Aisyah ditanya  oleh seseorang tentang akhlak Rasulullah. Maka ia menjawab  bahwa akhlak Rasulullah  adalah al-Qur’an. Lihat, Abu Husain  Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi, selanjutnya disebut Muslim, Shahih Muslim, Juz. I(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), h.512-513.

 

[3]Kata ma’shum berasal dari akar kata عصم secara etimologi berarti al-Man’u ; menghalangi, mencegah atau menahan. Sedangkan menurut terminologi berarti pengjagaan dan pemeliharaan Allah terhadap Rasul-Nya dari perbuatan maksiat, kemungkaran dan yang diharamkan. Untuk lebih jelasnya lihat, Muhammad Ali al-Shabuni, al-Nubuwwah wa al-Anbiya’, diterjemahkan oleh As’ad Yasin dengan judul Membela Nabi(Cet. II; Jakarta: Gema Insani Press, 1992), h. 37-41.  

 

[4]Perntaan ini  disampaikan sendiri oleh Nabi dalam sebuah hadis yang berbunyi انا افصح العرب

 

[5]Sebuah riwayat dari Ali bin Abi Thalib dari Nabi beliau berkata :ا مرت ان اخاطب الناس علي قدر عقولهم  berdasar pada hadis ini ulama menjelaskan bahwa Nabi itu adalah seorang yang  paling fasih dalam bertutur,  paling jelas uraiannya, paling tegas argumennya, paling tuntas dalam mengemukakan idenya, paling efektif redaksinya, paling mengenal situasi  pembicaraan kepada siapa  menjadi lawan khitab-nya hingga beliau mengulang-ulang  materi hadis atas objek tertentu hingga mereka benar-benar paham maksudnya. Untuk hal ini lihat, Al-Mubarak bin Muhammad bin Muhammad bin Abdul Karim al-Syaibani al-Jazairiy  Ibn Atsir, al-Nihayah fi Garib al-Hadis(Beirut: Dar al-Fikir, t.th), h. 4.

[6]Peter Salim, The Contemporary  Inggris-Indonesia  Dictionary(Jakarta: Modern English, 1986), h. 109.

 

[7]Abuddin Nata,  Metodologi Penelitian Studi Islam(Cet. I; Jakarta: Bulang Bintang, 1992), h. 28.

[8]Peter Salim, op., cit. h. 978.

[9]Lihat al-Syafi’i, Ikhtilaf al-Hadis(Cet. I; Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1986), h. . Lihat juga al-Hakim al-Naisabury, al-Ma'rifah Ulum al-Hadis(Cet. II; Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyyah, 1977), h.    ,  Muhammad Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis; Ulumuhu wa Mushthalahu (Beirut: Dar al-Fikr,1989), h. 283.Subhi al-Shalih, Ushul  al-Hadil, op.cit., h.

         

[10]Lihat judul buku serta uraian Muhammad al-Gazali, al-Sunnah al-Nabawiyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadis yang telah diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dengan judul Studi Kritis Atas Hadis Nabi Saw.(Cet. VI; Jakarta: Mizan,1998).

 

[11]Untuk uraian menarik tentang dikotomomisasi antara ahli fiqh dan hadis lihat, Ali Mustafa Yaqub, op. , cit.

[12]Kondisi obyektif yang terjadi adalah kurangnya dokumnetasi tertulis, terjadinya pemalsuan hadis; sehingga seorang pemalsu hadis bernama Ibrahim Ibnu Auja’ mengaku telah memalsukan hadis sekitar 40.000 hadis, transmisi hadis secara makna serta interval waktu antara Nabi dan Khalifah Umar bin Abd al-Aziz senantiasa menjadi sasaran dan obyek kontroversial serta perdebatan sengit para sarjana tak terkeculai sarjana Barat. Mereka meniupkan rasa skeptis terhadap otentisitas sunnah Nabi sederet nama seperti Ignaz Goldziher dengan karya monumentalnya Muhammadanische Studien, Joseph Schacht dengan teori Projecting Back, Juynboll, Alois Spenger, William Muir dan sebagainya.

[13]Sebenarnya usaha seleksi, purifikasi materi hadis tidak dilakukan nanti setelah munculnya ulum al-hadis dalam artian baku tetapi sejak awal, para sahabat telah melakukan hal ini sebagai contoh kasus tentang tangisan keluarga atas si mayit yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab telah dikoreksi oleh Aisyah Binti Abi Bakar. Begitu juga pernyataan seorang sahabat yang datang melapor kepada Umar bin Khattab seraya berkata bahwa Rasulullah telah menceraikan istri-istrinya, dimana Umar melakukan konfirmasi balik atas pernyataan itu dan ternyata informasi itu tidak valid. Untuk beberapa contoh atas kasus-kasus seperti ini lihat, Badruddin al-Zarkasyi,al-Ijaabah li Iiraadi ma Astadrakathu Aisyah ala al-Sahabah, diterjemahkan oleh  Wawan Junaedi dengan judul  Aisyah Mengoreksi para Sahabat(Cet.I; Jakarta; Pustaka al-Azzam, 2001).       

[14]Beberapa tokoh orientalis merasa kagum dan appresiatif  terhadap kinerja ulama yang mampu mengumpulkan  biografi periwayat hadis yang tidak sedikit jumlahnya dengan dukungan fasilitas  yang tak secanggih sekarang, suatu hal yang sedikit mustahil bagi kita. Namun, walau demikian, mereka tetap melakuklan kritik terhadap kitab-kitab rijal al-Hadis. Menurut mereka   terdapat perbedaan jumlah periwayat yang tercantum  dalam kitab-kitab rijal. Semakin belakangan kitab tersebut semakin banyak periwayat yang mereka cantumkan. Juynboll; seorang Orientalis barat setelah melakukan penelitian dengan mengambil sampel sebanyak 7300 periwayat yang hidup antara tahun 200 - 250 H yang terdapat di dalam kitab tahdzib al-Tahdzib karya ibn Hajar. Ia berkesimpulan bahwa banyak periwayat yang disebutkan dalam kitab tersebut meerupakan figur-figur yang “fiktif” dimana nama mereka mengalami perkembangan dari segi jumlah dan panjang nama  bila dibandingkan antara  berbagai kitab rijal. Untuk lebih jelasnya lihat, G. H. A. Juynboll, Muslim Tradition; Studies in Chronology,Provenants and Authouship of Early Hadith (Cet.I; Leiden :Cambrige University Press,1983)., h.134-160. 

 

[15]Lihat beberapa pernyataan ulama hadis tentang signifikansi isnad hadis dalam periwayatan,  seperti Ibn Sirin, al-Auza’I, al-Tsauriy, Ibn al-Mubarak dan lain serbagainya. Namun pernyataan yang sama untuk matan hadis jarang ditemukan.

[16]Pernyataan ini dikemukakan oleh Muhammad Jalaluddin al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi bi Syarh  Taqrib al-Nawawi, Juz.II (Cairo: Dar al-Kutub al-Haditsah,1966), h.196. Ungkapan yang sama juga disampaikan oleh al-Syakawiy, Fath al-Mughits h. 362-363.

                                     

[17] Seperti hadis-hadis tentang malaikat maut dan Nabi Musa,  turunnya Nabi Isa  di akhir zaman, perdebatan Adam dan Musa.

[18]Dikutip dari kutipan Muhammad Wafaa, Ta’arudh al-Adillat al-Syar’iyat min Kitab wa al-Sunnah  wa al-Tarjih Bainah, diterjemahkan oleh Muslich dengan judul Metode Tarjih atas Kopntradiksi Dalil-dalil Syara’(Cet.I; Jatim: al-Izzah, 2001), h. 41.

[19]Ibid. , h. 42.

[20]Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh(Cet. VIII; Mesir: al-Maktabah al-Da'wah,1968), h.230.

[21]Diantaranya: al-Aznawi,  Ibn al-Hajib, al-Syaukani, al-Amidi dan yang lainnya.

 

[22]Muhammad Wafaa, op.,cit, h.38-39.

[23]Ibid. , h.39.

 

[24]Rif’at Fauzi abdul al-Mutthalib, Tausiq al-Sunnah  fi al-Qarn alTsani al-Hijri; Ususuhu wa Ittijaahaatuhu(Cet. I; Mesir: al-Maktabah al-Khanji,1981), h.289- seterusnya.

[25]Muhammad Wafaa, op. , cith. 

[26]Ibid. , h.46.

[27]Ibid. ,h. 47-48.

[28]Ibid. ,h. 51.

 

[29] Ibid. ,h.52-57.

 

[30]Untuk lebih jelasnya definisi itu lihat Nuruddin Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadis, diterjemahkan oleh Mujiyo dengan judul Ulum al-Hadis, Juz.II(Cet. II; Bandung: Remaja Rosdaya, 1997), h. 114.  Bandingkan dengan Mustafa Siba’I, al-Sunnah wa Makanatuhu fi Tasyri’ al-Islami, dioterjemahkan oleh Nurcholish Majid dengan judul Sunnah dan Perannya dalam Penetapan Hukum Islam(Cet. III; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h.

[31]Lihat al- Syafi’i, Ikhtilaf al-Hadis, op. cit., h. 348-349.

[32]Lihat, Ibn Shalah, Ulum al-Hadis al-MadinaH al-Munawwarah( al-Maktabah al- Ilmiyyah,172), h. 257-258.

[33]Lihat al-Tahwaniy,Qawa’id fi Ulum al-Hadis( Beirut: Dar al-Qalam,1972) , h.288 dan seterusnya.

[34]Lihat, Salahuddin bin Ahmad al-Adabi’, Manhaj al-Naqd al- Matan( Beirut: Dar al-Afaqal-Jadidah, 1983), h.273 dan seterusnya.

[35]Lihat, al-Qarafiy,Syarh Tanqih al-Fusul ( Beirut: Dar al-Fikr,1973), h.420-425.

[36]Lihat, Yusuf al-Qardawiy, Kaifa Nataammal ma’a al-Sunnah al-Nabwiyyah. Diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dengan judul  “Bagaimana Memahami Sunnah Nabawiyah”, (Bandung: Kharisma,1995), h.118.

[37]Imam Muslim, Shahih Muslim,Juz. IV(Cet. I; beirut:  Ihya’ Tiras1965), h. 298.

 

[38] Al-Darimi, Sunan al-Darimi,Juz.I(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th), h.125.

[39]Ulama dalam aplikasi metode al-Tarjih menggunakan beberapa tinjauan, yaitu ;

  1. Tinjauan  Isnad:

a.     Mengutamakan hadis yang memiliki isnad yang bayak dari hadis yang memiliki isnad sedikit.

b.    Mengutamakan hadis yang diriwayatkan oleh sahabat besar dari  sahabat kecil.

c.     Mengutamakan hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang faqih  dari yang tidak faqih.

d.    Mengutamakan hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang ahli bahasa dari yang  tidak ahli bahasa.

e.    Mengutamakan hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang tsiqah dari yang tidak tsiqah.

f.      Mengutamakan hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang lebih kuat hafalannya dari yang tidak kuat hafalannya.

g.    Mengutamakan hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang terlibat lansung dalam peristiwa terjadinya hadis dari yang tidak terlibat.

h.    Mengutamakan hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang menyebut asbab al-Wurud al-Hadis dari yang tidak menyebutkannya. Dan ada beberapa lagi yang lainnya.

2. Tinjauan Matan al-Hadis

a.      Mengutamakan hadis yang diriwayatkan dengan matan yang mengandung makna hakiki dari yang majazi.

b.      Mengutamakan hadis yang diriwayatkan dengan matan yang nampak (mudmar) dilalahnya dari yang tersembunyi (mustatir).

c.      Mengutamakan hadis yang diriwayatkan dengan matan yang mafhum muwafaqah dari yang mafhum mukhalafah.

d.      Mengutamakan hadis yang diriwayatkan dengan matan yang pelarangan (nahy) dari yang memerintahkan (amr).

e.      Mengutamakan hadis yang diriwayatkan dengan matan yang mengandung  perintah (amr) dari yang kebolehan (ibahat).

f.       Mengutamakan hadis yang diriwayatkan dengan matan yang diiringi penguat (ta’kid) dari yang tidak memiliki ta’kid. Dan beberapa lagi yang l;ainnya.

3 Tinjauan Madlul(indikasi)

a.     mengutamakan  hadis yang menetapkan hukum asal dari hadis yang datang untuk menjelaskannya.

b.    Mengutamakan hadis yang lebih dekat pada kehati-hatian dari yang tidak.

c.     Mengutamakan yang mutsbit dari yang nafiy .

d.    Mengutamakan yang hadis yang menggugurkan hukuman dari yang menetapkannya.

4 Tinjauan faktor eksternal

a.     Mengutamakn hadis yang memiliki penguat dari yang tidak.

b.    Mengutamakan yang qaul dari yang fi’lun.

c.     Mengutamakan  yang lebih dekat kepada makna al-Qur’an.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

[40]Turmudzi, Sunan al-Turmudzi, Juz. I(Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h.

 

[41] Abu Daud, Sunan Abu Daud(Dimasyqi: Dar al-Fikr, t.th), h.

Comments

BERITA TERBARU !!

Popular posts from this blog

BIL MA'TSUR ( TAFSIR AYAT DENGAN AYAT )

CARA MELAKUKAN TAKHRIJ HADIS

download TAFSIR AL-NASAFIY

HADIS TARBAWIY DAN AKHLAK (BERKURANGNYA IMAN KARENA MAKSIAT)

cara atau Kaedah al-Jarh Wa al-Ta’dil Serta Aplikasinya

apa contoh MUKJIZAT AL-QUR'AN (Pengertian dan Pembagiannya)

cara TAMBAHAN - kaedah ZIYADAH DALAM AL-QUR'AN

cara melakukan MUNASABAH AYAT

QAWAIDH AL-TAHDIS (Pengertian , Ruang Lingkup dan Urgensinya )

kaedah 'ATAF - AL-'ATFU DALAM AL-QUR'AN